****
Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya.
"Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.
Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.
Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV.
"Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama.
"Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"APA? Kalian mau cerai?""Iya, Mi.""Kalian ini apa-apaan sih? Masa baru satu tahun menikah udah mau cerai?!""Iya, kalian ini gimana, sih? Apa kata orang-orang nanti kalau tau kalian mau cerai? Teman-teman mama-papa, sodara-sodara, tetangga kita? Enggak, enggak! Enggak ada yang namanya perceraian!"Kaori meniup ujung poninya lalu bertopang dagu. Dia tahu kalau dirinya akan disidang habis-habisan oleh ibu mertua dan ibunya sendiri sesudah dia menyatakan niatnya yang ingin bercerai dengan Davin, pria yang dijodohkan dengannya yang tak lain dan tak bukan adalah rivalnya sejak jaman SMA, yang juga anak dari sahabat mamanya sejak duduk di bangku SD.Ah, ya ampun! Mereka ini memang sahabat rempong! Hobinya mengurusi masalah anak dan menantu! Kaori benar-benar jengkel dibuatnya."Kaori, kamu masih ingat kan, resepsi pernikahan kalian itu diadakan tiga
Bab. 1\ Jodoh dari lahir****"Gimana kalau setelah tamat kuliah nanti, Davin sama Kaori kita nikahin?""Wah! Ide bagus itu, Say! Lagian, mereka kan udah dekat. Dari kecil sampai sekarang, sekolahnya juga bareng terus. Mungkin, memang udah jodoh."Kaori mendelik, begitu pun Davin. Ketika Kaori menunjukkan ekspresi ingin muntah, Davin pun melakukan hal yang sama."Gimana, Pa? Setuju nggak kalau Davin nikahin Kaori? Davin kan juga udah punya usaha sendiri. Jadi, nggak harus nunggu dia kerja dulu buat ngelamar Kaori." Bella menoleh menatap Fatih, suaminya, yang kemudian mengangguk."Papa sih setuju-setuju aja. Yang penting, bibit, bebet, dan bobotnya sudah jelas.""Kalau Papi, setuju nggak kalau misalnya Kaori ini jadi mantunya kita?" Gantian Kintan yang bertanya pada suaminya.Surya mengangguk. "Papi sih semua terserah mereka. Kalau mereka saling su
😊 selamat membaca~~~***Berbulan-bulan kemudian, setelah Kaori dan Davin menyelesaikan pendidikan sarjananya, pertemuan keluarga kembali dilakukan. Seperti sebelumnya, untuk mengatur perjodohan keduanya yang masih tertunda akibat penolakan Kaori maupun Davin waktu itu."Jadi, gimana? Apa kalian masih menolak perjodohan ini?" Kintan memulai sesi pertanyaannnya.Kaori dan Davin mengangguk kompak."Apa belum cukup waktu enam bulan untuk memikirkan keputusan kalian itu? Kami sudah cukup sabar untuk menunggu kepastian dari kalian loh ini, Kaori, Davin...." Bella menimpali dan mendengus frustasi."Ma, keputusannya kan udah jelas. Kaori nggak mau nikah sama Davin. Kami juga nggak saling cinta. Buat apa coba nikah tanpa cinta?" protes Kaori, nyaris putus asa. Rasanya dia sudah lelah untuk berkata tidak setiap kali mamanya memaksanya untuk menerima perjodohan itu. Padahal sudah berkali
*Masih sepi, nggak pa-pa. I'm fine 😌***Bab 3. Perfect Wedding"Saya terima nikah dan kawinnya Kaori Larasati Binti Fatih Wicaksono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ucap Davin lantang dan mantap. Ia bahkan tak menyangka bahwa dirinya akan semudah itu melontarkan ijab kabul.Davin kemudian menoleh menatap Kaori yang tampak termangu di sampingnya. Dia baru bereaksi ketika Davin menyenggol lengannya. Lalu, keduanya saling berpandangan, dan saat itulah Davin melihat ada kesedihan di matanya. Kesedihan yang merupakan gambaran hatinya. Davin tahu apa yang tengah dirasakan oleh Kaori saat ini, karena dia pun merasakan hal yang sama. Hanya saja, dia mampu menutupi rasa itu dibandingkan Kaori.Pernikahan ini, bukanlah pernikahan impian mereka."Bella! Akhirnyaaa!" Kintan memeluk Bella dan mereka menangis bersama di hadapan Davin dan Kaori.