Share

13. Sedikit rasa peduli

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.

Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial F******k, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak status dan foto terbaru Maya di sana, bahkan sepuluh menit yang lalu dengan caption yang membuat alis Kaori terangkat membacanya.

"Kangen kamu."

Saking lamanya tidak membuka F******k, Kaori sampai tidak tahu kalau selama ini ternyata Maya kembali aktif setelah beberapa tahun dia hilang dari peredaran. Kaori bingung, harus mengiriminya pesan melalui inbox atau tidak. Dia tidak yakin kalau Maya akan membalasnya, karena sepertinya, Maya bukanlah Maya yang dia kenal dulu. Entahlah, mungkin waktu memang bisa mengubah seseorang.

Pada akhirnya, Kaori kembali menutup laptopnya dan memutuskan untuk tidur. Lagi pula, untuk apa dia memikirkan seseorang yang bahkan mungkin tak lagi mengingatnya.

***

"Mau ke mana?" tanya Davin, saat dilihatnya Kaori sudah rapih. Padahal, jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

"Nyari kerja."

Davin mengernyit seraya mengamati penampilan Kaori pagi itu. Selain tas yang Davin yakin barang branded, cewek itu juga mengenakan pakaian yang lebih cocok dipakai untuk fashion show, glamor dan menor pula.

"Itu muka kenapa lagi ditabok-tabokin gitu sampe merah?"

Kaori mendengkus malas. "Terserah lo deh mau ngomong apa."

"Lo yakin mau ngelamar kerja kayak gini?"

"Iya, kenapa, sih?"

"Nggak bakal diterima."

"Nggak mungkinlah ada perusahaan yang mau nolak lamaran kerja cewek sosialita kayak gue. Hellooowwww!" Kaori mau tak mau menjadi lebay beberapa saat. Dia juga segera memakai kacamata hitam sebagai bentuk totalitasnya untuk melamar pekerjaan hari ini. Pokoknya, penampilan wajib nomor satu.

"Ya emang gitu kenyataannya. Tas lo aja bermerek gitu. Dari pakaian lo aja kelihatan kalo lo itu nggak butuh kerja. Yang dicari di dunia kerja itu adalah, orang-orang yang benar-benar butuh kerja, makan, dan duit. Bukan buat cari pengalaman atau semacamnya."

Kaori mengibaskan rambutnya dengan cara berlebihan. "Udah, ah. Lo tuh udah kayak nyokap gue, cerewet. Gue pergi dulu, bye!"

Melihat Kaori melenggang menuju pintu, Davin hanya mendengus lalu geleng-geleng kepala. Taruhan! Kaori pasti nggak bakalan dapat kerja dengan penampilannya yang sekarang. Dipikirnya, nyari kerja itu gampang apa? Apalagi, Kaori adalah manusia ciptaan Tuhan yang nggak mau capek kalau bukan karena terpaksa. Dia pasti memilih pekerjaan dengan gaji besar yang mampu memenuhi kebutuhannya akan barang-barang mahal, sekaligus pekerjaan yang patut untuk dipamerkan. Yakin, tuh cewek pasti bakalan pulang sambil mewek. Davin yakin seratus persen. Kaori kan anak manja, mana bisa apa-apa.

***

"Put, lo yakin mereka lagi buka lowongan pekerjaan?" tanya Kaori pada Putri yang bertugas menemaninya hari ini untuk mencari kerja.

Dan pagi ini, mereka sudah berada di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi. Tempatnya tak jauh dari kampus mereka dulu.

"Kata temen gue sih iya. Ya udah lo masuk gih, tanya-tanya dulu sana!"

"Okey," ucap Kaori dan bergegas turun dari mobil.

"Ri?" Putri memanggil sebelum Kaori beranjak.

"Ya?"

"Lo yakin, mau masuk dengan dandanan kayak begini? Lebay tau nggak? Itu kacamata tolong deh diamankan dulu! Sini, sini!" Putri menjulurkan tangannya, hendak mengambil kacamata hitam yang dipakai Kaori.

"Kenapa sih emangnya? Sama aja lo sama si Davin. Bisanya komentar doang."

"Ya tapi emang lebay, gila. Gimana sih lo!"

Kaori mendecih, namun tetap melepaskan kacamatanya dan menyodorkannya pada Putri. "Awas lecet. Mahal tuh!"

"Iya, iya!" Putri pun langsung memakai kacamata tersebut dan tersenyum menyeringai. "Semangat, ya! Gue keliling sebentar, entar telepon aja kalo udah selesai."

"Okey."

***

Kaori menyisiri rambutnya yang halus dengan jari-jari lentiknya yang diberi kuteks berwarna merah muda. Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya dia diberikan kesempatan untuk bertemu langsung dengan pimpinan personalia yang merupakan seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal dan berwajah jutek.

"Sepertinya kamu belum pernah bekerja, ya? Karena saya nggak ada lihat pengalaman kerja kamu," ujar wanita bernama Melisa itu seraya membolak-balik CV milik Kaori.

Kaori mengangguk mantap. "Ya, Ibu benar sekali. Saya memang belum punya pengalaman kerja apa pun."

"Kamu mau digaji berapa?"

Waw! Pertanyaan yang bagus. Kaori tidak mengira kalau dia akan ditawari secepat ini.

"Sepuluh juta atau lebih juga nggak masalah, sih, Bu. Cukuplah buat nambah-nambah beli skincare saya."

Beberapa pekerja wanita yang ada di ruangan itu tampak cekikikan ketika Kaori berkata demikian.

Melisa mendelik. "Okey, tapi mohon maaf, ya, Mbak, kami sedang tidak membuka lowongan."

"A-apa?"

"Sepertinya, Mbak ini orang yang sangat mampu. Tas yang Mbak pakai juga pasti harganya sebanding dengan gaji kami semua yang dijadikan satu selama satu tahun," Melisa memandang berkeliling, pada rekan kerjanya yang lain, "jadi, mohon maaf, Mbak bisa cari lowongan di tempat lain. Terima kasih."

Kaori mendengus kesal. "Okey."

Kepergian Kaori pun diiringi tatapan orang-orang di dalam ruangan. Kaori bahkan sempat mendengar mereka menggibahinya.

"Anak sultan kayaknya, Mbak!"

"Kayaknya nggak bisa kerja tuh dia. Kelihatan dari mukanya."

"Minta digaji gede lagi. Hahaha. Yang benar aja."

"Sok cantik juga kayaknya."

Kaori menggertakkan giginya. Dia butuh kacamatanya sekarang! Rasanya, dia benar-benar ingin menangis.

****

"Gue nggak apa-apa ditolak, asalkan gue jangan dikata-katain dong! Kesel tau nggak?!" Kaori marah-marah pada saat Putri menanyainya.

"Ya udah, ya udah, mendingan kita pulang aja gimana?"

"Tapi, gue belum dapet kerja, Put!"

"Kita bisa coba lagi besok."

"Gue nggak mau. Gue harus dapat kerja hari ini juga, Put."

Putri adalah orang yang anti ribut dan ribet, jadi dia akhirnya melajukan mobilnya. "Ya udah, ya udah, kita cari lagi yaaaa."

"Ikhlas nggak lo? Kalo enggak, ya udah biarin gue sendiri aja yang nyari."

"Ikhlaaaas doooong! Kan, kita sohiiiib," ucap Putri dengan gigi rapat. Tak lupa dia memberikan senyum terbaik agar Kaori tidak tahu dia sedang berdusta.

***

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi sampai detik ini, Kaori belum juga mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan perusahaan yang didatanginya sedang tidak membuka lowongan. Jadilah keduanya duduk di sebuah cafe remang-remang yang ramai didatangi kawula muda. Kaori baru ingat kalau malam itu, malam Minggu.

"Pantesan tadi cowok gue ngajak jalan, ternyata mau ngajak malam mingguan," ucap Putri nelangsa.

Kaori mendecih. "Jadi, ceritanya, gue ngerusak malam Minggu lo sama cowok lo, gitu? Lo nyesel seharian nemenin gue?"

"Enggaklah, lo kan panutan gue." Putri malas ribut dan ribet, jadi mendingan dia mengalah saja. "Eh, by the way, Davin nggak ada nyariin lo dari tadi?"

Kaori menyalakan layar ponselnya. Sebenarnya ada. Bahkan panggilannya ada belasan kali. Tapi, Kaori sedang malas membacanya. Jadi, dia memutuskan untuk mengabaikannya saja.

"Ada sih, tapi nggak gue ladenin."

"Kenapa? Jangan-jangan, dia khawatir sama lo!"

"Enggak mungkinlah! Davin nggak sepeduli itu sama gue."

"Kenapa enggak? Gimana pun juga, lo itu kan istrinya. Kalo kenapa-kenapa, dia juga yang repot."

"Udahlah, lo kebanyakan baca novel romantis. Davin nggak gitu pokoknya."

Putri hanya mendengkus dan tidak membalas lagi.

***

Davin bolak-balik mengecek ponselnya dan Kaori masih belum membaca pesannya. Bahkan telponnya pun tidak diangkat. Davin tidak mengerti dengan dirinya, ada sesuatu yang membuatnya terus mengkhawatirkan Kaori. Bagaimana tidak? Cewek itu sudah seharian pergi mencari kerja, tapi sampai detik ini belum juga pulang.

"Ke mana, sih? Aktif tapi telpon nggak diangkat," gerutu Davin kesal.

Davin lalu meraih kunci mobilnya, berniat untuk mencari keberadaan Kaori. Davin takut dia kenapa-kenapa. Bagaimanapun juga, dia adalah suaminya dan Kaori merupakan tanggung jawabnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status