Share

BAB 5

Pak Badri membawa aku dan Serena ke rumah lama kami. Rumah sebelum papa dan mama sukses memiliki rumah sakit Health.

Rumah ini memang jauh lebih kecil dari rumah yang baru kutinggalkan tadi tapi rumah ini sama terawat dan layak untuk ditinggali.

"Sudah sampai dokter, ayo kita turun." Serena mengajakku turun karena aku hanya melamun menatap rumah ini.

Pak Badri menemani dan membantu membawakan koper kami ke dalam rumah dan pamit setelah memasukannya.

"Besok saya akan ada di sini jam tujuh pagi. Siapa tahu dokter atau Serena mau pergi."

"Iya pak. Terima kasih." Serena yang menjawab karena aku langsung masuk ke dalam rumah melihat-lihat.

Keadaan di rumah sangat bersih seperti sengaja dibersihkan untuk kedatanganku.

Aku tak begitu ingat kapan pindah dari rumah ini karena saat itu usiaku masih kecil. Katanya kami pindah saat usiaku tiga tahun.

Meski tidak dihuni rumah ini tidak terlupakan untuk papa. Setiap satu bulan sekali saat masih SD papa membawa kami menginap atau sekedar membersihkannya dan beliau selalu berkata. Jangan jual rumah ini kecuali dalam posisi sangat-sangat dibutuhkan.

Rumah satu lantai ini terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang keluarga dan satu dapur. Ada ruang cuci dan jemur di belakang dan di depan ada kursi kayu untuk duduk. 

Aku langsung memasuki kamar utama. Serena mengikutiku dengan menggerek koperku. 

"Kau bisa tinggalkan aku Serena, aku akan istirahat."

Serena keluar tanpa kata setelah meletakan koper didekat lemari.

***

Matahari sudah berada tepat di atas kepala ketika pintu rumah diketuk. Serena ketika itu sedang sibuk membereskan piring yang selesai kugunakan untuk makan siang. Kami berdua menatap pintu yang teketuk diujung ruangan sana.

"Biar saya buka dokter." Dia meninggalkan piring-piring yang sedang ia tumpuk tadi.

"Dokter ada pengacara Jundi datang." Dia adalah pengacara papa. 

Aku dan Pak Jundi duduk di ruang keluarga. Di sofa kulit berwarna coklat yang sudah berada di rumah ini sejak jaman dulu.

"Senang rasanya melihat Anda duduk sehat seperti ini lagi." Dia tersenyum menatapku. "Andai papa Anda masih ada, beliau pasti akan bahagia."

"Apa Andrew yang mengirim Anda ke sini?" Buru-buru ku potong pembicaraan tentang papa yang pasti akan membuat air mataku keluar lagi.

"Betul, semalam Andrew menelepon saya untuk memberi tahu apa saja harta miliik Anda." 

Mendengar pak Jundi berbicara tentang harta hatiku semakin panas. Mengapa yang dipikiran Andrew hanya harta saja. Apakah dirinya tidak peduli kepadaku sebagai adik?

"Anda jangan salah paham Andreas. Tentu hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan pahaman lagi diantara kalian."

Tak ada kesalah pahaman? Semuanya jelas bahwa Andrew membuangku, mungkin karena Anna. 

"Harta apa yang Anda maksud?" Kuputuskan untuk mendengar kabar apa yang akan disampaikan pak Jundi.

"Harta warisan dari papa Anda. Pak Markus Adrison. "

Pak Jundi membuka berkas milik keluarga kami.

"Saya langsung bacakan ya."

"Harta warisan yang Andreas Adrison dapatkan adalah bagian rumah utama sebesar 40% yang sudah di jual kepada Andrew Adrison..."

"Kapan saya menjualnya pak Jundi?" Aku protes.

"Biar saya lanjutkan dulu, kemudian harta warisan yang di dapat lagi ialah rumah ini beserta tanah seluruhnya, tanah yang ada di daerahXxx, kantor Daily Health dan tiga buah mobil mewah merek xx, xxx, xxxx, serta mendapatkan tunjangan uang makan, pemeliharan serta kebersihan rumah dan gaji pegawai di sesuaikan dengan pendapatan  yayasan rumah sakit Health."

"Tunggu, kenapa Daily Health diberikan padaku sedangkan itu kantor milik Andrew? Dia yang membangun bisnis itu dan aku mendedikasikan hidupku kepada kesehatan dan rumah sakit. Lalu siapa sekarang Direktur Utama rumah sakit?" Kupastikan apa yang ku duga-duga.

"Andrew Adrison, kakak Anda."

Lagi-lagi Andrew mengambil apa yang ku punya dan kuusahakan.

"Tenanglah dulu Andreas. Ini adalah  keputusan panjang yang papa Anda ambil. Beliau tidak ingin kalau rumah sakit hancur karena tidak ada yang memimpin pada saat itu. Jadi pak Markus terpaksa memberikannya kepada Andrew."

"Kalau begitu karena saya sudah sadar, saya  yang sekarang akan memimpin."

"Tidak bisa begitu Andreas, ayahmu sudah mewariskan secara tertulis dan dilindungi negara."

"Brengsek!! Dulu dia mati-matian menolak menjadi dokter dan ingin menjadi pebisnis saja." Aku memegang kepalaku. "Pak Jundi tahu? Setengah mati saya belajar untuk jadi dokter dan menjadi penerus rumah sakit. Bahkan papa sudah memupukku jadi penerusnya karena Andrew menolak.  Sampai aku tak punya teman satu pun karena selalu belajar. Harusnya karena aku sudah sadar dia bisa secara sukarela memberikannya." Aku menumpahkan amarahku pada pak Jundi. 

"Kau harus tanyakan sendiri hal itu." Aku menarik napasku. Menjeda perbicangan kami.

"Lalu rumah jatah warisan saya kenapa bisa terjual kepada Andrew? Saya kan tidak pernah menjual rumah itu?"

"Rumah itu dijual satu tahun yang lalu untuk membayar biaya perawatan Anda dan Daily Health yang di ujung tanduk."

"Jadi selama tujuh tahun ini saya membiayai rumah sakit saya sendiri?" 

"Kira-kira lima tahun. Dua tahun setelah almarhum pak Markus meninggal rumah sakit kacau balau. Ada seorang dokter yang menggunakan obat yang sudah dilarang di pasaran saat melakukan operasi pada anak. Anak itu meninggal dan orang tuanya menuntut. Rumah sakit di dakwa dan ijin praktek bedah anak di cabut sampai sekarang. Itu membuat rumah sakit tidak mampu membiayai pengobatan Anda sepenuhnya karena hampir bangkrut. Jadi Ands dan rumah sakit membayar 50:50. Untuk membayar 50 persen yang kurang diambil dari Daily Health."

"Lalu kenapa aku dapat 40% saja dari rumah?"

"20% milik ibu Anda. Tapi sudah beliau jual juga untuk mempertahankan Daily Health. "

"Argh!!!" Aku mengacak-ngacak kepalaku. Aku marah entah kepada Andrew atau kepada diriku.

"Ayah Anda tidak pernah menyebutkan jika Anda sadar kembali bisa mengambil posisi Andrew. Beliau hanya berpesan jika Anda bangun Anda bisa masuk kembali ke tim dokter bedah di rumah sakit Health atau melanjutkan Daily Health"

Rasanya hatiku dipenuhi dengan amarah. Kami berdua terdiam cukup lama. Hingga pak Jundi memulai pembicaraan.

"Andreas semua sudah saya katakan. Jika tidak ada yang kamu tanyakan, saya harus pamit." Pak Jundi keluar rumah.

"Sialaaaan." Aku membalikan meja dengan keras. Meja yang terbuat dari kaca itu pecah berhamburan.

"Dokter apa yang terjadi?"

Aku beringsut ke sofa. Badanku gemetaran tak karuan. Ketakutan tiba-tiba saja memenuhi tubuhku. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena semuanya terlihat gelap. Aku pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status