Share

BAB 5

last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-11 22:49:36

Pak Badri membawa aku dan Serena ke rumah lama kami. Rumah sebelum papa dan mama sukses memiliki rumah sakit Health.

Rumah ini memang jauh lebih kecil dari rumah yang baru kutinggalkan tadi tapi rumah ini sama terawat dan layak untuk ditinggali.

"Sudah sampai dokter, ayo kita turun." Serena mengajakku turun karena aku hanya melamun menatap rumah ini.

Pak Badri menemani dan membantu membawakan koper kami ke dalam rumah dan pamit setelah memasukannya.

"Besok saya akan ada di sini jam tujuh pagi. Siapa tahu dokter atau Serena mau pergi."

"Iya pak. Terima kasih." Serena yang menjawab karena aku langsung masuk ke dalam rumah melihat-lihat.

Keadaan di rumah sangat bersih seperti sengaja dibersihkan untuk kedatanganku.

Aku tak begitu ingat kapan pindah dari rumah ini karena saat itu usiaku masih kecil. Katanya kami pindah saat usiaku tiga tahun.

Meski tidak dihuni rumah ini tidak terlupakan untuk papa. Setiap satu bulan sekali saat masih SD papa membawa kami menginap atau sekedar membersihkannya dan beliau selalu berkata. Jangan jual rumah ini kecuali dalam posisi sangat-sangat dibutuhkan.

Rumah satu lantai ini terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang keluarga dan satu dapur. Ada ruang cuci dan jemur di belakang dan di depan ada kursi kayu untuk duduk. 

Aku langsung memasuki kamar utama. Serena mengikutiku dengan menggerek koperku. 

"Kau bisa tinggalkan aku Serena, aku akan istirahat."

Serena keluar tanpa kata setelah meletakan koper didekat lemari.

***

Matahari sudah berada tepat di atas kepala ketika pintu rumah diketuk. Serena ketika itu sedang sibuk membereskan piring yang selesai kugunakan untuk makan siang. Kami berdua menatap pintu yang teketuk diujung ruangan sana.

"Biar saya buka dokter." Dia meninggalkan piring-piring yang sedang ia tumpuk tadi.

"Dokter ada pengacara Jundi datang." Dia adalah pengacara papa. 

Aku dan Pak Jundi duduk di ruang keluarga. Di sofa kulit berwarna coklat yang sudah berada di rumah ini sejak jaman dulu.

"Senang rasanya melihat Anda duduk sehat seperti ini lagi." Dia tersenyum menatapku. "Andai papa Anda masih ada, beliau pasti akan bahagia."

"Apa Andrew yang mengirim Anda ke sini?" Buru-buru ku potong pembicaraan tentang papa yang pasti akan membuat air mataku keluar lagi.

"Betul, semalam Andrew menelepon saya untuk memberi tahu apa saja harta miliik Anda." 

Mendengar pak Jundi berbicara tentang harta hatiku semakin panas. Mengapa yang dipikiran Andrew hanya harta saja. Apakah dirinya tidak peduli kepadaku sebagai adik?

"Anda jangan salah paham Andreas. Tentu hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan pahaman lagi diantara kalian."

Tak ada kesalah pahaman? Semuanya jelas bahwa Andrew membuangku, mungkin karena Anna. 

"Harta apa yang Anda maksud?" Kuputuskan untuk mendengar kabar apa yang akan disampaikan pak Jundi.

"Harta warisan dari papa Anda. Pak Markus Adrison. "

Pak Jundi membuka berkas milik keluarga kami.

"Saya langsung bacakan ya."

"Harta warisan yang Andreas Adrison dapatkan adalah bagian rumah utama sebesar 40% yang sudah di jual kepada Andrew Adrison..."

"Kapan saya menjualnya pak Jundi?" Aku protes.

"Biar saya lanjutkan dulu, kemudian harta warisan yang di dapat lagi ialah rumah ini beserta tanah seluruhnya, tanah yang ada di daerahXxx, kantor Daily Health dan tiga buah mobil mewah merek xx, xxx, xxxx, serta mendapatkan tunjangan uang makan, pemeliharan serta kebersihan rumah dan gaji pegawai di sesuaikan dengan pendapatan  yayasan rumah sakit Health."

"Tunggu, kenapa Daily Health diberikan padaku sedangkan itu kantor milik Andrew? Dia yang membangun bisnis itu dan aku mendedikasikan hidupku kepada kesehatan dan rumah sakit. Lalu siapa sekarang Direktur Utama rumah sakit?" Kupastikan apa yang ku duga-duga.

"Andrew Adrison, kakak Anda."

Lagi-lagi Andrew mengambil apa yang ku punya dan kuusahakan.

"Tenanglah dulu Andreas. Ini adalah  keputusan panjang yang papa Anda ambil. Beliau tidak ingin kalau rumah sakit hancur karena tidak ada yang memimpin pada saat itu. Jadi pak Markus terpaksa memberikannya kepada Andrew."

"Kalau begitu karena saya sudah sadar, saya  yang sekarang akan memimpin."

"Tidak bisa begitu Andreas, ayahmu sudah mewariskan secara tertulis dan dilindungi negara."

"Brengsek!! Dulu dia mati-matian menolak menjadi dokter dan ingin menjadi pebisnis saja." Aku memegang kepalaku. "Pak Jundi tahu? Setengah mati saya belajar untuk jadi dokter dan menjadi penerus rumah sakit. Bahkan papa sudah memupukku jadi penerusnya karena Andrew menolak.  Sampai aku tak punya teman satu pun karena selalu belajar. Harusnya karena aku sudah sadar dia bisa secara sukarela memberikannya." Aku menumpahkan amarahku pada pak Jundi. 

"Kau harus tanyakan sendiri hal itu." Aku menarik napasku. Menjeda perbicangan kami.

"Lalu rumah jatah warisan saya kenapa bisa terjual kepada Andrew? Saya kan tidak pernah menjual rumah itu?"

"Rumah itu dijual satu tahun yang lalu untuk membayar biaya perawatan Anda dan Daily Health yang di ujung tanduk."

"Jadi selama tujuh tahun ini saya membiayai rumah sakit saya sendiri?" 

"Kira-kira lima tahun. Dua tahun setelah almarhum pak Markus meninggal rumah sakit kacau balau. Ada seorang dokter yang menggunakan obat yang sudah dilarang di pasaran saat melakukan operasi pada anak. Anak itu meninggal dan orang tuanya menuntut. Rumah sakit di dakwa dan ijin praktek bedah anak di cabut sampai sekarang. Itu membuat rumah sakit tidak mampu membiayai pengobatan Anda sepenuhnya karena hampir bangkrut. Jadi Ands dan rumah sakit membayar 50:50. Untuk membayar 50 persen yang kurang diambil dari Daily Health."

"Lalu kenapa aku dapat 40% saja dari rumah?"

"20% milik ibu Anda. Tapi sudah beliau jual juga untuk mempertahankan Daily Health. "

"Argh!!!" Aku mengacak-ngacak kepalaku. Aku marah entah kepada Andrew atau kepada diriku.

"Ayah Anda tidak pernah menyebutkan jika Anda sadar kembali bisa mengambil posisi Andrew. Beliau hanya berpesan jika Anda bangun Anda bisa masuk kembali ke tim dokter bedah di rumah sakit Health atau melanjutkan Daily Health"

Rasanya hatiku dipenuhi dengan amarah. Kami berdua terdiam cukup lama. Hingga pak Jundi memulai pembicaraan.

"Andreas semua sudah saya katakan. Jika tidak ada yang kamu tanyakan, saya harus pamit." Pak Jundi keluar rumah.

"Sialaaaan." Aku membalikan meja dengan keras. Meja yang terbuat dari kaca itu pecah berhamburan.

"Dokter apa yang terjadi?"

Aku beringsut ke sofa. Badanku gemetaran tak karuan. Ketakutan tiba-tiba saja memenuhi tubuhku. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena semuanya terlihat gelap. Aku pingsan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 29

    Amplop itu berisi akta kelahiran Key yang memang hal wajar diminta pihak sekolah sebagai syarat administrasi. Di dalam akta itu tertulis jika Key anak Marianna dan Andrew Adrison.Lalu mataku menangkap bukti lain."Tepat dugaanku." Aku meremas ujung foto copy akta kelahiran Key."Mereka bisa mengelabui orang lain tapi tidak denganku."Mereka kurang pandai berbohong. Memalsukan nama ayah tapi tidak dengan tanggal lahir Key."Key lahir tujuh bulan setelah aku koma. Kecurigaanku kemarin benar bahwa Key anakku dan ucapan Serena kemarin pasti ini maksudnya."Sebuah ingatan muncul di kepalaku."Andreas nikahin aku!" Samar terdengar suara Anna berteriak lalu setelah itu cahaya putih menyilaukan mataku muncul membuat ingatan itu lenyap. Tak hanya itu ulu hatiku seperti dibogem. Rasanya ingin muntah namun tertahan."Itu pasti ingatan sebelum kecelakaan, Anna memintaku menikahinya karena dia hamil anak kami?" Aku berusaha men

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 28

    Malam ini adalah malam berat bagi mereka semua. Langit seakan mendukung dengan menurunkan hujan dan petir. Andreas duduk termenung di atas kasur Serena. Kamar berserakan menjadi pemandangan naas yang menggambarkan perasaan Andreas. Serena menghentikan taksi di jalan gang menuju rumahnya. Ia menerobos gelapnya malam, dinginnya air hujan dan kengerian suara petir. Lampu rumah menyala dan terdengar suara tawa adik-adik sepupunya yang sedang menonton televisi. Tawa yang tidak pernah ia dapatkan selama hidup. Sejak kecil ibu meninggalkannya bekerja, sementara ayah sakit jantung. Bahkan sesekali ia menghabiskan malamnya di kamar rawat inap. Badan Serena sudah kuyup ketika sampai di teras rumah. Ia mengetuk rumah dengan perasaan takut kecewa. "Assalamualaikum." Suara tawa itu lenyap seketika di sambung bisikan-bisikan. "Ada yang bilang assalamualaikum." "Siapa-siapa?" "Waalaikumusalam." Suara seorang wanita p

  • Menikah dengan Pria Lain   Bab 27

    Ketika dokter keluar dari ruangan Andrew juga sudah beradan di sana. Ia sudah kepikiran sejak tadi. Rapat yang agendanya belum terbahas semua sengaja ia hentikan agar bisa turun ke ruang UGD mengetahui kondisi Anna. Namun, meskipun pikirannya sudah campur aduk namun ekspresi wajahnya tetap tenang nyaris tanpa ekspresi. "Dokter bagaimana menantu dan cucu saya?" "Masih harus di pantau Bu, Pak. Ada kontraksi dari janin. Kalau dalam satu jam ke depan ibu Anna masih tinggi tensinya upaya terbaiknya adalah operasi. Kami takut bayi dalam kandungannya juga stress hingga mengeluarkan kotoran. Berbahaya jika bayi buang air besar dalam kandungan karena bisa meracuni air ketuban dan diminum oleh bayi. Harapan kami ibu Anna tidak di operasi, mengingat kandungannya masih delapan bulan." "Kenapa baru delapan bulan ada kontraksi?" Andrew langsung berbaur dengan percakapan keduanya. "Sepertinya efek dari obat yang dikonsumsi ibu Anna." "Obat apa?" Tanya

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 26

    Kejadian Anna Ruangan UGD di sibukan dengan berbagai pasien yang datang dengan kasus yang harus segera ditangani. Elisa, ibu Andreas baru saja tiba berbarengan dengan Anna yang sedang ditangani oleh dokter. "Apa yang terjadi?" Tanya dokter jaga UGD kepada salah satu asisten Anna bernama Ria. "Tadi anaknya nyonya muda hilang di mall, kami panik cari-cari, terus nyonya muda minta di ambilin obat ini dalam tas. Habis minum obat tau-tau perutnya sakit." Dokter mengambil obat yang di tunjukan Ria. Membaca apa yang tertera dalam label obat itu. "Ini gak boleh dikonsumsi wanita hamil!" Dokter terbelalak mengetahui apa yang tertulis di botol itu. "Saya gak tahu itu apa dok, saya pikir vitamin." Dokter tidak menanggapi bahkan tidak mendengarkan perkataan Ria sampai tuntas. "Ria apa yang terjadi?" "Nyonya besar?" Ria terkejut melihat Elisa yang sudah ada di belakangnya. Ria kemu

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 25

    Serena keluar membantingkan pintu mobil. Dia tidak seperti Serena yang ku kenal. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. "Serena kenapa kamu begitu marah?" Aku menarik tangannya sebelum dia masuk ke rumah. "Saya tak habis pikir, Anda masih bertanya kenapa saya marah?" Ini adalah sisi ke kanak-kanak an Serena yang baru ku ketahui. Ia seperti seorang gadis yang marah pada kekasihnya lantaran ketahuan selingkuh. Padahal posisi ku adalah bosnya sendiri. "Kamu sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Harusnya kamu tidak semarah ini." "Saya tahu Anda akan balas dendam," . "Serena pelankan suaramu!" Perkataan Serena terhenti oleh pekataanku. Aku menoleh ke belakang melihat pak Badri yang masih berada di mobil seolah penasaran dengan kami yang sedari tadi hanya bungkam dalam perjalanan pulang. Ku beri tanda dia untuk pergi. "Ayo masuk dan duduk!" Suaraku tenang. Kami berdua masuk dan duduk di sofa

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 24

    "Dari mana saja Anda, Pak?" Serena bertanya padaku dengan tatapan setajam elang. "Saya pergi keluar sebentar." "Ke mana?" Aku tersenyum lebar sambil melewatinya. Senyuman untuk menghilangkan rasa kecil. Pertanyaan dan tatapan Serena membuatku merasa terintimidasi. Padahal dia hanya asistenku yang sebenarnya tidak ada alasan untukku merasakan itu. Bisa jadi karena aku telah berbuat salah kepada Key. Rasa bersalah itulah yang membuat aku terintimidasi oleh pertanyaan Serena. Tidak-tidak! Rasa iba ini hanya akan membuatku lemah lagi. Aku adalah Zoro, perbuatanku sekarang adalah buah dari perlakuan mereka padaku. Ini adil! Ini peradilan. "Pak Andreas, Anda baik-baik saja?" Tanpa kusadari sejak tadi Serena berjalan di sampingku. Pastilah dia membaca raut wajahku yang seperti orang berpikir berat. "Saya ingin makan." "Anda belum makan? Saya pikir Anda sudah makan diluar." Lagi-lagi Serena bertanya tajam. Seperti ibu mengintrogasi ana

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status