Pak Badri membawa aku dan Serena ke rumah lama kami. Rumah sebelum papa dan mama sukses memiliki rumah sakit Health.
Rumah ini memang jauh lebih kecil dari rumah yang baru kutinggalkan tadi tapi rumah ini sama terawat dan layak untuk ditinggali.
"Sudah sampai dokter, ayo kita turun." Serena mengajakku turun karena aku hanya melamun menatap rumah ini.
Pak Badri menemani dan membantu membawakan koper kami ke dalam rumah dan pamit setelah memasukannya.
"Besok saya akan ada di sini jam tujuh pagi. Siapa tahu dokter atau Serena mau pergi."
"Iya pak. Terima kasih." Serena yang menjawab karena aku langsung masuk ke dalam rumah melihat-lihat.
Keadaan di rumah sangat bersih seperti sengaja dibersihkan untuk kedatanganku.
Aku tak begitu ingat kapan pindah dari rumah ini karena saat itu usiaku masih kecil. Katanya kami pindah saat usiaku tiga tahun.
Meski tidak dihuni rumah ini tidak terlupakan untuk papa. Setiap satu bulan sekali saat masih SD papa membawa kami menginap atau sekedar membersihkannya dan beliau selalu berkata. Jangan jual rumah ini kecuali dalam posisi sangat-sangat dibutuhkan.
Rumah satu lantai ini terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang keluarga dan satu dapur. Ada ruang cuci dan jemur di belakang dan di depan ada kursi kayu untuk duduk.
Aku langsung memasuki kamar utama. Serena mengikutiku dengan menggerek koperku.
"Kau bisa tinggalkan aku Serena, aku akan istirahat."
Serena keluar tanpa kata setelah meletakan koper didekat lemari.
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala ketika pintu rumah diketuk. Serena ketika itu sedang sibuk membereskan piring yang selesai kugunakan untuk makan siang. Kami berdua menatap pintu yang teketuk diujung ruangan sana."Biar saya buka dokter." Dia meninggalkan piring-piring yang sedang ia tumpuk tadi.
"Dokter ada pengacara Jundi datang." Dia adalah pengacara papa.
Aku dan Pak Jundi duduk di ruang keluarga. Di sofa kulit berwarna coklat yang sudah berada di rumah ini sejak jaman dulu.
"Senang rasanya melihat Anda duduk sehat seperti ini lagi." Dia tersenyum menatapku. "Andai papa Anda masih ada, beliau pasti akan bahagia."
"Apa Andrew yang mengirim Anda ke sini?" Buru-buru ku potong pembicaraan tentang papa yang pasti akan membuat air mataku keluar lagi.
"Betul, semalam Andrew menelepon saya untuk memberi tahu apa saja harta miliik Anda."
Mendengar pak Jundi berbicara tentang harta hatiku semakin panas. Mengapa yang dipikiran Andrew hanya harta saja. Apakah dirinya tidak peduli kepadaku sebagai adik?
"Anda jangan salah paham Andreas. Tentu hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan pahaman lagi diantara kalian."
Tak ada kesalah pahaman? Semuanya jelas bahwa Andrew membuangku, mungkin karena Anna.
"Harta apa yang Anda maksud?" Kuputuskan untuk mendengar kabar apa yang akan disampaikan pak Jundi.
"Harta warisan dari papa Anda. Pak Markus Adrison. "
Pak Jundi membuka berkas milik keluarga kami.
"Saya langsung bacakan ya."
"Harta warisan yang Andreas Adrison dapatkan adalah bagian rumah utama sebesar 40% yang sudah di jual kepada Andrew Adrison..."
"Kapan saya menjualnya pak Jundi?" Aku protes.
"Biar saya lanjutkan dulu, kemudian harta warisan yang di dapat lagi ialah rumah ini beserta tanah seluruhnya, tanah yang ada di daerahXxx, kantor Daily Health dan tiga buah mobil mewah merek xx, xxx, xxxx, serta mendapatkan tunjangan uang makan, pemeliharan serta kebersihan rumah dan gaji pegawai di sesuaikan dengan pendapatan yayasan rumah sakit Health."
"Tunggu, kenapa Daily Health diberikan padaku sedangkan itu kantor milik Andrew? Dia yang membangun bisnis itu dan aku mendedikasikan hidupku kepada kesehatan dan rumah sakit. Lalu siapa sekarang Direktur Utama rumah sakit?" Kupastikan apa yang ku duga-duga.
"Andrew Adrison, kakak Anda."
Lagi-lagi Andrew mengambil apa yang ku punya dan kuusahakan.
"Tenanglah dulu Andreas. Ini adalah keputusan panjang yang papa Anda ambil. Beliau tidak ingin kalau rumah sakit hancur karena tidak ada yang memimpin pada saat itu. Jadi pak Markus terpaksa memberikannya kepada Andrew."
"Kalau begitu karena saya sudah sadar, saya yang sekarang akan memimpin."
"Tidak bisa begitu Andreas, ayahmu sudah mewariskan secara tertulis dan dilindungi negara."
"Brengsek!! Dulu dia mati-matian menolak menjadi dokter dan ingin menjadi pebisnis saja." Aku memegang kepalaku. "Pak Jundi tahu? Setengah mati saya belajar untuk jadi dokter dan menjadi penerus rumah sakit. Bahkan papa sudah memupukku jadi penerusnya karena Andrew menolak. Sampai aku tak punya teman satu pun karena selalu belajar. Harusnya karena aku sudah sadar dia bisa secara sukarela memberikannya." Aku menumpahkan amarahku pada pak Jundi.
"Kau harus tanyakan sendiri hal itu." Aku menarik napasku. Menjeda perbicangan kami.
"Lalu rumah jatah warisan saya kenapa bisa terjual kepada Andrew? Saya kan tidak pernah menjual rumah itu?"
"Rumah itu dijual satu tahun yang lalu untuk membayar biaya perawatan Anda dan Daily Health yang di ujung tanduk."
"Jadi selama tujuh tahun ini saya membiayai rumah sakit saya sendiri?"
"Kira-kira lima tahun. Dua tahun setelah almarhum pak Markus meninggal rumah sakit kacau balau. Ada seorang dokter yang menggunakan obat yang sudah dilarang di pasaran saat melakukan operasi pada anak. Anak itu meninggal dan orang tuanya menuntut. Rumah sakit di dakwa dan ijin praktek bedah anak di cabut sampai sekarang. Itu membuat rumah sakit tidak mampu membiayai pengobatan Anda sepenuhnya karena hampir bangkrut. Jadi Ands dan rumah sakit membayar 50:50. Untuk membayar 50 persen yang kurang diambil dari Daily Health."
"Lalu kenapa aku dapat 40% saja dari rumah?"
"20% milik ibu Anda. Tapi sudah beliau jual juga untuk mempertahankan Daily Health. "
"Argh!!!" Aku mengacak-ngacak kepalaku. Aku marah entah kepada Andrew atau kepada diriku.
"Ayah Anda tidak pernah menyebutkan jika Anda sadar kembali bisa mengambil posisi Andrew. Beliau hanya berpesan jika Anda bangun Anda bisa masuk kembali ke tim dokter bedah di rumah sakit Health atau melanjutkan Daily Health"
Rasanya hatiku dipenuhi dengan amarah. Kami berdua terdiam cukup lama. Hingga pak Jundi memulai pembicaraan.
"Andreas semua sudah saya katakan. Jika tidak ada yang kamu tanyakan, saya harus pamit." Pak Jundi keluar rumah.
"Sialaaaan." Aku membalikan meja dengan keras. Meja yang terbuat dari kaca itu pecah berhamburan.
"Dokter apa yang terjadi?"
Aku beringsut ke sofa. Badanku gemetaran tak karuan. Ketakutan tiba-tiba saja memenuhi tubuhku. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena semuanya terlihat gelap. Aku pingsan.
Aku terbangun karena mendengar suara percakapan dari luar. Itu adalah suara mama sedang berbicara dengan Serena."Ma-ma," Aku memanggil mama seperti anak kecil.Mama masuk ke kamar. Wajahnya bagaikan matahari pagi, hangat dan menenangkan. Kemudian ia duduk di kasur. Aku memeluk pinggang mama, meletakan kepalaku di atas pahanya. Aku lelah, rasanya semuanya terlalu mengejutkan, terlalu tidak masuk akal. Dua hari lalu yang ku ingat aku adalah lelaki dengan karir, asmara dan keluarga yang sempurna namun tiba-tiba ketika aku bangun semuanya sudah tidak ada.. Ayahku, pekerjaanku, kekasihku, jabatanku. Semuanya sudah direbut orang lain yaitu kakakku sendiri."Tenang anakku, tenang." Mama mengelus kepalaku.Meski rasanya dunia akan runtuh di samping mama aku merasa tenang."Harta, jabatan bahkan orang yang kita cintai dan mencintai kita bisa pergi kapan saja tapi ketika mereka pergi jangan sampai mengubah kualitas dirimu. Kamu punya mimpi yang luar biasa i
Aku terbangun karena rasa haus. Kulihat jam di dinding menunjukan angka empat. Sontak aku terduduk. Kulihat bajuku sudah berganti piyama dan aku sudah berada di kamarku."Kapan aku pulang?" Ingatan terakhirku adalah aku muntah di kamar mandi rumah sakit.Aku keluar kamar. Ku dengar bunyi-bunyian dari dapur. Serena sedeng memotong kentang."Serena tolong ambilkan air putih." Serena terkejut karena aku berjalan tanpa suara ke dapur.Serena memberiku segelas air putih. Aku meneguk gelas itu hingga kering, kemudian menatap gelas itu."Tadi nyonya besar, tuan Andrew dan dokter Daniel ke sini. Namun sudah pulang lagi sebelum Anda bangun.""Serena aku harus bagaimana sekarang?" Serena tidak menjawab. "Apa aku bisa hidup seperti dulu lagi?""Saya yakin bahwa dokter akan hidup lebih bahagia dari dulu." Serena pergi lagi ke dapur.Perkataan Serena melampaui pikiranku. Bisakah aku yang tak punya apa-apa ini akan jauh lebih bahagia?
Aku duduk di hadapan pusara papa. Menatap batu nisan dengan nama lengkapnya. Tanganku bergetar menahan tangis."Maafkan aku pa ga bisa menemanimu disaat terakhirmu." Permintaan maaf yang sia-sia karena papa tidak bisa mendengarnya.Ku bacakan doa untuk papa sembari tanganku sibuk mencabuti rumput liar.Serena memberiku ranting pohon berisi beberapa helai daun yang baru saja ia petik. "Dokter, kata orang jika daun ini di simpan di atas kuburan maka orang yang berada di dalam kuburan akan merasa teduh karena terpayungi hingga daunnya layu."Aku menerima daun itu dan melakukan apa yang Serena anjurkan."Mari dokter kita pulang. Hari semakin terik, anda bisa kelelahan.""Aku ingin berbicara berdua dengan tuan besar. Kamu duluan saja ke mobil.""Baik dokter." Sebelum bicara ku pastikan Serena pergi menjauh."Papa, aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah sakit. Seperti yang papa katakan, harga diri a
Sebenarnya ingin ku gerbrak langsung meja ini karena mendengar ucapan Sonny yang menyangkut pautkan ketidak mampuan perusahaan dengan biaya rumah sakitku. Tak masuk akal. Kalau memang semiskin ini Daily Health mengapa seberani ini menyewa kantor di Tower 11 yang harganya selangit.Lantaran Sonny membahas soal uang aku langsung saja berpindah topik ke keuangan. "Natalie tolong perlihatkan aset kantor, gaji karyawan dan biaya pengeluaran setiap tahun dan setiap bulannya."Natalie terlihat tak siap untuk memaparkan apa yang aku minta. Ia gelagapan. "Cepat Natalie.""Baik pak akan saya ambil dulu."Natalie tak kunjung kembali juga ke ruangan, entah apa yang sedang dia lakukan. Aku jadi tak sabar. Ku suruh Bian untuk memanggilnya"Bian kamu panggilkan Natalie! kalau sampai kamu gak berhasil membawa dia dalam waktu lima menit saya pastikan kamu gak akan bekerja di sini lagi.""Baik pak." Bian takut mendengar ancamanku dan buru-buru ke luar rua
Suara ribut dan aroma masakan ternyata juga mengusik tim Wanda. Ketika aku ke sana beberapa sudah ada yang menebak-nebak menu apa yang disediakan dan sebagian lagi tidak sabar untuk makan. "Bagaimana ada kendala?" Tanyaku pada Wanda yang sedang sibuk mengambil data dari leptop Natalie. "Belum sama sekali karena kami juga belum memulainya. Kami baru saja mengambil data-data di leptop." "Kalian bisa makan dulu kalau setting makan siangnya sudah selesai ya." Wanda setuju dan menyuruh mahasiswa-mahasiwinya untuk makan secara bergantian sebelum memulai bekerja. Sementara setengah mahasiswanya makan setengah lagi bersaman Wanda sibuk mencetak dan membaca data-data keuangan yang akan diaudit. Aku memutuskan untuk menunggu Wanda selesai melakukan tugasnya. Aku ingin makan bersama dia. Aku dan Wanda adalah teman satu kampus. Kami berbeda jurusan namun dipertemukan dikegiatan organisasi, organisasi itulah yang juga mempertemukanku dengan Anna. H
Matahari hampir hilang ketika aku keluar dari Tower 11 bersama Serena. Aku pergi terlebih dahulu setelah sebelumnya membahas kinerja perusahaan bersama tim desain dan tim redaksi. Ketika aku pamit kepada Wanda yang masih sibuk mengecek hasil auditan murid-muridnya dia memperkenalkanku pada Sean. Seorang mahasiswa yang diberi kepercayaan mengetuai tim audit ini. "Jadi jika ada apa-apa kamu bisa langsung menghubunginya dan sebaliknya dia juga menghubungimu." Ucap Wanda. "Aku tidak akan setiap hari ke sini karena harus bekerja dan mengajar juga." Tambah Wanda. Setelah Sean bertukar nomor telepon dengan Serena kami pamit. Sesuai janjiku tadi pagi aku ingin membeli sebuah handphone terbaru, untuk itu kami pergi ke sebuah mall yang tak jauh dari lokasi Tower 11. "Merk apa yang bagus dan paling terbaru?" Aku bertanya kepada penjaga toko ketika sampai disebuah toko HP. "Mari sebelah sini pak." Penjaga toko itu mengajakku ke sebua
Entah mengapa aku berlari tanpa arah seperti orang yang ketakutan. Padahal dalam hal ini aku tidak salah apa pun. Aku tidak pernah dengan sengaja membuat diriku kecelakaan atau koma selama tujuh tahun. Kalianlah yang seharusnya malu dan meminta maaf. Mengetahui dia bisa tertawa lepas dengan pria lain seperti tadi membuat hatiku hancur dan aku tidak ingin melihat pemandangan itu. Andrew kehidupanmu sungguh sempurna, harusnya akulah yang ada diposisimu itu. "Pak Andreas," tiba-tiba ada yang menarik tangan dan memelukku. Aku terkejut tapi tidak melepaskan pelukan itu karena pelukannya begitu menenangkan. Aku sadar sekarang sedang berada di parkiran mobil lantai 5 dan orang yang memelukku adalah Serena. Ku lihat barang bawaan kami berceceran di lantai. Serena berkata pelan tanpa henti. "Tenang pak saya ada di sini, tenang." Aku hendak menyudahi pelukan ini tapi suara Serena, pelukannya dan gerakan tangan kanannya yang menepuk-nepuk pundakku menaha
Perasaan Serena Serena menatap langit-langit kamar. Malam ini ia berbaring dengan perasaan paling bahagia. Baginya hari ini adalah hari yang paling berbeda dalam hidupnya. Dia tiba-tiba memiliki profesi yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Menjadi seorang sekretaris. Serena tersenyum mengingat kejadian di mobil seusai pulang dari pemakaman, Andreas tiba-tiba menunjuknya menjadi sekretaris. Hanya sekretaris tanpa perlu memakai seragam dan membereskan rumah lagi. Serena bangun duduk, menatap kantong-kantong belanjaan yang ia beli tadi di mall. Ia menghampirinya mengambil salah satu pakaian dan menempelkannya di badan seraya berputar-putar di depan cermin besar yang terpaku di dinding kamar. Baju ini bukanlah baju mahal seperti yang digunakan Anna atau wanita-wanita kaya lainnya tapi sungguh Serena merasa bahagia karena yang memberikannya adalah Andreas. Aku tidak boleh mengecewakan pak Andreas secara visual maupun kemampuan. Pikirnya. Seren