Aku terbangun karena mendengar suara percakapan dari luar. Itu adalah suara mama sedang berbicara dengan Serena.
"Ma-ma," Aku memanggil mama seperti anak kecil.
Mama masuk ke kamar. Wajahnya bagaikan matahari pagi, hangat dan menenangkan. Kemudian ia duduk di kasur. Aku memeluk pinggang mama, meletakan kepalaku di atas pahanya. Aku lelah, rasanya semuanya terlalu mengejutkan, terlalu tidak masuk akal. Dua hari lalu yang ku ingat aku adalah lelaki dengan karir, asmara dan keluarga yang sempurna namun tiba-tiba ketika aku bangun semuanya sudah tidak ada.. Ayahku, pekerjaanku, kekasihku, jabatanku. Semuanya sudah direbut orang lain yaitu kakakku sendiri.
"Tenang anakku, tenang." Mama mengelus kepalaku.
Meski rasanya dunia akan runtuh di samping mama aku merasa tenang.
"Harta, jabatan bahkan orang yang kita cintai dan mencintai kita bisa pergi kapan saja tapi ketika mereka pergi jangan sampai mengubah kualitas dirimu. Kamu punya mimpi yang luar biasa ingin menyelamatkan harapan hidup terakhir banyak orang maka dari itu kamu menjadi dokter bedahkan?" Mama berbicara sambil terus mengelus kepalaku. "Mama harap ketika kamu siap kamu harus bangkit berdiri di meja bedahmu, menjadi harapan terakhir pasien-pasienmu lagi."
Perkataan mama benar tapi untuk melakukan itu tidaklah mudah.
***
Tujuh tahun berlalu kota ini semakin macet. Sudah hampir satu jam aku berada dalam mobil di tengah kemacetan. Mobil bergerak perlahan tak kunjung sampai ke rumah sakit.
Satu minggu telah berlalu dari hari di mana aku sadar. Aku mulai menjalani aktivitas sehari-hari dengan normal. Hal paling penting adalah aku sudah mengikhlaskan kenyataan yang terjadi. Aku pun sudah berusaha untuk memaafkan Andrew dan tidak mengusik jabatannya lagi.
Hari ini aku menuju rumah sakit Health untuk bertemu dengan Andrew dan mama. Sudah ku pikirkan matang. Aku siap untuk kembali bekerja sebagai dokter bedah.
Akhirnya mobil tiba di rumah sakit Health. Aku turun di lobby dan segera menemui Andrew dan mama yang sudah sampai terlebih dahulu.
Ketika aku berjalan takdir mencegatku untuk bertemu dengan Andrew dan mama, karena aku justru bertemu orang lain. Di ujung koridor ku lihat wanita yang dalam ingatanku adalah kekasihku. Dia berdiri dengan perut besarnya. Dia hamil.
Tiba-tiba suara panik Anna muncul dikepalaku, tapi aku tak bisa mendengar dia bicara apa karena suaranya kalah dengan suara ngiiit yang entah berasal dari mana. Seketika yang ku ingat lagi kepalaku pusing karena mobil yang ku kendarai berguling. Suara ngiiit semakin kencang rasanya akan memecahkan kepalaku.
Aku hampir berlutut. Sekarang aku ingat bagaimana aku kecelakaan. Rasa mual tiba-tiba menonjok perutku. Aku berjalan sempoyongan ke toilet. Aku memuntahkan isi perutku.
Keringat sebesar biji jagung keluar dari keningku. Aku bingung, ketakutan, tanganku bergetar hebat dan aku takut untuk keluar dari toilet ini. Ku peluk lututku dengan badan menggigil.
***
Serena sedang menata barang-barang miliknya di kamarnya yang sebenarnya sudah sampai dari rumah utama tiga hari lalu. Namun, baru hari ini ia sempat membereskannya. Mumpung dokter Andreas sedang pergi pikirnya.
*Panggilan Telepon Nyonya Besar*
Serena mengerutkan dahinya. Kenapa nyonya besar menelepon.
"Hallo." Ucap Serena.
"Serena, di mana dokter Andreas kenapa belum sampai juga ini sudah jam sepuluh?"
"Tadi sudah berangkat sekitar jam 8 nyonya, saya di rumah tidak ikut ke rumah sakit."
"Loh kok kamu gak ikut?"
"Dokter Andreas melarang saya ikut."
"Saya harus ke mana menghubungi Andreas kalau kamu gak ikut? Andreas kan gak punya HP."
"Saya akan coba telepon pak Badri, nyonya. "
"Ya sudah hubungi saya kalau sudah tahu Andreas di mana?"
Kemudian Serena menelepon pak Badri. Pak Badri berkata kalau dokter Andreas sudah ia turunan di lobby sekitar satu jam yang lalu. Mendengar hal itu Serena panik.
Serena menelepon Nyonya Eliza memberi tahu apa yang tadi dikatakan oleh pak Badri.
"Saya akan ke rumah sakit juga nyonya, mencari dokter Andreas."
Tanpa ganti baju, make up atau membawa dompet Serena langsung mengambil kunci mobil dan menuju rumah sakit.
Ketika sampai seluruh petugas keamanan dan pak Badri sedang menyisir rumah sakit.
"Bagaimana pak Badri?"
"Belum ketemu Serena, tapi lagi dicek di CCTV."
HT milik salah seorang petugas keamanan yang tak jauh dari Serena berbunyi.
"Dokter Andreas terlihat di lobby, dia diam cukup lama dan seperti orang kesakitan kemudian berjalan sempoyongan entah ke mana. Coba sisir di UGD, tangga darurat atau toilet."
Serena yang mendengar itu langsung berlari ke toilet.
"Serena ke mana?" Pak Badri mengikuti Serena namun tertinggal karena pak Badri tak dapat mengimbangi larinya Serena.
Tanpa berpikir Serena langsung masuk ke toilet pria. Di sana ada dua orang lelaki yang sedang kencing. Dia mengecek semua bilik.
"Hei-hei nona ini toilet pria." Serena tidak peduli.
Bilik pertama terkunci. Serena menggedornya. "Dokter. Apakah dokter di dalam?" Tak ada jawaban. Serena tak sabar dan menggedor semua pintu. Pintu kedua kosong. Pintu ke tiga terkunci. Pintu empat kosong.
Pak Badri dan seorang petugas masuk toilet.
"Gimana Serena ada?"
Serena jongkok mengintip melalui celah bawah. Dilihatnya di bilik pertama ada seseorang yang meringkuk.
"Ini pasti dokter Andreas." Sambil berdiri.
"Dokter-dokter."
"Biar saya yang buka." Petugas keamanan menawarkan diri. Ia mendorong pintu agak keras. Pintu terbuka sedikit karena memang dari awal tidak terkunci tapi terhalang tubuh dokter Andres sendiri.
Serena mamasukan tangannya ke celah pintu. Mengusap kepala dokter Andreas yang sedang memeluk lutut. Tubuhnya bergetar.
"Dokter, dokter sadarlah ini Serena." Serena tahu dokter Andreas tidak pingsan hal itu dia ketahui dari suara menggigil dokter Andreas.
"Bantu aku untuk mendorong lebih lebar." Serena meminta bantuan petugas keamanan lagi.
"Dokter-dokter ini Serena." Serena berbicara lembut tanpa kepanikan berulang dan mengusap kepala berulang juga.
"Serena?" Akhirnya dokter Andreas mulai sadar. Dokter Andreas memegang tangan Serena. "Serena aku gak mau di sini. Ayo kita pulang." Suaranya mirip anak kecil merengek. Serena mengetahui jelas bahwa dokter Andreas belum sepenuhnya sadar.
"Ayo kita pulang dokter. Dokter bisa mundur atau berdiri? Pintunya tidak bisa dibuka karena terhalang oleh dokter."
Dokter Andreas tidak mendengarkan. Dia hanya berkata. "Ayo pulang Serena."
"Dorong sedikit lagi pak." Serena meminta petugas keamanan.
Tubuh Andreas sedikit roboh. Celah pintu semakin lebar. Serena yang memiliki badan kurus bisa masuk. Serena masuk dan langsung menenangkan dokter Andreas dengan memeluk dan mengusap-usap punggunnya.
"Dokter ayo kita pulang ya."
"Dokter kita berdiri yuk." Dokter Andreas mulai sadar dan menuruti Serena. Tubuhnya masih gemetar. Pintu akhirnya terbuka dua petugas keamanan membopong tubuh dokter Andreas.
"Pak Badri bawa mobil." Melempar kunci dari saku celana.
Mobil masih terparkir di depan pintu masuk. Serena bahkan tak sempat memarkirkan mobil ditempatnya.
Pak Badri sigap berlari. Toilet sudah dipenuhi petugas keamanan.
"Bawa dokter Andreas ke mobil." Perintah Serena.
Amplop itu berisi akta kelahiran Key yang memang hal wajar diminta pihak sekolah sebagai syarat administrasi. Di dalam akta itu tertulis jika Key anak Marianna dan Andrew Adrison.Lalu mataku menangkap bukti lain."Tepat dugaanku." Aku meremas ujung foto copy akta kelahiran Key."Mereka bisa mengelabui orang lain tapi tidak denganku."Mereka kurang pandai berbohong. Memalsukan nama ayah tapi tidak dengan tanggal lahir Key."Key lahir tujuh bulan setelah aku koma. Kecurigaanku kemarin benar bahwa Key anakku dan ucapan Serena kemarin pasti ini maksudnya."Sebuah ingatan muncul di kepalaku."Andreas nikahin aku!" Samar terdengar suara Anna berteriak lalu setelah itu cahaya putih menyilaukan mataku muncul membuat ingatan itu lenyap. Tak hanya itu ulu hatiku seperti dibogem. Rasanya ingin muntah namun tertahan."Itu pasti ingatan sebelum kecelakaan, Anna memintaku menikahinya karena dia hamil anak kami?" Aku berusaha men
Malam ini adalah malam berat bagi mereka semua. Langit seakan mendukung dengan menurunkan hujan dan petir. Andreas duduk termenung di atas kasur Serena. Kamar berserakan menjadi pemandangan naas yang menggambarkan perasaan Andreas. Serena menghentikan taksi di jalan gang menuju rumahnya. Ia menerobos gelapnya malam, dinginnya air hujan dan kengerian suara petir. Lampu rumah menyala dan terdengar suara tawa adik-adik sepupunya yang sedang menonton televisi. Tawa yang tidak pernah ia dapatkan selama hidup. Sejak kecil ibu meninggalkannya bekerja, sementara ayah sakit jantung. Bahkan sesekali ia menghabiskan malamnya di kamar rawat inap. Badan Serena sudah kuyup ketika sampai di teras rumah. Ia mengetuk rumah dengan perasaan takut kecewa. "Assalamualaikum." Suara tawa itu lenyap seketika di sambung bisikan-bisikan. "Ada yang bilang assalamualaikum." "Siapa-siapa?" "Waalaikumusalam." Suara seorang wanita p
Ketika dokter keluar dari ruangan Andrew juga sudah beradan di sana. Ia sudah kepikiran sejak tadi. Rapat yang agendanya belum terbahas semua sengaja ia hentikan agar bisa turun ke ruang UGD mengetahui kondisi Anna. Namun, meskipun pikirannya sudah campur aduk namun ekspresi wajahnya tetap tenang nyaris tanpa ekspresi. "Dokter bagaimana menantu dan cucu saya?" "Masih harus di pantau Bu, Pak. Ada kontraksi dari janin. Kalau dalam satu jam ke depan ibu Anna masih tinggi tensinya upaya terbaiknya adalah operasi. Kami takut bayi dalam kandungannya juga stress hingga mengeluarkan kotoran. Berbahaya jika bayi buang air besar dalam kandungan karena bisa meracuni air ketuban dan diminum oleh bayi. Harapan kami ibu Anna tidak di operasi, mengingat kandungannya masih delapan bulan." "Kenapa baru delapan bulan ada kontraksi?" Andrew langsung berbaur dengan percakapan keduanya. "Sepertinya efek dari obat yang dikonsumsi ibu Anna." "Obat apa?" Tanya
Kejadian Anna Ruangan UGD di sibukan dengan berbagai pasien yang datang dengan kasus yang harus segera ditangani. Elisa, ibu Andreas baru saja tiba berbarengan dengan Anna yang sedang ditangani oleh dokter. "Apa yang terjadi?" Tanya dokter jaga UGD kepada salah satu asisten Anna bernama Ria. "Tadi anaknya nyonya muda hilang di mall, kami panik cari-cari, terus nyonya muda minta di ambilin obat ini dalam tas. Habis minum obat tau-tau perutnya sakit." Dokter mengambil obat yang di tunjukan Ria. Membaca apa yang tertera dalam label obat itu. "Ini gak boleh dikonsumsi wanita hamil!" Dokter terbelalak mengetahui apa yang tertulis di botol itu. "Saya gak tahu itu apa dok, saya pikir vitamin." Dokter tidak menanggapi bahkan tidak mendengarkan perkataan Ria sampai tuntas. "Ria apa yang terjadi?" "Nyonya besar?" Ria terkejut melihat Elisa yang sudah ada di belakangnya. Ria kemu
Serena keluar membantingkan pintu mobil. Dia tidak seperti Serena yang ku kenal. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. "Serena kenapa kamu begitu marah?" Aku menarik tangannya sebelum dia masuk ke rumah. "Saya tak habis pikir, Anda masih bertanya kenapa saya marah?" Ini adalah sisi ke kanak-kanak an Serena yang baru ku ketahui. Ia seperti seorang gadis yang marah pada kekasihnya lantaran ketahuan selingkuh. Padahal posisi ku adalah bosnya sendiri. "Kamu sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Harusnya kamu tidak semarah ini." "Saya tahu Anda akan balas dendam," . "Serena pelankan suaramu!" Perkataan Serena terhenti oleh pekataanku. Aku menoleh ke belakang melihat pak Badri yang masih berada di mobil seolah penasaran dengan kami yang sedari tadi hanya bungkam dalam perjalanan pulang. Ku beri tanda dia untuk pergi. "Ayo masuk dan duduk!" Suaraku tenang. Kami berdua masuk dan duduk di sofa
"Dari mana saja Anda, Pak?" Serena bertanya padaku dengan tatapan setajam elang. "Saya pergi keluar sebentar." "Ke mana?" Aku tersenyum lebar sambil melewatinya. Senyuman untuk menghilangkan rasa kecil. Pertanyaan dan tatapan Serena membuatku merasa terintimidasi. Padahal dia hanya asistenku yang sebenarnya tidak ada alasan untukku merasakan itu. Bisa jadi karena aku telah berbuat salah kepada Key. Rasa bersalah itulah yang membuat aku terintimidasi oleh pertanyaan Serena. Tidak-tidak! Rasa iba ini hanya akan membuatku lemah lagi. Aku adalah Zoro, perbuatanku sekarang adalah buah dari perlakuan mereka padaku. Ini adil! Ini peradilan. "Pak Andreas, Anda baik-baik saja?" Tanpa kusadari sejak tadi Serena berjalan di sampingku. Pastilah dia membaca raut wajahku yang seperti orang berpikir berat. "Saya ingin makan." "Anda belum makan? Saya pikir Anda sudah makan diluar." Lagi-lagi Serena bertanya tajam. Seperti ibu mengintrogasi ana
Aku kembali ke ruang kerjaku setelah selesai rapat dengan tim Help Dok! Hari ini bagiku adalah hari terbaik setelah aku bangun dari koma selama 7 tahun. Hari di mana awal mula pembalasanku terhadap Andrew yang telah merebut semuanya dariku.Aku harus mendapatkannya kembali! Jika aku tidak bisa mendapatkannya kembali maka aku akan menghancurkannya saja. Selanjutnya adalah Anna, jika aku tidak mendapatkannya, bukan-bukan jika aku tidak menginginkannya maka aku akan menghancurkannya.Bukankah Anna telah menghancurkan rencana kami dan harapan kami? Maka tidak salah jika aku juga menghancurkan harapannya.Siaran di televisi menghentikan lamunanku. Live konfrensi perss rumah sakit Health. Di televisi berukuran 30 inch yang terpasang di dinding memperlihatkan Andrew bersama kuasa hukum dan tiga petinggi lainnya melakukan konfrensi perss."Selamat siang semuanya. Perkenalkan saya Andrew direktur utama rumah sakit Health.""Posisi yang harusnya menjad
Kami sampai di pintu masuk sebuah apartemen yang menjadi lokasi pertemuan kami dengan Siska. Hari ini pak Badri ku perintahkan untuk libur, lebih tepatnya agar pertemuan ini tidak diketahui oleh siapa pun. Pak Badri sendiri merupakan supir yang ditugaskan oleh Andrew untuk mengantarku, jadi bisa jadi dia melaporkan banyak hal tentang kegiatanku pada Andrew. Serena membunyikan bel, tak berapa lama pintu apartemen terbuka. Siska berpakaian santai dengan kaos oblong warna putih tipis dan rok slim fit di bawah lutut. "Silahkan masuk." "Terima kasih." Ucap serena. Aku membalasnya dengan anggukan santai. Apartemen itu berdesain minimalis. Ketika masuk ruangan langsung terlihat dapur. Lalu ada ruang televisi beserta meja makan. Ketiga tempat itu tak bersekat. Ada dua kamar tidur di ruangan itu dan satu kamar mandi. Siska mengenalkan kami pada dua orang temannya yang berada di sana Helen dan Jonny. "Pak ini Helen seba
Meski pun ini Minggu pagi tetapi aku dan Serena tidak terdiam diri di rumah. Kami masih harus keluar bertemu dengan pak Jundi, pengacara Daily Health. Pertemuan ini di janjikan semalam saat kami bertemu di acara Launcing. Pak Jundi memberi tahu jika orang-orang yang menggelapkan uang Daily Helath sudah ditangkap lengkap beserta barang bukti yang di dapatkan dari barang-barang di ruangan Sonny dan Natalie sendiri. Pertemuan itu tidak berlangsung lama karena aku sudah mempercayakan kasus ini pada pak Jundi. Aku hanya ingin memastikan langsung kegegabahan Andrew dalam bekerja. Hingga masalah seperti ini saja tidak bisa terdeteksi olehnya dalam tujuh tahun. Setelah aku benar-benar yakin ini merupakan kasus korupsi aku segera bergegas pergi ke klinik dokter Daniel untuk melakukan pengecekan. Sementara itu Serena ku minta untuk pulang ke rumah. "Saya tidak mau meninggalkan Anda sendirian, saya khawatir jika kejadian seperti di rumah sakit terjad