Share

BAB 6

Aku terbangun karena mendengar suara percakapan dari luar. Itu adalah suara mama sedang berbicara dengan Serena.

"Ma-ma," Aku memanggil mama seperti anak kecil.

Mama masuk ke kamar. Wajahnya bagaikan matahari pagi, hangat dan menenangkan. Kemudian ia duduk di kasur. Aku memeluk pinggang mama, meletakan kepalaku di atas pahanya. Aku lelah, rasanya semuanya terlalu mengejutkan, terlalu tidak masuk akal. Dua hari lalu yang ku ingat aku adalah lelaki dengan karir, asmara dan keluarga yang sempurna namun tiba-tiba ketika aku bangun semuanya sudah tidak ada.. Ayahku, pekerjaanku, kekasihku, jabatanku. Semuanya sudah direbut orang lain yaitu kakakku sendiri.

"Tenang anakku, tenang." Mama mengelus kepalaku.

Meski rasanya dunia akan runtuh di samping mama aku merasa tenang.

"Harta, jabatan bahkan orang yang kita cintai dan mencintai kita bisa pergi kapan saja tapi ketika mereka pergi jangan sampai mengubah kualitas dirimu. Kamu punya mimpi yang luar biasa ingin menyelamatkan harapan hidup terakhir banyak orang maka dari itu kamu menjadi dokter bedahkan?" Mama berbicara sambil terus mengelus kepalaku. "Mama harap ketika kamu siap kamu harus bangkit berdiri di meja bedahmu, menjadi harapan terakhir pasien-pasienmu lagi."

Perkataan mama benar tapi untuk melakukan itu tidaklah mudah. 

***

Tujuh tahun berlalu kota ini semakin macet. Sudah hampir satu jam aku berada dalam mobil di tengah kemacetan. Mobil bergerak perlahan tak kunjung sampai ke rumah sakit.

Satu minggu telah berlalu dari hari di mana aku sadar. Aku mulai menjalani aktivitas sehari-hari dengan normal. Hal paling penting adalah aku sudah mengikhlaskan kenyataan yang terjadi. Aku pun sudah berusaha untuk memaafkan Andrew dan tidak mengusik jabatannya lagi.

Hari ini aku menuju rumah sakit Health untuk bertemu dengan Andrew dan mama. Sudah ku pikirkan matang. Aku siap untuk kembali bekerja sebagai dokter bedah.

Akhirnya mobil tiba di rumah sakit Health. Aku turun di lobby dan segera menemui Andrew dan mama yang sudah sampai terlebih dahulu. 

Ketika aku berjalan takdir mencegatku untuk bertemu dengan Andrew dan mama, karena aku justru bertemu orang lain. Di ujung koridor ku lihat wanita yang dalam ingatanku adalah kekasihku. Dia berdiri dengan perut besarnya. Dia hamil. 

Tiba-tiba suara panik Anna muncul dikepalaku, tapi aku tak bisa mendengar dia bicara apa karena suaranya kalah dengan suara ngiiit yang entah berasal dari mana. Seketika yang ku ingat lagi kepalaku pusing karena mobil yang ku kendarai berguling. Suara ngiiit semakin kencang rasanya akan memecahkan kepalaku.

Aku hampir berlutut. Sekarang aku ingat bagaimana aku kecelakaan. Rasa mual tiba-tiba menonjok perutku. Aku berjalan sempoyongan ke toilet. Aku memuntahkan isi perutku. 

Keringat sebesar biji jagung keluar dari keningku. Aku bingung, ketakutan, tanganku bergetar hebat dan aku takut untuk keluar dari toilet ini. Ku peluk lututku dengan badan menggigil.

***

Serena sedang menata barang-barang miliknya di kamarnya yang sebenarnya sudah sampai dari rumah utama tiga hari lalu. Namun, baru hari ini ia sempat membereskannya. Mumpung dokter Andreas sedang pergi pikirnya.

*Panggilan Telepon Nyonya Besar*

Serena mengerutkan dahinya. Kenapa nyonya besar menelepon.

"Hallo." Ucap Serena.

"Serena, di mana dokter Andreas kenapa belum sampai juga ini sudah jam sepuluh?"

"Tadi sudah berangkat sekitar jam 8 nyonya, saya di rumah tidak ikut ke rumah sakit."

"Loh kok kamu gak ikut?"

"Dokter Andreas melarang saya ikut."

"Saya harus ke mana menghubungi Andreas kalau kamu gak ikut? Andreas kan gak punya HP."

"Saya akan coba telepon pak Badri, nyonya. "

"Ya sudah hubungi saya kalau sudah tahu Andreas di mana?"

Kemudian Serena menelepon pak Badri. Pak Badri berkata kalau dokter Andreas sudah ia turunan di lobby sekitar satu jam yang lalu. Mendengar hal itu Serena panik.

Serena menelepon Nyonya Eliza memberi tahu apa yang tadi dikatakan oleh pak Badri. 

"Saya akan ke rumah sakit juga nyonya, mencari dokter Andreas." 

Tanpa ganti baju, make up atau membawa dompet Serena langsung mengambil kunci mobil dan menuju rumah sakit.

Ketika sampai seluruh petugas keamanan dan pak Badri sedang menyisir rumah sakit.

"Bagaimana pak Badri?"

"Belum ketemu Serena, tapi lagi dicek di CCTV."

HT milik salah seorang petugas keamanan yang tak jauh dari Serena berbunyi.

"Dokter Andreas terlihat di lobby, dia diam cukup lama dan seperti orang kesakitan kemudian berjalan sempoyongan entah ke mana. Coba sisir di UGD, tangga darurat atau toilet."

Serena yang mendengar itu langsung berlari ke toilet.

"Serena ke mana?" Pak Badri mengikuti Serena namun tertinggal karena pak Badri tak dapat mengimbangi larinya Serena.

Tanpa berpikir Serena langsung masuk ke toilet pria. Di sana ada dua orang lelaki yang sedang kencing. Dia mengecek semua bilik.

"Hei-hei nona ini toilet pria." Serena tidak peduli.

Bilik pertama terkunci. Serena menggedornya. "Dokter. Apakah dokter di dalam?" Tak ada jawaban. Serena tak sabar dan menggedor semua pintu. Pintu kedua kosong. Pintu ke tiga terkunci. Pintu empat kosong. 

Pak Badri dan seorang petugas masuk toilet.

"Gimana Serena ada?"

Serena jongkok mengintip melalui celah bawah. Dilihatnya di bilik pertama ada seseorang yang meringkuk.

"Ini pasti dokter Andreas." Sambil berdiri.

"Dokter-dokter." 

"Biar saya yang buka." Petugas keamanan menawarkan diri. Ia mendorong pintu agak keras. Pintu terbuka sedikit karena memang dari awal tidak terkunci tapi terhalang tubuh dokter Andres sendiri.

Serena mamasukan tangannya ke celah pintu. Mengusap kepala dokter Andreas yang sedang memeluk lutut. Tubuhnya bergetar.

"Dokter, dokter sadarlah ini Serena." Serena tahu dokter Andreas tidak pingsan hal itu dia ketahui dari suara menggigil dokter Andreas.

"Bantu aku untuk mendorong lebih lebar." Serena meminta bantuan petugas keamanan lagi.

"Dokter-dokter ini Serena." Serena berbicara lembut tanpa kepanikan berulang dan mengusap kepala berulang juga.

"Serena?" Akhirnya dokter Andreas mulai sadar. Dokter Andreas memegang tangan Serena. "Serena aku gak mau di sini. Ayo kita pulang." Suaranya mirip anak kecil merengek. Serena mengetahui jelas bahwa dokter Andreas belum sepenuhnya sadar.

"Ayo kita pulang dokter. Dokter bisa mundur atau berdiri? Pintunya tidak bisa dibuka karena terhalang oleh dokter."

Dokter Andreas tidak mendengarkan. Dia hanya berkata. "Ayo pulang Serena."

"Dorong sedikit lagi pak." Serena meminta petugas keamanan. 

Tubuh Andreas sedikit roboh. Celah pintu semakin lebar. Serena yang memiliki badan kurus bisa masuk. Serena masuk dan langsung menenangkan dokter Andreas dengan memeluk dan mengusap-usap punggunnya.

"Dokter ayo kita pulang ya."

"Dokter kita berdiri yuk." Dokter Andreas mulai sadar dan menuruti Serena. Tubuhnya masih gemetar. Pintu akhirnya terbuka dua petugas keamanan membopong tubuh dokter Andreas.

"Pak Badri bawa mobil." Melempar kunci dari saku celana.

Mobil masih terparkir di depan pintu masuk. Serena bahkan tak sempat memarkirkan mobil ditempatnya.

Pak Badri sigap berlari. Toilet sudah dipenuhi petugas keamanan.

"Bawa dokter Andreas ke mobil." Perintah Serena.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status