Share

BAB 4

Dokter Daniel pamit karena harus operasi jam sembilan. Selepas rombongannya pergi aku semakin bersemangat.

"Serena cepat bersekan barang kita yang ada di sini. Aku ingin segera pulang."

"Andreas, kenapa buru-buru?" Tanya mama.

"Hanya sudah rindu kamarku. Apa masih seperti dulu?"

"Ah iya, Nin tolong suruh ibu Pur bersihkan kamar Andreas. Tentu kamarmu masih seperti dulu, hanya sedikit kotor."

"Baik nyonya, " Nin asisten baru mama yang belum ku lihat sebelum aku koma pergi keluar.

Mama kemudian mengeluarkan handphone. Kulihat handphone mama begitu besar dan tidak ada tombol apa pun. Hanya layar.

"Wah ini handphone jaman sekarang?" Aku terkekeh mendengar pertanyaanku sendiri.  "Rasanya aku seperti manusia yang berpindah dengan mesin waktu."

Kulihat mama tidak meresponku, hanya sibuk dengan handphone. Aku memberikan ruang untuk mama. Mungkin ada hal yang harus beliau lakukan.

Mama mengangkat kepalanya setelah cukup lama mengoprasikan handphonenya. Beliau sadar bahwa aku menunggunya dan menjadi tak enak.

 "Maafkan aku Andreas, ada hal yang harus mama sampaikan pada orang rumah."

"Iya mama."

"Sudah baca surat dari papa?" Aku mengangguk.

"Apa kata papa?"

"Papa bilang itu rahasia kami berdua he-he."

"Kenapa kamu pelit sama mama?"

"Bukan pelit, tapi ini tentang janji antara laki-laki."

"Ya, ya, ya. "

"Serena kamu belum mengemas barang-barang kita?" Kutanyakan lagi kepada Serena karena ia masih duduk di sofa bersama Kina asisten mama yang sudah bekerja cukup lama.

Serena terlihat bingnung. "Ah iya-iya dok."

"Serena?" Mama memanggil Serena.

"Iya nyonya," 

"Jangan sampai ada barang yang tertinggal. Kita pulang setelah kamar Dokter Andreas rapi di rumah."

***

Rumah ini masih sama seperti tujuh tahun lalu. Tidak ada yang berubah. Bahkan warna catnya tetap sama. Melihat kembali rumah ini setidaknya membuat hatiku hangat lagi setelah sebelumnya mendengar cerita dari mama bahwa Anna, kekasihku sudah menikah dengan pria lain. 

Wajar saja tujuh tahun terlalu lama untuk menunggu. Aku memaklumi. Hanya sekedar itu yang baru kutanyakan pada mama karena aku takut hatiku kewalahan dengan kesedihanku. Nanti akan ku cari tahu dengan siapa dan kapan Anna menikah setelah sampai rumah.

Mobil yang kami tumpangi masuk ke garasi. Kulihat di halaman depan ada ayunan dan prosotan. 

Tidak salah lagi ini pasti mainan yang disediakan keluarga kami untuk anak Andrew.

"Apa Andrew sudah menikah dan punya anak?" Kupastikan lagi pada mama. 

"Iya." jawab mama singkat.

Ketika aku hendak bertanya lagi mobil kami sudah sampai di depan pintu rumah. Tigacasisten rumah tangga, dua orang supir hingga dua orang tukang kebun menyambut kami di pintu. 

Semuanya hampir ku kenali kecuali seorang sopir yang tak ku kenali. Aku turun di bantu Serena karena meski pun mama bugar dalam usianya yang sudah 65 tahun tapi terlalu beresiko untuk menopang orang lain.

"Selamat datang dokter Andreas." Ibu Pur menyapaku. Dia pasti sekarang kepala asisten rumah tangga menggantikan ibu Lin.

"Terima kasih ibu Pur. Anda masih terlihat cantik seperti dulu." Aku bercanda kepadanya.

"Dokter memang pandai mencarikan suasan seperti dulu. Makanan kesukaan dokter sudah kami siapkan"

Kami berjalan masuk ke dalam rumah. Beberapa barang tambahan mengisi rumah ini. Memberikan kehangatan.

"Andreas, apa kamu sudah lapar?" Tanya mama.

"Lapar gak lapar aku harus segera makan masakan rumah ini. Karena ibu Pur dan asisten lainnya sudah masak makanan kesukaanku."

Aku makan cukup banyak. Sup ayam jahe yang menghangatkan tubuh. Cocok untuk pemulihan dan tentunya bikin tidur pulas. Benar saja selepas makan aku mengantuk dan tidur cukup lama.

Aku terbangun jam lima sore. Hampir empat jam aku tidur siang. Kupanggil Serena untuk menyiapkan keperluan mandi dan bajuku. Kemudian aku mandi. 

Selepas mandi aku baru terpikir kenapa aku tidak melihat keponakanku. 

"Ah iya mungkin sekolah. Harusnya sekarang dia sudah pulang." Ku kancingkan baju piyamaku sambil bercermin.

Samar terdengar ada keributan dari luar. Aku penasaran ingin melihat, saat hendak berjalan ke arah pintu tiba-tiba pintu kamar terbuka.

Pemandangan pertama yang kulihat adalah Serena mencoba menghalangi Andrew masuk. Mama kemudian menyusul dari luar.

"Ada apa ini?"

"Kamu gak bisa tinggal di rumah ini Andreas." Suara Andrew tegas dan singkat masih sepert dulu.

"Apa maksudmu?"

"Kamu akan pindah ke rumahmu."

"Rumahku yang mana, dan kenapa kamu berbicara seperti itu? Seolah ini rumahmu. Ini rumah papa."

"Tidak Andreas, sekarang ini rumahku. Aku sudah membelinya darimu dan dari mama. Sekarang kamu bisa tinggal di rumahmu."

"Kapan aku memiliki rumah ini dan kapan menjualnya?"

"Ceritanya panjang, besok pengacara papa akan datang ke rumahmu, yang terpenting sekarang kamu pindah. "

"Kamu pulang-pulang dari luar negeri malah gak punya perasaan.  Adikmu baru sadar dari koma selama tujuh tahun bukannya di rawat malah kamu usir." Mama geram.

"Tentu saja aku mengusir dia karena mama mengusir Anna dan Key. Bagaimana ceritanya istri dan anak pemilik rumah diusir karena tamu?"

"Andrew!"

"Dia terlalu mama manja, sudah saatnya dia hidup keras."

Percakapan macam apa ini? Otakku belum mampu mencerna topik mana pun.

"Anna siapa maksudmu?" Dari semua hal belum bisa dicerna oleh pikiranku inilah yang benar-benar ingin ku ketahui.

"Mama belum bilang ke Andreas?"

"Kapan kalian menikah?"

"Tujuh tahun lalu."

"Andrew!" Mama membentak Andrew lagi.

"Jadi kalian menikah disaat aku koma?"

Tidak ada yang menjawab begitu juga dengan Andrew. Pertanyaan yang memang tidak perlu kutanyakan karena memang jawabannya iya. Mereka menikah disaat aku pertama kali terbujur kaku. Anna, aku sangat sedih ketika mendengar kau menikah dengan pria lain tetapi sekarang aku marah karena lelaki yang kau nikahi adalah kakakku. Terlebih itu dilakukan masih di tahun pertama aku koma. Dia tidak menungguku sama sekali.

"Mana Anna?" Suaraku marah.

"Apa hakmu menanyakan isteri orang lain?" Berbicara tanpa ekspresi.

"Brengksek kamu!"

"Serena bawa barang-barangku." Aku marah. Diam di rumah ini membuat harga diriku tak ada lagi. Dia mengambil rumah dan kekasihku. Brengsek kau Andrew!

Serena kebingungan. "Serena cepat!" Bentakku lagi. Dia kemudian mengambil koper yang tadi kami bawa dari rumah sakit.  Koper itu terbuka namun isinya belum sepenuhnya keluar.

Entah kekuatan dari mana. Aku berjalan tegap keluar rumah ini tanpa tertatih-tatih.

"Andreas mama mohon jangan pergi." Mama berjalan mengikuti langkahku.

"Aku tak sudi harus tinggal bersama saudara yang bahagia di atas penderitaanku atau bersama mantan kekasihku yang sama brengseknya." Aku berbicara sambil berjalan.

"Kina, Nin kemasi barang saya!" Mama meneriaki dua asistennya. 

"Baik nyonya." 

"Kina, Nin jangan sentuh barang nyonya besar sedikit pun kalau kalian mau ku pecat." Ku dengar suara Andrew masih di dalam kamarku.

"Mama akan terus bersamamu Andreas, walau pun tanpa apa pun yang kupunya, mama ingin mengurusmu."

"Jika mama berani pergi hari ini dengan Andreas aku pastikan mama tidak akan bertemu dengan Key lagi." 

Mama menangis sambil terus berjalan bersamaku. Namun aku tahu ini tak benar. Mama memerlukan dua asistennya, barang-barangnya, obat-obatannya juga cucunya.

"Ma, jangan ikuti aku." Aku berbicara pelan. "Besok kita bertemu lagi."

Ketika aku sampai di luar Pak Bardi sopir ayah dulu sudah berdiri membukakan pintu mobil.

"Silahkan dokter, akan saya antar."

Mama menangis di depan pintu melihat aku pergi tanpa harga diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status