Sepanjang jalan menuju villa, selepas mengantar Tatiana, Trian tidak berhenti menyunggingkan senyum begitu mengingat insiden lucu yang dialami Kinan di mall.
Setelah Bagas menghubunginya dan mengatakan perihal masalah Kinan yang telah memborong banyak tas mahal tetapi tidak punya uang untuk membayar, alih-alih memberi bantuan, Trian justru membiarkan Kinan dalam masalah tersebut.
Ya, pria itu berencana mengerjai istrinya. Hitung-hitung sebagai hukuman mengingat Kinan berani pergi tanpa sepengetahuannya.
Dia ingat jelas bagaimana panggilan Bagas kembali mengisi ponselnya, sementara yang bersuara keras di seberang sana ialah Kinan. Kemarahan perempuan itu tidak terbendung begitu dirinya dipermalukan pegawai toko yang menyebutnya sebagai penipu.
Kinan bersumpah akan kembali ke toko itu dan membuat mereka menganga dengan uangnya, pikirnya.
Bukan main cerahnya wajah Trian begitu mendengar suara keras perempuan itu memaki. Trian bahkan tidak peduli ketika Tatiana bertanya saat melihatnya terbahak-bahak. Hal yang sangat jarang dilakukan seorang Trian Nugroho.
Begitu Trian memarkirkan mobil di parkiran khusus tidak jauh dari rumah para penjaga, pria itu bergegas turun lalu menghampiri Bagas yang sedang berdiri menyambut kedatangannya.
Di belakangnya, beberapa pengawal lain pun sedang melakukan hal serupa. Trian mengangkat dagunya sombong, lantas berlalu begitu saja. Tetapi sejurus kemudian, dia berbalik kembali lalu memicing ke arah Bagas.
Trian berdiri di hadapan pria besar itu, sementara Bagas menunduk dalam-dalam. "Bagas, lain kali, aku tidak ingin mendengarmu memanggil Istriku dengan namanya." Trian hendak melangkah sesaat setelah menyaksikan Bagas mengangguk sembari menjawabnya. "Jika Kinan kembali keluar diam-diam laporkan kepadaku, apapun yang dia lakukan. Mengerti!"
Bagas kontan mengangguk mafhum. "Baik, Bos!"
"Ya sudah, kembali berjaga."
Hari sudah mulai sore, sementara kemilau cahaya jingga itulah pemandangan yang paling Trian sukai ketika dia melangkahkan kaki membelah hamparan hijau daun teh menuju bukit di mana villa berada. Trian bahkan membiarkan dirinya berhenti di tengah-tengah, memejamkan mata, lalu meresapi aroma yang benar-benar membuatnya tenang. Hal itu berlangsung selama beberapa menit hingga akhirnya dia memilih beranjak.
"Kinan ... kamu masih hidupkan?" Bibir pria itu berkedut menahan senyum, sesaat setelah dia membuka pintu dan menemukan Kinan sedang tertelungkup di atas lantai tidak jauh di depan TV yang kembali dibiarkan menyala.
Tidak ada tanggapan, dan karenanya Trian memilih mengikis jarak. Pria itu berjongkok begitu dia berada tepat di atas kepala Kinan. Menggunakan telunjuk, Trian menusuk sebelah pipi perempuan itu, bermaksud membangunkannya. Tetapi alih-alih mendapati istrinya bangun, Trian justru dikejutkan saat menyadari bahwa Kinan sama sekali tidak bernapas.
Kedua manik Trian kontan terbelalak. Sekoyong-koyong dia menarik tubuh Kinan untuk membaliknya. Wajah wanita itu benar-benar pucat. Trian sendiri mulai panik. "Ki ... Kinan, kamu benar-benar mati, ya?" Jemari pria itu bergerak cepat menepuk kedua pipi Kinan. Gejolak ketakutan mulai terbayang di benaknya saat mendapati hal lain bahwa betapa dinginnya kulit perempuan itu.
Ya Tuhan, Kinan benar-benar meninggal!
Tanpa kikir panjang, Trian berbalik menuju ruang kerja, mengambil telepon khusus untuk menghubungi penjaga dan begitu panggilan tersambung, Trian tidak berpikir banyak untuk berteriak, "Siapkan mobil! Kita ke rumah sakit!"
Buru-buru Trian meraih tubuh Kinan sementara wajahnya sendiri benar-benar kaku. Bagaimana mungkin dia tidak frustasi mendapati Kinan akan mati sementara perempuan itu bahkan belum bertemu dengan papanya.
"Hei, jangan mati dulu bisa tidak? Kamu bahkan belum melakukan tugasmu dengan benar," Trian menggerutu setengah sadar. Jujur saja, dia sedang panik. Digendongnya tubuh Kinan bermaksud membawanya keluar menuju mobil di bawah bukit.
Tetapi begitu kakinya nyaris menggapai pintu, Kinan tiba-tiba terbatuk keras sementara perempuan itu mengambil napas dalam-dalam, meski berulang kali tampak tersedak.
"Kinan, kamu masih hidup?" Kinan tidak menjawab tetapi Trian memilih untuk melanjutkan langkah. Kinan jelas butuh perawatan. Namun, sebelum pria itu berhasil mengambil langkah ketiganya melewati ambang pintu, suara parau yang berasal dari Kinan terdengar.
"Be-berhenti ... aku, baik ...."
"Hah?!" Trian mendekatkan wajah, berniat mendengarkan lebih jelas. "Kamu apa?"
Helaan napas Kinan akhirnya terdengar. Begitu perempuan itu berhasil mendapati kesadarannya, dia bergumam pelan, "Biarkan aku di kamar, aku baik-baik saja."
"Yang benar saja, tadi aku melihatmu sudah mati, jadi karena kamu masih diberi kesempatan hidup ya harus ditangani dulu sama Dokter, biar kita tahu penyebabnya apa." Trian jadi kesal sendiri. Kepanikannya beberapa waktu lalu seolah habis ditenggelamkan perasaan dongkol karena Kinan menolak dibawa ke rumah sakit.
Ada-ada saja!
Tetapi tampaknya bukan hanya Trian yang sedang marah, Kinan yang masih lemas pun telah memasang mimik kaku. "Aku tidak mati, hanya pingsan," ujarnya, benar-benar datar. "Kembalikan aku ke dalam."
"Tidak!" Trian melotot. "Kalau kamu sampai mati aku sendiri yang repot."
Kinan berdecak sebal. "Ya kamu tinggal siapkan kuburan mewah."
Rahang Trian seketika mengeras. Tanpa berkata lagi, dia akhirnya memilih untuk kembali ke dalam lalu membaringkan Kinan di atas kasur. Sembari melotot garang pria itu mendesis, "Jangan menolak lagi, aku akan panggil Dokter ke sini."
Kinan mengacungkan jempol, lalu menarik selimut untuk membungkus tubuh sendiri. Percayalah, dia benar-benar kedinginan, bibirnya bahkan belum berhenti bergetar.
Sejurus kemudian Trian meninggalkan Kinan. Dia berdiri di tengah-tengah ruang tamu lalu merongoh saku meraih ponsel. Wajahnya masih sangat kaku ketika dia berbicara dengan salah seorang dokter yang kebetulan adalah teman dekatnya—dulu—bernama Fian Adiansyah.
Beberapa jam setelah Trian mengubungi Fian, dokter menawan itu kemudian datang dengan segudang senyum cerah di bibir. Pasalnya, suatu waktu Trian pernah berkata tidak akan menghubungi Fian lagi. Kesalahpahaman pernah membelit hubungan mereka hingga renggang beberapa tahun terakhir.
Tetapi, Fian yang kenal betul seperti apa tabiat karibnya itu tidak akan terkejut, bila hari di mana Trian akan menghubunginya kembali akan datang. Hari ini jelas adalah waktu yang dia maksud.
"Wah, selow Man, kan kamu yang lagi butuh bantuan aku, wajahmu kok masam begitu?" Fian terkekeh begitu dia berhasil menaiki undakan tangga yang akan membawanya naik ke teras, sementara di sana, Trian sedang berdiri melipat tangan dengan mimik garang.
"Jangan banyak bicara, aku tidak punya waktu, lakukan saja tugasmu dengan cepat." Trian melangkah lebih dulu, membiarkan Fian mengikutinya.
Di belakang, Fian terkekeh tidak habis pikir. "Siap Bos," ujarnya diselingi tawa kecil. "Ngomong-ngomong siapa yang ingin diperiksa, aku skeptis jika itu kamu," guraunya.
Trian berhenti sebentar lalu berbalik hanya untuk melotot ke arah Fian, sebaliknya, pria berkulit putih dengan senyum ramah itu hanya bisa mengangkat tangan sebagai bentuk kekalahan. Dia menyerah untuk berdebat.
"Widih ... wanita ke berapa ini?" Fian mengamati Kinan yang sedang terbaring di atas kasur begitu dia memasuki kamar. Di sisi lain, Kinan yang sedang memejamkan mata, kontan membelalak sesaat setelah mendengar suara asing menyambut telinganya. "Oh, dia bangun." Fian tersenyum lalu mendekat dan berikutnya duduk di kursi di samping kasur, berhadapan langsung dengan Kinan. "Mbak manis sekali, ya, namanya siapa?"
"Aku tidak memintamu datang untuk menggodanya." Suara Trian pekat dan terdengar kesal.
Fian terkekeh. "Posesif sekali Abang satu ini."
Trian mendengkus.
Di sisi lain, kedua manik tajam Trian sama sekali tidak lepas mengamati pekerjaan Fian. Ada kalanya itu memicing ketika tangan pria itu menyentuh Kinan sementara yang disentuh sama sekali tidak menunjukkan reaksi. Mendadak Trian maju saat menyadari pemerikasaan berakhir dan dia lekas bertanya, "Ada apa dengannya?"
Ada gurat kebingungan di wajah Fian ketika berkata, "Dia sedang mengalami gejala hipotermia ringan." Bagaimana tidak, sebab setahunya tempat ini tidak berada di suhu yang begitu rendah.
Tampaknya tidak hanya Fian yang menunjukkan mimik serupa, Trian pun demikian. "Hipotermia? Bagaimana bisa? Tempat ini hanya sejuk dan tidak dingin berlebihan."
Namun, satu-satunya sumber jawaban pasti ialah menanyakan langsung perihal ini kepada orang yang bersangkutan. Kedua manik gelap Trian seketika terhunus ke arah Kinan, sementara perempuan itu segera membuang muka tanpa raut bersalah. "Aku tanya, kenapa kamu bisa kena hipotermia?"
Sembari memeluk selimut yang membungkus tubuhnya, Kinan menjawab malas. "Aku ketiduran di dalam kulkas."
Trian bahkan langsung terduduk di atas kasur sesaat setelah mendengar jawaban tersebut. Wajahnya benar-benar syok, sedang di sisi lain, Fian tidak pikir panjang untuk terbahak dengan keras.
Ada-ada saja.
"Sudah siap?" Trian muncul dari balik pintu, sementara tubuh pria itu dibalut setelan jas putih yang benar-benar menambah pesonanya. Tetapi sayang, penampilan Trian sama sekali tidak bisa menggetarkan hati seorang Kinan yang tidak pernah peduli kepada lawan jenis. Kinan berbalik sekilas sebelum kemudian maniknya kembali pada dress selutut di atas tempat tidur. Ada dua, satu berwarna merah maron, satunya lagi berwarna senada dengan pakaian Trian. Trian berdecak sembari berjalan mendekati Kinan yang tengah menopang dagu. Tampak jelas, perempuan gila itu sedang sibuk memilah. Trian menarik dress berwarna putih lantas merentangkannya di hadapan Kinan. "Pakai yang ini!" Sembari melempar benda itu ke arah Kinan yang sedang mengerutkan kening, Trian berkata ketus, "begini saja harus memilih." Raut wajah Kinan mendadak keruh, tetapi detik berikutnya dia memilih untuk tidak m
Kinan sedang berdiri menatap air mancur di taman belakang rumah besar papa mertuanya, ketika sosok cantik Tatiana datang menghampirinya. Sementara Trian, mau tidak mau harus mengikuti papanya ke ruangan lain di dalam sana, sembari menampilkan aura gelap. Kemungkinan mereka sedang berdebat habis-habisan, meluruskan apa yang mungkin saja perlu diluruskan. Itupun jika Trian mau mengalah, mengingat bagaimana keras kepalanya pria itu kepada papanya sendiri. Terserah, Kinan tidak peduli. Kinan tidak beranjak dari posisinya begitu Tatiana berdiri di sebelahnya, sementara tangan wanita itu terulur meraih percikan air mancur hingga ujung-ujung jarinya berakhir basah. Kinan melotot, berpikir, apa yang wanita itu kenakan hingga kulitnya semulus porselen? Apakah dia menghabiskan banyak uang untuk itu? Jika benar, maka Kinan perlu mencobanya. Mendadak lamunan Kinan buyar begitu suara halus tetapi penuh in
"Kinan!" Mendadak kedua manik Kinan terpejam begitu mendapati suara Devi yang keras. Orang-orang kontan menatapnya penuh kebingungan begitu wanita itu membuka pintu cafe dengan tergesa. Kinan bahkan meringis saat menyadari bagaimana cepatnya Devi berlari ke arahnya, padahal wanita itu tengah mengandung. Apakah bayi dalam perutnya sedang jungkit balik sekarang? pikir Kinan. "Kamu kenapa—aw!" Kinan mengadu sembari mengusap bahu. Devi yang baru tiba di meja yang sudah Kinan pesan, tahu-tahu mendaratkan satu pukulan keras di sana, tanpa perhitungan sedikitpun. Ketika Kinan merasa dirinya harus protes berat, sayangnya dia bahkan tidak sanggup membuka mulut begitu mendapati wajah garang Devi. Wanita itu kini duduk di hadapannya, memandanginya dengan sorot membunuh yang nyata. Sembari meringis takut, Kinan berujar pelan, "apa, sih?" Kedua manik Devi seketika melotot, sedang bibirny
Hari ini Kinan memutuskan bermain ke rumah Devi begitu Trian berangkat ke kantor di pagi buta. Tentu saja mengingat jarak kantor pusatnya dengan villa terbilang cukup jauh, jadi untuk mengejar waktu pria itu bangun lebih awal dan berangkat lebih dini. Kinan tidak habis pikir, Trian bisa saja membeli atau membuat rumah tidak jauh dari kantor sehingga pria itu tidak perlu repot seperti ini. Akan tetapi, dia justru kekeuh untuk tinggal dan melakukan semuanya seolah-olah itu bukan masalah besar. Huh! Trian itu terlalu banyak memendam rahasia. Nyatanya, Kinan belum mendapat persetujuan atau jawaban apapun dari Trian mengenai boleh tidaknya Devi berkunjung ke villa, dan karenanya, mau tidak mau Kinan harus menepati janji untuk mendatangi rumah wanita itu. Toh, rasa bosan akan tetap menghampirinya betapa pun senangnya dia bertahan di tempat-tempat mewah. Dasarnya, perasaan alamiah
"Kamu sudah puas bila hanya seperti itu?" Kinan mengangguk, sementara Devi di sampingnya hanya bisa menghela napas. Kinan masih menyaksikan serial yang sama ketika Devi kembali menanyakan hal serupa dengan tarikan napas tertahan, berharap kalau saja Kinan akan berubah pikiran. Nyatanya, dia tidak pernah bisa tenang memikirkan kehidupan rumah tangga Kinan yang menurutnya sangat-sangat tidak menyenangkan. Ada buncahan yang tidak bisa Devi utarakan bila konteksnya berhadapan langsung dengan perempuan muda itu. Semua perasaannya bercampur menjadi satu. Mungkin karena dia tahu, semua ini terjadi karena dirinya yang mengusulkan ide pernikahan tersebut. Kendati usia pernikahannya dengan Dion sendiri masih terbilang baru, tetapi dia sudah cukup tahu apa yang paling penting dalam sebuah pernikahan. Tentu saja ialah adanya keterikatan, serta saling membagi perasaan kasih kepada pasangan. Sayangnya, Kinan t
"Kinann!!" Wajah Trian memerah marah. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat, sementara maniknya berkilat penuh emosi. Dia jelas tidak menyangka jika wajahnya akan berubah menjadi badut begitu dia berkaca di dalam kamar mandi. Sosok yang berdiri menggunakan tubuhnya di balik sana jelas adalah refleksinya sendiri tetapi dengan gambaran wajah menakutkan. Rambutnya terikat, bedak putih memenuhi nyaris semua wajahnya, dan jangan lupakan polesan lipstik membentang lebar dari dahi hingga dagu. Bentukannya melintang vertikal dan horizontal. Di dapur, Kinan tersenyum miring saat mendengar suara keras itu berhasil terdengar seperti yang dia perkirakan. Pembalasannya berjalan lancar dan sesuai ekspektasi; Trian berteriak tidak keruan di dalam sana. Tidak mengindahkan teriakan tersebut, perempuan itu justru dengan tenang memecah es batu di dalam mulut tanpa beban. Bukankah ini benar-benar awal yang menye
Kedua manik Kinan memejam dalam damai. Merasai ketika helai-helai rambutnya terhempas saat angin laut menerpanya dengan ringan. Kaki-kakinya tampak berkilat begitu sinar mentari menyorot tiada henti, mengingat pasir menempeli permukaan kulitnya. Mereka menyebar di sepanjang pertengahan betis hingga ke telapak kaki. Tangannya melingkari lutut sedang bokongnya menapak di atas gundukan-gundukan pasir kecil. Beberapa langkah di depan, permadani biru telah membentang menakjubkan. Dua jam yang lalu ... dia akhirnya tiba di Bali. "Mbak ...," perempuan itu tidak menanggapi. Tidak berbalik, tidak juga merespon. Sampai kemudian satu tangan lain dari arah belakang terulur lalu menepuk bahunya dengan pelan, dan Kinan baru membuka mata setelahnya. Sejurus kemudian dia berbalik dengan sorot malas. Hal pertama yang dia dapati adalah sosok cantik berambut pirang. Oh tidak, dia bukan turis asing, jelas sekali dia pendu
"Aduh ... Mbak Kinan, kita sebaiknya tidak keluar." Kedua manik Bagas tidak berhenti berotasi memantau ke berbagai arah. Dia berharap tidak menemukan sosok Trian dalam keadaan seperti ini mengingat dirinya akan menjumpai masalah baru. Bukan hal lumrah bila dia dan Joko akan mendapati omelan panjang yang menyakitkan telinga, bahkan mungkin yang paling merugikan ialah pemotongan gaji yang cukup besar dari Trian. Bagas bisa saja menghindari kemalangan itu jika Kinan mau bekerja sama dengan diam di tempat tanpa membuat ulah. Hanya saja, Bagas pun tidak bisa menyalahkan perempuan itu. Dia akan melakukan hal serupa bila dirinya berada dalam posisi Kinan. Toh, orang mana yang akan tahan bila dikurung di dalam kamar dalam waktu yang cukup lama, sementara di luar sana ada banyak hal menarik yang bisa kedua matanya jumpai. Sebut saja, kemunculan Kinan sebagai sosok Nyonya muda Nugroho han