Share

Insiden

Sepanjang jalan menuju villa, selepas mengantar Tatiana, Trian tidak berhenti menyunggingkan senyum begitu mengingat insiden lucu yang dialami Kinan di mall.

Setelah Bagas menghubunginya dan mengatakan perihal masalah Kinan yang telah memborong banyak tas mahal tetapi tidak punya uang untuk membayar, alih-alih memberi bantuan, Trian justru membiarkan Kinan dalam masalah tersebut.

Ya, pria itu berencana mengerjai istrinya. Hitung-hitung sebagai hukuman mengingat Kinan berani pergi tanpa sepengetahuannya.

Dia ingat jelas bagaimana panggilan Bagas kembali mengisi ponselnya, sementara yang bersuara keras di seberang sana ialah Kinan. Kemarahan perempuan itu tidak terbendung begitu dirinya dipermalukan pegawai toko yang menyebutnya sebagai penipu.

Kinan bersumpah akan kembali ke toko itu dan membuat mereka menganga dengan uangnya, pikirnya.

Bukan main cerahnya wajah Trian begitu mendengar suara keras perempuan itu memaki. Trian bahkan tidak peduli ketika Tatiana bertanya saat melihatnya terbahak-bahak. Hal yang sangat jarang dilakukan seorang Trian Nugroho.

Begitu Trian memarkirkan mobil di parkiran khusus tidak jauh dari rumah para penjaga, pria itu bergegas turun lalu menghampiri Bagas yang sedang berdiri menyambut kedatangannya.

Di belakangnya, beberapa pengawal lain pun sedang melakukan hal serupa. Trian mengangkat dagunya sombong, lantas berlalu begitu saja. Tetapi sejurus kemudian, dia berbalik kembali lalu memicing ke arah Bagas.

Trian berdiri di hadapan pria besar itu, sementara Bagas menunduk dalam-dalam. "Bagas, lain kali, aku tidak ingin mendengarmu memanggil Istriku dengan namanya." Trian hendak melangkah sesaat setelah menyaksikan Bagas mengangguk sembari menjawabnya. "Jika Kinan kembali keluar diam-diam laporkan kepadaku, apapun yang dia lakukan. Mengerti!"

Bagas kontan mengangguk mafhum. "Baik, Bos!"

"Ya sudah, kembali berjaga."

Hari sudah mulai sore, sementara kemilau cahaya jingga itulah pemandangan yang paling Trian sukai ketika dia melangkahkan kaki membelah hamparan hijau daun teh menuju bukit di mana villa berada. Trian bahkan membiarkan dirinya berhenti di tengah-tengah, memejamkan mata, lalu meresapi aroma yang benar-benar membuatnya tenang. Hal itu berlangsung selama beberapa menit hingga akhirnya dia memilih beranjak. 

"Kinan ... kamu masih hidupkan?" Bibir pria itu berkedut menahan senyum, sesaat setelah dia membuka pintu dan menemukan Kinan sedang tertelungkup di atas lantai tidak jauh di depan TV yang kembali dibiarkan menyala.

Tidak ada tanggapan, dan karenanya Trian memilih mengikis jarak. Pria itu berjongkok begitu dia berada tepat di atas kepala Kinan. Menggunakan telunjuk, Trian menusuk sebelah pipi perempuan itu, bermaksud membangunkannya. Tetapi alih-alih mendapati istrinya bangun, Trian justru dikejutkan saat menyadari bahwa Kinan sama sekali tidak bernapas.

Kedua manik Trian kontan terbelalak. Sekoyong-koyong dia menarik tubuh Kinan untuk membaliknya. Wajah wanita itu benar-benar pucat. Trian sendiri mulai panik. "Ki ... Kinan, kamu benar-benar mati, ya?" Jemari pria itu bergerak cepat menepuk kedua pipi Kinan. Gejolak ketakutan mulai terbayang di benaknya saat mendapati hal lain bahwa betapa dinginnya kulit perempuan itu.

Ya Tuhan, Kinan benar-benar meninggal!

Tanpa kikir panjang, Trian berbalik menuju ruang kerja, mengambil telepon khusus untuk menghubungi penjaga dan begitu panggilan tersambung, Trian tidak berpikir banyak untuk berteriak, "Siapkan mobil! Kita ke rumah sakit!"

Buru-buru Trian meraih tubuh Kinan sementara wajahnya sendiri benar-benar kaku. Bagaimana mungkin dia tidak frustasi mendapati Kinan akan mati sementara perempuan itu bahkan belum bertemu dengan papanya.

"Hei, jangan mati dulu bisa tidak? Kamu bahkan belum melakukan tugasmu dengan benar," Trian menggerutu setengah sadar. Jujur saja, dia sedang panik. Digendongnya tubuh Kinan bermaksud membawanya keluar menuju mobil di bawah bukit.

Tetapi begitu kakinya nyaris menggapai pintu, Kinan tiba-tiba terbatuk keras sementara perempuan itu mengambil napas dalam-dalam, meski berulang kali tampak tersedak.

"Kinan, kamu masih hidup?" Kinan tidak menjawab tetapi Trian memilih untuk melanjutkan langkah. Kinan jelas butuh perawatan. Namun, sebelum pria itu berhasil mengambil langkah ketiganya melewati ambang pintu, suara parau yang berasal dari Kinan terdengar.

"Be-berhenti ... aku, baik ...."

"Hah?!" Trian mendekatkan wajah, berniat mendengarkan lebih jelas. "Kamu apa?"

Helaan napas Kinan akhirnya terdengar. Begitu perempuan itu berhasil mendapati kesadarannya, dia bergumam pelan, "Biarkan aku di kamar, aku baik-baik saja."

"Yang benar saja, tadi aku melihatmu sudah mati, jadi karena kamu masih diberi kesempatan hidup ya harus ditangani dulu sama Dokter, biar kita tahu penyebabnya apa." Trian jadi kesal sendiri. Kepanikannya beberapa waktu lalu seolah habis ditenggelamkan perasaan dongkol karena Kinan menolak dibawa ke rumah sakit.

Ada-ada saja!

Tetapi tampaknya bukan hanya Trian yang sedang marah, Kinan yang masih lemas pun telah memasang mimik kaku. "Aku tidak mati, hanya pingsan," ujarnya, benar-benar datar. "Kembalikan aku ke dalam."

"Tidak!" Trian melotot. "Kalau kamu sampai mati aku sendiri yang repot."

Kinan berdecak sebal. "Ya kamu tinggal siapkan kuburan mewah."

Rahang Trian seketika mengeras. Tanpa berkata lagi, dia akhirnya memilih untuk kembali ke dalam lalu membaringkan Kinan di atas kasur. Sembari melotot garang pria itu mendesis, "Jangan menolak lagi, aku akan panggil Dokter ke sini."

Kinan mengacungkan jempol, lalu menarik selimut untuk membungkus tubuh sendiri. Percayalah, dia benar-benar kedinginan, bibirnya bahkan belum berhenti bergetar.

Sejurus kemudian Trian meninggalkan Kinan. Dia berdiri di tengah-tengah ruang tamu lalu merongoh saku meraih ponsel. Wajahnya masih sangat kaku ketika dia berbicara dengan salah seorang dokter yang kebetulan adalah teman dekatnya—dulu—bernama Fian Adiansyah.

Beberapa jam setelah Trian mengubungi Fian, dokter menawan itu kemudian datang dengan segudang senyum cerah di bibir. Pasalnya, suatu waktu Trian pernah berkata tidak akan menghubungi Fian lagi. Kesalahpahaman pernah membelit hubungan mereka hingga renggang beberapa tahun terakhir.

Tetapi, Fian yang kenal betul seperti apa tabiat karibnya itu tidak akan terkejut, bila hari di mana Trian akan menghubunginya kembali akan datang. Hari ini jelas adalah waktu yang dia maksud.

"Wah, selow Man, kan kamu yang lagi butuh bantuan aku, wajahmu kok masam begitu?" Fian terkekeh begitu dia berhasil menaiki undakan tangga yang akan membawanya naik ke teras, sementara di sana, Trian sedang berdiri melipat tangan dengan mimik garang.

"Jangan banyak bicara, aku tidak punya waktu, lakukan saja tugasmu dengan cepat." Trian melangkah lebih dulu, membiarkan Fian mengikutinya.

Di belakang, Fian terkekeh tidak habis pikir. "Siap Bos," ujarnya diselingi tawa kecil. "Ngomong-ngomong siapa yang ingin diperiksa, aku skeptis jika itu kamu," guraunya.

Trian berhenti sebentar lalu berbalik hanya untuk melotot ke arah Fian, sebaliknya, pria berkulit putih dengan senyum ramah itu hanya bisa mengangkat tangan sebagai bentuk kekalahan. Dia menyerah untuk berdebat.

"Widih ... wanita ke berapa ini?" Fian mengamati Kinan yang sedang terbaring di atas kasur begitu dia memasuki kamar. Di sisi lain, Kinan yang sedang memejamkan mata, kontan membelalak sesaat setelah mendengar suara asing menyambut telinganya. "Oh, dia bangun." Fian tersenyum lalu mendekat dan berikutnya duduk di kursi di samping kasur, berhadapan langsung dengan Kinan. "Mbak manis sekali, ya, namanya siapa?"

"Aku tidak memintamu datang untuk menggodanya." Suara Trian pekat dan terdengar kesal.

Fian terkekeh. "Posesif sekali Abang satu ini."

Trian mendengkus.

Di sisi lain, kedua manik tajam Trian sama sekali tidak lepas mengamati pekerjaan Fian. Ada kalanya itu memicing ketika tangan pria itu menyentuh Kinan sementara yang disentuh sama sekali tidak menunjukkan reaksi. Mendadak Trian maju saat menyadari pemerikasaan berakhir dan dia lekas bertanya, "Ada apa dengannya?"

Ada gurat kebingungan di wajah Fian ketika berkata, "Dia sedang mengalami gejala hipotermia ringan." Bagaimana tidak, sebab setahunya tempat ini tidak berada di suhu yang begitu rendah.

Tampaknya tidak hanya Fian yang menunjukkan mimik serupa, Trian pun demikian. "Hipotermia? Bagaimana bisa? Tempat ini hanya sejuk dan tidak dingin berlebihan."

Namun, satu-satunya sumber jawaban pasti ialah menanyakan langsung perihal ini kepada orang yang bersangkutan. Kedua manik gelap Trian seketika terhunus ke arah Kinan, sementara perempuan itu segera membuang muka tanpa raut bersalah. "Aku tanya, kenapa kamu bisa kena hipotermia?"

Sembari memeluk selimut yang membungkus tubuhnya, Kinan menjawab malas. "Aku ketiduran di dalam kulkas."

Trian bahkan langsung terduduk di atas kasur sesaat setelah mendengar jawaban tersebut. Wajahnya benar-benar syok, sedang di sisi lain, Fian tidak pikir panjang untuk terbahak dengan keras.

Ada-ada saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status