Share

BAB 2 : Berkemah

Shanna yang baru saja keluar dari taksi dan masih berada di luar gerbang kampus, dikejutkan dengan Viona yang tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat hingga membuatnya hampir terjatuh jika Viona tidak menahannya dengan kuat.

Viona hanya tertawa pelan melihat Shanna yang kesal karena ulahnya.

“Bagaimana? Apa kamu benar-benar memberitahu babamu?”

“Hm!”

“Kamu serius?” pekik Viona tidak percaya.

“Menurutmu?” bukannya menjawab, Shanna justru bertanya balik.

Sebelumnya Shanna memang memberitahu sahabat-sahabatnya bahwa dia akan mengungkapkan perasaannya kepada Damar saat di hari ulang tahunnya. Awalnya mereka menyarankan Shanna untuk memikirkannya matang-matang. Akan tetapi Shanna sudah bertekad akan mengungkapkan perasaannya. Dia juga sudah memantapkan hati untuk menerima apa pun jawaban yang diberikan Damar nanti. Dia akan menerima semua konsekuensi dari apa yang dilakukannya.

“Lalu bagaimana jawaban babamu?” tanya Viona penasaran.

“Baba menolakku.”

Viona mengambil langkah lebar dan berdiri di hadapan Shanna yang membuatnya terpaksa menghentikan langkah. Digenggamnya tangan Shanna dengan erat. “Kamu harus menceritakan apa yang terjadi kemarin,” pintanya sedikit memaksa.

“Hm, nanti aku akan ceritakan semuanya. Sekarang kita ke kelas dulu. Sebentar lagi kelas dimulai.”

“Oke!”

Viona pun berbalik dan mereka berdua pun kembali melanjutkan perjalanan menuju ke kelas.

Shanna memiliki tiga orang sahabat, Viona, Neila dan Deva. Mereka berada di fakultas yang sama, tetapi kelas mereka berbeda. Tidak mau mengulang cerita yang sama berkali-kali, Shanna meminta mereka kumpul di kantin setelah jam kuliah berakhir.

Tidak hanya Viona saja yang penasaran. Neila dan Deva pun penasaran dengan cerita Shanna. Neila langsung memberondong Shanna dengan banyak pertanyaan ketika mereka berkumpul di kantin. Shanna pun tanpa basa-basi menceritakan apa yang terjadi kemarin antara dirinya dan ayahnya.

“Terus sekarang bagaimana sikap babamu? Apa ada perubahan?” tanya Neila setelah Shanna selesai bercerita. Tangannya mengelus punggung Shanna memberi kekuatan dan semangat untuknya.

“Sikap baba biasa saja seperti biasanya. Seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa di antara kami.”

Pagi tadi Damar bersikap seperti biasanya. Di mana pria itu akan memberikan kecupan selamat pagi di keningnya. Bahkan tidak terlihat kecanggungan sama sekali. Berbeda dengan Shanna yang merasa sedikit canggung menghadapi Damar.

“Syukur deh kalau begitu,” jawab Deva. “Berarti babamu benar-benar hanya menganggapmu sebagai anaknya. Nggak lebih.”

“Hm! Tapi justru aku yang merasa canggung.”

“Itu wajar kalau kamu canggung. Bagaimanapun kasih sayangmu kepada Om Damar bukan kasih sayang antar anak dan ayah, tetapi lebih dari itu.”

“Itulah masalahnya. Aku sudah berusaha mencoba untuk bersikap biasa dan menganggap bahwa aku nggak mengatakan apa-apa sama baba. Tapi nggak bisa. Aku nggak bisa membuang perasaanku kepada baba begitu saja.”

“Nggak apa-apa. Kamu bisa melakukannya secara perlahan-lahan. Aku yakin nanti rasa cintamu kepada Om Damar juga akan hilang.”

Shanna bergumam sebagai jawaban.

Dia akan berusaha supaya hubungan mereka kembali seperti semula. Seharusnya dia memang tidak boleh memiliki perasaan yang lebih dari sekadar ayah dan anak kepada Damar. Namun dia sendiri tidak bisa mengendalikan perasaannya yang semakin lama semakin dalam kepada ayahnya itu. Shanna tidak tahu apakah dia bisa benar-benar menghilangkan rasa cintanya kepada ayahnya itu atau tidak.

“Oh ya, baba ingin mengajak kalian untuk berkemah di puncak akhir pekan ini. Kalian mau ikut?” Shanna mengalihkan topik pembicaraan ketika mengingat obrolannya dengan Damar kemarin siang mengenai acara ulang tahunnya kali ini.

“Tentu saja!” jawab ke tiganya dengan serempak.

Saking antusiasnya, mereka sudah mulai merencanakan apa yang harus mereka bawa untuk pergi berkemah besok.

Perjalanan ke puncak lumayan jauh, Damar mengajak Shanna dan ke tiga sahabatnya berangkat pagi-pagi buta pada hari sabtu. Tujuannya supaya mereka bisa bermain sepuasnya dan juga untuk menghindari macet.

Selama di perjalanan, suasana dalam mobil sangat ramai dengan celoteh Neila dan Viona yang mengobrol dengan Damar. Pria itu memang dekat dengan sahabat-sahabat Shanna, terutama dengan Viona karena gadis itu yang memiliki sifat ceria.

“Akhirnya kita sampai juga!” Viona membuka pintu mobil dan keluar. Kedua tangannya direntangkan sembari menghirup udara segar pegunungan. Dia berbalik, pandangannya menatap Damar yang baru saja keluar dari mobil. “Om, kami boleh jalan-jalan?”

“Ya. Kalian bisa jalan-jalan.”

“Baba nggak ikut?” tanya Shanna ketika melihat Damar justru membuka bagasi mobil dan mengeluarkan barang-baranga mereka.

“Tidak. Kamu jalan-jalan saja sama teman-temanmu. Baba mau istirahat dulu sambil membawa barang belanjaan kita ke tenda. Badan baba sedikit pegal karena menyetir berjam-jam.”

Shanna tidak membantah dan segera menyusul ke tiga sahabatnya yang sudah lebih dulu pergi. Mereka menghabiskan waktu menyusuri perkebunan teh dan berfoto di tempat-tempat yang memang disediakan untuk berfoto bagi para pengunjung. Mereka baru kembali pada sore hari.

Pada malam harinya, mereka mengadakan barbeku untuk makan malam.

Meskipun selama tiga hari ini Shanna merasa tidak ada masalah dengan Damar, tetapi di dalam hatinya, dia benar-benar merasa canggung kepada ayahnya itu. Akan tetapi, acara liburan mereka kali ini benar-benar membuat Shanna dapat melupakan rasa canggungnya terhadap Damar.

“Hai, Semuanya!”

Semua orang yang tengah asyik makan pun menghentikan gerakan mereka dan refleks menatap ke arah sumber suara di mana Galang datang mendekat ke arah mereka.

“Galang!” kejut Damar.

Galang tertawa pelan dan menghampiri Damar. “Kupikir aku salah lihat, makanya aku datang untuk memastikan dan ternyata memang kamu.”

“Halo, Om Galang,” sapa Shanna yang memang akrab dengan sahabat satu-satunya sang ayah.

Galang tersenyum lebar dan mengusap kepala Shanna seperti biasanya ketika mereka bertemu.

Walaupun sedikit malu diperlakukan seperti itu di hadapan sahabat-sahabatnya, tetapi Shanna tidak bisa marah atau protes. Sebab jika dia protes, maka Galang akan semakin gencar mengusap kepalanya dan memperlakukannya seperti anak kecil.

“Kenapa kamu tidak bilang kalau mau liburan ke puncak juga?” Damar mengalihkan perhatian Galang yang membuat Shanna merasa lega.

“Kamu sendiri saja tidak bilang kalau mau pergi ke puncak. Jadi mana aku tahu kalau kamu pergi ke puncak bersama anak-anakmu.”

Damar mempersilakan Galang duduk di sampingnya.

Untuk sesaat suasana sedikit canggung dengan kehadiran Galang. Itu karena ke tiga sahabat Shanna tidak terlalu akrab dengan Galang. Mereka hanya pernah bertemu beberapa kali saja dengan pria itu ketika mereka bermain ke rumahnya.

Galang merupakan orang yang pandai mengubah suasana. Sehingga dalam sekejap, suasana yang tadinya merasa canggung kini kembali hidup lagi.

Usai makan malam, mereka bersantai sebentar sebelum masuk ke tenda karena rasa lelah dan mengantuk, membiarkan Damar dan Galang yang masih mengobrol di luar. Namun setelah beberapa lama, terdengar langkah kaki diiringi dengan suara mereka berdua yang semakin menjauh.

Shanna yang masih dalam mode tidur-tidur ayamnya, merasa penasaran dan bergegas bangkit dari rebahannya. Sayangnya dia tidak menemukan sosok Damar dan Galang di meja tempat mereka makan malam tadi. Shanna mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari sosok mereka berdua. Seketika tubuhnya mematung ketika netranya menemukan sosok dua pria itu.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Viona khawatir. Dia merangkul bahu Shanna dan ikut memandang ke arah mana Shanna memandang.

Shanna menatap Viona dengan senyum kecil. “Hm, aku baik-baik saja,” suaranya sedikit bergetar meski dia sudah berusaha untuk bersikap tenang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status