MasukShanna yang baru saja keluar dari taksi, dikejutkan oleh Viona yang tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat. Dirinya hampir terjatuh, tetapi Viona dengan cepat menahannya.
Viona hanya tertawa pelan melihat Shanna yang kesal akibat ulahnya.
“Bagaimana? Apa kamu benar-benar memberitahu babamu?”
“Hm!”
“Kamu serius?” pekik Viona tidak percaya.
“Menurutmu?” bukannya menjawab, Shanna justru bertanya balik.
Sebelumnya Shanna memang memberi tahu sahabat-sahabatnya bahwa dia akan mengungkapkan perasaannya kepada Damar di hari ulang tahunnya. Awalnya mereka menyarankan Shanna untuk memikirkannya matang-matang. Akan tetapi, tekad Shanna sudah bulat untuk mengungkapkan perasaannya kepada Damar. Dia juga sudah menguatkan hatinya untuk menerima apa pun jawaban yang diberikan Damar nanti. Dia akan menerima semua konsekuensi dari apa yang dilakukannya.
“Lalu bagaimana jawaban babamu?” tanya Viona penasaran.
“Baba menolakku.”
Viona mengambil langkah lebar dan berdiri di hadapan Shanna, membuat langkah Shanna terhenti. Digenggamnya tangan Shanna dengan erat. “Kamu harus menceritakan apa yang terjadi kemarin,” pintanya sedikit memaksa.
“Hm, nanti aku akan ceritakan semuanya. Sekarang kita ke kelas dulu. Sebentar lagi kelas dimulai.”
“Oke!”
Viona berbalik dan mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas.
Shanna memiliki tiga orang sahabat, Viona, Neila, dan Deva. Mereka berada di fakultas yang sama, tetapi kelas mereka berbeda. Tidak ingin mengulang cerita yang sama berkali-kali, Shanna pun meminta mereka berkumpul di kantin setelah jam kuliah berakhir.
Tidak hanya Viona saja yang penasaran. Neila dan Deva pun penasaran dengan cerita Shanna. Neila langsung memberondong Shanna dengan banyak pertanyaan. Tanpa basa-basi, Shanna menceritakan apa yang terjadi kemarin antara dirinya dan ayahnya.
“Terus sekarang bagaimana sikap babamu? Apa ada perubahan?” tanya Neila setelah Shanna selesai bercerita. Tangannya mengelus punggung Shanna memberi kekuatan dan semangat untuknya.
“Sikap baba biasa aja seperti biasanya. Kayak nggak pernah terjadi apa-apa di antara kami.”
Pagi tadi Damar bersikap seperti biasanya. Di mana pria itu memberikan kecupan selamat pagi di keningnya. Bahkan tidak terlihat canggung sama sekali. Berbeda dengan Shanna yang sedikit canggung menghadapi Damar.
“Syukur, deh, kalau begitu,” jawab Deva. “Berarti babamu benar-benar hanya menganggapmu sebagai anaknya. Nggak lebih.”
“Hm! Tapi justru aku yang merasa canggung.”
“Itu wajar kalau kamu canggung. Bagaimanapun kasih sayangmu pada Om Damar bukan kasih sayang antara anak dan ayah, tetapi lebih dari itu.”
“Itulah masalahnya. Aku sudah berusaha mencoba bersikap biasa dan menganggap kalau aku nggak mengatakan apa-apa sama baba. Tapi nggak bisa. Aku nggak bisa membuang perasaanku begitu aja dari baba.”
“Nggak apa-apa. Kamu bisa melakukannya pelan-pelan. Aku yakin nanti rasa cintamu pada Om Damar juga akan hilang.”
Shanna bergumam sebagai jawaban.
Shanna akan berusaha membuat hubungan mereka kembali seperti semula. Seharusnya dia memang tidak boleh memiliki perasaan yang lebih kepada Damar. Namun, Shanna tidak bisa mengendalikan perasaannya yang timbul tanpa dia kehendaki. Di mana perasaan itu semakin lama semakin dalam kepada ayahnya. Shanna tidak tahu apakah dia benar-benar bisa menghilangkan rasa cintanya kepada ayahnya itu atau tidak.
“Oh ya, baba ingin mengajak kalian untuk berkemah di puncak akhir pekan ini. Kalian mau ikut, nggak?” Shanna mengalihkan topik pembicaraan, beralih membahas apa yang Damar katakan kemarin siang mengenai acara ulang tahunnya kali ini.
“Tentu aja!” jawab ketiganya serempak.
Saking antusiasnya, mereka sudah mulai merencanakan apa yang harus mereka bawa untuk pergi berkemah besok.
Perjalanan ke puncak lumayan jauh, dan untuk menghindari macet, Damar mengajak Shanna dan ketiga sahabatnya berangkat pagi-pagi buta. Selain itu, agar mereka semua bisa bermain sepuasnya di puncak nanti.
Selama di perjalanan, suasana dalam mobil sangat ramai. Neila dan Viona asyik mengobrol dengan Damar. Sebagai ayah Shanna, Damar memang dekat dengan ketiga sahabat putrinya, terutama dengan Viona yang ceria.
“Akhirnya kita sampai juga!” Viona membuka pintu mobil dan keluar. Kedua tangannya direntangkan sembari menghirup udara segar pegunungan. Dia berbalik, pandangannya menatap Damar yang baru saja keluar dari mobil. “Om, kami boleh jalan-jalan?”
“Ya. Kalian bisa jalan-jalan.”
“Baba nggak ikut?” tanya Shanna ketika melihat Damar justru membuka bagasi mobil dan mengeluarkan barang-barang mereka.
“Tidak. Kamu jalan-jalan saja dengan mereka. Baba mau istirahat dulu sambil membawa barang belanjaan kita ke tenda. Badan baba sedikit pegal karena menyetir berjam-jam.”
Shanna tidak membantah dan segera menyusul ketiga sahabatnya yang sudah lebih dulu pergi. Mereka menghabiskan waktu menyusuri perkebunan teh dan berfoto di tempat-tempat yang memang disediakan untuk berfoto bagi para pengunjung. Mereka baru kembali pada sore hari.
Pada malam harinya, mereka mengadakan barbeku untuk makan malam.
Hari ini, Shanna mencoba untuk menghilangkan rasa canggungnya pada Damar. Meski selama tiga hari ini Shanna bersikap seolah tidak ada masalah dengan Damar, tetapi di dalam hatinya, dia benar-benar canggung saat berhadapan dengan Damar.
“Hai, Semuanya!”
Semua orang yang tengah asyik makan, seketika menghentikan gerakan mereka dan refleks menatap ke arah sumber suara, di mana Galang datang mendekat ke arah mereka.
“Galang!” kejut Damar.
Galang tertawa pelan dan berjalan mendekat, berdiri di samping Damar. “Kupikir aku salah lihat, makanya aku datang untuk memastikan dan ternyata memang kamu.”
“Halo, Om Galang,” sapa Shanna yang memang akrab dengan sahabat satu-satunya sang ayah.
Galang tersenyum lebar dan mengusap kepala Shanna seperti biasanya ketika mereka bertemu.
Walaupun sedikit malu diperlakukan seperti itu di hadapan sahabat-sahabatnya, tetapi Shanna tidak bisa marah atau protes. Sebab jika dia protes, maka Galang akan semakin gencar mengusap kepalanya dan memperlakukannya seperti anak kecil.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau mau liburan ke puncak juga?” Damar mengalihkan perhatian Galang yang membuat Shanna merasa lega.
“Kamu sendiri saja tidak bilang kalau mau pergi ke puncak. Jadi mana aku tahu kalau kamu pergi ke puncak bersama anak-anakmu.”
Damar mempersilakan Galang duduk di sampingnya.
Untuk sesaat suasana sedikit canggung dengan kehadiran Galang. Itu karena ketiga sahabat Shanna tidak terlalu akrab dengan Galang. Mereka hanya pernah bertemu beberapa kali saja dengan pria itu ketika mereka bermain ke rumah Shanna.
Galang merupakan orang yang pandai mengubah suasana. Sehingga dalam sekejap, suasana yang tadinya canggung kini kembali hidup lagi.
Usai makan malam, mereka bersantai sebentar sebelum masuk ke tenda untuk beristirahat, sementara Damar dan Galang masih mengobrol di luar. Namun, setelah beberapa lama, Shanna mendengar langkah kaki serta suara dua orang pria itu semakin mengecil.
Shanna yang belum benar-benar tidur pun penasaran, dia bangkit dari rebahannya dan keluar tenda untuk melihat. Sayangnya Damar dan Galang sudah tidak ada di meja tempat mereka makan malam tadi. Shanna mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok mereka berdua. Seketika tubuhnya mematung ketika netranya menemukan sosok dua pria itu.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Viona khawatir. Dia merangkul bahu Shanna dan ikut memandang ke arah mana Shanna memandang.
Shanna menatap Viona dengan senyum kecil. “Hm, aku baik-baik aja,” suaranya sedikit bergetar meski sudah berusaha untuk bersikap tenang.
Damar menggenggam erat tangan Shanna. Matanya yang merah karena menangis saat menunggui Shanna di ruang operasi, terus menatap wajah Shanna yang pucat. Tangannya membelai wajah Shanna."Sayang, bangun. Jangan tinggalkan aku sendiri," kata Damar pelan, nyaris seperti bisikan. Diciuminya pungung tangan Shanna.Air mata kembali membasahi wajah Damar.Setelah 6 jam berada di ruang intensif, akhirnya dokter memindahkan Shanna ke ruang inap setelah masa kritisnya berlalu."Pak, lebih baik Anda istirahat. Biarkan saya yang menjaga Shanna," kata Ardo pelan."Tidak!" tolak Damar cepat.Damar tidak akan meninggalkan Shanna. Dia takut Shanna benar-benar meninggalkannya jika dia pergi."Tapi, Pak, Anda belum istirahat sama sekali sejak tadi pagi. Setidaknya Anda makan dulu meski sedikit, karena sejak tadi Anda juga belum makan." Ardo berusaha membujuk.Damar keras kepala ingin menemani Shanna.Ardo berusaha membujuk Damar. Namun, karena kekeraskepalaan Damar, akhirnya Ardo pun mengalah dan membia
Shanna mengernyit bingung saat mobil memasuki area rumah sakit. "Kenapa kita ke sini, Ba?"Damar memarkirkan mobilnya dengan rapi dan mematikan mesin mobil, lalu dia menatap Shanna. Tangannya menggenggam kedua tangan Shanna yang berada di atas paha."Kita akan konsultasi, dan jika memungkinkan, kita sekalian melakukan program kehamilan."Mata Shanna melebar. "Ba ..."Damar tersenyum kecil. "Aku sangat mengenalmu, Sayang. Walaupun kamu tidak mengatakannya, tapi kamu pasti masih memikirkannya, kan?"Shanna kembali dibuat terkejut. "Enggak, Ba. Aku nggak memikirkannya.""Kamu nggak perlu membohongi dirimu sendiri. Aku dapat melihatnya di matamu. Aku yang selama ini merawat dan membesarkanmu, jadi aku sangat tahu betul bagaimana dirimu.""Baba," Shanna tidak bisa berkata-kata.Ingin sekali Shanna menampik semua ucapan Damar. Namun, apa yang Damar katakan benar. Dia masih memikirkan apa yang dokter katakan mengenai kondisinya yang didiagnosa sulit untuk hamil. Sebagai seorang wanita, itu m
Shanna menunggu jawaban Damar dengan rasa takut yang semakin besar.Shanna sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Walaupun begitu, Shanna masih belum siap jika harus kehilangan Damar.Tangan Damar terulur, menghapus air mata yang terus mengalir di wajah Shanna. Senyum kecil terukir di wajah tampannya."Apa yang kamu katakan, hm?" kata Damar setelah berhasil menenangkan dirinya dari berita yang mengejutkan ini."Asal kamu tahu, Sayang," lanjut Damar. "Aku tidak peduli apakah kita akan memiliki anak atau tidak. Karena bagiku, kamu adalah segalanya. Jadi, tidak mungkin aku akan menceraikanmu. Jadi, berhentilah memikirkan hal yang tidak-tidak tentangku. Apa perlu aku mengatakannya kepadamu setiap hari, kalau aku selalu dan akan selalu menyayangi dan mencintaimu apa adanya meski kita tidak memiliki anak?"Air mata Shanna semakin deras. Namun, kali ini bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan.Shanna kembali memeluk Damar erat. "Terima kasih, Ba. Terima kasih kamu
Kehidupan mereka yang tenang dan damai membuat waktu berjalan dengan begitu cepat. Tidak terasa sudah satu tahun berlalu. Namun, sampai sekarang Shanna tidak kunjung hamil. Hal itu membuat Shanna khawatir dan waswas. Dia takut keguguran yang dialaminya sebelumnya akan berdampak pada rahimnya. Karena itulah hari ini Shanna memutuskan pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Shanna benar-benar takut jika dia tidak memberikan keturunan untuk Damar."Kak, kakak tunggu di sini aja, ya," kata Shanna begitu Ardo memarkirkan mobil di parkiran rumah sakit.Ardo mengangguk. "Ya."Shanna keluar dari mobil dan langsung memasuki rumah sakit. Setelah mengambil nomor antrean dan menunggu beberapa lama, akhirnya Shanna pun masuk ke ruangan dokter.Dokter langsung melakukan pemeriksaan sederhana usai mendengarkan keluhan Shanna. Memerlukan waktu satu setengah jam sebelum akhirnya dokter memberikan hasil diagnosanya kepada Shanna.Dunia seakan berhenti berputar saat dokter memberi t
Shanna menggeleng pelan. "Nggak, Tante.”Shanna meraih tangan Farel, isyarat untuk pria itu memberi ruang untuknya bicara dengan Nadia. Lalu Shanna pun duduk di hadapan Nadia.“Aku tahu tante nggak suka melihatku. Tapi tujuanku datang menemui tante bukan untuk menertawakan ataupun menghina tante. Aku datang mengunjungi tante karena aku ingin meminta maaf pada tante."Nadia mendengkus sinis. "Maaf? Apa kamu pikir maafmu bisa membebaskanku dari tempat ini?"Pandangan Shanna tertunduk. "Permintaan maafku memang nggak bisa membebaskan tante dari sini. Karena bagaimanapun, tante harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah tante lakukan."Shanna menegakkan kepalanya dan menatap Nadia lekat-lekat."Karena itulah aku ingin mengakhiri perseteruan kita sampai di sini, Tante. Aku benar-benar minta maaf karena sudah menjadi penyebab kebencian tante. Aku juga mewakili Baba meminta maaf pada tante karena dia sudah membuat tante harus berakhir seperti ini. Tapi tante harus tahu, apa yang Baba lakukan
Kedua tangan Damar terkepal erat. Rahangnya mengeras. "Dia kembali berulah dengan menjegal semua investor yang ingin berinvestasi di Dashan Group.""Lagi?!" seru Shanna terkejut."Ya.""Terus, sekarang bagaimana?" tanya Shanna khawatir.Damar tersenyum lebar. "Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."“Syukurlah kalau semuanya sudah baik-baik aja” Shanna memeluk Damar. "Maafkan aku, Ba. Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu. Karenaku, kamu jadi mendapatkan banyak masalah."Damar membalas pelukan Shanna. "Kamu tidak salah, Sayang. Memang mereka saja yang tidak bisa senang melihat kebahagiaan kita. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri.""Tapi, Ba, kalau kamu tahu bahwa Bibi adalah dalang di balik kecelakaan itu, kenapa kamu tidak mencabut tuntutanmu terhadap Nadia? Bukankah kalau seperti ini, sama saja dengan kita menjebloskan orang yang tidak bersalah?""Siapa bilang dia tidak bersalah?” kata Damar cepat. “Entah itu Nadia atau Diana, mereka me







