Share

Menikahi Ayah Angkat
Menikahi Ayah Angkat
Author: Namaku Malaja

BAB 1 : Pernyataan Cinta

“Shanna! Semangat, ya!”

Suara teriakan Viona terdengar keras meski Shanna sudah berlari cukup jauh dari sahabat-sahabatnya. Dia tidak berhenti dan hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Dia terus berlari menuju gerbang kampus dan mendekati mobil Damar yang ternyata sudah menunggunya.

“Maaf lama, Ba,” ucap Shanna ketika berada di dalam mobil. “Baba sudah dari tadi?”

“Tidak apa-apa. Baba juga baru saja sampai, kok.”

Damar mengemudikan mobil meninggalkan kampus Shanna dan menuju ke sebuah restoran bintang lima. Pagi tadi Damar memang mengajak Shanna makan siang bersama.

“Kenapa harus pesan private room sih, Ba? Kan di luar sama saja,” protes Shanna setelah pelayan pergi meninggalkan mereka berdua di private room yang dipesan Damar.

Bukannya Shanna tidak suka, dia hanya merasa ayahnya itu berlebihan dengan memesan private room hanya untuk makan siang.

“Ya beda dong, Sayang. Kalau di luar ramai dengan pengunjung yang lain. Tapi kalau di sini kan tenang dan tidak ada yang mengganggu. Apalagi hari ini kan hari ulang tahunmu. Jadi baba ingin memberikan yang spesial untukmu. Lagi pula sudah lama kita tidak makan berdua di restoran bintang lima seperti ini. Kalau baba tidak salah ingat, itu sekitar enam bulan yang lalu.”

Shanna memutar bola mata dengan penuturan ayahnya yang dianggap berlebihan itu. Namun apa yang dikatakan Damar benar adanya. Mereka jarang sekali makan di restoran bintang lima. Bukan karena mereka tidak punya uang, tetapi karena memang Shanna saja yang tidak terlalu suka makan di restoran mewah. Baginya, makan di restoran mana pun sama saja.

Kedua tangan Shanna yang berada di atas meja saling bertaut. Perlahan keringat membasahi telapak tangannya. Jantungnya pun mulai berdetak lebih cepat ketika dia menatap lekat-lekat wajah Damar yang terdapat luka bakar hampir di separuh wajahnya.

"Baba, ada yang ingin kukatakan sama baba."

Damar menatap Shanna yang tiba-tiba menatapnya intens. Perasaan penasaran tergambar jelas pada sorot mata pria itu. "Mau mengatakan apa?"

"Baba, aku mencintaimu," ucap Shanna mencoba bersikap tenang meski jantungnya berdebar semakin cepat menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut ayah sekaligus orang yang dicintainya.

Damar tersenyum lebar. "Baba tahu. Baba juga sangat mencintai dan menyayangimu."

Shanna menggeleng pelan. "Aku serius, Baba. Aku mencintaimu seperti wanita mencintai laki-laki, bukan sebagai ayah dan anak."

Mata Damar melebar. Ekspresi terkejut tergambar sangat jelas di wajahnya yang terdapat luka bakar. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena Damar segera mengubah ekspresinya kembali seperti semula. Namun ketika dia hendak membuka mulut memberikan jawaban, tiga orang pelayan masuk membawa pesanan mereka sehingga pria itu kembali mengatupkan mulutnya.

"Lebih baik kita makan dulu," ajak Damar mengubah topik pembicaraan setelah pelayan pergi meninggalkan mereka.

“Perasaan tadi kita nggak pesan sebanyak ini deh, Ba.” Shanna menatap hidangan yang tersaji begitu banyak di hadapannya.

“Ya ... sebenarnya baba sudah melakukan pemesanan tadi pagi. Baba sengaja tidak memberitahumu karena baba tahu kamu pasti akan menolaknya jika baba memberitahumu.” Damar menjawab tanpa menatap Shanna. “Lebih baik sekarang kita makan saja. Baba sudah lapar sekali.”

Untuk sesaat suasana di antara mereka menjadi sedikit canggung. Mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Tidak ada yang membuka suara.

"Ulang tahunmu kali ini, kamu ingin mengajak teman-temanmu kemana?" tanya Damar di sela-sela makannya, memecah keheningan yang trejadi.

Shanna yang tenggelam dalam pikirannya mengenai jawaban apa yang akan Damar berikan nanti atas pernyataan cintanya pun tersadar dan menatap pria di hadapannya.

“Aku belum memikirkannya. Mungkin aku akan mengajak mereka makan, menonton dan berbelanja saja.”

Shanna memang tidak memiliki rencana untuk membawa sahabat-sahabatnya bepergian. Sementara sahabat-sahabatnya sendiri pun tidak ada yang membahas hal itu. Sehingga Shanna sendiri tidak tahu harus mengajak sahabat-sahabatnya pergi kemana.

“Tahun kemarin kamu juga mengajak mereka makan, menonton dan berbelanja, kan? Memangnya kamu tidak mau mengajak mereka jalan-jalan kemana gitu.”

“Aku nggak tahu mau mengajak mereka kemana, Ba. Nggak ada rekomendasi. Lagian mereka juga nggak akan protes meski kuajak jalan-jalan ke mall buat belanja.”

Shanna memang tipe wanita yang tidak terlalu suka berbelanja atau jalan-jalan untuk bersenang-senang kecuali jika diajak secara paksa oleh sahabat dan ayahnya.

Damar menggeleng pelan. “Cobalah sesekali kamu pergi rekreasi bersama teman-temanmu. Ke puncak atau kemana gitu. Masa setiap ulang tahun hanya mengajak mereka makan, menonton dan belanja saja. Baba tidak memaksamu mengajak mereka jalan atau berbelanja, tetapi cobalah untuk menyenangkan dirimu sendiri. Asal kamu tahu, baba bekerja mencari uang itu untuk kamu. Kamu tidak perlu takut baba kehabisan uang. Baba justru senang kalau kamu bisa menyenangkan dirimu dengan pergi berlibur atau berbelanja bersama teman-temanmu.”

Shanna menghela napas pelan. “Hm, nanti aku cari rekomendasi dulu di internet.”

“Bagaimana kalau kita pergi berkemah saja di puncak akhir pekan besok?” usul Damar.

“Ya. Besok aku akan memberitahu mereka.”

Selama makan siang, mereka terus mengobrol. Namun, tidak ada sedikit pun tanda-tanda Damar akan membahas atau menjawab atas pernyataan cinta Shanna. Bahkan sampai mereka keluar dari restoran dan Damar mengantar Shanna pulang sebelum pria itu kembali ke perusahaan pun Damar masih tetap tidak memberikan jawaban apa pun.

“Baba, apa yang aku katakan kepada baba di restoran tadi siang itu, aku benar-benar serius, Ba. Aku benar-benar mencintai baba dan ingin menikah dengan baba,” ucap Shanna saat mereka sedang bersantai di ruang keluarga setelah makan malam.

Shanna sudah tidak bisa bersabar lebih lama lagi. Sudah enam tahun dirinya memendam rasa kepada ayahnya. Shanna pun sudah memikirkan dengan matang konsekuensi dari apa yang dia lakukan. Apa pun keputusan ayahnya, Shanna sudah siap menerima. Bahkan jika Damar akan membenci dirinya karena tidak tahu diri dan terima kasih kepada pria itu.

“Dengar, Shanna.” Damar berkata dengan nada tegas dan serius. Nada yang tidak pernah dia gunakan ketika berbicara kepada Shanna selama ini. Ditatapnya lekat-lekat mata Shanna. “Baba memang sangat menyayangi dan mencintaimu melebihi apa pun di dunia ini. Tetapi bukan berarti baba mau menikah denganmu. Kasih sayang yang baba berikan kepadamu itu adalah kasih sayang murni antara ayah dan anak. Jadi baba harap kamu berhenti dan buang jauh-jauh pemikiran untuk menikah dengan baba. Sampai kapanpun baba tidak akan mungkin bisa menikahimu karena bagi baba, sampai kapanpun kamu adalah putri baba. Anak kesayangan baba satu-satunya.”

Mata Shanna berkaca-kaca mendengar ucapan Damar. “Tapi, Baba, bukankah kita tidak memiliki hubungan darah?"

“Baba tahu kita tidak memiliki hubungan darah. Walaupun begitu, bagi baba, kamu tetap anak baba, putri baba satu-satunya. Dan tidak pantas bagi kita untuk memiliki hubungan seperti itu.”

“Tapi, Ba, aku—"

“Cukup, Shanna!” Damar menghentikan ucapan Shanna. “Lebih baik sekarang kamu istirahat. Tenangkan dirimu. Baba juga akan beristirahat karena besok ada banyak pekerjaan yang harus baba kerjakan.”

Damar bangkit dari duduknya. Tidak lupa dia mencium kening Shanna dan mengucapkan selamat malam seperti biasanya sebelum meninggalkan ruang keluarga.

Shanna hanya bisa menatap kepergian Damar dengan mata yang berkaca-kaca. Sekuat tenaga dia menahan air mata untuk tidak jatuh membasahi wajahnya. Ia tidak menyangka hatinya akan sesakit ini mendapatkan penolakan langsung dari orang yang dicintainya.

Apakah dia salah dan berdosa telah mencintai ayah angkatnya sendiri?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status