LOGINPada ulang tahunnya yang ke-21 tahun, Shanna Adipramana memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Damar Mahesa Adipramana—pria yang telah membesarkannya, ayah angkatnya. Akan tetapi, Damar menolaknya dengan tegas. Bagi Damar, Shanna hanyalah putrinya. Tidak lebih. Shanna pikir, hubungan mereka akan seperti sebelumnya setelah pernyataan cintanya, tetapi ternyata Damar menghindarinya. Hingga akhirnya Shanna pun memutuskan untuk pergi. Akan tetapi, Damar justru mengejarnya, memohon agar Shanna kembali kepadanya, hingga akhirnya mengakui sesuatu yang seharusnya tidak pernah diucapkan, yaitu bahwa Damar pun memiliki perasaan yang sama untuk Shanna. Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Badai cobaan menerpa mereka silih berganti, mulai dari kedatangan Nadia Hardinata—mantan kekasih Damar yang sudah lama tidak diketahui kabarnya, beredarnya skandal hubungan mereka yang dianggap tabu, hingga Shanna yang harus kehilangan anaknya yang belum lahir karena sebuah kecelakaan. Di tengah badai cobaan yang silih berganti menerpa mereka, terungkap sebuah rahasia kelam di masa lalu. Rahasia yang mengubah segalanya untuk mereka semua.
View More“Shanna! Semangat, ya!”
Suara teriakan Viona terdengar keras meski Shanna sudah berlari cukup jauh dari sahabat-sahabatnya. Dia melambaikan tangan tanpa berhenti ataupun sekadar menoleh. Langkahnya semakin cepat menuju gerbang kampus, di mana Damar sudah menunggunya di dalam mobil.
“Maaf lama, Ba,” ucap Shanna ketika berada di dalam mobil. “Baba sudah dari tadi?”
“Tidak apa-apa. Baba juga baru saja sampai, kok.”
Damar mengemudikan mobil meninggalkan area kampus. Ia mengendarai mobil menuju sebuah restoran bintang lima. Pagi tadi, dirinya sudah berjanji akan mengajak Shanna makan siang bersama.
“Kenapa harus pesan private room sih, Ba? Bukannya di luar sama aja?” protes Shanna setelah pelayan pergi meninggalkan mereka.
Bukannya Shanna tidak suka, dia hanya merasa ayahnya itu berlebihan dengan memesan private room untuk sekadar makan siang.
Damar tersenyum kecil.
“Ya beda dong, Sayang. Kalau di luar ramai dengan pengunjung yang lain. Tapi kalau di sini kan tenang dan tidak ada yang mengganggu. Apalagi hari ini kan hari ulang tahunmu, baba khusus memesannya tadi pagi hanya untukmu. Lagi pula sudah lama kita tidak makan berdua di restoran bintang lima seperti ini. Kalau baba tidak salah ingat, itu sekitar enam bulan yang lalu.”
Shanna memutar mata malas, menganggap ucapan Damar berlebihan. Namun, apa yang dikatakan Damar memang benar. Mereka jarang sekali makan di restoran bintang lima. Bukan karena mereka tidak punya uang, tetapi karena memang Shanna yang tidak terlalu suka makan di restoran mewah. Baginya, makan di restoran mana pun sama saja.
Shanna menatap lekat-lekat wajah Damar. Kedua tangannya yang berada di atas meja saling bertaut. Keringat perlahan membasahi telapak tangannya. Jantungnya pun mulai berdetak lebih cepat.
"Baba, ada yang ingin kukatakan sama baba."
Damar menatap Shanna yang menatapnya serius. Raut penasaran tergambar jelas pada sorot mata pria itu. "Mau mengatakan apa?"
Shanna mengambil napas, menenangkan debaran jantungnya yang semakin menggila. Kakinya sedikit bergetar. "Baba, aku mencintaimu," ucapnya cepat dan tegas.
Damar tersenyum lebar. "Baba tahu. Baba juga sangat mencintai dan menyayangimu."
Shanna menggeleng pelan. "Aku serius, Baba. Aku mencintaimu seperti wanita mencintai laki-laki, bukan sebagai ayah dan anak."
Mata Damar melebar. Ekspresi terkejut tergambar jelas di wajahnya yang terdapat luka bakar. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Damar segera mengubah ekspresinya kembali seperti semula. Dia membuka mulut untuk memberikan jawaban, tetapi tiga orang pelayan masuk membawa pesanan mereka, membuat pria itu kembali mengatupkan mulutnya.
"Lebih baik kita makan dulu," ajak Damar mengubah topik pembicaraan.
Shanna kecewa karena tidak bisa mendengarkan jawaban Damar. Namun, dia juga lega, sebab dia sendiri sebenarnya belum siap mendengar jawaban pria itu. Meski dia sudah menguatkan mentalnya, tetapi sedikit banyaknya Shanna takut akan penolakan Damar.
Shanna menatap hidangan yang tersaji begitu banyak di hadapannya. “Perasaan tadi kita nggak pesan sebanyak ini deh, Ba,” ucapnya setelah pelayan meningalkan mereka.
“Memang. Sebenarnya ... baba sudah melakukan pemesanan tadi pagi. Baba sengaja tidak memberitahumu karena baba tahu kamu pasti akan menolaknya kalau baba memberitahumu.” Damar menjawab tanpa menatap Shanna. “Lebih baik sekarang kita makan saja. Baba sudah sangat lapar sekali.”
Mereka pun menyantap hidangan dengan ditemani sepi. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tidak ada yang ingin membuka suara.
"Ulang tahunmu kali ini, kamu ingin mengajak teman-temanmu ke mana?" tanya Damar di sela-sela makannya, memecah keheningan yang terjadi.
Shanna tersentak, ditatapnya pria di hadapannya. “Aku belum memikirkannya, Ba. Mungkin aku akan mengajak mereka makan, nonton, dan belanja aja.”
Shanna tidak memiliki rencana untuk membawa sahabat-sahabatnya bepergian. Lagi pula sahabat-sahabatnya sendiri pun tidak ada yang membahas hal itu. Sehingga Shanna sendiri tidak tahu harus mengajak mereka pergi ke mana.
“Tahun kemarin kamu juga mengajak mereka makan, nonton dan belanja, ‘kan? Memangnya kamu tidak mau mengajak mereka jalan-jalan? Misal liburan atau ke mana gitu?”
“Aku nggak tahu mau mengajak mereka ke mana, Ba. Nggak ada rekomendasi. Lagian mereka juga nggak akan protes meski kuajak jalan-jalan ke mall buat belanja. Asal ditraktir, mereka senang-senang aja.”
Shanna tipe wanita yang tidak terlalu suka berbelanja atau jalan-jalan untuk bersenang-senang, kecuali kalau diajak secara paksa oleh sahabat dan ayahnya.
Damar menggeleng pelan. “Cobalah sesekali kamu pergi rekreasi bersama teman-temanmu. Ke puncak atau ke mana gitu. Masa setiap ulang tahun selalu mengajak mereka makan, nonton dan belanja saja.”
Damar menatap Shanna. “Baba tidak memaksamu mengajak mereka jalan atau berbelanja, tetapi cobalah untuk menyenangkan dirimu sendiri. Asal kamu tahu, baba bekerja mencari uang itu untuk kamu. Kamu tidak perlu takut baba kehabisan uang. Baba justru senang kalau kamu bisa menyenangkan dirimu dengan pergi berlibur atau berbelanja bersama teman-temanmu.”
Shanna menghela napas pelan. “Hm, nanti aku cari rekomendasi dulu di internet.”
“Bagaimana kalau kita pergi berkemah saja di puncak akhir pekan besok?” usul Damar yang tahu kalau Shanna pasti tidak akan melakukannya.
“Ya. Besok aku akan memberi tahu mereka.”
Selama makan siang, mereka terus mengobrol. Namun, tidak ada sedikit pun tanda-tanda Damar akan membahas atau menjawab penyataan cinta Shanna. Bahkan sampai mereka keluar dari restoran, mengantar Shanna pulang sebelum pria itu kembali ke perusahaan, Damar masih tetap tidak memberikan jawaban apa pun.
“Baba, apa yang aku katakan pada baba di restoran tadi siang itu, aku benar-benar serius, Ba. Aku benar-benar mencintai baba dan ingin menikah dengan baba,” ucap Shanna, nadanya serius.
Saat ini mereka sedang bersantai di ruang tengah setelah makan malam.
Shanna tidak bisa bersabar lebih lama lagi. Sudah enam tahun dirinya memendam rasa kepada ayahnya. Shanna pun sudah memikirkan dengan matang konsekuensi dari apa yang dia lakukan. Apa pun keputusan ayahnya, Shanna sudah siap menerima. Bahkan kalau Damar akan membencinya serta menganggapnya tidak tahu diri dan terima kasih kepada pria itu.
“Dengar, Shanna.” Damar berkata dengan nada tegas dan serius. Nada yang tidak pernah dia gunakan ketika berbicara kepada Shanna selama ini. Ditatapnya lekat-lekat mata Shanna. “Baba memang sangat menyayangi dan mencintaimu melebihi apa pun di dunia ini. Tetapi bukan berarti baba mau menikah denganmu.”
Rasa sakit seketika menjalari hati Shanna. Dirinya telah ditolak oleh ayahnya.
“Kasih sayang yang baba berikan padamu itu adalah kasih sayang murni antara ayah dan anak,” Damar terus berkata tegas. “Jadi baba harap kamu berhenti dan buang jauh-jauh pemikiran untuk menikah dengan baba. Sampai kapanpun baba tidak akan mungkin bisa menikahimu. Karena bagi baba, sampai kapanpun kamu adalah putri baba. Anak kesayangan baba satu-satunya.”
Mata Shanna berkaca-kaca. “Tapi, Ba, bukankah kita tidak memiliki hubungan darah?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, mencoba mencari secercah harapan.
“Baba tahu kita tidak memiliki hubungan darah. Walaupun begitu, bagi baba, kamu tetap anak baba, putri baba satu-satunya. Dan tidak pantas bagi kita untuk memiliki hubungan seperti itu.”
“Tapi, Ba, aku—"
“Cukup, Shanna!” Damar menghentikan ucapan Shanna. “Lebih baik sekarang kamu istirahat. Tenangkan dirimu. Baba juga akan beristirahat, besok ada banyak pekerjaan yang harus baba kerjakan.”
Damar bangkit dari duduknya. Tidak lupa dia mencium kening Shanna dan mengucapkan selamat malam seperti biasanya sebelum meninggalkan ruang tengah.
Shanna menatap kepergian Damar dengan mata berkaca-kaca. Sekuat tenaga dia menahan air mata agar tidak jatuh membasahi wajahnya. Dia tidak menyangka hatinya akan sesakit ini mendapatkan penolakan langsung dari orang yang dicintainya.
Apakah dia salah dan berdosa karena telah mencintai ayah angkatnya sendiri?
Damar menggenggam erat tangan Shanna. Matanya yang merah karena menangis saat menunggui Shanna di ruang operasi, terus menatap wajah Shanna yang pucat. Tangannya membelai wajah Shanna."Sayang, bangun. Jangan tinggalkan aku sendiri," kata Damar pelan, nyaris seperti bisikan. Diciuminya pungung tangan Shanna.Air mata kembali membasahi wajah Damar.Setelah 6 jam berada di ruang intensif, akhirnya dokter memindahkan Shanna ke ruang inap setelah masa kritisnya berlalu."Pak, lebih baik Anda istirahat. Biarkan saya yang menjaga Shanna," kata Ardo pelan."Tidak!" tolak Damar cepat.Damar tidak akan meninggalkan Shanna. Dia takut Shanna benar-benar meninggalkannya jika dia pergi."Tapi, Pak, Anda belum istirahat sama sekali sejak tadi pagi. Setidaknya Anda makan dulu meski sedikit, karena sejak tadi Anda juga belum makan." Ardo berusaha membujuk.Damar keras kepala ingin menemani Shanna.Ardo berusaha membujuk Damar. Namun, karena kekeraskepalaan Damar, akhirnya Ardo pun mengalah dan membia
Shanna mengernyit bingung saat mobil memasuki area rumah sakit. "Kenapa kita ke sini, Ba?"Damar memarkirkan mobilnya dengan rapi dan mematikan mesin mobil, lalu dia menatap Shanna. Tangannya menggenggam kedua tangan Shanna yang berada di atas paha."Kita akan konsultasi, dan jika memungkinkan, kita sekalian melakukan program kehamilan."Mata Shanna melebar. "Ba ..."Damar tersenyum kecil. "Aku sangat mengenalmu, Sayang. Walaupun kamu tidak mengatakannya, tapi kamu pasti masih memikirkannya, kan?"Shanna kembali dibuat terkejut. "Enggak, Ba. Aku nggak memikirkannya.""Kamu nggak perlu membohongi dirimu sendiri. Aku dapat melihatnya di matamu. Aku yang selama ini merawat dan membesarkanmu, jadi aku sangat tahu betul bagaimana dirimu.""Baba," Shanna tidak bisa berkata-kata.Ingin sekali Shanna menampik semua ucapan Damar. Namun, apa yang Damar katakan benar. Dia masih memikirkan apa yang dokter katakan mengenai kondisinya yang didiagnosa sulit untuk hamil. Sebagai seorang wanita, itu m
Shanna menunggu jawaban Damar dengan rasa takut yang semakin besar.Shanna sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Walaupun begitu, Shanna masih belum siap jika harus kehilangan Damar.Tangan Damar terulur, menghapus air mata yang terus mengalir di wajah Shanna. Senyum kecil terukir di wajah tampannya."Apa yang kamu katakan, hm?" kata Damar setelah berhasil menenangkan dirinya dari berita yang mengejutkan ini."Asal kamu tahu, Sayang," lanjut Damar. "Aku tidak peduli apakah kita akan memiliki anak atau tidak. Karena bagiku, kamu adalah segalanya. Jadi, tidak mungkin aku akan menceraikanmu. Jadi, berhentilah memikirkan hal yang tidak-tidak tentangku. Apa perlu aku mengatakannya kepadamu setiap hari, kalau aku selalu dan akan selalu menyayangi dan mencintaimu apa adanya meski kita tidak memiliki anak?"Air mata Shanna semakin deras. Namun, kali ini bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan.Shanna kembali memeluk Damar erat. "Terima kasih, Ba. Terima kasih kamu
Kehidupan mereka yang tenang dan damai membuat waktu berjalan dengan begitu cepat. Tidak terasa sudah satu tahun berlalu. Namun, sampai sekarang Shanna tidak kunjung hamil. Hal itu membuat Shanna khawatir dan waswas. Dia takut keguguran yang dialaminya sebelumnya akan berdampak pada rahimnya. Karena itulah hari ini Shanna memutuskan pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Shanna benar-benar takut jika dia tidak memberikan keturunan untuk Damar."Kak, kakak tunggu di sini aja, ya," kata Shanna begitu Ardo memarkirkan mobil di parkiran rumah sakit.Ardo mengangguk. "Ya."Shanna keluar dari mobil dan langsung memasuki rumah sakit. Setelah mengambil nomor antrean dan menunggu beberapa lama, akhirnya Shanna pun masuk ke ruangan dokter.Dokter langsung melakukan pemeriksaan sederhana usai mendengarkan keluhan Shanna. Memerlukan waktu satu setengah jam sebelum akhirnya dokter memberikan hasil diagnosanya kepada Shanna.Dunia seakan berhenti berputar saat dokter memberi t
Shanna menggeleng pelan. "Nggak, Tante.”Shanna meraih tangan Farel, isyarat untuk pria itu memberi ruang untuknya bicara dengan Nadia. Lalu Shanna pun duduk di hadapan Nadia.“Aku tahu tante nggak suka melihatku. Tapi tujuanku datang menemui tante bukan untuk menertawakan ataupun menghina tante. Aku datang mengunjungi tante karena aku ingin meminta maaf pada tante."Nadia mendengkus sinis. "Maaf? Apa kamu pikir maafmu bisa membebaskanku dari tempat ini?"Pandangan Shanna tertunduk. "Permintaan maafku memang nggak bisa membebaskan tante dari sini. Karena bagaimanapun, tante harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah tante lakukan."Shanna menegakkan kepalanya dan menatap Nadia lekat-lekat."Karena itulah aku ingin mengakhiri perseteruan kita sampai di sini, Tante. Aku benar-benar minta maaf karena sudah menjadi penyebab kebencian tante. Aku juga mewakili Baba meminta maaf pada tante karena dia sudah membuat tante harus berakhir seperti ini. Tapi tante harus tahu, apa yang Baba lakukan
Kedua tangan Damar terkepal erat. Rahangnya mengeras. "Dia kembali berulah dengan menjegal semua investor yang ingin berinvestasi di Dashan Group.""Lagi?!" seru Shanna terkejut."Ya.""Terus, sekarang bagaimana?" tanya Shanna khawatir.Damar tersenyum lebar. "Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."“Syukurlah kalau semuanya sudah baik-baik aja” Shanna memeluk Damar. "Maafkan aku, Ba. Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu. Karenaku, kamu jadi mendapatkan banyak masalah."Damar membalas pelukan Shanna. "Kamu tidak salah, Sayang. Memang mereka saja yang tidak bisa senang melihat kebahagiaan kita. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri.""Tapi, Ba, kalau kamu tahu bahwa Bibi adalah dalang di balik kecelakaan itu, kenapa kamu tidak mencabut tuntutanmu terhadap Nadia? Bukankah kalau seperti ini, sama saja dengan kita menjebloskan orang yang tidak bersalah?""Siapa bilang dia tidak bersalah?” kata Damar cepat. “Entah itu Nadia atau Diana, mereka me






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments