Viona dan Shanna meninggalkan gedung bioskop dan menuju kafe yang ada di seberang. Mereka hanya berdua karena Neila sedang kencan dengan kekasihnya. Sedangkan Deva mengantar saudaranya ke bandara.
“Kapan babamu pulang?”
“Aku nggak tahu. Setiap kali kutanya kapan pulang, Baba nggak memberikan jawaban pasti kapan akan pulang. Dia selalu bilang kalau pekerjaannya nggak bisa ditinggalkan.”
Dua hari setelah pulang dari berkemah, Damar berpamitan pergi ke Surabaya. Ada masalah pada perusahaan cabang di sana. Sedikit banyaknya Shanna bersyukur karena dirinya berpisah dengan sang ayah. Sebab dia masih canggung dengan apa yang terjadi saat di puncak dua minggu yang lalu.
“Shanna, entah kenapa aku merasa kalau Om Damar seperti menghindarimu,” celetuk Viona.
“Nggak mungkin. Kalau Baba memang ingin menghindariku karena pengakuan cintaku, seharusnya Baba melakukannya setelah aku mengatakan perasaanku.”
“Ya ... mungkin aja babamu nggak mau membuatmu kecewa, makanya dia menghindarimu dengan alasan pergi ke luar kota. Buktinya babamu nggak pernah cerita apa pun soal wanita yang dipeluknya waktu di puncak kemarin sampai saat ini, ‘kan?”
Shanna terdiam.
Pikirannya berputar ke kejadian saat mereka berkemah, di mana dirinya melihat Damar memeluk seorang wanita. Mengingatnya kembali, hatinya kecewa. Selama ini baik dia maupun Damar saling terbuka. Tidak ada yang mereka tutup-tutupi. Namun, Shanna tidak menyangka bahwa ternyata sekarang ayahnya mulai tertutup kepadanya.
Menyesal?
Ya. Shanna menyesali apa yang dia lakukan. Seandainya dia tidak mengikuti egonya untuk mengungkapkan perasaannya kepada sang ayah dan memendamnya sendiri, mungkin hubungan mereka tetap seperti sebelumnya, tidak akan renggang seperti sekarang. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur, dia tidak bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi dan hanya bisa menjalani apa yang akan terjadi ke depannya.
“Shanna, bukankah itu babamu?” ucap Viona ketika mereka keluar dari kafe.
Shanna mengikuti arah telunjuk Viona yang menunjuk ke arah sebuah hotel tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Seorang laki-laki yang sangat mirip dengan Damar memasuki hotel.
“Mungkin kamu salah lihat,” ucap Shanna memberi alasan, entah kenapa dia tidak bisa mempercayai bahwa itu adalah ayahnya meski terlihat sangat mirip sekali. Dia yakin saat ini Damar berada di Surabaya. Shanna yakin ayahnya tidak akan membohonginya.
“Kamu benar. Mungkin itu hanya mirip aja. Melihat sikap babamu yang sangat menyayangimu, nggak mungkin babamu mau tinggal di hotel dan bukannya di rumah.”
“Ya sudah, ayo kita pulang.” Shanna menarik tangan Viona dan menghentikan taksi. Karena jalannya searah dan rumah Viona lebih dekat, Shanna pun meminta sopir taksi membawa mereka ke rumah Viona untuk mengantarkannya lebih dulu.
Shanna merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Pandangannya menatap langit-langit kamar. Pikirannya terus memutar apa yang dilihatnya tadi, yaitu sosok yang mirip dengan Damar yang memasuki hotel.
‘Mungkin apa yang aku lihat sama Viona tadi hanya orang yang kebetulan mirip aja sama Baba,’ pikir Shanna berusaha untuk berpikir positif.
Tiga puluh menit berlalu, Shanna masih berdiam dengan posisi itu sebelum akhirnya dia mengambil ponsel dan menghubungi Damar untuk menenangkan hatinya. Pada dering kedua, panggilannya langsung dijawab oleh Damar.
“Halo, Sayang,” sapa Damar dari seberang telepon.
“Halo, Ba. Aku menganggu baba, nggak?”
“Tidak. Ada apa? Apa ada masalah?” suara Damar terdengar khawatir.
“Nggak ada. Aku cuma kangen sama baba,” jawab Shanna jujur. Dia benar-benar sangat merindukan ayah sekaligus orang yang dicintainya.
Damar tertawa pelan. “Padahal tadi siang kita baru teleponan, lho.”
“Teleponan dengan ketemu langsung kan beda, Ba. Baba kapan pulangnya, sih? Sudah hampir dua minggu baba di Surabaya.”
“Maaf, Sayang. Baba masih belum tahu kapan bisa pulang. Pekerjaan di sini masih banyak yang harus baba tangani sendiri. Tidak bisa diserahkan kepada orang lain,” terdengar suara helaan napas Damar di seberang telepon.
Shanna tidak mengerti. Apakah dirinya harus mempercayai ucapan sang ayah atau penglihatannya. Dia ingin sekali mempercayai sang ayah, tetapi entah kenapa hati kecilnya merasa sulit untuk mempercayai ucapan ayahnya. Apalagi ketika mengingat Damar sudah mulai tidak terbuka seperti sebelumnya. Terbukti dengan Damar yang menyembunyikan hubungannya dengan seorang wanita yang sampai sekarang tidak Shanna ketahui siapa wanita itu.
Mereka mengobrol cukup lama sebelum akhirnya Damar memutuskan sambungan terlebih dahulu mengingat waktu sudah semakin larut.
“Sepertinya aku harus memastikannya sendiri,” gumam Shanna seraya bangkit dari tempat tidur.
Semalaman dirinya gelisah dan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya terus memutar ucapan Damar malam tadi.
Pukul enam pagi, Shanna meninggalkan rumah dan pergi ke kafe di mana mereka nongkrong kemarin. Karena masih pagi dan kafe juga masih tutup, Shanna memilih memasuki hotel dan langsung menuju ke restoran hotel. Dia menuju ke tempat yang paling sepi pengunjung, sebab Damar tidak suka keramaian, jadi sudah pasti pria itu akan memilih tempat yang tidak terlalu ramai.
Tepat pukul setengah tujuh pagi, sosok Damar memasuki restoran hotel dan duduk tidak jauh dari Shanna.
Hati Shanna benar-benar hancur. Tidak menyangka bahwa Damar benar-benar menghindarinya.
Kalau benar Damar menghindarinya, lalu kenapa pria itu tidak melakukannya setelah pernyataan cintanya? Kenapa harus menunggu lama, bahkan mengajaknya dan sahabat-sahabatnya untuk berkemah bersama?
Shanna mengambil ponsel dan menghubungi Damar yang langsung diangkat oleh pria itu. Seperti biasa, Shanna menanyakan apakah pria itu sudah sarapan atau belum. Pandangan Shanna tidak pernah lepas sedikit pun dari sosok Damar yang menyantap sarapannya.
“Baba tutup teleponnya, ya. Sebentar lagi baba harus berangkat kerja. Kamu juga harus kuliah pagi ‘kan hari ini?”
“Hm, hati-hati di jalan, Ba.”
“Kamu juga, Sayang.”
Tangan Shanna masih di telinganya meski sambungan telepon telah terputus. Pandangannya menatap Damar yang meninggalkan restoran hotel.
Tidak lama kemudian, Shanna meninggalkan hotel. Dia pulang dan mengemasi beberapa barang penting miliknya. Dia juga menulis surat yang ditujukan untuk Damar dan menitipkannya kepada resepsionis hotel.
Sebagai anak angkat, Shanna sadar diri. Apa yang dimilikinya saat ini bukanlah miliknya, melainkan milik ayahnya. Jika ayahnya sudah tidak ingin melihat dirinya lagi, maka biarkan dia saja yang pergi dari hidup Damar.
“Selamat tinggal, Baba.” Shanna menatap hotel di hadapannya sesaat sebelum benar-benar pergi.
Saat membuka mata, Shanna mendapati dirinya berada di kamar inapnya. Damar berada di samping ranjangnya. Tangan pria itu menggenggam erat tangan Shanna sejak wanita itu kembali dibawa ke kamar inap."Sayang, kamu sudah bangun," ucap Damar, lega dan juga senang.Ardo yang sejak tadi ikut menunggu, lebih tepatnya menemani Damar, segera menekan tombol di dekat kepala ranjang.Pandangan Shanna sedikit kabur. Pikirannya pun masih belum pulih dari efek obat bius.Dokter datang tidak lama kemudian dan langsung memeriksa kondisi Shanna. Setelah memeriksa Shanna, dokter pun meninggalkan mereka.Perlahan, pikiran Shanna pun mulai pulih. Raut wajahnya datar, begitu pula dengan tatapannya saat bertemu mata dengan Damar.Shanna yang sangat marah kepada Damar pun mengabaikan pria itu. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Pun, untuk makan. Shanna benar-benar mogok makan dan bicara sebagai bentuk protesnya."Sayang, ayo makan dulu." Dam
Shanna menatap ke depan, di mana Farel tidak sadarkan diri dengan darah yang juga membasahi wajahnya. Mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Shanna berteriak meminta bantuan. Akan tetapi, suaranya yang lemah tidak mampu didengar oleh orang-orang yang berada di sekitar tempat kecelakaan. Shanna tidak menyerah, dia terus berteriak meminta bantuan. Tidak kuat menahan rasa sakit lagi, Shanna pun akhirnya jatuh pingsan.Lima belas menit kemudian, polisi, pemadam kebakaran dan beberapa ambulans tiba di tempat kejadian setelah mendapat laporan dari orang-orang di sana. Mereke semua segera mengamankan tempat kejadian. Garis polisi terpasang mengelilingi TKP.Para medis memberikan pertolongan pertama kepada para korban sebelum membawa ke rumah sakit. Shanna, Damar, dan Farel langsung memasuki ruang UGD begitu ambulans tiba di rumah sakit. Para dokter menangani mereka dengan cepat. Setelah penanganan yang cukup lama, akhirnya ketiganya dibawa ke ruang inap setelah memastikan kondisi ketiga
Setelah menadapatkan perintah dari Damar, Farel langsung melaksanakannya saat itu juga. Akan tetapi, Farel tidak menemukan adanya indikasi bahwa kecelakaan itu disengaja. Tidak putus asa, Farel pun meminta bantuan dari temannya yang bekerja di kepolisian untuk mendapatkan hasil penyelidikan dan juga interogasi sang sopir mobil pengangkut barang.Farel merasa ada yang janggal saat membaca hasil penyelidikan para polisi, sehingga Farel pun mendatangi tempat kejadian perkara untuk menyelidiki lebih lanjut. Dalam penyelidikannya, Farel banyak mendapatkan kejanggalan. Prediksi Damar bahwa ada dalang di balik kecelakaan itu tampaknya benar adanya.Farel menyelidiki lebih dalam, tetapi dia kehilangan jejak. Akhirnya Farel meminta bantuan beberapa orang untuk membantunya menyelediki lebih lanjut. Dan seperti yang sudah mereka duga, Nadialah dalang di balik kecelakaan ituNadia membayar pembunuh bayaran untuk membunuh Shanna. Karena itulah Farel sedikit kesulitan menyelidikinya seorang diri. m
Shanna tidak pernah berhenti mengkhawatirkan kondisi Ardo dan Tessa meski Damar selalu mengatakan bahwa keduanya baik-baik saja. Shanna juga selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian itu. Walau begitu, Shanna berusaha menikmati liburannya.Damar dapat merasakan perubahan Shanna. Apa yang Damar takutkan ternyata menjadi kenyataan. Seandainya Damar memberi tahu yang sebenarnya, dia yakin Shanna pasti akan meminta kembali saat itu juga.Damar beberapa kali memergoki Shanna melamun. Damar tidak ingin terjadi apa-apa dengan kandungan Shanna, sehingga dia berusaha mengalihkan pikiran Shanna. Bahkan Damar tidak membiarkan Shanna tinggal sendirian meski hanya sebentar.“Ba, kenapa kamu mengemasi barang-barang?” tanya Shanna heran saat keluar dari kamar mandi dan melihat Damar mengemasi barang-barang mereka ke koper.Beberapa menit yang lalu mereka baru saja pulang jalan-jalan dan makan malam romantis seperti biasanya. Dan karena gerah, Shanna memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebe
Damar tidak bisa menolak saat Shanna terus memaksanya untuk menceritakan bagaimana Ardo dan Tessa mengalami kecelakaan. Damar menceritakan dengan singkat, tanpa memberi tahu kebenaran mengenai kondisi Ardo dan Tessa yang kritis.Damar mengusap pipi Shanna. “Jangan terlalu memikirkan masalah ini. Aku hanya memintamu untuk menjaga anak kita. Untuk masalah ini, serahkan dan percayakan saja padaku. Aku akan membalas siapa pun jika benar ada dalang di balik kecelakaan mereka. Aku mohon.”“Hm, baiklah,” jawab Shanna patuh. Karena dia juga tidak ingin terjadi apa-apa pada janinnya.Damar pun mengajak Shanna untuk kembali beristirahat, mengingat sore nanti mereka akan melanjutkan kembali jalan-jalan mereka. Shanna menurut dan segera memejamkan mata, tetapi dia sulit untuk tidur karena pikirannya terus mengkhawatirkan kondisi Ardo dan Tessa.Shanna tidak tahu kapan dirinya terlelap, matahari hampir terbenam saat dia membuka mata. Setelah mandi dan makan, Damar pun mengajak Shanna pergi sesuai
Damar dengan cepat mengubah raut wajahnya. Dia menatap Shanna dan tersenyum kecil. “Tidak ada apa-apa. Hanya ada beberapa masalah di perusahaan.”“Masalah di perusahaan?” ulang Shanna, khawatir. “Apa masalahnya besar? Apa perlu kita pulang lebih awal?”“Bukan masalah serius, Sayang. Hanya masalah kecil saja. Kita tidak perlu pulang, Adara akan menyelesaikannya dengan cepat.”Damar yang dapat merasakan keraguan Shanna, berusaha meyakinkan Shanna kalau semuanya baik-baik saja karena ada Adara yang akan menyelesaikan semua urusan pekerjaan. Damar meminta Shanna untuk tidak memikirkan apa pun selain menikmati liburan mereka.Akan tetapi, entah kenapa Shanna merasa Damar seolah-olah menyembunyikan sesuatu darinya.‘Mungkin itu hanya perasaanku aja,’ pikir Shanna berusaha untuk berpikir positif. Dia yakin Damar tidak akan merahasiakan apa pun lagi darinya, sebab pria itu sudah berjanji padanya.“Kalau begitu, ayo kita lanjutkan istirahatnya. Tadi kamu bilang capek, kan? Nanti sore kita mas