Damar berdiri di samping mobilnya yang terparkir di dekat gerbang kampus. Kepalanya celingukan seolah mencari seseorang di keramaian. Shanna yang baru turun dari angkutan umum dan melihatnya, bergegas bersembunyi di balik mobil yang terparkir di tepi jalan.
Shanna sudah memprediksi bahwa Damar akan mencari dirinya setelah membaca suratnya. Namun, dia tidak menyangka Damar tetap bersikeras mencari dirinya meski sudah satu minggu berlalu.
“Shanna, apa yang kamu lakukan di sini?” suara Viona sukses membuat Shanna tersentak.
“Viona! Kamu membuatku kaget aja,” gerutu Shanna. Tangannya memegangi dadanya yang berdebar kencang.
Kening Viona berkerut dalam. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Viona mengulangi pertanyaannya. “Kenapa kamu nggak langsung masuk? Dan ke mana aja kamu selama seminggu ini? Kenapa ka—”
“Bisakah kita masuk sekarang?” potong Shanna cepat. “Aku akan menjelaskan semuanya padamu nanti saat di kelas.”
“Ya sudah, ayo!”
Tanpa basa-basi, Shanna segera masuk ke mobil Viona yang langsung menuju gerbang.
“Eh, bukankah itu Om Damar?!” seru Viona saat melihat Damar.
“Jangan berhenti, terus aja,” pinta Shanna cepat untuk menghentikan agar Viona tidak berhenti dan menyapa Damar.
Walaupun bingung, Viona menurut dan hanya membunyikan klakson untuk menyapa Damar. Kebetulan ada beberapa mobil di belakang mereka, sehingga dapat mengurangi rasa bersalah gadis itu karena tidak berhenti untuk menyapa Damar.
“Kamu kenapa, sih? Kok, kelihatannya menghindari Om Damar,” ucap Viona sembari memarkirkan mobilnya.
“Aku memang menghindari Baba.” Shanna mengakuinya. “Aku ingin mencoba untuk menghilangkan perasaanku pada Baba. Soalnya kalau nggak begini, aku nggak akan bisa melupakan Baba.”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa selama seminggu ini kamu nggak masuk kuliah? Kamu tahu nggak kalau babamu itu mencarimu?” tanya Viona beruntun.
“Aku pergi dari rumah.”
Shanna pun menceritakan apa yang terjadi sembari mereka berjalan menuju ke kelas mereka di lantai tiga. Namun, Shanna tidak menceritakan di mana saat ini dirinya tinggal. Bukannya Shanna tidak mempercayai Viona, tetapi dia hanya ingin berjaga-jaga. Sebab Shanna tahu dan yakin Damar pasti akan bertanya kepada ketiga sahabatnya mengenai dirinya. Meski berat, Shanna sudah bertekad untuk menjauh dari Damar.
“Lalu, sekarang kamu tinggal di mana?”
Shanna menghela napas pelan. “Maafkan aku, Vi, aku nggak bisa memberi tahu kalian,” ucapnya dengan nada bersalah.
“Ya sudah kalau kamu nggak mau memberi tahu,” terdapat sedikit kekecewaan pada nada bicara Viona. “Tapi kalau kamu memerlukan bantuan, kamu bisa menghubungiku, Neila atau Deva.”
“Hm!”
Viona menceritakan apa yang terjadi selama satu minggu ini di saat Shanna tidak masuk kuliah. Di mana setiap pagi Damar selalu datang ke kampus. Pria itu menemui Viona, Neila dan Deva untuk menanyakan keberadaan Shanna. Setiap hari Damar menghubungi mereka, bertanya apakah mereka bertemu dengan Shanna dan meminta mereka untuk segera menghubungi pria itu jika bertemu dengan Shanna.
“Maafkan aku karena sudah merepotkan kalian,” ucap Shanna lirih.
“Kami nggak perlu maafmu, Shan. Kami hanya kecewa kenapa kamu nggak menghubungi kami. Nggak hanya Om Damar aja yang mengkhawatirkanmu, tapi kami juga mengkhawatirkanmu. Kalau kamu memang ingin menghindari Om Damar, seenggaknya beritahu kami supaya kami nggak seperti orang gila yang mikirin kamu terus. Kami janji nggak akan memberi tahu Om Damar kalau kamu nggak ingin babamu tahu,” omel Viona.
Tidak hanya Viona, Neila dan Deva pun langsung memberondong Shanna dengan berbagai pertanyaan ketika mereka berkumpul di kantin. Mereka penasaran ke mana Shanna pergi selama satu minggu ini.
Sama seperti Viona, Shanna tidak banyak bercerita kepada dua orang sahabatnya yang lain. Dia hanya mengatakan bahwa dirinya tidak tinggal bersama Damar, serta meninggalkan semua fasilitas dari Damar dan hanya membawa uang sebesar satu juta rupiah.
Saat pulang kuliah, Shanna kembali mendapati Damar berada di dekat pintu gerbang kampus.
“Kenapa Baba masih di sini, sih?” gumam Shanna menggerutu. “Kalau seperti ini, aku nggak akan bisa pulang dan kerja.”
Untuk beberapa saat Shanna berpikir bagaimana cara melarikan diri dari Damar. Hingga akhirnya Shanna menghentikan mobil mahasiswa lain yang hendak keluar gerbang kampus secara asal, lalu menumpang pergi untuk menghindari Damar.
Selama empat hari Shanna bermain kucing-kucingan dengan Damar. Dia benar-benar tidak mengerti dengan tindakan ayahnya. Kalau benar Damar ingin menghindarinya, seharusnya pria itu berhenti mencari dirinya.
Grab!
Shanna yang hendak menuju kantin bersama Viona dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba menggenggam tangannya. Matanya membulat sempurna ketika mengenali bahwa orang itu adalah Damar.
“Baba ingin berbicara denganmu sebentar,” ucap Damar tegas. Matanya menatap tepat di mata Shanna.
Tidak ingin membuat keributan, Shanna pun meminta Viona pergi lebih dulu sementara dirinya membawa sang ayah menuju ke salah satu kelas yang kosong tidak jauh dari kantin.
“Sayang, maafkan baba.” Damar membuka suara tanpa melepaskan genggaman tangannya pada tangan Shanna. “Baba tahu baba salah, jadi tolong maafkan baba. Dan kembalilah ke rumah.”
“Maafkan aku, Ba. Aku nggak bisa.” Shanna menjawab tegas untuk meyakinkan Damar, berusaha menahan suaranya agar tidak bergetar. “Aku juga nggak ingin membuat baba tertekan dan menderita kalau selalu melihatku.”
“Kenapa kamu berkata begitu? Dengar, Shanna, baba tidak merasa tertekan apalagi menderita melihatmu. Justru selama kamu tidak ada di rumah, baba merasa kesepian.”
“Tapi kenyataannya seperti itu ‘kan, Ba? Kalau baba nggak tertekan dengan keberadaanku, baba nggak mungkin menghindariku. Alasan baba menghindariku karena baba tertekan tinggal bersamaku, ‘kan? Karena itu aku memutuskan untuk pergi supaya baba bisa hidup tenang.”
Damar menghela napas berat. “Maafkan baba, Sayang. Baba tidak bermaksud menghindarimu. Baba hanya mencoba untuk tidak bertemu denganmu selama beberapa waktu supaya perasaanmu pada baba tidak semakin besar. Baba melakukan itu karena baba sangat menyayangimu. Tapi kamu juga harus tahu, rasa sayang yang baba berikan padamu hanya sebatas kasih sayang ayah kepada anaknya.”
Damar menggenggam kedua tangan Shanna. Suaranya penuh permohonan saat berkata, “Baba ingin hubungan kita kembali seperti dulu. Jadi, tolong pulanglah dan tinggal kembali bersama baba, Sayang.”
“Maaf, Ba. Semuanya sudah terjadi dan aku rasa hubungan kita sudah nggak bisa kembali seperti dulu lagi karena perasaanku yang berbeda pada baba. Aku mohon, Ba, tolong biarkan aku pergi dan jangan pernah menemuiku lagi.”
Shanna menatap tepat di mata Damar. Sorot matanya penuh keteguhan. “Aku ingin menghilangkan perasaanku pada baba. Tapi kalau baba terus menemuiku, aku nggak akan pernah bisa menghilangkan perasaanku pada baba,” ucapnya dengan nada memelas. Matanya berkaca-kaca.
“Shanna, Sayang,” ucap Damar, nadanya terdengar getir
Shanna segera menghindar ketika Damar hendak memeluknya.
“Aku mohon, Ba. Jangan memberiku harapan. Biarkan aku berjuang menghilangkan perasaan ini. Aku yakin mungkin ini yang terbaik untuk kita.”
Tanpa menunggu jawaban dari Damar, Shanna segera meninggalkan tempat itu. Mengabaikan Damar yang berteriak memanggil namanya. Air mata yang coba dia tahan sejak tadi pun akhirnya jatuh membasahi wajahnya.
Saat membuka mata, Shanna mendapati dirinya berada di kamar inapnya. Damar berada di samping ranjangnya. Tangan pria itu menggenggam erat tangan Shanna sejak wanita itu kembali dibawa ke kamar inap."Sayang, kamu sudah bangun," ucap Damar, lega dan juga senang.Ardo yang sejak tadi ikut menunggu, lebih tepatnya menemani Damar, segera menekan tombol di dekat kepala ranjang.Pandangan Shanna sedikit kabur. Pikirannya pun masih belum pulih dari efek obat bius.Dokter datang tidak lama kemudian dan langsung memeriksa kondisi Shanna. Setelah memeriksa Shanna, dokter pun meninggalkan mereka.Perlahan, pikiran Shanna pun mulai pulih. Raut wajahnya datar, begitu pula dengan tatapannya saat bertemu mata dengan Damar.Shanna yang sangat marah kepada Damar pun mengabaikan pria itu. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Pun, untuk makan. Shanna benar-benar mogok makan dan bicara sebagai bentuk protesnya."Sayang, ayo makan dulu." Dam
Shanna menatap ke depan, di mana Farel tidak sadarkan diri dengan darah yang juga membasahi wajahnya. Mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Shanna berteriak meminta bantuan. Akan tetapi, suaranya yang lemah tidak mampu didengar oleh orang-orang yang berada di sekitar tempat kecelakaan. Shanna tidak menyerah, dia terus berteriak meminta bantuan. Tidak kuat menahan rasa sakit lagi, Shanna pun akhirnya jatuh pingsan.Lima belas menit kemudian, polisi, pemadam kebakaran dan beberapa ambulans tiba di tempat kejadian setelah mendapat laporan dari orang-orang di sana. Mereke semua segera mengamankan tempat kejadian. Garis polisi terpasang mengelilingi TKP.Para medis memberikan pertolongan pertama kepada para korban sebelum membawa ke rumah sakit. Shanna, Damar, dan Farel langsung memasuki ruang UGD begitu ambulans tiba di rumah sakit. Para dokter menangani mereka dengan cepat. Setelah penanganan yang cukup lama, akhirnya ketiganya dibawa ke ruang inap setelah memastikan kondisi ketiga
Setelah menadapatkan perintah dari Damar, Farel langsung melaksanakannya saat itu juga. Akan tetapi, Farel tidak menemukan adanya indikasi bahwa kecelakaan itu disengaja. Tidak putus asa, Farel pun meminta bantuan dari temannya yang bekerja di kepolisian untuk mendapatkan hasil penyelidikan dan juga interogasi sang sopir mobil pengangkut barang.Farel merasa ada yang janggal saat membaca hasil penyelidikan para polisi, sehingga Farel pun mendatangi tempat kejadian perkara untuk menyelidiki lebih lanjut. Dalam penyelidikannya, Farel banyak mendapatkan kejanggalan. Prediksi Damar bahwa ada dalang di balik kecelakaan itu tampaknya benar adanya.Farel menyelidiki lebih dalam, tetapi dia kehilangan jejak. Akhirnya Farel meminta bantuan beberapa orang untuk membantunya menyelediki lebih lanjut. Dan seperti yang sudah mereka duga, Nadialah dalang di balik kecelakaan ituNadia membayar pembunuh bayaran untuk membunuh Shanna. Karena itulah Farel sedikit kesulitan menyelidikinya seorang diri. m
Shanna tidak pernah berhenti mengkhawatirkan kondisi Ardo dan Tessa meski Damar selalu mengatakan bahwa keduanya baik-baik saja. Shanna juga selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian itu. Walau begitu, Shanna berusaha menikmati liburannya.Damar dapat merasakan perubahan Shanna. Apa yang Damar takutkan ternyata menjadi kenyataan. Seandainya Damar memberi tahu yang sebenarnya, dia yakin Shanna pasti akan meminta kembali saat itu juga.Damar beberapa kali memergoki Shanna melamun. Damar tidak ingin terjadi apa-apa dengan kandungan Shanna, sehingga dia berusaha mengalihkan pikiran Shanna. Bahkan Damar tidak membiarkan Shanna tinggal sendirian meski hanya sebentar.“Ba, kenapa kamu mengemasi barang-barang?” tanya Shanna heran saat keluar dari kamar mandi dan melihat Damar mengemasi barang-barang mereka ke koper.Beberapa menit yang lalu mereka baru saja pulang jalan-jalan dan makan malam romantis seperti biasanya. Dan karena gerah, Shanna memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebe
Damar tidak bisa menolak saat Shanna terus memaksanya untuk menceritakan bagaimana Ardo dan Tessa mengalami kecelakaan. Damar menceritakan dengan singkat, tanpa memberi tahu kebenaran mengenai kondisi Ardo dan Tessa yang kritis.Damar mengusap pipi Shanna. “Jangan terlalu memikirkan masalah ini. Aku hanya memintamu untuk menjaga anak kita. Untuk masalah ini, serahkan dan percayakan saja padaku. Aku akan membalas siapa pun jika benar ada dalang di balik kecelakaan mereka. Aku mohon.”“Hm, baiklah,” jawab Shanna patuh. Karena dia juga tidak ingin terjadi apa-apa pada janinnya.Damar pun mengajak Shanna untuk kembali beristirahat, mengingat sore nanti mereka akan melanjutkan kembali jalan-jalan mereka. Shanna menurut dan segera memejamkan mata, tetapi dia sulit untuk tidur karena pikirannya terus mengkhawatirkan kondisi Ardo dan Tessa.Shanna tidak tahu kapan dirinya terlelap, matahari hampir terbenam saat dia membuka mata. Setelah mandi dan makan, Damar pun mengajak Shanna pergi sesuai
Damar dengan cepat mengubah raut wajahnya. Dia menatap Shanna dan tersenyum kecil. “Tidak ada apa-apa. Hanya ada beberapa masalah di perusahaan.”“Masalah di perusahaan?” ulang Shanna, khawatir. “Apa masalahnya besar? Apa perlu kita pulang lebih awal?”“Bukan masalah serius, Sayang. Hanya masalah kecil saja. Kita tidak perlu pulang, Adara akan menyelesaikannya dengan cepat.”Damar yang dapat merasakan keraguan Shanna, berusaha meyakinkan Shanna kalau semuanya baik-baik saja karena ada Adara yang akan menyelesaikan semua urusan pekerjaan. Damar meminta Shanna untuk tidak memikirkan apa pun selain menikmati liburan mereka.Akan tetapi, entah kenapa Shanna merasa Damar seolah-olah menyembunyikan sesuatu darinya.‘Mungkin itu hanya perasaanku aja,’ pikir Shanna berusaha untuk berpikir positif. Dia yakin Damar tidak akan merahasiakan apa pun lagi darinya, sebab pria itu sudah berjanji padanya.“Kalau begitu, ayo kita lanjutkan istirahatnya. Tadi kamu bilang capek, kan? Nanti sore kita mas