“Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi
Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per
“Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,
“Dulu kamu selalu bilang ingin jadi seperti dia, sekarang kamu berkesempatan jadi istrinya!” Dasimah, ibu Sofia, menekan dahi sang anak dengan ujung telunjuk.“Sofia ingin kuliah ke luar negri kayak dia, bukan jadi istrinya, Bu! Lagian, dia sudah bangkotan, Sofia nggak mau!”“Bangkotan dari mana, jaga mulutmu, Fia! Usianya baru tiga puluh sembilan, lagi matang-matangnya itu, sembarangan saja kalau ngomong!” omel Dasimah kesal.Sofia jauh lebih kesal lagi. Ia melirik tidak senang pada pantulan wajahnya yang tertutup riasan tebal pengantin di balik cermin.“Kita beruntung karena Juragan Wira tidak mengusir kita dari kampung ini, Fia.” Dasimah berlemah lembut lagi. Pasalnya, ia harus segera menggiring Sofia ke luar kamar karena penghulu dan pengantin pria sudah siap di ruang tengah, menunggu kehadiran sang mempelai wanita yang masih merajuk.“Fia, Ibu minta maaf karena telah melibatkan kamu ke dalam masalah keluarga. Kalau kamu nggak mau, ya nggak apa-apa. Kita bisa batalkan pernikahan i
Sofia menatap Wira ketakutan. “K-karena aku harus pakai baju.”“Pakai saja.”“T-tapi Om gak boleh lihat.”“Om lagi!” keluh Wira menggaruk kepalanya gusar.Sofia menunduk. Ia ingin berlari keluar kamar, dan bersembunyi di balik punggung orangtuanya seperti biasa ia lakukan setiap kali dimarahi oleh ajudan Juragan Wira saat menghalangi jalan sang juragan yang tengah keliling kampung kala tengah bermain.“Sofia, aku ini suamimu. Jangankan cuma lihat, aku bahkan berhak atas seluruh tubuh kamu.” Wira balik badan, dan kembali naik ke atas ranjang tidur Sofia yang berkeriut lemah ketika tubuh tegap Wira merebah.Wira menepuk ruang kosong di sisinya, dan tersenyum. “Kemarilah, Sofia, berbaring di sisiku.”Sofia semakin merapat ke daun pintu, berharap bisa menembus ke baliknya.“A-aku … belum siap, Om, maksudku … Bang.”Wira berdecak tidak sabar.“Sofia, aku akan melakukannya dengan lembut. Kemari, Sayang.”“Nggak mau.”“Kok nggak mau? Itu kewajiban kamu!” suara Wira kembali meninggi, persis s
Rean menghela napas. Ia hanya bisa menatap hampa ke arah Sofia yang dipaksa Wira masuk ke dalam mobil.Setelah memastikan kedua tuannya masuk, barulah ajudan itu kembali ke balik kemudi dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi, menyisakan kepulan debu di hadapan Rean yang merana.Sofia menatap ke luar jendela sambil sesekali mengusap air mata.Wira mengenakan kacamata yang menyembunyikan sorot tegas matanya, dan mendengus keras-keras.“Kamu nggak boleh berhubungan lagi dengan anak itu!” kata Wira tajam.Sofia tidak menjawab. Ia tahu, pucuk cintanya pada Rean harus ditebang habis.Setibanya mereka di rumah mewah Wira, Sofia langsung dibawa ke dalam kamar utama. Inilah pertama kali Sofia masuk ke dalam rumah kendatipun separuh hidupnya ia sering datang berkunjung untuk menemani sang ibu membayar cicilan utang. Seperti warga lainnya yang datang dengan keperluan serupa, ia hanya diizinkan masuk sampai batas balkon depan.“Sekarang ini rumahmu juga,” ucap Wira, merangkul Sofia ke dalam dek
“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”“Brian!”“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi
“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.