Menikahi saudagar kaya dan ganteng merupakan mimpi buruk bagi Sofia! Bagaimana tidak, ia harus hidup satu atap dengan orang paling galak dan keji di kampungnya. Dan lagi, Sofia harus berurusan dengan anak Mahawira, Brian, temannya sendiri yang nakalnya minta ampun! Mendapati sang ayah menikah dengan temannya, membuat Brian kerap membangkang. Hingga suatu hari, Sofia mengetahui rahasia terbesar Mahawira yang bisa saja ia gunakan sebagai senjata memukul balik juragan tanah tersebut, dan menyelamatkan masa depannya sendiri. Bagaimana kisah Sofia selanjutnya? Mampukah ia bertahan di sisi Mahawira, duda keren kaya raya, dan anaknya yang nakal? Ataukah Sofia akan pergi meninggalkan Mahawira setelah tahu rahasia terbesar suaminya itu?
View More“Dulu kamu selalu bilang ingin jadi seperti dia, sekarang kamu berkesempatan jadi istrinya!” Dasimah, ibu Sofia, menekan dahi sang anak dengan ujung telunjuk.
“Sofia ingin kuliah ke luar negri kayak dia, bukan jadi istrinya, Bu! Lagian, dia sudah bangkotan, Sofia nggak mau!”
“Bangkotan dari mana, jaga mulutmu, Fia! Usianya baru tiga puluh sembilan, lagi matang-matangnya itu, sembarangan saja kalau ngomong!” omel Dasimah kesal.
Sofia jauh lebih kesal lagi. Ia melirik tidak senang pada pantulan wajahnya yang tertutup riasan tebal pengantin di balik cermin.
“Kita beruntung karena Juragan Wira tidak mengusir kita dari kampung ini, Fia.” Dasimah berlemah lembut lagi. Pasalnya, ia harus segera menggiring Sofia ke luar kamar karena penghulu dan pengantin pria sudah siap di ruang tengah, menunggu kehadiran sang mempelai wanita yang masih merajuk.
“Fia, Ibu minta maaf karena telah melibatkan kamu ke dalam masalah keluarga. Kalau kamu nggak mau, ya nggak apa-apa. Kita bisa batalkan pernikahan ini,” desah Dasimah, seraya bangkit dari sisi Sofia yang masih cemberut.
Air muka Sofia berubah cepat. Diraihnya lengan sang ibu yang menjauh. “Lalu, utang kita sama Juragan Wira bagaimana, Bu?”
Dasimah menatap Sofia dengan kesenduan yang memilukan hati.
“Itu … biar jadi urusan bapakmu. Kamu bisa pergi kuliah ke luar negri seperti impianmu, nggak perlulah memikirkan dua manula di rumah ini. Lagipula, Ibu dan Bapak akan mati juga, entah karena usia atau kuasa Juragan Wira.”
“Bu!” Sofia bangkit cepat, dan memeluk Dasimah yang tidak bisa menahan cengiran lebih lama.
“Ibu jangan bicara begitu. Memangnya Juragan Wira betul-betul akan menghabisi orang yang nggak bisa bayar utang sama dia, ya, Bu?” tanya Sofia lugu.
Dasimah buru-buru menelan rasa geli, dan menampilkan wajah muram sambil mengangguk.
Sofia menggigit bibir cemas. “B-baiklah, Sofia mau menikah sama dia. Asal Bapak dan Ibu selamat.”
“Nah!” Dasimah melonjak kegirangan. Ia kembali sumringah saat menuntun Sofia keluar kamar. “Ini baru anak Ibu!”
Obrolan di ruang tengah berdengung di telinga Sofia kala ia berjalan menunduk menuju meja ijab kabul.
“Akhirnya datang juga sang pengantin wanita,” sambut salah satu saksi, disambut tawa sang mempelai pria, Mahawira Anggabaya, seorang juragan tanah sekaligus penguasa kampung Cibuni.
Sofia mengernyit tidak senang. Ia terbiasa mendengar tawa mengintimidasi Wira setiap kali pria itu tengah menindas para warga.
“Duduk di sini, Dik Sofia, di samping suamimu. Alhamdulillah, akadnya berjalan lancar. Sekarang, kalian resmi sebagai suami istri,” ucap penghulu.
Sofia duduk di samping pria dewasa yang kini telah menjadi suaminya. Mahawira tampil sempurna dalam balutan jas mahal. Ia begitu menawan kalau saja bukan pria berusia tiga puluh sembilan tahun untuk Sofia yang baru saja menginjak usia sembilan belas!
Semua warga Cibuni mengatakan Sofia yang cantik sangat beruntung karena sang juragan tanah mengharuskan dia membayar utang dengan sebuah pernikahan, sementara warga lain yang terlibat kasus serupa, harus rela angkat kaki dari kampung sebagai bayarannya.
“Dik Sofia?”
“Eh?” Sofia mengangkat wajah saat penghulu memanggil namanya. Semua orang terkekeh akan tingkah linglung Sofia yang dianggap sebagai sikap malu-malu pengantin baru.
“Ayo, dicium tangan suamimu, Nak,” tuntun sang penghulu sabar hati.
Sofia menelan ludah. Ia menoleh ke samping dan mendapati Mahawira Anggabaya tersenyum ke arahnya.
Ia tidak bisa menahan rasa mual yang mendadak terasa. Senyuman mencemooh yang biasa dilempar Wira pada seluruh warga kampung, bathin Sofia sebal.
Gadis itu mengangkat tangan Wira, dan menciumnya cepat. Terdengar riuh-rendah para warga yang hadir sebagai saksi.
Tanpa diduga, Wira menyentuh kepala Sofia dan menariknya ke depan.
Cup! Ia mengecup dahi Sofia, lama dan lembut.
Sofia merasakan getaran aneh di dada, sampai ia harus menyentuh bagian muka baju pengantinnya yang dihiasi manik-manik.
“Alhamdulillah,” seru penghulu, melihat keromantisan sang mempelai.
Setelah acara ijab selesai, tiba saatnya sesi ramah-tamah. Mahawira Anggabaya tidak main-main soal pesta yang ia janjikan akan dihelat di hari pernikahan mereka.
Seluruh warga kampung hadir dalam jamuan internasional yang dihadirkan Wira. Alunan musik lembut, menyambut kedatangan para warga yang berpenampilan kontras dengan warna-warna pastel dekorasi.
“Selamat, ya, Juragan!” Mang Baim, pemilik warung kopi yang dimodali Wira, menjabat tangan Wira sambil membungkuk.
Mahawira menyambut semua warganya dengan sumringah. Sofia nyaris lupa bahwa pria di sampingnya itu adalah tirani kejam yang sering menindas orang dengan semena-mena.
“Sofia, kamu cantik sekali!” seloroh Ceu Yeyeh, ketika menjabat tangan Sofia. “Kamu beruntung!”
Sofia cemberut. ‘Beruntung apanya! Sebentar lagi aku akan tinggal satu atap dengan penjajah ini!’
Karena sikap bengisnya, Wira yang pergi bertahun-tahun ke negeri Belanda untuk menimba ilmu kerap dijuluki penjajah oleh para warga.
“Minum ini,” Wira menyodorkan gelas air mineral pada Sofia yang terlonjak kaget. Ia belum terbiasa mendapati kehadiran Wira sedekat ini.
“Nggak usah, aku nggak haus,” kata Sofia, seraya menggeser kakinya mengambil jarak.
Wira ikut bergeser, menempatkan mereka tetap rapat.
“Aku laper, pengin makan,” kata Wira lagi. Ia menunjuk tenda VIP yang dikhususkan untuk keluarga inti, “Kita makan di sana, yuk!”
Sofia menggeleng. “Aku nggak laper. Om Juragan makan duluan aja.”
Wira mengernyit mendengar Sofia tetap memanggilnya Om, kendatipun saat Sofia masih kecil dan ia sudah beranjak dewasa, Sofia dan anak-anak kampung lain terbiasa memanggil dirinya Om Juragan.
“Kok masih panggil Om, aku kan sudah jadi suamimu. Panggil saja Abang.”
Bibir mungil Sofia mengerucut. “Iya, Bang.”
Wira mengangguk puas. “Nah, begitu kan lebih enak didengar.”
Setelah berjam-jam pesta berlangsung, akhirnya Sofia bisa melepas atribut pengantin yang membuatnya pusing.
Sofia menghapus riasan tebal yang menutup wajah dengan pembersih, dan segera mandi. Ia sudah tidak sabar untuk mengenakan pakaian kaos yang biasa dikenakannya.
Alangkah terkejutnya Sofia saat ia kembali dari kamar mandi hanya berbalut handuk, didapatinya Wira tengah berbaring santai sambil memainkan ponsel di atas ranjang.
“Astagfirullah! Om!”
Wira terlonjak kaget mendengar jeritan Sofia.
“K-kenapa, Dek?” katanya tergagap.
Sofia menunjuk Wira dengan jari gemetar, “K-kenapa Om di sini! Keluar! Keluar!”
Wira melompat dari atas ranjang dengan tangan terulur panik. “Eh, eh, jangan teriak! Aduh, kamu kenapa, sih? Sstt!”
Sofia mundur cepat hingga punggungnya menabrak daun pintu. Ia menatap ngeri Wira yang datang mendekat.
“Jangan dekati aku!”
“Lho, kenapa?” Wira balik menatap Sofia bingung. “Aku suamimu!”
Sofia memejamkan mata, menyesal telah diingatkan. “Benar, Om sekarang suamiku.”
“Jangan panggil Om,” keluh Wira keberatan.
“Baiklah, Abang.”
“Nah, begitu lebih baik.”
Tatapan Wira beralih pada tubuh segar Sofia yang hanya berbalut handuk. Gadis itu segera mencengkram simpul handuknya di depan dada defensif.
“A-aku mau pakai baju dulu, Om, eh, Bang. Abang bisa keluar sebentar?”
“Keluar? Kenapa aku harus keluar?”
Sofia menatap Brian tanpa berkedip. Degup jantungnya seperti genderang perang, keras dan tak beraturan. Tatapan pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap ibu tirinya mengintip rahasia suci sang ayah.“Kau tahu tentang ini semua?” tanya Sofia, suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.Brian menyandarkan bahunya ke kusen pintu. “Sudah lama.”“Dan kau diam saja?”Brian tertawa pendek, tanpa humor. “Aku belajar dari Papa. Diam lebih aman. Diam itu kekuasaan.”Sofia mengepalkan jemarinya. “Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?”“Lebih baik kamu nggak tahu,” ucap Brian. “Karena begitu tahu, kamu nggak akan bisa balik jadi Sofia yang dulu.”Sofia melangkah maju, menembus jarak di antara mereka. “Aku sudah bukan Sofia yang dulu sejak aku masuk rumah ini. Sejak aku dinikahkan dengan lelaki sepertinya.”Brian mendongak, menatap wajah Sofia yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. “Kamu berani ngomong kayak gitu ke dia?”“Kalau perlu, ya.”Brian mencibir, tapi ada ke
Sofia meninggalkan ingar-bingar drama pengusiran dan melangkah lunglai ke dalam rumah. Ditatapnya tumpukan sate dan nasi yang sudah dingin.Selera makannya sudah sirna terganti mual di ulu hati. Teriakan dan tangis warga seolah telah meninjunya berulang kali hingga nuraninya babak belur.“Maaf, makan malam kita jadi terganggu.” Tiba-tiba Wira muncul dari balik punggung Sofia. Pria itu membelai bahu isterinya sejenak sebelum kembali duduk.Wajahnya masih merah, dan senyumannya tidak segera memudarkan amarah yang tadi merajai.Dari sekian besar ganjalan hatinya, yang keluar dari bibir mungil Sofia adalah sebuah senyuman hambar. Ia ikut duduk berhadapan dengan suaminya dan menuang nasi tanpa emosi sama sekali.Mereka makan dalam diam bak diorama nan indah namun menyimpan sejuta kepedihan. Denting alat makan mewah membawa butir-butir pertanyaan ke dalam benak Sofia.Apa ia sudah mulai tidak peduli dengan ketidak-adilan yang terjadi di kampung? Apa dirinya mulai terbiasa melihat penindasan
“Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.
“Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,
Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per
“Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments