LOGINGesa mencoba menstabilkan napas, menenangkan diri, dan menguatkan hati. Ia membawa map berisi rancangan rebranding perusahaan. Jari tangannya gemetar. Dia kesulitan mengendalikan degup jantung yang terus berloncatan. Rasanya seperti akan menghadapi monster.
Ketika Gesa masuk ke ruangan Evan, laki-laki itu menatapnya dingin. Tak ada ekspresi berarti. Ia mempersilakan Gesa duduk dengan bahasa yang begitu formal, seolah mereka tak pernah saling mengenal. Gesa menyerahkan map coklat pada Evan dengan debaran yang masih merajai. Bahkan Gesa tak sanggup menatapnya. "Kamu yang bertanggung jawab membuat rancangan branding perusahaan, 'kan? Saya akan mengeceknya," ucap Evan datar. Gesa hanya mengangguk pelan. Suasana begitu menegangkan. Ingatan Gesa melayang ke masa kuliah ketika dirinya menyerahkan hasil desain logo ekstrakurikuler art design. Evan merobek rancangannya dan mencemooh karyanya seperti karya anak SD. Kini Gesa dihadapkan pada situasi yang sama. Sesaat Gesa merasa semesta seolah mempermainkan nasibnya. Gesa bertanya-tanya, kenapa pem-bully seperti Evan perjalanan kariernya begitu mulus bahkan sekarang Evan menjadi atasannya. "Kamu sebut ini rebranding plan? Ini lebih seperti makalah mahasiswa magang." Evan menatap Gesa dingin. Tatapan meremehkan itu kembali Gesa lihat. Sejak dulu Evan tak pernah menghargai karya gadis itu. Evan membuka kembali lembar demi lembar print out hasil rancangan Gesa. "Identitas visual ini sudah cukup rapi." Jari Evan mengetuk meja sementara matanya masih tertuju pada lembaran print out, "tapi saya bertanya satu hal lagi. Bagaimana konsep ini mewakili visi perusahaan lima tahun ke depan?" Evan menatap Gesa lebih tajam dari sebelumnya. Gesa bingung memilih kata. "Saya hanya fokus pada guideline visual, Pak. Mengenai visi..." "Itu jawaban junior, bukan senior," sela Evan memotong pembicaraan wanita itu. Nada bicaranya meninggi. "Seorang senior harusnya bisa menerjemahkan strategi perusahaan ke dalam desain. Jika seorang senior tidak mampu, mungkin posisi ini terlalu tinggi untukmu." Kata-kata pedas Evan meluncur tegas. Ia sama sekali tak peduli bagaimana perasaan Gesa. Pria itu tak pernah berubah. Seringkali ia gunakan kata-kata pedas untuk menjatuhkan Gesa. Gesa benci dengan diri sendiri yang lagi-lagi hanya diam. Gesa bahkan terlalu takut membela diri. "Lalu ide logo baru ini. Kamu bilang sederhana dan elegan." Evan menggeleng dan tersenyum miring, "elegan dari mana? Ini seperti desain gratisan di platform-platform. Kamu mau mempertaruhkan citra perusahaan milyaran dengan desain murahan seperti ini?" Kata-kata Evan begitu menohok. Gesa merasa begitu kecil. Sebegitu burukkah desainnya? Atasannya sebelumnya tidak pernah menyudutkan Gesa seperti ini. Jika ada sesuatu yang kurang bagus, atasannya selalu menyampaikan dengan bijak dan memberikan kritik yang membangun. "Saya pikir semua staf di sini benar-benar kompeten. Apa yang membuat kamu diterima di sini, Gesa?" Evan memicingkan matanya. Tatapannya menancap hingga ujung retina terdalam. Gesa masih membisu. Gesa tahu, ia harus lebih berani menghadapinya. Namun, wanita itu benar-benar mati kutu dibuatnya. Gesa masih belum bisa menerima kenyataan bahwa pria yang dulu mencabik-cabik perasaannya kini menjadi atasannya. "Apa kamu tidak bisa bicara, Gesa? Jawab pertanyaanku!" Kali ini ia menekankan kata-katanya masih dengan tatapan yang mengintimidasi. "Aku diterima di sini karena aku memenuhi kualifikasi yang diinginkan perusahaan," jawab Gesa datar. "Kamu yakin memenuhi kualifikasi?" Evan menatap Gesa penuh selidik. Matanya kembali terpaku pada lembar print out rancangan Gesa. "Lalu tagline perusahaan. 'Building your future', ini terlalu klise. Terlalu biasa. Kamu tahu apa pentingnya sebuah tagline? Tagline ini harus membekas di pikiran orang dalam sekali dengar. Kita butuh tagline yang hook, singkat, dan membekas." Evan melemparkan lembaran print out rancangan Gesa di meja. Gesa tersentak dibuatnya. Rasanya ingin menangis, tapi Gesa tahan sekuat tenaga. Gesa tak mau terlihat lemah di mata Evan. "Untuk target audience, ini terlalu luas. Kita harus fokus pada siapa target kita. Apa kita akan fokus sebagai pengembang premium untuk kalangan menengah atas atau pasar yang lebih massal? Strategi harus tajam, bukan kabur." Suara Evan terdengar lebih keras bagai dentuman bom yang meluluhlantakkan pertahanan Gesa. "Saya cukup kaget ketika melihat kamu bagian dari divisi kreatif. Saya sudah paham bagaimana karya kamu waktu kuliah dulu. Dan setelah saya bandingkan dengan karya kamu sekarang..." Evan menghembuskan napas, sementara senyumnya masih saja menyimpan nada sinis, "tidak ada perkembangan yang signifikan." Lagi-lagi Gesa membeku. Gesa merasa desainnya jauh lebih baik dibanding dulu. Kalau perkembangan karyanya biasa-biasa saja, tidak mungkin perusahaan menerimanya dan sekarang Gesa menempati posisi senior graphic designer. Gesa bahkan sudah membangun karierku sejak kuliah dengan bekerja freelance. Beberapa kali Gesa mendapatkan bonus dari perusahaan atas dedikasinya. Gesa termasuk karyawan disiplin dan memiliki etos kerja tinggi. Evan tak pernah tahu bagaimana perjuangan Gesa bisa mencapai posisi ini. "Aku sungguh heran kamu bisa ada di posisi ini, Gesa." Evan menggeleng dan lagi-lagi senyum sinis tersungging dari bibirnya. "Silakan bertanya pada atasan lama saya, Pak, atau rekan kerja saya. Saya tidak akan menceritakan perjuangan saya karena saya tahu, sebanyak apa pun yang saya ceritakan, itu tak akan mengubah pandangan Bapak terhadap saya." Gesa sedikit merasa lega karena berani mengungkapkan apa yang mengganjal di hatinya. Meski dadanya berdebar tak karuan. Evan beranjak dari kursi dan berjalan mendekat ke arah Gesa. Gesa masih duduk dengan jari-jarinya yang masih gemetaran. Evan menyandarkan tubuhnya di meja dan bersedekap di sebelah Gesa. Ia mengamati Gesa begitu awas dari ujung kepala hingga kaki. Gesa tak nyaman ditatap seperti ini. "Kamu pikir apa saya tidak berjuang untuk mencapai posisi saya sekarang? Setiap orang punya medan perjuangan sendiri-sendiri. Cuma satu hal yang tidak saya mengerti, dengan posisi kamu sebagai senior graphic designer, harusnya kemampuan kamu lebih dari ini." Evan menghela napas. Tatapannya masih tertuju pada Gesa. Gesa tak merasa heran dengan sikap Evan. Dia dikenal arogan sejak dulu. "Maaf, jika tak memenuhi ekspektasi." Wajah Gesa tertunduk. Gesa tak berani menatapnya. "Maaf tidak akan menyelesaikan masalah atau membuat saya percaya sama kemampuan kamu." Evan mengambil lembaran print out rancangan Gesa di meja. Ia menuliskan sesuatu di lembaran print out itu. Setelah itu, ia menyodorkan lembaran itu tepat di hadapan Gesa. "Revisi setiap poin. Saya tidak mau tahu, hari ini juga kamu harus menyelesaikan dan letakkan hasilnya di meja saya!" tegas Evan. Gesa hanya mengangguk pelan. "Baik, Pak." Hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan. Gesa keluar ruangan dengan langkah yang gontai. Ketika Gesa duduk kembali di kursi, Andy memerhatikan Gesa dengan pandangan bertanya. "Ada apa Gesa? Kamu kelihatan bad mood." Gesa memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. "Aku harus revisi semua poin." "Semangat Gesa! Kamu pasti bisa!" Andy tersenyum dan mengepalkan tangannya. "Terima kasih, Andy," balas Gesa dengan senyum tipis. Gesa membuka kembali lembaran print out rancangannya. Gesa membaca catatan yang diberikan Evan. 'Jangan pernah menceritakan pada siapa pun bahwa dulu kita pernah saling mengenal atau tentang chat panjang kita dulu ... Bersikaplah profesional. Anggap tak pernah terjadi apa-apa di antara kita.' Gesa merasakan jari-jarinya bergetar. Dan bahkan getaran itu menjalar hingga menyentuh hati. Gesa memejamkan mata. Evan berusaha mengunci rapat-rapat pintu masa lalu dan melarangnya untuk menyentuh kenangan itu. Evan tidak pernah tahu, Gesa pun berusaha menguburnya. Membawa luka lama yang hingga detik ini masih terasa. Kehadirannya kembali membakar luka yang belum sepenuhnya kering.Gesa masih saja kesal. Sekuat apa pun usahanya untuk bersikap netral dan tak peduli, nyatanya ia tak bisa membohongi hati kecilnya. Kecemburuan itu ada. Ia tak bisa bersikap seolah-olah dia bukan siapa-siapanya Evan. Pernikahan itu real terlepas dari apa pun latar belakang yang menyebabkan pernikahan itu terjadi.Ia bertambah kesal kala melihat Rivana keluar dari ruangan Evan dan tersenyum miring ketika melintas di hadapannya. Tampak benar gadis itu menyukai kegelisahannya. Gesa tak mau menunjukkan kelemahan maupun rasa cemburunya. Ia akan berpura-pura jika sikap Evan tak berpengaruh apa-apa terhadapnya.Ketika tiba saatnya pulang, Evan mendatanginya dan menatapnya datar. Gesa menatapnya sekilas, tapi buru-buru ia alihkan pada layar laptop yang baru saja ia matikan."Kita pulang bareng, setelah itu mampir makan malam," tukas Evan datar.Gesa tahu, Evan menatap ke arahnya. Namun, Gesa enggan menatap balik. "Tadi pagi aku berangkat sendiri, naik motor. Pulangnya juga naik motor. Masa i
"Halo Gesa, senang bertemu denganmu. Sudah sekian lama kita tidak bertemu, kamu masih seperti yang dulu." Rivana menatap Gesa di luar ruangan rapat setelah rapat selesai. Tatapannya begitu menelisik dari ujung kepala hingga kaki."Masih seperti yang dulu?" Gesa memicingkan matanya. Ia tak suka berbasa-basi."Ya, masih seperti yang dulu. Yang nggak bisa make up, kurang pinter milih outfit, dan tidak terlihat upgrade di penampilan." Rivana bicara tanpa tedeng aling-aling. Gesa sudah sangat paham akan karakter seniornya yang suka meremehkan orang lain. Sebenarnya, tak jauh dari Evan.Gesa menatap Rivana, sama dengan cara Rivana menatapnya. Ia seakan tengah mengabsen inci demi inci penampilan Rivana. "Apa kamu merasa cukup upgrade? Kamu lebih menarik saat masih kuliah. Maaf, ini jujur dari hati." Gesa mengamati Rivana yang tampak jauh lebih berisi dibanding dulu. Hanya saja Gesa tak ingin berkomentar negatif yang menyinggung fisik orang lain, meski Rivana lebih dulu meremehkannya.Rivana
Gesa gugup bukan main. Degup jantungnya terasa berpacu lebih cepat. Jarak antara dirinya dan Evan semakin terpangkas. Gesa tak lagi bisa mundur. Ujung bibir Evan menyentuh ujung bibirnya. Gemuruh rasa itu kian membakar. Dada Gesa berdebar hebat. Ketika Evan memainkan ritme, Gesa terpaku sekian detik. Ini ciuman pertamanya. Ia tak tahu bagaimana membalasnya. Evan belum ingin menyerah. Ia hentikan ciumannya dan beralih dengan bisikan lirih di telinga istrinya. "Balas ciumanku, ikuti ritmenya."Suara lembut Evan terdengar begitu memikat. Nada suaranya seolah seperti sebuah hasrat yang tengah menanjak. Telinga Gesa meremang. Dadanya semakin berdebar. Getaran seakan merayap di setiap sendi.Evan kembali mendaratkan ujung bibirnya di bibir Gesa. Kali ini, Gesa lebih siap dibanding sebelumnya. Ia mengikuti ritme untuk membalas ciuman Evan.Waktu seolah berhenti. Dunia dan seisinya seakan menjadi milik keduanya. Sensasi ciuman pertama ini begitu manis, hangat, dan membekas. Ketika momen itu
Malam ini atmosfer kembali asing. Hanya keheningan yang mendominasi. Bahkan Gesa pun melewatkan makan malam karena ia tak mood untuk makan malam.Sekitar jam sembilan, Gesa keluar kamar. Ia ingin mengambil air. Ketika ia melangkah keluar, matanya bertemu dengan mata Evan yang tengah duduk di ruang tengah dengan laptop di hadapannya. Keduanya terdiam sekian detik seakan tatapan menjadi satu-satunya cara untuk berbicara. Gesa mengalihkan pandangan ke arah lain. Tanpa suara, ia melangkah menuju dapur untuk mengambil air.Gesa duduk sejenak di ruang makan. Ia meneguk air putih lalu merenungi nasibnya. Gesa menopang dagu dengan tangannya. Ia berpikir ulang, apa keputusan menikahi Evan adalah keputusan terburuk dalam hidupnya? Ia pikir, tak mengapa menjalani pernikahan perjodohan dengan kesepakatan meski tanpa cinta. Nyatanya, jauh di hati kecilnya, ia merindukan pernikahan yang normal.Mendadak hatinya bergerimis. Tiba-tiba ia merindukan kehidupan lamanya. Rumah yang ia tinggali sekarang
Pagi ini terasa lebih sibuk dibanding pagi sebelumnya. Orang tua Evan telah pulang, Evan dan Gesa kembali tidur terpisah. Namun, kesibukan sebelum berangkat kerja masihlah sama.Gesa inisiatif bangun lebih pagi. Ia siapkan menu yang praktis untuk sarapan. Roti panggang dioles selai coklat dan buah pisang menjadi pilihan. Dua cangkir kopi tak ketinggalan. Evan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya duduk tenang di ruang makan. Ia melirik sepiring roti panggang di hadapannya. Aroma harum kopi juga menyeruak dan menarik minatnya untuk meneguknya.Gesa duduk di hadapannya tak lama kemudian. Netra mereka kembali bertemu. Setiap menatap Sang Suami selalu ada debaran yang merajai. Namun, Gesa berusaha bersikap setenang mungkin."Kamu menyiapkan semua ini? Good... Makasih," ucap Evan seraya menyuapkan sepotong roti panggang."Gimana rasanya?" tanya Gesa dengan satu senyum manis.Evan berhenti mengunyah lalu menatap Gesa datar. "Hmm tidak bisa dibilang enak, tapi juga nggak bisa dibilang ngg
Gesa mengerjap lalu perlahan membuka mata. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Gesa berpikir, apa dia kesiangan? Evan sedang mandi itu artinya ia kesiangan. Gesa melirik jam dinding. Ternyata masih jam empat pagi. Namun, Evan sudah mandi sepagi ini?Tak lama kemudian, Evan keluar dari kamar mandi. Handuk terlilit di pinggangnya. Tubuh atletis Evan ditambah perut sixpack-nya membuat dada Gesa bergemuruh tak menentu."Kamu mandi pagi sekali," ucap Gesa. Netranya mengamati Evan yang tengah mengambil baju di lemari. "Iya, soalnya Ayah udah pasti ngajakin Subuhan di Masjid depan. Ayah tahunya kan semalam kita habis cocok tanam. Makanya aku mandi untuk lebih meyakinkan." Gesa mengamati rambut Evan yang memang tampak basah. Evan kembali menoleh ke arah Gesa."Kamu menghadap sana ya. Aku mau ganti baju. Jangan berbalik sebelum aku minta." Evan menegaskan kata-katanya. Gesa menuruti kemauan Evan. Ia membalikkan badan. "Udah belum, Van?""Belum, sebentar lagi." "Udah," ucap Ev







