LOGIN
Seperti biasa Gesa terburu-buru menuju kantor. Kota besar ini tidak lagi memberikan ruang yang cukup untuk bernapas. Setiap hari harus bergelut dengan lalu lintas yang padat, kendaraan yang berlalu lalang, dan orang-orang yang berjalan dengan tergesa-gesa.
Hari ini perusahaan akan mengenalkan Chief Creative Officer yang baru. Gesa berharap bosnya kali ini bisa lebih memahami karyawan dan tidak asal memberikan tugas tanpa tahu batas kelelahan seorang karyawan. Tiba di kantor dengan napas tersengal-sengal adalah hal yang biasa. Gesa ingin memberikan kesan yang baik di depan bosnya yang baru. Gesa meletakkan tasnya di meja. Dia menghirup napas sejenak untuk menetralkan deru napas yang masih terdengar memburu. Suara Amy, rekan kerjanya memecah keheningan. "Bersiaplah teman-teman untuk rapat. Hari ini kita akan dikenalkan dengan CCO kita yang baru." Semua staf bersiap memasuki ruangan untuk menghadiri rapat internal divisi kreatif. Atmosfer ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. Rasanya Gesa sudah tak sabar untuk mengetahui siapa CCO baru itu. Derap langkah terdengar syahdu. Semua mata tertuju pada sosok laki-laki tegap yang mengenakan jas hitam. Gesa mengerjakan matanya berkali-kali. Apa ini nyata? CCO baru itu adalah Evan Anderson? Pria yang dulu menghancurkan hatinya. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Untuk sesaat dunia seolah berhenti berputar. Luka masa lalu yang masih membasah dan berusaha Gesa kubur kini seakan meluap kembali. Gesa tak percaya, tidak mungkin Evan menjadi atasannya. Gesa dan Evan dulu mengenal di dunia maya. Evan adalah sahabat dunia maya Gesa yang selalu setia berbagi cerita. Mereka mengenalkan diri masing-masing dengan nama samaran, tapi saling terbuka memberi tahu gender dan usia. Setiap ada masalah, Evan datang pada Gesa dengan chat-chatnya di salah satu aplikasi chat. Gesa pun akan chat Evan dengan beragam curahan hati entah hal yang remeh-temeh sampai masalah yang berat. Setelah satu tahun intens berkomunikasi via chat tanpa pernah melihat foto masing-masing, mereka memutuskan untuk janjian bertemu. Mereka bertemu di coffee shop. Keduanya begitu terkejut karena ternyata mereka kuliah di universitas yang sama. Evan adalah senior Gesa. Siapa yang tidak kenal Evan Anderson, salah satu cowok populer di kampus yang digilai banyak gadis. Namun, setelah pertemuan itu, mereka menjadi asing. Evan menjauh dan tak lagi menghubungi Gesa. Gesa berpikir mungkin Evan kecewa karena Gesa hanya gadis biasa, tak populer, tak cantik, dan dari strata bawah. Kenangan selama satu tahun itu seolah tiada arti. Evan bahkan kerap mem-bully dan merendahkan Gesa di depan teman-teman satu ekstrakurikuler. Dulu keduanya mengikuti ekstrakurikuler art design. Mata Gesa berkaca teringat bagaimana perlakuan buruk Evan padanya. Dan kini, Evan pun masih sama. Setelah mata Evan tertambat padanya, wanita itu bisa merasakan ada keterkejutan di mata tajam pria itu. Namun, Evan segera mengalihkan pandangannya, berpura-pura seolah tidak mengenal Gesa. "Silakan Pak Evan memperkenalkan diri." Eva, HR perusahaan mempersilakan Evan untuk mengenalkan diri. Semua mata tertuju padanya. Binar-binar kekaguman terpancar dari mata rekan kerja Gesa. Harus Gesa akui Evan memang tampan. Cambang tipisnya menambah kesan manly. Postur tubuhnya seperti seorang atlet. Yang Gesa tahu, Evan memang sangat menjaga makanan dan rutin berolahraga. Sementara yang lain menatapnya dengan kekaguman, Gesa menyambung kembali sisa-sisa kekuatan yang seakan mendadak lenyap. Susah payah Gesa rekatkan puing-puing hati yang dulu sempat retak, kini satu per satu kepingan itu kembali pecah. "Selamat pagi semua. Kenalkan, nama saya Evan Anderson. Umur saya 28 tahun. Saya akan memimpin divisi kreatif sebagai Chief Creative Officer. Saya percaya bahwa kreativitas adalah salah satu bentuk untuk mengeksplorasi imajinasi, inovasi, dan idealisme tanpa takut melanggar batasan. Karena itu, saya akan mendukung kalian untuk tidak takut mengembangkan ide dan mengeksplorasi lebih banyak tantangan demi kemajuan perusahaan. Saya juga yakin, kita semua berada di sini karena satu kesamaan, yaitu mencintai karya." Evan mengedarkan pandangan dan menatap para staf satu per satu. Namun, dia menghindari kontak mata dengan Gesa. "Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik dan menggapai misi perusahaan dengan segala daya yang kita punya," lanjut Elvan disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari semua orang yang ada di ruangan ini, kecuali Gesa yang lebih memilih diam. Setelah acara perkenalan itu, semua staf kembali ke tempat m masing-masing. Semangat Gesa rasanya ikut melayang. Tak bisa Gesa bayangkan, dirinya akan bekerja di bawah kekuasaan Evan. Rasa trauma itu masih mengakar. Gesa takut, Evan kembali merendahkan dan menyiksa mentalnya. Teman-teman kerja Gesa membicarakan pesona Evan yang membuat mereka tergila-gila. Usia Evan yang masih terbilang muda untuk posisi CCO. Gesa baru tahu, ternyata Evan adalah anak dari Pak Andre, CEO perusahaan. Namun, sebelum Evan masuk sini, atasan lama Gesa membocorkan jika calon CCO baru ini pernah memenangkan penghargaan desain internasional. Yang artinya Evan tak sekadar aji mumpung. Dia memang benar-benar kompeten. Tangan Gesa masih gemetar. Dadanya masih berdebar hebat. Seperti ada yang menusuk-nusuk hatinya. Ada rasa sakit, takut, kecewa, sedih, semua bercampur-campur. Lamunan Gesa buyar kala Andy, rekan kerjanya memanggil namanya. "Gesa, Pak Evan ingin kamu menemuinya ke ruangannya sekalian bawa hasil rancanganmu." Gesa terperanjat. Hari pertama ia bekerja, Evan langsung ingin melihat rancangannya?Gesa masih saja kesal. Sekuat apa pun usahanya untuk bersikap netral dan tak peduli, nyatanya ia tak bisa membohongi hati kecilnya. Kecemburuan itu ada. Ia tak bisa bersikap seolah-olah dia bukan siapa-siapanya Evan. Pernikahan itu real terlepas dari apa pun latar belakang yang menyebabkan pernikahan itu terjadi.Ia bertambah kesal kala melihat Rivana keluar dari ruangan Evan dan tersenyum miring ketika melintas di hadapannya. Tampak benar gadis itu menyukai kegelisahannya. Gesa tak mau menunjukkan kelemahan maupun rasa cemburunya. Ia akan berpura-pura jika sikap Evan tak berpengaruh apa-apa terhadapnya.Ketika tiba saatnya pulang, Evan mendatanginya dan menatapnya datar. Gesa menatapnya sekilas, tapi buru-buru ia alihkan pada layar laptop yang baru saja ia matikan."Kita pulang bareng, setelah itu mampir makan malam," tukas Evan datar.Gesa tahu, Evan menatap ke arahnya. Namun, Gesa enggan menatap balik. "Tadi pagi aku berangkat sendiri, naik motor. Pulangnya juga naik motor. Masa i
"Halo Gesa, senang bertemu denganmu. Sudah sekian lama kita tidak bertemu, kamu masih seperti yang dulu." Rivana menatap Gesa di luar ruangan rapat setelah rapat selesai. Tatapannya begitu menelisik dari ujung kepala hingga kaki."Masih seperti yang dulu?" Gesa memicingkan matanya. Ia tak suka berbasa-basi."Ya, masih seperti yang dulu. Yang nggak bisa make up, kurang pinter milih outfit, dan tidak terlihat upgrade di penampilan." Rivana bicara tanpa tedeng aling-aling. Gesa sudah sangat paham akan karakter seniornya yang suka meremehkan orang lain. Sebenarnya, tak jauh dari Evan.Gesa menatap Rivana, sama dengan cara Rivana menatapnya. Ia seakan tengah mengabsen inci demi inci penampilan Rivana. "Apa kamu merasa cukup upgrade? Kamu lebih menarik saat masih kuliah. Maaf, ini jujur dari hati." Gesa mengamati Rivana yang tampak jauh lebih berisi dibanding dulu. Hanya saja Gesa tak ingin berkomentar negatif yang menyinggung fisik orang lain, meski Rivana lebih dulu meremehkannya.Rivana
Gesa gugup bukan main. Degup jantungnya terasa berpacu lebih cepat. Jarak antara dirinya dan Evan semakin terpangkas. Gesa tak lagi bisa mundur. Ujung bibir Evan menyentuh ujung bibirnya. Gemuruh rasa itu kian membakar. Dada Gesa berdebar hebat. Ketika Evan memainkan ritme, Gesa terpaku sekian detik. Ini ciuman pertamanya. Ia tak tahu bagaimana membalasnya. Evan belum ingin menyerah. Ia hentikan ciumannya dan beralih dengan bisikan lirih di telinga istrinya. "Balas ciumanku, ikuti ritmenya."Suara lembut Evan terdengar begitu memikat. Nada suaranya seolah seperti sebuah hasrat yang tengah menanjak. Telinga Gesa meremang. Dadanya semakin berdebar. Getaran seakan merayap di setiap sendi.Evan kembali mendaratkan ujung bibirnya di bibir Gesa. Kali ini, Gesa lebih siap dibanding sebelumnya. Ia mengikuti ritme untuk membalas ciuman Evan.Waktu seolah berhenti. Dunia dan seisinya seakan menjadi milik keduanya. Sensasi ciuman pertama ini begitu manis, hangat, dan membekas. Ketika momen itu
Malam ini atmosfer kembali asing. Hanya keheningan yang mendominasi. Bahkan Gesa pun melewatkan makan malam karena ia tak mood untuk makan malam.Sekitar jam sembilan, Gesa keluar kamar. Ia ingin mengambil air. Ketika ia melangkah keluar, matanya bertemu dengan mata Evan yang tengah duduk di ruang tengah dengan laptop di hadapannya. Keduanya terdiam sekian detik seakan tatapan menjadi satu-satunya cara untuk berbicara. Gesa mengalihkan pandangan ke arah lain. Tanpa suara, ia melangkah menuju dapur untuk mengambil air.Gesa duduk sejenak di ruang makan. Ia meneguk air putih lalu merenungi nasibnya. Gesa menopang dagu dengan tangannya. Ia berpikir ulang, apa keputusan menikahi Evan adalah keputusan terburuk dalam hidupnya? Ia pikir, tak mengapa menjalani pernikahan perjodohan dengan kesepakatan meski tanpa cinta. Nyatanya, jauh di hati kecilnya, ia merindukan pernikahan yang normal.Mendadak hatinya bergerimis. Tiba-tiba ia merindukan kehidupan lamanya. Rumah yang ia tinggali sekarang
Pagi ini terasa lebih sibuk dibanding pagi sebelumnya. Orang tua Evan telah pulang, Evan dan Gesa kembali tidur terpisah. Namun, kesibukan sebelum berangkat kerja masihlah sama.Gesa inisiatif bangun lebih pagi. Ia siapkan menu yang praktis untuk sarapan. Roti panggang dioles selai coklat dan buah pisang menjadi pilihan. Dua cangkir kopi tak ketinggalan. Evan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya duduk tenang di ruang makan. Ia melirik sepiring roti panggang di hadapannya. Aroma harum kopi juga menyeruak dan menarik minatnya untuk meneguknya.Gesa duduk di hadapannya tak lama kemudian. Netra mereka kembali bertemu. Setiap menatap Sang Suami selalu ada debaran yang merajai. Namun, Gesa berusaha bersikap setenang mungkin."Kamu menyiapkan semua ini? Good... Makasih," ucap Evan seraya menyuapkan sepotong roti panggang."Gimana rasanya?" tanya Gesa dengan satu senyum manis.Evan berhenti mengunyah lalu menatap Gesa datar. "Hmm tidak bisa dibilang enak, tapi juga nggak bisa dibilang ngg
Gesa mengerjap lalu perlahan membuka mata. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Gesa berpikir, apa dia kesiangan? Evan sedang mandi itu artinya ia kesiangan. Gesa melirik jam dinding. Ternyata masih jam empat pagi. Namun, Evan sudah mandi sepagi ini?Tak lama kemudian, Evan keluar dari kamar mandi. Handuk terlilit di pinggangnya. Tubuh atletis Evan ditambah perut sixpack-nya membuat dada Gesa bergemuruh tak menentu."Kamu mandi pagi sekali," ucap Gesa. Netranya mengamati Evan yang tengah mengambil baju di lemari. "Iya, soalnya Ayah udah pasti ngajakin Subuhan di Masjid depan. Ayah tahunya kan semalam kita habis cocok tanam. Makanya aku mandi untuk lebih meyakinkan." Gesa mengamati rambut Evan yang memang tampak basah. Evan kembali menoleh ke arah Gesa."Kamu menghadap sana ya. Aku mau ganti baju. Jangan berbalik sebelum aku minta." Evan menegaskan kata-katanya. Gesa menuruti kemauan Evan. Ia membalikkan badan. "Udah belum, Van?""Belum, sebentar lagi." "Udah," ucap Ev







