Seharian Gesa mengerjakan revisi rancangannya. Gesa hanya beristirahat saat jam istirahat. Hingga petang berlalu, Gesa masih berkutat dengan pekerjaannya.
Satu per satu rekan kerja Gesa telah pulang lebih dulu. Sementara, Gesa masih terpaku pada layar laptop. Evan masih ada di ruangannya. Gesa berpikir apakah Evan sedang menunggunya menyetor rancangan yang sudah ia revisi? Gesa berencana menyerahkan hasil revisi meski belum sempat mem-print. Biar Evan melihat langsung dari laptopnya. Evan memberinya waktu hingga hari ini saja. Gesa membawa laptopnya menuju ruangan Evan. Gesa mengetuk pintu. Terdengar jawaban dari dalam. "Silakan masuk." Gesa membuka pintu dan melangkah masuk dengan sedikit ragu. Ia terperanjat melihat Pak Andre, CEO perusahaan sekaligus ayah dari Evan ada di ruangan itu juga. "Kebetulan kamu datang, Gesa. Ada hal penting yang akan saya bicarakan." Andre tersenyum menatap Gesa. Gesa membeku sekian detik. Dadanya tiba-tiba berdebar. Ia takut Pak Andre akan mempermasalahkan pekerjaannya atau mungkin ada kaitannya dengan Evan. "Kita duduk di sofa saja biar lebih santai." Andre beranjak dan duduk di sofa. Sementara Gesa masih berdiri dan Evan masih duduk di tempatnya. "Gesa, Evan, apa yang kalian tunggu? Kemarilah." Andre menatap Evan dan Gesa bergantian. Dengan ragu, Gesa meletakkan laptop di meja dan ia duduk di sofa. Evan duduk di sebelah Gesa karena hanya di situlah celah yang masih tersisa. "Sebenarnya saya ingin membicarakan ini sejak lama. Mungkin ini waktu yang tepat karena Evan sekarang bekerja di sini juga." Andre menatap putra dan stafnya dengan senyum tipis. Gesa semakin gugup. Ia bertanya-tanya, ada gerangan apa, tiba-tiba Pak Andre ingin bicara dengannya. Keberadaan Evan di sebelahnya seakan menjadi tanda bahwa apa yang akan disampaikan Pak Andre ada kaitannya dengan dirinya dan Evan. "Begini Evan dan Gesa, almarhum ayah Gesa adalah sahabat baik saya. Dulu kami berjuang bersama-sama, merintis pekerjaan bersama. Sampai akhirnya kami memilih jalan yang berbeda. Saya memilih bekerja di perusahaan, ayah Gesa memilih menjadi seorang guru." Andre menghela napas pelan. Ada sesuatu yang mencekat, tapi ia harus menyampaikan. "Ayah Gesa kecelakaan. Kejadian itu sudah lima tahun berlalu. Saya baru tahu dua tahunan yang lalu bahwa yang menabrak ayah Gesa adalah supir pribadi saya yang juga sudah meninggal tahun lalu. Waktu itu supir pribadi saya sedang dalam perjalanan menjemput saya." Raut wajah Andre tampak begitu sedih. Gesa menganga sekian detik. Ia tersentak mendengar kenyataan barusan. Sekian lama ia pikir, ayahnya adalah korban tabrak lari. Pelaku tabrak lari tak ditemukan sampai sekarang. Ternyata pelakunya adalah supir pribadi ayah Evan. Tentu bukan kesalahan Pak Andre, pikir Gesa. Bahkan Pak Andre baru tahu dua tahun yang lalu. Ada kesedihan mendalam yang menggerogoti pertahanan Gesa. Setiap kali teringat pada almarhum ayahnya, Gesa kembali terluka. Kehilangan seseorang untuk selamanya akan menjadi luka tanpa penawar. Karena perpisahan itu hanya akan menyisakan rindu. Rindu yang tak akan pernah terobati dengan pertemuan. "Saya sangat menyesal, Gesa. Saya pikir sudah saatnya saya menebus kesalahan supir pribadi saya." Andre menatap Gesa lembut. Evan hanya membisu. Ia belum bisa menebak ke arah mana pembicaraan Sang Ayah. "Saya sudah membicarakan hal ini dengan ibunya Gesa. Hanya saja, saya memang meminta ibunya Gesa untuk menyimpan berita ini dulu. Biar saya yang menyampaikan langsung pada Gesa dan Evan." Baik Evan maupun Gesa semakin penasaran dengan maksud pembicaraan Andre. "Saya ingin menikahkan kalian," ucap Andre tenang. Baik Gesa maupun Evan melongo sekian detik. Gesa tak percaya dengan apa yang ia dengar. Begitu juga dengan Evan. Gesa tak bisa membayangkan jika dirinya benar-benar menikah dengan Evan. Mungkin hari-harinya akan serasa seperti neraka. Evan pun tak bisa menerima perjodohan ini. Ia tak pernah membayangkan menikah dengan Gesa. Gesa adalah satu nama yang ingin ia hapus dari sejarah kehidupannya. Bagaimana bisa ayahnya menawarkan sesuatu yang akan membuat nama itu terus tertulis dalam kehidupannya? "Aku nggak bisa menerima perjodohan ini, Ayah." Evan menegaskan kata-katanya. "Kamu harus menerimanya, Evan! Ini adalah cara terbaik keluarga kita untuk meminta maaf pada keluarga Gesa." Andre menatap tajam putranya. "Yang menabrak itu supir pribadi Ayah, bukan aku, bukan keluarga kita. Kenapa kita yang harus minta maaf dan bertanggung jawab?" Evan meninggikan suaranya. Sungguh, ia tak mengerti. Ia harus mengorbankan masa depannya demi perjodohan konyol ini. "Evan! Berempatilah dengan apa yang menimpa keluarga Gesa. Lagipula kamu sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun." Andre menatap Gesa yang juga membatu. "Gesa wanita yang baik. Selama bekerja di sini, kinerjanya juga baik." Andre menekankan kata-katanya. "Maaf, Pak Andre. Saya menghargai niat Bapak untuk meminta maaf pada keluarga saya. Tapi sepertinya ini terlalu berlebihan, Pak. Baik saya maupun Pak Evan tidak menginginkan perjodohan ini." Gesa memberanikan diri menyampaikan pendapatnya. Ia pun tak siap untuk menikah dalam waktu dekat. "Tidak ada yang berlebihan. Saya sudah sepakat dengan ibu kamu. Ibu kamu juga menginginkan pernikahan ini." "Kenapa Ayah memaksa? Saya nggak mau nikah, Gesa juga nggak mau. Kenapa dipaksa?" Evan menahan kekesalannya. Ia kesal, kecewa, marah, semuanya bercampur jadi satu. "Kalau kamu tidak mau menikah dengan Gesa, Ayah tak hanya akan mendepakmu dari perusahaan, tapi juga akan mencoret namamu dari Kartu Keluarga!" Ancaman Andre tidak main-main. Sorot tajam mata Andre seolah sanggup melumpuhkan siapa saja yang menatapnya. Sorot mata yang bercerita bahwa apa pun yang ia minta adalah perintah yang harus dikerjakan, tidak ada tawar-menawar. Permintaannya adalah harga mati. Evan terpaksa menerima tawaran pernikahan ini meski ia harus menikahi wanita yang ia benci. Gesa pun tak bisa menolak apalagi jika ibunya telah sepakat dengan Pak Andre. Gesa juga takut jika ia menolak maka akan berpengaruh pada kariernya.Gesa bingung hendak berbuat apa. Jika ia bergeser, ia malah takut dirinya akan bersentuhan dengan Evan. Baru aja dijodohkan, masa iya bosnya mau mencium bibirnya? Apa yang harus ia lakukan jika Evan benar-benar melakukannya? Sementara dia belum pernah berpengalaman soal ini. Evan melepas pengait sabuk itu dan berhasil. Evan kembali menjauhkan wajahnya. Gesa bisa bernapas lega. Ia sempat salah duga. Atau dia terlalu berharap? Tidak, Gesa tahu dirinya tak boleh lemah. Ia tak akan berharap apa pun pada pernikahannya dan Evan karena ini pernikahan perjodohan yang dipaksakan. "Kamu ingin terus di sini bersamaku? Atau kamu sudah sangat menghayati peranmu sebagai istriku? Hingga tak ingin jauh dariku." Evan bicara dengan nada yang sewot. Tatapan yang seolah mengintimidasi itu selalu menjadi ciri khasnya. "Maaf... Aku akan turun secepatnya. Maaf juga, karena sudah malam aku nggak akan menawari kamu untuk mampir ke rumah." Gesa tersenyum tipis, bukan senyum tulus untuk berterima kasih. Evan
Gesa merasa terjebak dalam satu mobil bersama Evan. Andai saja Pak Andre tidak memaksa Evan untuk mengantar Gesa pulang, tentu gadis itu lebih memilih pulang sendiri. Berada dalam mobil mewah bersama seseorang yang tidak tahu cara menghargai orang lain dan sangat menyebalkan itu tidak ada artinya. Ia tak mengerti kenapa Evan belum jua melajukan mobilnya sementara area parkir sudah tampak sepi. Evan menoleh pada Gesa yang membisu seribu bahasa. "Dengar Gesa, aku terpaksa menerima perjodohan kita karena aku berpikir realistis. Aku tak ingin kehilangan kedudukanku dan aku masih ingin menjadi bagian dari keluargaku." Evan menegaskan kata-katanya dan menatap Gesa dengan sorot tertajamnya. Gesa menghela napas. Ia melirik Evan sepintas. "Tanpa kamu bicara seperti ini, aku sudah paham, Evan. Posisi kita sama, aku pun terpaksa." "Wow, baru sehari aku jadi bosmu, kamu sudah berani memanggilku dengan nama." Evan tersenyum miring. Baru saja dijodohkan dan belum resmi, gadis itu merasa berada
Seharian Gesa mengerjakan revisi rancangannya. Gesa hanya beristirahat saat jam istirahat. Hingga petang berlalu, Gesa masih berkutat dengan pekerjaannya.Satu per satu rekan kerja Gesa telah pulang lebih dulu. Sementara, Gesa masih terpaku pada layar laptop. Evan masih ada di ruangannya. Gesa berpikir apakah Evan sedang menunggunya menyetor rancangan yang sudah ia revisi? Gesa berencana menyerahkan hasil revisi meski belum sempat mem-print. Biar Evan melihat langsung dari laptopnya. Evan memberinya waktu hingga hari ini saja.Gesa membawa laptopnya menuju ruangan Evan. Gesa mengetuk pintu. Terdengar jawaban dari dalam."Silakan masuk."Gesa membuka pintu dan melangkah masuk dengan sedikit ragu. Ia terperanjat melihat Pak Andre, CEO perusahaan sekaligus ayah dari Evan ada di ruangan itu juga."Kebetulan kamu datang, Gesa. Ada hal penting yang akan saya bicarakan." Andre tersenyum menatap Gesa.Gesa membeku sekian detik. Dadanya tiba-tiba berdebar. Ia takut Pak Andre akan mempermasal
Gesa mencoba menstabilkan napas, menenangkan diri, dan menguatkan hati. Ia membawa map berisi rancangan rebranding perusahaan. Jari tangannya gemetar. Dia kesulitan mengendalikan degup jantung yang terus berloncatan. Rasanya seperti akan menghadapi monster.Ketika Gesa masuk ke ruangan Evan, laki-laki itu menatapnya dingin. Tak ada ekspresi berarti. Ia mempersilakan Gesa duduk dengan bahasa yang begitu formal, seolah mereka tak pernah saling mengenal.Gesa menyerahkan map coklat pada Evan dengan debaran yang masih merajai. Bahkan Gesa tak sanggup menatapnya."Kamu yang bertanggung jawab membuat rancangan branding perusahaan, 'kan? Saya akan mengeceknya," ucap Evan datar.Gesa hanya mengangguk pelan. Suasana begitu menegangkan. Ingatan Gesa melayang ke masa kuliah ketika dirinya menyerahkan hasil desain logo ekstrakurikuler art design. Evan merobek rancangannya dan mencemooh karyanya seperti karya anak SD. Kini Gesa dihadapkan pada situasi yang sama. Sesaat Gesa merasa semesta seolah
Seperti biasa Gesa terburu-buru menuju kantor. Kota besar ini tidak lagi memberikan ruang yang cukup untuk bernapas. Setiap hari harus bergelut dengan lalu lintas yang padat, kendaraan yang berlalu lalang, dan orang-orang yang berjalan dengan tergesa-gesa.Hari ini perusahaan akan mengenalkan Chief Creative Officer yang baru. Gesa berharap bosnya kali ini bisa lebih memahami karyawan dan tidak asal memberikan tugas tanpa tahu batas kelelahan seorang karyawan.Tiba di kantor dengan napas tersengal-sengal adalah hal yang biasa. Gesa ingin memberikan kesan yang baik di depan bosnya yang baru.Gesa meletakkan tasnya di meja. Dia menghirup napas sejenak untuk menetralkan deru napas yang masih terdengar memburu. Suara Amy, rekan kerjanya memecah keheningan."Bersiaplah teman-teman untuk rapat. Hari ini kita akan dikenalkan dengan CCO kita yang baru."Semua staf bersiap memasuki ruangan untuk menghadiri rapat internal divisi kreatif. Atmosfer ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. Rasan