MasukBunga sudah selesai memakai lingerienya, dia berjalan pelan ke sisi Alvaro. ‘Duh, jangan kesini. Please, Diamlah di tempat. Duduk di tempat tidur,’ ujar Alvaro. Tapi, lagi-lagi hanya di dalam hati saja. Sebab di luar, Alvaro masih saja tampak berusaha keras berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia harus bertahan kali ini sekuat tenaga Alvaro mencoba untuk tetap mengerjakan pekerjaannya.
“Sayang, kenapa bekerja terus,” sapa Bunga yang duduk di tangan kursi Alvaro. Mau tak mau Alvaro terpaksa melirik ke arahnya. Sungguh cantik dan seksi lingerie itu melekat di tubuh Bunga. Bahannya yang transparan memperlihatkan kalau Bunga tidak memakai apapun di bawah pakaian itu. Alvaro menarik nafas lagi dan menahannya. Bahkan hingga sesak nafas pun Alvaro bertekad menahannya."Kenapa dia harus duduk di sini, aku jadi bisa melihat semuanya. Tahan ya tahan," gumam Alvaro pada dirinya dalam hati. Dia tak mungkin tidak tergoda tapi dia harus tetap bertahan dan tidak menyerang istrinyaHari ini adalah hari terakhir Alvaro dan Bunga berada di Amsterdam. Sore ini mereka akan berangkat menuju Jakarta kembali. Alvaro dan Bunga tak mau lagi keluar dari hotel. Mereka hanya memesan makanan dari layanan kamar di hotel itu.“Kenapa tidak mengajak keluar, Sayang? Apa trauma?” tanya Alvaro. Dia menghampiri Bunga yang sedang berdiri di depan jendela kamar itu.“Tidak, menghindari masalah saja. Siapa tahu nanti nyasar, malah bikin masalah, Sayang,” ujar Bunga. Sebenarnya ada hal lain yang dipikirkan oleh Bunga. Tapi, dia sendiri pun belum yakin untuk menyampaikannya pada Alvaro sekarang.‘Aku sudah terlambat datang bulan, apa aku ceritakan sekarang atau nanti saja ketika di Indonesia?’ pikir Bunga. Alvaro membaca wajah istrinya. Dia tahu persis kalua Bunga sedang memikirkan sesuatu.“Cepat ceritakan, apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan, Sayang?” tanya Alvaro. Bunga berbalik, menatap Alvaro yang tadinya berada di belakangnya. Bunga tak tahan kalau menyembunyikan sesuatu dari
Setelah diperiksa secara intensif di rumah sakit, Bunga dan Alvaro diperbolehkan kembali ke hotel tempat mereka menginap tadi. Petugas medis dan rumah sakit itu menawarkan untuk mengantarkan mereka kembali ke hotel, tapi Bunga menolak. Dia ingin kembali dengan taksi saja bersama Alvaro saja, Bunga merasa enggan bila harus naik ambulans lagi. Alvaro sendiri juga merasa enggan diantarkan menggunakan fasilitas dari rumah sakit itu. Mereka sudah merasa kuat kembali.Keluar dari rumah sakit, Bunga dan Alvaro segera memesan taksi. Keesokan harinya mereka harus kembali ke Indonesia, dan mereka belum beristirahat sama sekali. Padahal, malam sudah cukup larut akibat kelamaan terlibat insiden di lift sebelumnya.Setelah sampai di hotel, pihak hotel itu sendiri langsung menyambut mereka. Dari pihak hotel tadi menginformasikan kalau mereka sudah mengamankan barang-barang Alvaro dan Bunga yang tertinggal di dalam lift, dan mereka akan mengantarkannya dengan troli. Seo
Alvaro berdiri dan segera menekan kembali tombol darurat di lift tersebut. Dia memohon agar secepatnya diberi bantuan. Alvaro menyampaikan kalau istrinya yang bersamanya di dalam lift saat ini tak lagi sadarkan diri.“Can you perform CPR on her?” tanya wanita yang menerima permintaan bantuan secepatnya oleh Alvaro. Alvaro meringis, dia tak pernah melakukan CPR sebelumnya. Tidak banyak orang biasa yang mampu melakukan CPR dengan cara yang benar. Selama ini, Alvaro tak pernah belajar, bahkan tak pernah mengetahui cara melakukannya. Dia melirik ke arah Bunga, Alvaro merasa tak mampu melihatnya seperti itu. Alvaro sedih dan khawatir kalau terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya itu.“Helo, helo, Sir. Can you hear me?” Wanita yang menerima panggilan darurat Alvaro kembali memancing kesadaran Alvaro. Alvaro pun tersentak. Sekarang bukan saatnya dia untuk berpikir mengenai bagaimana cara melaksanakannya, melainkan Alvaro harus berpikir mengenai nyawa dan kesela
Bunga mengerucutkan bibirnya. Dia tetap menginginkan masuk ke museum itu. “Sudah, tidak apa. Biar aku yang mengantri. Kau duduk di kursi taman itu saja,” ujar Alvaro. Bunga tersenyum senang. Dia sudah siap untuk berjalan ke tempat yang dikatakan Alvaro.“Benar, Sayang? Apa kau tidak capek nanti?” tanya Bunga. Dia kembali memandang ke panjangnya antrian yang ada di hadapan mereka. Bunga bahkan mencoba menghitung berapa orang yang ada di depan mereka pada antrian itu.“Tidak capek. Sana, Sayang. Tapi ingat, jangan kemana-mana dan tetap disana, okay?” perintah Alvaro. Bunga mengangguk, dia kemudian berjalan ke arah kursi taman. Dia kemudian duduk dan menunggu Alvaro di kursi taman itu.Alvaro pun mengantri, menunggu hingga orang lain di depan mereka masuk satu per satu. Sampai tiba giliran mereka, kemudian Alvaro memanggil Bunga dengan isyarat tangannya. Bunga pun mendekat, dan mereka berdua masuk ke dalam.Beberapa waktu mereka habiskan meli
Alvaro memegang kerah bagian belakang baju pemuda itu. Dia terpaksa berbalik dan melayangkan tinjunya pada Alvaro. Alvaro berkelit kemudian balas meninju wajahnya. “Terus, Sayang! Pukul dia! Hajar!” pekik Bunga dari belakang Alvaro. Alvaro baru menyadari kalau Bunga sejak tadi tidak pergi ke tempat petugas kepolisian seperti yang diperintahkan Alvaro. Ketika Alvaro lengah, pemuda itu hampir saja berhasil memberikan bogem mentahnya pada Alvaro. Namun Alvaro menangkisnya, kemudian memuntir dan menarik kencang tangan pemuda itu. Sang pemuda langsung terseok-seok. Alvaro memutar lengannya ke belakang kemudian membantingnya. Dia terkapar di tanah seperti kedua temannya yang lain. Mereka kemudian saling membangunkan satu sama lain dan lari tunggang-langgang. Alvaro mendekat pada Bunga. “Ya ampun, kau masih disini. Cepat ambil sepedamu, kita pergi dari sini,” ujar Alvaro. Bunga secepatnya melakukan apa yang dip
Bunga hanya bisa menatap kebingungan ketika lelaki itu berlalu sambil meneriakkan agar dirinya tidak berhenti. Bunga melihat ke kiri kemudian ke kanan. Berusaha mengingat lokasi tempatnya berada sekarang, mungkin saja dia perlu menggambarkan itu kepada Alvaro. Bunga ingin segera menghubungi suaminya saja.Kalau saja ada papan penunjuk arah atau toko tentu saja Bunga bisa mengatakan lokasi dengan lebih mudah. Tapi, di area tersebut sama sekali tidak ada pertokoan. Semuanya hanya bangunan-bangunan dengan bentuk yang sama. “Aduh, dimana ini ya?” gumam Bunga.Bunga ragu, dia harus terus mengayuh sepedanya lagi seperti kata orang asing tadi, atau dia harus melihat map untuk menuju ke arah restoran Indonesia yang didatanginya kemarin. Atau, Bunga harus menghubungi Alvaro dengan segera. Bunga benar-benar linglung, tak tahu dimana dirinya berada.“Helo, looks like you’re not from here.” Sapa seorang pemuda. Wajah Kaukasia pemuda itu tampak memikat. Nam







