"Aku suka tubuhmu."
"Ahhh!!" Ara mendesah hebat.
"Sentuhan ini, apa kau merasakannya?"
"Kumohon, kau menyiksaku!"
Ara menggerakkan kepalanya pelan, kemudian matanya menyipit sembari merasakan sesuatu yang agak berat sedang bertumpu di atas lengannya. Matanya terbuka lebar saat menyadari itu adalah tangan kokoh Gavin yang sedang memeluknya.
"Hmm..." lenguh Gavin sontak Ara berpura-pura terpejam lagi.
Gavin tersenyum melihat wanita di dekapannya. Ia menyingkirkan tangannya pelan, lalu mengecup kening Ara lembut.
Ara ingin membuka mata, atau mungkin berteriak saking kagetnya. Sikap Gavin kenapa masih sama, dia mengira sikap Gavin akan berubah seperti yang sudah-sudah.
"Buka matamu."
Jantung Ara berdegup saat Gavin mengatakan hal itu. Jadi, pria itu tahu bahwa dia sejak tadi sudah bangun?
"Aku tahu kau bangun."
Len
Gavin berusaha terbuka kepada Ara. Setelah memilih Ara sebagai teman hidup dan satu-satunya cinta dalam hati pria yang sempat mengalami trauma jatuh cinta itu.Aku akan menemui, Luna. Aku mengatakan ini karena ingin jujur padamu, Arabella. Kau percaya padaku, kan? "Ya, setidaknya dia berusaha jujur padaku. Kau harus percaya padanya, Ra," gumam Ara."Hei, apa yang kau gumamkan barusan?" tanya Gavin yang tiba-tiba saja muncul, barusan dia sedang berganti pakaian, sedang Ara menunggu di halaman rumah."Ti-tidak, itu bukan apa-apa," geleng Ara.Gavin mengusap puncak kepala istrinya kemudian mengecup keningnya. "Jangan memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan.""Hm," angguk Ara. "Baiklah, aku akan mengingatnya."***Ara sudah di ka
Gavin tak habis pikir siapa lelaki yang terlihat begitu mencemaskan Ara tadi. Sekarang Gavin sedang di dalam mobil membawa Ara pulang ke rumah. Luna sejak tadi terus mencoba menghubungi, tapi Gavin bukan lelaki bodoh, dia akan mencari tahu fakta sebenarnya tentang anak yang di klaim sebagai anaknya oleh Luna."Ara kumohon, percayalah padaku."Kenapa di saat Gavin sudah menemukan obat dari traumanya, malah ada kejadian seperti ini? Luna adalah penghancur semua kebahagiaannya."Kau keterlaluan Luna!" geramnya sambil memukul kemudi.Ara mulai membuka matanya, kepalanya terasa sangat pusing dan dia agak mual."Gavin? Turunkan aku!" teriak Ara histeris saat menyadari dia sedang bersama lelaki yang baru saja dia dengar memiliki anak dari wanita lain."Ara, tenanglah, aku akan membawamu pulang. Kita harus memeriksakan keadaanmu, dokter sudah aku suruh datang ke rumah," kata Gavin yang tidak mau membawa Ara ke rum
Meski Ara tidak sepenuhnya percaya apa yang dia dengar dan dia lihat. Bukankah semua tetap saja, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Pasti ada sesuatu yang membuat Luna mengatakan bahwa mereka memiliki anak. Mungkin saja, siapa yang tahu hubungan Gavin dulu dengan Luna? Ara hanya mendengar dari lelaki yang bahkan baru dikenalnya.Namun, dia adalah Gavin Narendra Tama, bukan orang lain. Gavin pria yang baik, yang selalu Ara percaya, meski mereka belum lama saling mengenal. Belum lagi tatapan mata Gavin yang selalu jujur dimatanya. Apa dia sudah salah? Apa dia seharusnya percaya pada yang dikatakan Gavin?"Astaga, perutku sakit sekali." Ara memegangi perutnya yang terasa melilit."Bagaimana ini, aku tidak bisa di dalam sini terus, aku harus keluar dari kamar ini." Ara terus menggedor pintu kamar yang sengaja dikunci oleh Gavin dari luar. Tapi mungkin saja Gavin bahkan tidak ada di rumah sekarang."Si
Di lobi kantor Gavin ada Luna yang sudah tiga puluh menit menunggu. Sekertaris Gavin sudah menelepon Gavin, pada awalnya Gavin menolak untuk menemui Luna. Tapi hal yang mengejutkan terjadi."Ara, kau yakin tidak ingin aku menemanimu ke rumah Ibu?""Pergilah, Vin." Ara membalas pertanyaan Gavin dengan senyum tulusnya. "Aku mengerti, kau harus mengurus semuanya dengan Luna. Meski aku takut, dia akan mengambil mu dari sisiku," tambah Ara dengan tawa kecil yang menjadi ciri khasnya.Ara adalah wanita yang kuat. Dia juga sudah biasa bertemu wanita yang serupa dengan Luna. Walaupun di awal dia berpikir mungkin saja Luna hanyalah korban. Tapi setelah mendengar penjelasan Gavin, Ara memutuskan untuk mempercayai suaminya dibandingkan Luna.Ara juga terbiasa dipandang remeh oleh orang lain. Entah itu teman sekelas sewaktu sekolah, teman bekerja yang iri karena dia lebih dekat dengan atasan, atau seperti sekarang, ma
Arabella hanya terus berada di sisi pembaringan terakhir ibunya. Teringat setiap kenangan yang dilaluinya selama ini, dia merasa belum bisa membuat wanita yang selama ini paling berjasa dalam hidup Arabella itu cukup bahagia.Ara mengusap kening ibunya yang terbujur kaku di depan mukanya yang basah. Alissa ikut menangis, ini merupakan kehilangan yang paling membekas untuk dia, dibandingkan kehilangan kedua orang tuanya beberapa tahun lalu."Ara kuatkan hatimu, kumohon, aku tidak tega dengan bayi di dalam kandungan mu. Berhenti menangis ya."Tak lama kemudian tangan kekar segera melingkar dari belakang tubuh Ara tepat di kedua bahu wanita yang sedang menangisi jasad kaku ibunya."Sayang, maafkan aku datang terlambat."Bibir Arabella makin bergetar, air matanya luruh tak tertahankan, ia segera berbalik memeluk Gavin dengan sangat teramat erat."Vin... Ibu pergi... Kumohon ka
****"Kau kenapa? Apa kau sedang kesal?" tanya Ara pada Gavin. Baru saja Louise pulang, tapi suami Ara itu masih terus cemberut di depan wajah Ara."Aku tidak suka cara dia menatapmu, Sayang." Gavin selalu berterus terang, berbicara gamblang, tanpa basa-basi."Aku tidak mungkin biasa saja. Dia terlihat menyukaimu. Aku tidak mungkin salah menilai," tambah pria di samping Ara yang sedang duduk sambil menatap wanita tersayangnya.Ara malah tersenyum, tangannya menyentuh lemah kulit pipi Gavin, mengusap lemah dengan tatapan mendalam."Aku hanya mencintaimu. Kau tahu, aku bukan wanita yang mudah digoda. Tapi aku heran, mungkin saja kau memiliki pesona yang luar biasa. Sampai-sampai aku bisa hamil se
Ara mengelus permukaan perutnya. Masih tampak rata, tapi jika disentuh sudah mulai terasa sedikit tonjolan. Malam itu entah kenapa dia merasa sedih. Bukan kesedihan karena ibunya. Sebab Ara sudah berusaha mengikhlaskan.Namun Ara melihat Gavin berbeda. Ara ingin menangis, entah kenapa. Rasanya senyuman Gavin seperti akan menghilang dari hadapannya. Seolah Gavin akan berpisah dengannya.Kenapa gerangan?"Sayang? Kau masih di dalam? Aku baru saja selesai mandi." Suara Gavin sembari mengetuk pintu dari luar membuat lamunan Ara pecah."Ya. Sebentar, Sayang." Ara segera mengenakan pakaian dan keluar."Kau lama sekali? Baik-baik saja, kan?" Gavin menyentuh pipi Ara yang agak pucat dengan rambut basah dan airnya menetes."Kau terlalu mencemaskan ku berlebihan," sahut Ara.Gavin mengambil handuk lalu menarik tangan Ara menuju ranjang. " Duduklah, biar aku ba
Beberapa bulan kemudian...Setelah melewati beberapa bulan yang diselimuti kesedihan selepas kepergian ibu tercinta. Arabella mulai menyusun lagi hari-hari yang baru. Meski dia harus menjalani itu seorang diri. Alissa, dia memutuskan untuk menikah dengan Louise.Ara turut bahagia, dan dia berharap Alissa juga bahagia. Jauh dari rumahnya, juga dari bayang-bayang Gavin. Ah, lelaki itu, lelaki yang sangat dicintai oleh Ara. Tapi sayang, Ara memutuskan untuk mengalah dan pergi."Sayang, Mama harap Papa baik-baik saja. Mama terlalu egois, tapi Mama harap dia bisa menjadi pria yang bertanggung jawab. Dan Mama terlalu lemah untuk menerima kenyataan tentang masa lalu Papamu, Nak..." Wanita itu berucap pelan sambil mengelus perut yang membuncit.***