“Maaf ya Mas, kalau panggil orang yang sopan dong, jangan seperti itu, dasar orang kaya,” gerutu.
“Situ tersinggung, soalnya saya tidak tahu namamu, maaf dan saya minta tolong bawakan jas mahal saya ada di dalam mobil, tadi saya lupa bawa dan satu lagi bawakan botol minuman saya, mungkin air di sini pasti tidak higienis , cepat nggak pakai lama.”“Biasakan kalau kerja itu harus disiplin!” perintahnya tanpa melihat lawan bicaranya karena sibuk melihat ponsel canggihnya itu.“Apa kamu suruh saya, memang siapa kamu main perintah segala, nggak mau, ambil sendiri dan ingat saya bukan istri atau babu kamu yang gampang kamu suruh-suruh,” jawab Tari tegas dan bergegas ingin pergi dari sana.Namun saat Tari hendak pergi tiba-tiba kakinya tersandung batu dan tanpa sengaja Tari jatuh di pelukan dada bidangnya pemuda itu.Seketika mata mereka beradu pandang, mereka saling menatap ada getaran hati diantara mereka.Pemuda itu tertegun melihat kecantikan Tari walaupun memiliki potongan rambut cepak, matanya yang bulat besar seperti kelereng melototi pemuda itu dengan tajam.Membuat pemuda itu terpesona dalam pandangan pertamanya.Namun tidak dengan Tari, dia masih bersikap biasa karena pikirannya selalu tertuju kepada pacarnya yang lebih tampan.“Augh ...!”“Apa-apaan sih kamu, injak sepatu saya ini baru di semir dan sekarang kamu lihat ada bekas noda yang menempel di sepatu mahal saya, dan lihat kamu menyentuh rambut saya.”“Kamu pikir sepatu yang saya pakai murahan, bahkan kamu tidak bisa menggantinya dengan uang gaji kamu, pelayan,” ucapnya dengan lantang sembari membetulkan tatanan rambutnya yang sedikit berhamburan karena tidak sengaja Tari memegang rambutnya yang licin bagaikan pelosotan.“Hey kamu ini siapa, berani mengata-mengatai saya seperti itu, saya ini bukan orang suruhan kamu dan kamu tidak bisa memerintah orang seenaknya tanpa melihat orangnya terlebih dahulu,” jawab Tari tak mau kalah dengan pemuda itu.“Oke saya minta maaf, soalnya saya sedang buru-buru, jika tidak bisa membantu saya it’s okey no problem,” jawabnya dan pergi begitu saja tanpa menghiraukan Tari yang nampak masih kesal dengan kelakuan pemuda itu.“Siapa sih dia songong banget jadi orang kaya, tapi kok wajahnya ... ah tidak-tidak ... tampanan pacarku lah,” ucapnya dalam hati dan kembali melangkahkan kakinya ke kamar ganti pakaian.“Selamat pagi Mbak ...”“Nama saya Tari, Mbak.”“Kalau saya panggil saja Mirna.” “Oh iya silakan Mbak Tari, pakaiannya di ganti dulu!” perintah Mbak Mirna dengan ramah.“Terima kasih Mbak Mirna.”Setelah berganti pakaian yang sedikit formal Tari kelihatan tambah cantik perpaduan blazer berwarna hitam di padu padankan dengan kemeja di dalamnya berwara hijau tosca dengan celana panjang hitam, tak lupa memakai sepatu high heels setinggi tujuh centimeter semakin jenjang kaki Tari terlihat.Make-up yang natural tidak menor membuat Tari semakin memesona, auranya pun terlihat apalagi jika tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipitnya.“Wah Mbak Tari cantik banget, padahal tadi seperti preman karena rambutnya pendek, tetapi setelah berganti pakaian dan sedikit polesan saja, Waw cetar membahana,” ucap mbak Mirna takjub melihat kecantikan Tari yang tersembunyi.“Terima kasih Mbak pujiannya, ini semua berkat Mbak Mirna juga mendandani saya seperti ini,” sahutnya merendahkan dirinya.“Iya sama-sama Mbak Tari, kamu itu sudah cantik dari sananya,” ucapnya lagi.“Ah Mbak bisa saja,” sahut Tari yang tersipu malu-malu.“Oh ya Mbak, orang yang saya akan wawancarai sudah datang orangnya?” tanya Tari penasaran.“Sepertinya sudah sih, mungkin ada di depan kali!” jawabnya sembari membetulkan tatanan rambut Tari yang sedikit berantakan.“Kenapa kamu pingin ke temuan sama orangnya?”“Iya sih penasaran kata orang dia ini selain tampan juga pebisnis yang handal, apa benar begitu, Mbak?” tanya Tari semakin penasaran.“Iyap betul sekali, satu kali saja kamu bertemu dengan dia, kamu langsung jatuh cinta pada pandangan pertama,” jawab Mbak Mirna antusias.“Oh ya Mbak Tari mungkin sudah dikasih tahu tadi dengan Pak Syamsudin kalau ada beberapa hal yang tidak boleh Mbak Tari ajukan pertanyaan dengannya terutama masalah keluarganya, ataupun kehidupan pribadinya,” ucap Mbak Mirna bersemangat menjelaskan pemuda itu.“Memang kenapa Mbak?”“Nggak tahu juga sih kalau masalah kehidupannya dia sedikit tertutup, hanya keluarganya saja yang tahu, tetapi saya dengar dia sudah dijodohkan dengan anak sahabat mamahnya di Jakarta, makanya setelah selesai acara di sini, dia akan pulang ke Jakarta,” terang Mbak Mirna.“Loh kok sama Mbak ya, tapi kalau saya karena kakak perempuan saya sakit dan meminta saya untuk balik ke Jakarta secepatnya,” sahut Tari sedikit bersedih.“Memangnya sakit apa kakaknya Mbak?” tanya Mbak Mirna penasaran.“Nah itu dia Mbak, orang rumah bilang Mbak Lani jatuh di kamar mandi mungkin mengenai kepalanya, mereka tidak mau menjelaskan secara detail, mungkin takutnya saya nggak bisa menerima kenyataan kali,” jawab Tari. “Semoga cepat sembuh kakaknya, Mbak.”“Aamiin terima kasih doanya, Mbak.” Jawab Tari tersenyum.“Sama-sama Mbak.”“Wah tapi jangan-jangan kalian jodoh lagi, bisa sama gitu ya balik ke Jakarta, apa mungkin Mbaknya yang di jodohkan?” tanya Mbak Mirna heran.“Ya nggak lah Mbak, mereka tahu kok kalau saya sudah punya pacar, lagian saya nggak mau di jodohkan seperti zaman Siti Nurbaya saja,” gerutu Tari sedikit cemberut.“Iya sih, maaf ya Mbak kalau membuat hati Mbak sedikit kesal, saya tidak bermaksud seperti itu,” ucap Mbak Mirna saat melihat wajah Tari terlihat kesal.“Iya nggak apa-apa Mbak, santai saja kali,” jawab Tari kembali tersenyum.Tak lama kemudian tiba-tiba orang yang mereka bicarakan masuk ke dalam kamar ganti bersama dua asistennya.“Permisi Mbak, Tuan muda saya sudah sampai tolong dirapikan lagi tatanan rambutnya, soalnya kata beliau tadi bertemu dengan seorang gadis amburadul memegang rambutnya,” ucap asisten pemuda itu.“Oh ya silakan masuk saya sudah selesai dengan Mbaknya.”“Kalau begitu saya permisi dulu, mungkin saya sudah ditunggu oleh kru saya,” ucap Tari tersenyum sembari memikirkan perkataan orang suruhan itu.Tanpa di sadari karena melamun tiba-tiba Tari tersandung kedua kalinya, dan lagi-lagi pemuda itu yang menangkapnya.Pertemuan kedua pun terjadi kini mereka saling bertatapan dengan jarak yang lebih dekat, bahkan napas mereka pun terdengar.Jantung Tari mulai memompa dengan cepat, seakan-akan ikut berlomba. Kini wajahnya terlihat dengan jelas ketampanan seorang yang bernama Fajar Ali Wardana, SE seorang pengusaha terkenal.Mempunyai postur tubuh tinggi seperti peragawan, kulit putih yang bersih mungkin sering memakai hand body lotion, alis tebal bak semut hitam berbaris, matanya berwarna cokelat, hidung yang mancung membuat Tari berpikir jika pemuda ini sangat perfeksionis.Begitu juga dengan pemuda itu yang memandang Tari tidak seperti yang pertama kali bertemu, entah mengapa pemuda itu sedikit kikuk melihat Tari yang begitu memesona, tetapi mereka memiliki ego masing-masing sehingga pertengkaran pun terjadi lagi diantara mereka.“Kamu?” ucap Tari kesal.“Ternyata kamu lagi,” sahut pemuda itu tak kalah kesalnya.“Seharusnya saya yang bertanya kenapa kamu ada di sini?” tanya Tari yang bertambah kesal.“Saya ini ta ...” “Ah sudahlah nggak penting juga, permisi,” sahut Tari sembari meninggalkan pemuda itu yang terdiam.Belum selesai omongan pemuda itu Tari memotongnya dan membuat pemuda itu menjadi marah.Mbak Mirna dan kedua asisten pemuda itu hanya melihat sedikit menahan tawa, karena baru kali ini ada seorang gadis yang berani membentak dan memarahi Tuan Mudanya yang terkenal misterius itu.“Sabar Sayang semua pasti akan baik-baik saja, aku saya yang menandatangani formulir itu,” ucap Fajar dengan lembut.Tari tidak bisa berkata-kata, lidahnya kelu, suaranya tercekat dan tubuhnya kaku, hanya linangan air mata yang selalu mengalir.Fajar lalu menandatangani formulir persetujuan operasi untuk Ibu Arumi. Dia pun memberitahukan kepada maminya kalau sahabatnya itu mengalami kecelakaan.Namun, Sayang tidak ada tiket yang cepat untuk datang ke Jakarta, sehingga dia harus menundanya sehari lagi. Setelah selesai menandatanginya formulir itu Fajar dan Udin pergi ke kamar jenazah untuk memastikan apakah itu benar Lili atau bukan. Sementara itu Fikri, Tante Zahra dan Farrel menemani Tari yang sedari tadi tidak berhenti menangis di pelukan Tante Zahra.Selang setengah jam berlalu akhirnya Bu Arumi masuk ruang operasi setelah prosedur semuanya sudah lengkap. Semua tampak tegang menunggu di luar kamar operasi. Udin dan Fikri sudah menyelesaikan semua administrasi dan pengurusan
“Istri saya adalah salah satu anak Pak Handoko yang saya nikahi,” ucap Fajar membuat Bu Zahra terkejut sekaligus bahagia.“Apa maksud kam?”“Mentari Khairunnafiza adalah istri saya Bu.”“Dan di mana Lanie, apakah dia sudah menikah juga?” “Maaf Bu, Lanie sudah meninggal empat bulan yang lalu karena sakit jantung.”“Apa, Innalilahi waiinalihi Raji’un, kok bisa Nak Fajar, apakah mereka tidak tahu ?” tanyanya masih penasaran.“Assalamu’alaikum!” Suara seorang wanita yang lembut berhasil mengalihkan perhatian mereka.Tari terpaku begitu juga dengan Bu Zahra pandangan mereka bertemu, Bu Zahra beranjak dari tempat duduk berdiri, memperhatikan wajah itu yang sangat dia kenal walaupun sudah belasan tahun, terasa bulir-bulir air mata mereka bertemu dan berpelukan.“Tari, ya Allah Sayang akhirnya kita bertemu lagi? Apa kabarmu Nduk, kamu sekarang semakin cantik dan kata Mas ini kamu sudah menikah dengannya?” “Ya Allah, Tante nggak menyangka kalau kamu sudah secantik ini dan suamimu juga sa
“Pesanan Bos minta di belikan roti , katanya tadi pagi nggak sarapan,” ucap Joko sedikit berbisik.“Ya mau bagaimana sarapannya berbeda mana bisa kenyang?” protes Fikri menimpali.“Ah elo, kayak nggak pernah menjadi pengantin baru saja, Bos kan lagi jatuh cinta mungkin kalau Bos lihat batu seperti roti kali ya, atau kalau kita ganti roti itu jadi busa kasihan kalau batu kan keras, hihihi” ledeknya sambil cekikikan diikuti yang lain. Udin berinisiatif mengambilkan piring keluar bersama Joko.“Jo, kamu beli di mana itu roti, mahal nggak sih?” tanya Udin penasaran.Dekat warung sini, tadi sih saya coba satu enak banget dan kata pemilik warung itu, roti yang selalu di titipkan di warungnya selalu laris dan banyak peminatnya dan yang saya dengar dari pemilik warung itu juga kalau ibu yang membuat roti ini bisa menyekolahkan anaknya sampai kuliah loh, Pak Udin,” jelas Joko bersemangat.“Oh ya jadi penasaran, ya sudah ambilkan piring dulu buat Bos, saya juga mau coba seberapa enak itu roti
“Kan cocok dengan kamu, Mas?” “Lah kenapa Sayang, itu kan panggilan kesayangan, berarti Tari sudah mulai sayang dong sama kamu, iya kan Tari?”“Uhuk ...uhuk ... “Tari tersedak dan Fajar berlari mengambilkan segelas air putih dan memberikannya kepada Tari.“Kamu nggak apa-apa, Sayang?” Bu Nia sangat khawatir.“Nggak apa-apa, Mami hanya batuk saja,” jawabnya pelan.“Ya sudah Mami pergi ke kamar dulu sudah mengantuk, dan kamu Fajar jangan membuat Tari sedih atau menangis, kalau sampai itu terjadi Mami akan menghukummu,” ancam Bu Nia.“Dan kamu Sayang, jika Panda besarmu ini susah diatur dan membuatmu marah dan menangis, kasih tahu Mami ya,” lanjutnya lagi.“Iya Mami.”Bu Nia bergegas pergi ke kamar, dia ingin anak dan menantunya lebih banyak waktu berdua agar saling menumbuhkan saling cinta.Fajar masih saja menatap laptopnya, tanpa melihat Tari kembali.“Mas bisa bantu kan?”“Ya ... tergantung.” “Tergantung apa memang?” “Tergantung pembayarannya.”“Maksudnya?”“Ayolah Sayang, s
“Mami, cepat katakan siapa yang sudah membuat Mami seperti ini?”“Udin, Fikri, apa kerja kalian, kenapa Mami menangis?” tanyanya dengan nada tinggi.“Lah kok kita sih Bos, seharian kan kita berdua ikut kerja sama Bos, dan bukannya ini hari Minggu ya Bos, kok rapi banget mau ke mana, Bos? Sedangkan nggak jadwal apa pun hari ini?” celetuk Udin saat melihat Fajar berpakaian tapi dan formal setiap pergi kerja.“Apa hari Minggu ...kenapa nggak bilang dari tadi sih, dan kamu Tari kenapa nggak kasih tahu kalau hari ini hari Minggu?” celetuknya kesal.“Duh Den Fajar segitunya efek tadi malam ya, sampai-sampai lupa sama hari,” goda Mbok Surti ikut tersenyum.Seketika Tari dan Fajar salah tingkah di buatnya, kedua pipi mereka kembali merona dan Bu Nia pun segera memeluk Fajar.Momen kebersamaan yang ditunjukkan oleh ibu dan anak itu membuat Tari merasa iri, dia tidak pernah pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya terlebih dari mamahnya sendiri.Bu Nia menyadari kalau Tari pasti meras
Menjelang subuh Tari terbangun, tetapi saat dia ingin pergi ke kamar mandi dia pun merasa kaget karena ada seorang pria di ranjang itu tanpa memakai apa pun. Rasa perih dan pegal di sekujur tubuh membuatnya bingung. Melihat seisi ruangan kamar itu juga berantakan.“Aduh ada apa denganku, kenapa semua tubuhku terasa remuk sekali dan augh ... kenapa perih dan sakit?” “Apa yang terjadi sebenarnya?”Tari menatap wajah itu dengan saksama lebih dekat ...lebih dekat lagi dan ...“Mas Pa—Panda?” “Mas bangun ...cepatan bangun kenapa kamu tidur nggak pakai baju sih?” “Apaan sih, Sayang, Mas masih ngantuk nih tadi malam kamu liar banget sih, seperti singa kelaparan, Mas kewalahan makanya capek banget, bentar lagi ya?” jawabnya pelan tanpa membuka matanya.“Terus apa yang kita lakukan tadi malam ya? Dan kenapa Mas nggak pakai baju?” tanyanya bingung.Mendengar pertanyaan istrinya barusan membuat Fajar semakin ingin memeluknya dan tersenyum bahagia.“Bukan nggak pakai baju lagi Sayang, di baw