Share

5. Dasar Guzel Sialan!

Manik mata Serkan bergerak dari atas ke bawah. Meneliti setiap jengkal bagian tubuh Guzel. Seketika, pria itu menelan ludahnya dengan kasar. Meski ia sudah menelannya berkali-kali, lehernya tetap terasa kering.

"Ehem!" Pria itu berdehem berusaha menetralkan pikirannya yang hampir berkelana entah ke mana. "Sial! Kenapa dia harus memakai kemeja itu, sih?"

Guzel sama sekali tidak tahu bagaimana reaksi Serkan. Yang ia pikirkan saat ini hanya meletakkan pakaian kotor dan pergi tidur.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bolak-balik tidak jelas seperti itu? Mengganggu saja," tanya Serkan kesal.

"Maaf. Aku akan berhenti dan pergi tidur," balas Guzel bergegas membaringkan tubuhnya di sofa.

Wanita itu berbaring dengan posisi terlentang melipat kedua tangannya di perut dan memejamkan mata. Lama-kelamaan, ia merasa kurang nyaman karena lampu kamar masih menyala dan menyilaukan mata. Jadi, ia memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dengan posisi miring.

Mendengar suatu pergerakan, Serkan menoleh dan melihat paha mulus Guzel semakin terlihat.

"Sial!" Serkan mengumpat dalam hati sambil menggertakkan giginya. "Sepertinya aku memang harus tidur."

Menutup buku yang sedari tadi sibuk ia baca. Meletakkannya di nakas, menyalakan lampu tidur, dan beranjak bangun. Berjalan ke arah pintu dan menekan sebuah tombol. Sepersekian detik kemudian, lampu kamar padam. Kemudian, ia kembali ke atas tempat tidur dan berbaring mencoba untuk tidur. Sialnya, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya.

"Dasar Guzel sialan!" umpat Serkan kesal. Ia beranjak duduk sambil menendang-nendang selimut.

Kucing mana yang tidak akan tergoda jika disodorkan umpan berkualitas seperti itu? Meskipun Serkan tipe pria yang sulit sekali untuk digoda. Namun entah mengapa, sisi liarnya tiba-tiba bangkit melihat tubuh mulus Guzel.

Serkan menoleh, menatap Guzel intens dari ujung kaki ke ujung kepala. Walaupun usia Guzel lebih tua darinya dan sudah memiliki anak, tetapi bentuk tubuhnya sangat bagus.

"Aku harus mencari informasi tentang wanita itu," lirihnya.

Diraihlah ponsel di nakas dan mulai menghubungi seseorang. "Cari informasi pribadi tentang Guzel. Ah tidak, maksudku tentang istriku. Cari sampai sedetail mungkin."

["Baik, Pak."

Setelah selesai melakukan panggilan, Serkan kembali melirik Guzel. Kemudian, ia membaringkan tubuhnya dan berusaha untuk tidur.

***

Sekitar pukul lima pagi, Guzel sudah bangun dan membersihkan diri. Saat ini, ia sedang mencari pakaian di ruang ganti. Akhirnya, ia menemukan satu set pakaian olahraga dan memakainya. Kemudian, ia pergi ke dapur untuk membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan.

"Kau di sini, Guzel?" tanya Lunara.

"Iya, Ma. Sebentar lagi semua menu siap. Mama dan yang lain tunggu sebentar, yah," sanggah Guzel mengulas senyuman.

Saat ini sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Semua menu sudah siap disajikan di meja. Mungkin hanya satu menu saja yang belum.

"Ya. Kau panggil suamimu saja dulu. Pagi ini Serkan ada rapat penting dan harus pergi pukul tujuh lewat tiga puluh menit," kata Lunara memerintah.

"Baik, Ma."

Guzel lekas mengeringkan tangannya dan bergegas pergi menuju lantai dua. Sampai di kamar, ia tidak mendapati suaminya di sana. Mungkin ada di kamar atau di kamar mandi.

"Tunggu! Aku harus panggil dia apa?" Guzel kebingungan harus memanggil Serkan dengan sebutan apa, "Kalau mas, usianya lebih muda dariku. Kalau dik, rasanya sangat aneh. Ah, mas sajalah," imbuhnya memutuskan.

"Mas? Sudah waktunya sarapan?" panggil Guzel sambil melangkah ke arah kamar mandi.

Perlahan, ia mengetuk pintu. Berhubung tidak mendapat jawaban apa pun, ia membuka dan memeriksanya. Namun, Serkan tidak ada di dalam.

"Oh, mungkin dia ada di ruang ganti," batin wanita itu lekas melangkah ke arah ruang ganti.

Baru saja menyentuh gagang pintu, tiba-tiba pintu terbuka dan dahinya terbentur. "A-awww!" pekik Guzel sambil menyentuh dahinya kesakitan.

"Apa yang kau lakukan di sini? Kamar luas kenapa malah berdiri di depan pintu? Dasar bodoh!" tanya Serkan dingin.

"Aku hanya ingin memanggilmu untuk sarapan," balas Guzel menunduk.

Rasanya, ia tidak berani memanggil suaminya dengan sebutan mas. Sikap dingin Serkan membuat keberaniannya menyusut. Ia takut pria itu akan marah jika mendengar panggilan yang ia sematkan.

"Duduklah! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Serkan melangkah ke arah sofa dan duduk. Kemudian, di susul oleh Guzel yang duduk tidak jauh darinya. "Kau bekerja di restoran Italia, bukan?"

Guzel mengangkat kepalanya menatap Serkan dan menjawab, "Iya."

"Bisakah kau berhenti?" pinta Serkan.

Semua orang sudah tahu tentang pernikahannya dengan Guzel. Ya, meskipun seluruh media yang meliput secara sembunyi-sembunyi sudah berhasil dibungkam. Namun, Guzel tetap tidak boleh bekerja di restoran lagi. Hal itu hanya akan membuat nama baik keluarga Aslan tercoreng.

"Kalau aku berhenti bekerja, lalu bagaimana caraku menghidupi diriku sendiri dan Lara?" tanya Guzel bingung.

Ia tahu betul maksud dari permintaan Serkan untuk berhenti bekerja. Akan tetapi, pekerjaan itu yang selama ini menghidupinya dan Dilara. Kalau sampai berhenti, lalu bagaimana dengan kehidupan selanjutnya?

"Kau itu istriku meski hanya status. Jadi, aku tidak akan lepas tanggung jawab. Aku akan memberimu uang bulanan yang cukup dan pastinya jauh lebih besar dari gajimu di restoran," sanggah Serkan datar.

Pria dingin ini sulit sekali menunjukkan ekspresinya. Sejak kemarin, ia hanya bisa bersikap dingin pada Guzel. Meskipun tersenyum, itu hanya ketika berada di pelaminan saja. Senyuman itu hanya topeng kebahagiaan yang dipakai sementara.

"Baiklah, aku mengerti." Guzel mengangguk memahami ucapan suaminya.

Tanpa mengakhiri pembicaraan, Serkan beranjak bangun. Ia berencana untuk turun ke meja makan karena sudah hampir terlambat.

"Tunggu!" cegah Guzel.

Serkan menghentikan langkahnya dan menoleh. "Ada apa?" tanyanya.

"Aku ingin pulang mengambil pakaian sekalian melihat kondisi Lara," jelas Guzel meminta izin.

Sejak semalam, ia merasa tidak nyaman memakai pakaian Serkan. Selain terlalu kebesaran, ia takut suaminya itu akan marah. Ia juga penasaran dengan keadaan putrinya dan berencana untuk mengundurkan diri dari restoran sesuai perintah sang suami untuk berhenti.

"Mmm," balas Serkan mengizinkan.

"Sini, biar aku yang bawa," kata Guzel sambil mengambil alih tas kerja dan jas dari tangan Serkan. Setelah itu, mereka berdua turun ke bawah menuju meja makan.

Di sana, semua anggota keluarga sudah berkumpul. Bersiap untuk menikmati sarapan. Serkan dan Guzel pun menarik kursi dan duduk.

"Kata Luna, kau memasak semua ini," celetuk Arash menatap semua makanan yang ada di meja.

"Tidak, Tuan. Maksud saya, Kakek." Guzel tersenyum canggung belum terbiasa memanggil Arash dengan sebutan itu, "Saya hanya membantu saja," imbuhnya.

"Benarkah? Tapi yang kakek dengar, mereka hanya membantu dan semua menu di meja kau yang memasak." Tatapan matanya beralih pada Guzel meminta jawaban.

Guzel hanya membalas dengan senyuman. Setiap hari, ia akan bangun pagi dan menyiapkan makanan untuk putrinya. Setelah berangkat bekerja pun, ia akan memasak di restoran. Jadi, memasak sudah menjadi bagian dari hidupnya.

"Ya sudah, kita mulai saja sarapannya," kata Arash.

Semua orang mulai menikmati sarapan pagi dengan Guzel yang menuangkan nasi ke setiap piring anggota keluarga. Tidak lama kemudian, mereka mulai makan dan selesai dengan cepat.

"Ayo, biar aku antar kau pulang," ujar Serkan mengajak.

Pria itu beranjak berdiri hendak meraih kemeja dan tas kerjanya. Namun, Guzel langsung meraihnya lebih dulu.

"Tidak perlu, Mas. Biar nanti aku pulang naik taksi saja," tolak Guzel halus. Reflek, ia memanggil Serkan dengan sebutan itu. Beruntung, sang empu tidak mempermasalahkannya.

Guzel hanya tidak ingin membuat Serkan terlambat. Apalagi ibu mertuanya sudah mengingatkan kalau Serkan harus sudah berangkat pukul tujuh lewat tiga puluh menit.

"Pulang?" tanya Arash terkejut. Bahkan Asker dan Lunara pun sama terkejutnya.

Untuk apa Guzel pulang jika sudah menjadi menantu keluarga ini? Bukankah rumah ini juga sudah menjadi rumahnya? Lalu, untuk apa pulang?

"Guzel mau ambil pakaiannya di rumah sekalian mau melihat Lara. Daripada naik taksi, lebih baik Serkan antar," sahut Serkan menjelaskan.

"Oh begitu." Arash menyentuh jenggot putihnya sambil mengangguk-anggukkan kepala, "Kalau mau pergi, kau bisa gunakan mobil di garasi. Kalau tidak bisa menyetir, ada supir yang akan mengantar ke manapun kau pergi," lanjutnya menatap Guzel.

"Baik, Kek, terimakasih," balas Guzel mengulas senyum lembut.

Guzel merasa sangat bersyukur karena semua anggota keluarga bersikap baik padanya. Serkan memang tipe pria yang dingin. Apalagi pria itu sudah terlanjur kesal karena Dilara sudah berani merendahkannya. Jadi, sikapnya semakin dingin terhadap Guzel. Namun, ia hanya bersikap dingin dan tidak melakukan kekerasan fisik apa pun. Dan, Guzel pun bisa memakluminya.

"Ayo!" ajak Serkan.

Sepasang suami istri itu pergi dari area ruang makan. Sampai di depan pintu utama, mereka berhenti. Guzel menyerahkan jas dan tas pada suaminya.

"Aku pulang ke rumah nanti saja sama supir. Lebih baik kau cepat-cepat pergi karena sebentar lagi kau ada rapat penting," kata wanita itu.

"Kau? Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Serkan terkejut.

"Mama yang memberitahuku," jawab Guzel.

Serkan nampak berpikir. Bagaimana bisa ia melupakan rapat penting hari ini. Padahal, rapat itu akan membahas tentang proyek besar yang dipastikan akan mendapat keuntungan besar pula.

"Rapat pukul delapan dan sekarang baru pukul tujuh dua puluh." Serkan menatap arloji di pergelangan tangan kirinya, "Rumahmu dan perusahaan satu arah. Jadi, kau bisa ikut denganku," imbuhnya bersikeras.

"Ba-baiklah." Mau tidak mau, Guzel setuju. Daripada ia menolak dan membuat Serkan marah.

Wanita itu berjalan mengikuti suaminya dan masuk ke dalam mobil. Sesaat kemudian, mobil melaju secara perlahan. Setelah keluar dari area pelataran rumah, Serkan menaikkan kecepatan.

Guzel menoleh ke samping. Menatap suaminya dan membatin, "Serkan memang dingin, tapi dia baik."

"Jangan menatapku seperti itu!" seru Serkan.

"Uhuk-uhuk!" Guzel terkejut karena terpergok memperhatikan Serkan.

"Ada apa? Apa kau ingin mengatakan atau butuh sesuatu?" tanya Serkan berpikir bahwa Guzel ingin mengatakan sesuatu padanya, tetapi takut.

Mendengar hal itu, Guzel menjadi salah tingkah. Tidak mungkin bukan kalau ia mengatakan isi hatinya? Entah apa yang akan Serkan pikirkan. Bisa jadi pria itu akan meningkatkan sisi dinginnya.

"Ti-tidak, bu-kan itu." Guzel mengigit bibir bawahnya sambil berpikir, "I-itu. Bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan mas?" imbuhnya meminta izin.

"Tidak masalah," balas Serkan singkat.

"Terimakasih," kata Guzel.

Mulai sekarang, ia bisa memanggil Serkan dengan nyaman tanpa perlu ada rasa takut. Ia juga tidak perlu Khawatir menjadi istri yang tidak sopan karena memanggil sang suami hanya dengan namanya saja.

Setelah itu, suasana kembali hening. Saat ini, mereka sudah setengah perjalanan dan sebentar lagi akan segera sampai. Entah apa yang terjadi jika Dilara melihat pria yang ia tinggalkan di tengah pelaminan memiliki fisik yang sempurna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status