"Tetap di sana. Jangan mendekat!" pekik seorang wanita yang kini memegangi gaun pengantinnya erat-erat. Dia berdiri di sudut ruangan, menjauh dari pria yang duduk di atas ranjang.
"Kenapa? Kamu takut padaku?" Mata tajam Ken memaku pandang ke arah istrinya. Satu sudut bibirnya naik ke atas, merasa tidak asing dengan penolakan yang wanita ini lakukan. Hampir semua wanita yang dijodohkan dengannya melakukan hal yang sama, yakni menolak kehadirannya.
"Ti-tidak! Bukan begitu. Aku hanya ... " Aira menggeleng tegas, kesulitan mencari kalimat penjelasan kepada suaminya, pria yang ia nikahi beberapa saat lalu.
"Baguslah. Kalau begitu, kemari dan gantikan pakaianku." Ken mulai melepas tuxedo di tubuhnya.
Hal itu membuat tubuh Aira menengang seketika. Ini pertama kalinya dia terlibat dengan seorang pria dan langsung diminta menggantikan pakaiannya.
"A-aku belum terbiasa. Aku akan minta pelayan membantumu berganti pakai--"
"Tidak ada pelayan. Mereka semua sudah pergi." Ken memotong ucapan istrinya.
Suara Ken terdengar berat dan dalam. Titahnya penuh dominasi, meruntuhkan keberanian yang diam-diam Aira kumpulkan. Tapi, dia tidak boleh pergi apapun yang terjadi. Sudah tanggung jawabnya untuk mendampingi pria cacat yang telah resmi menjadi suaminya, Yamazaki Kenzo.
"Per-pergi?" Aira tergagap. Dia semakin erat mencengkeram gaunnya.
"Benar. Hanya ada kita berdua di vila ini."
Perasaan Aira semakin tidak tenang mendengar apa yang suaminya katakan. Hanya ada mereka berdua? Di vila tengah hutan ini?
"Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tak terduga? Siapa yang akan menyelamatkan kita?"
"Tentu saja kamu harus menyelamatkanku. Aku lumpuh, hanya bisa berjalan dengan kursi roda."
Hening. Aira menutup mulutnya rapat-rapat. Beban berat terasa menghantam kepalanya."Kenapa diam? Kamu menyesal menikah denganku?"
Aira terkesiap. "Tidak. Aku ... "
Hati kecil Aira memberontak, membuatnya kembali menutup mulut dan tidak menyelesaikan kalimatnya.
Jika boleh berpendapat, tentu saja dia menyesali keputusannya ini. Siapa wanita yang rela menikahi pria cacat dan buruk rupa? Terlebih lagi rumor negatif yang beredar di luar mengatakan bahwa pria ini sangat kejam pada orang lain. Dia mafia kelap kakap yang tak tertandingi. Semua orang takut padanya.
"Cepat kemari!"
"Hah?" Aira terperanjat dari lamunan singkatnya. Matanya mengerjap berkali-kali, segera menangkap apa yang harus segera ia lakukan detik berikutnya.
Titah Ken tak bisa disangkal lagi. Meski Aira tidak ingin, tapi langkah kakinya tetap berjalan mendekat. Perintah pria itu layaknya sihir, mengendalikan orang tanpa sadar.
"Duduk!"
Persis seperti anak ayam, Aira duduk di hadapan Ken yang duduk di tepi ranjang.
"Lepas pakaianku," titahnya dengan suara sedatar kertas.
Jemari Aira mendekat, melepas satu per satu kancing kemeja suaminya. Ada bekas luka bakar di perut dan dada, membuat Aira menahan napasnya. Ia tak sampai hati melihatnya, memilih memejamkan mata.
Hal itu membuat Ken terkekeh. Bekas luka di tubuhnya berhasil membuat istrinya ketakutan.
"Buka Matamu! Karena kamu sudah resmi menjadi istriku, maka kamu boleh melepas topengku. Kamu harus melihat seperti apa wajah suamimu." Ken meraih dagu Aira, membuat wajah mereka berhadapan.
Entah untuk yang keberapa kalinya, Aira harus meneguk ludah. Jika bukan karena hutang ayah angkatnya pada keluarga Yamazaki, dia tidak akan ada di situasi ini. Demi membalas budi pada dua orang yang bersedia memungutnya dari panti, dia rela melakukan apa saja.
"Ka-kamu ingin melepasnya?" tanya Aira memastikan. Dia merasa gugup luar biasa.
"Lepaskan saja. Jangan banyak bertanya!"
Dengan tubuh gemetar, Aira mengulurkan tangan. Wanita berwajah bulat itu membulatkan tekad, memberanikan diri menghadapi apapun yang terjadi. Dia bersiap melepas topeng hitam yang selalu dipakai oleh suaminya.
Sebenarnya Aira takut melihat luka yang tersembunyi di sana. Namun, rasa ingin tahu juga melesak di dalam dadanya. Benarkah pria ini mengalami luka bakar serius seperti yang orang-orang bicarakan? Separah apa keadaannya? Atau yang mereka katakan hanya isapan jempol belaka?
Suara petir menggelegar, bersamaan dengan hujan deras yang tiba-tiba turun saat topeng hitam Ken terlepas. Luka bakar warna merah kehitaman tampak di sana, memenuhi sisi wajah sebelah kirinya.
"Argh!" Aira menutup matanya dengan tangan. Napasnya tercekat di tenggorokan. Bahkan, jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Dia syok, terkejut bukan kepalang melihat bekas luka yang tertangkap retina matanya beberapa detik lalu.
Ken terkekeh melihat respon Aira. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Semua orang yang melihat rupanya akan ketakutan, lari tunggang langgang ke sembarang arah. Dan mungkin hal yang sama akan gadis itu lakukan nantinya.
Tubuh mungilnya berguncang sambil menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia mencoba menguatkan diri, berkata dalam hati untuk tidak perlu takut dan mulai membuka matanya.
"Apa kamu takut melihat wajahku?"
"Ak-aku tidak takut."
Namun, keberanian itu sirna seketika saat lampu padam. Kilat petir yang menyambar, membuat wajah Ken terlihat semakin menyeramkan. Teriakan Aira kembali terdengar untuk yang kedua kalinya. Dia benar-benar ketakutan.
"Istriku, kemarilah," pinta Ken dengan nada dingin yang mencekam, membuat ketakutan Aira semakin menjadi-jadi.
"Aku akan cari lampu darurat." Aira berbalik, bersiap pergi. Namun, belum sempat ia melangkah, tangan dingin Ken mencengkeram lengan mungilnya.
Dengan sekali tarikan, tubuh Aira limbung dan kini terbaring di atas ranjang. Hanya dalam hitungan detik, tubuh Ken mengunci keberadaannya, tak mengizinkan bergerak sama sekali.
"Tenanglah, Sayang." Ken menelisik wajah Aira dengan jemari tangannya. "Ada aku di sini."
"Pergi!" usir Aira, menggelengkan kepala sekuat tenaga.
"Pergi?" Ken menggantung kalimatnya, menunjukkan smirk iblis andalannya. "Kemana? Bukankah kamu tahu aku lumpuh. Bagaimana aku bisa pergi tanpa bantuanmu?"
Aira kembali menelan saliva untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Dadanya naik turun dengan cepat, seirama dengan detak jantung yang terus berpacu. Napasnya tercekat.
"Sayang, aku tidak akan menyakitimu," bisik Ken, sengaja mengembuskan udara di telinga Aira.
"Tunggu! Jangan seperti ini." Lagi-lagi wanita bersurai panjang itu menahan dada bidang suaminya. Kilat petir yang terus menyambar di luar sana, membuat wajah menyeramkan Ken kembali terlihat oleh Aira.
"Tunggu apa lagi? Kamu menikah denganku, artinya kamu rela menyerahkan seluruh jiwa ragamu padaku, 'kan?"
Aira menggeleng. Dia benar-benar takut dengan situasi yang ada. Apa yang harus dia lakukan?
WARNING!MATURE CONTENT!NOT FOR CHILD!* * *Tak ingin kehilangan momen berharga, Ken mulai menggunakan jemarinya. Dia merangsang titik sensitif di tubuh istrinya, menggunakan tangannya yang dingin untuk meraba leher mulus Aira. Tangan yang lain memenjara lengan istrinya di atas kepala."Jangan. Aku mohon jangan lakukan itu. Kamu tidak boleh menyentuhku!" Bulir hangat keluar dari ujung mata Aira. Dia merasa tidak nyaman karena Ken mulai menjelajahi tubuhnya."Kenapa tidak boleh? Bukankah ini malam pertama kita?" Ken mulai menurunkan lengan gaun Aira. Bahu putih mulusnya terekspose, membuat Ken tergoda."Tidak. Aku tidak pernah ingin menjadi istrimu!" Aira menggeleng tegas, meminta Ken menghentikan apapun yang tengah dilakukannya."Kita sudah menikah. Kamu istriku dan aku suamimu. Kamu tidak ingin pun tetap harus melakukannya. Kamu istriku!" Tangan kekar Ken mencengkeram dagu Aira, meminta wanita itu memandang ke arahnya.
"Nona, apa yang terjadi? Anda baik-baik saja?"Aira tak merespon, memperhatikan wajah tampan bak malaikat yang tengah menatap matanya. Ada kesan misterius yang tak bisa disangkalnya."Astaga. Kaki Anda terluka."Aira mengikuti arah pandang pria asing yang baru ditemuinya.Telapak kakinya berdarah, akibat berlari tanpa alas kaki. Entah berapa kilometer yang telah ditempuhnya. Satu yang pasti, dia ingin lari sejauh mungkin dari vila terkutuk milik suaminya."Nona, izinkan saya menolong Anda." Pria dengan manik mata hijau menyentuh kening Aira, berusaha memeriksa suhu tubuhnya."Haus," lirih Aira. Tenggorokannya terasa perih, ingin segera dialiri air. Ia terlalu fokus berlari, tidak menyadari bahwa tubuhnya semakinin kehilngan cairan dan harus diisi."Tunggu sebentar." Tangan pria itu sigap membukakan botol air mineral yang diambilnya dari dalam mobil. Tak lupa, dia juga melepas jas yang melekat di tubuh dan memakaikannya pada Aira."Suda
"Apa yang kamu lakukan padaku?" Aira beranjak dari ranjang, berdiri sambil memegangi selimut di tubuhnya erat-erat. Wajahnya terasa memanas dengan air mata yang siap tumpah. Pangkal pahanya terasa sakit, tapi dia tidak mempedulikannya. "Maaf," jawabnya lirih. "Anda yang meminta saya menyentuh Anda." "Bullshit! Itu tidak mungkin!" Aira tidak percaya dengan jawaban pria di hadapannya. Samar-samar dia mengingat pergulatan panas mereka, tapi pikirnya tidak mungkin ia yang meminta lebih dulu. "Jika Anda tidak percaya, Anda bisa melihat ini." Pria shirtless itu mendekat ke arah monitor layar datar dan menyalakannya. Hanya dalam hitungan detik, rekaman kamera pengawas di pojok ruangan sudah menampilakn sosok Aira yang tengah menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Seketika wajah bulat Aira merah merona. Dia tidak tahu kenapa dia bisa bertingkah liar seperti itu. Jangankan menggoda pria dan menariknya ke atas ranjang, dekat dengan pria saja tidak pernah.
Matahari hampir tepat di tengah kepala saat Hirota masuk ke dalam kantor Yamazaki di lantai 32. Dia terus menggamit lengan putrinya, memberikan dorongan agar gadis ini tidak perlu takut lagi pada suaminya."Sayang, semua akan baik-baik saja. Dia tidak seburuk yang orang-orang katakan di luar sana.""Kata siapa? kenapa ayah begitu yakin?" Aira masih tetap meragu. Sifat manjanya muncul jika bersama ayah angkat yang sangat disayanginya itu."Karena ayah seorang pria. Dan Ken juga pria. Kami sama. Bukankah kamu melihat ibumu tersenyum setiap hari. Itu juga yang harus kamu lakukan di depan suamimu."Aira menggeleng tegas. "Aku tidak bisa. Ayah dan Ken jelas dua sosok yang berbeda. Ayah lembut dan penyayang. Sedangkan pria itu?" gumaman Aira masih bisa terdengar oleh Hirota.Angka di atas lift terus bertambah, menandakan mereka akan segera sampai di tempat tujuan. Hal itu membuat Aira semakin erat memeluk lengan ayahnya. Dia benar-benar takut bertemu Ken
Aira duduk seorang diri. Dia masih belum mengerti tentang respon Ken kemarin. Pria itu tidak terlihat marah. Dia justru merasa beruntung kalau pada akhirnya Aira mengandung anak pria dengan mata hijau yang menggaulinya."Aneh," gumamnya lirih. Dia menyesap minuman kotak di tangannya sambil merebahkan badan. Semua terasa tidak nyata. Seharusnya, sebagai seorang suami dia marah karena istrinya tidur dengan pria lain. Tapi, Ken terlihat biasa saja. Bahkan dia tidak segan memberikan bonus untuk staf IT itu."Astaga. Apa dia gila?!" ketus Aira sambil mengacak rambutnya sendiri. Dipikirkan berapa kali pun, rasanya tidak mungkin dia bisa hamil dari pria itu. Ini hubungan pertama kali baginya. Bahkan pangkal pahanya masih terasa sakit sampai sekarang. Itu artinya hubungan biologis kemarin tidak berjalan dengan lancar. Bahkan mungkin saja mereka tidak benar-benar melakukannya.Aira menelungkupkan badannya, membiarkan kepalanya tersembunyi di balik bantal. Dia dibuat gila
Aira mematut diri di depan cermin. Untuk yang terakhir kalinya dia menilai riasan wajahnya yang sedikit tidak biasa."Anda terlihat semakin cantik, Nona," puji seorang perias wajah yang entah dari mana datangnya. Begitu Aira membuka pintu kamar, tiga orang wanita sudah menunggunya."Ini berlebihan. Aku akan pergi ke kantor, bukan ke pesta." Dengan bibir mengerucut, Aira melayangkan protesnya. Dia merasa dandanan ini terlalu berlebihan. Belum lagi pemulas bibir warna merah merona. Menggelikan."Hapus saja make up-nya!" Aira sigap meraih kapas di atas meja, ingin menghapus riasan yang menurutnya berlebihan."Jangan, Nona!" Seorang wanita berambut ikal segera mencekal lengan nonanya. "Anda sudah terlambat. Ayo. Anda harus segera menemui Tuan Muda di kantornya."Dengan langkah tergesa, Aira dibawa menuruni anak tangga pendek di rumah mewah ini. Tubuh kecilnya dipaksa masuk ke dalam mobil mewah warna hitam yang terdapat seorang sopir di dalamnya.
"Kenapa masih diam?" Aira tersentak mendengar pertanyaan suaminya. Dia segera menguasai diri dan fokus dengan kenyataan saat ini. Tangannya terulur ke pundak Ken dan mulai memijatnya. "Kenapa kamu mau menikah denganku?" Ken mulai menikmati perlakuan Aira. Dia ingin mengulik lebih dalam alasan wanita ini mau dengannya. "Kalau boleh memilih aku juga tidak mau," gumamnya samar. "Apa? Aku tidak mendengarnya?" Ken pura-pura tidak dengar, padahal indera pendengarannya yang tajam menangkap dengan baik kalimat keluhan Aira barusan. "Ah, bukan apa-apa. Aku tidak mengatakan apapun," kilahnya canggung. Ken menaikkan satu sudut bibirnya. Dia tahu wanita ini sama seperti yang lainnya, tidak mau dijodohkan dengan pria cacat sepertinya. Tapi, kenapa pada akhirnya dia tidak bisa mengelak? Pasti ada alasan khusus. "Jawab pertanyaanku. Kenapa mau menikah denganku?" Sesaat Aira terdiam, bersamaan dengan gerak tangannya yang terhenti di pu
Aira merasa napasnya sesak karena pelukan pria ini belum lepas juga. Dia takut orang lain akan melihat ini dan mengakibatkan masalah baru untuknya. Meski pernikahan mereka digelar diam-diam dan hanya diketahui keluarga dekat, tak berarti Aira bisa sembarangan bertingkah di luar sana. Ayah dan ibu yang akan terkena imbas nantinya. "Lepas!" pinta Aira, berusaha menggunakan kedua tangannya untuk mendorong dada bidang di hadapannya. Namun dekapan itu tak juga mengendur, bahkan semakin erat. Mau tak mau Aira harus menggunakan cara lain, menginjak kaki pria mata hijau yang mengunci tubuhnya. "Love?!" Pelukannya terlepas, bersamaan dengan tatapan protes yang ia layangkan pada Aira. Sebuah tamparan keras menyapa wajah putih mulusnya, tepat satu detik sebelum Aira melangkahkan kaki, keluar dari kotak besi tempatnya berada. "Love, apa kamu marah padaku?" Pria tanpa nama itu berusaha mengejar Aira, mencekal tangannya di tengah koridor sepi. Tak ada seorang pun d