Share

Menikahi Dua Pria
Menikahi Dua Pria
Author: Hanazawa Easzy

Bab 1. Ketakutan Luar Biasa

"Tetap di sana. Jangan mendekat!" pekik seorang wanita yang kini memegangi gaun pengantinnya erat-erat. Dia berdiri di sudut ruangan, menjauh dari pria yang duduk di atas ranjang.

"Kenapa? Kamu takut padaku?" Mata tajam Ken memaku pandang ke arah istrinya. Satu sudut bibirnya naik ke atas, merasa tidak asing dengan penolakan yang wanita ini lakukan. Hampir semua wanita yang dijodohkan dengannya melakukan hal yang sama, yakni menolak kehadirannya.

"Ti-tidak! Bukan begitu. Aku hanya ... " Aira menggeleng tegas, kesulitan mencari kalimat penjelasan kepada suaminya, pria yang ia nikahi beberapa saat lalu.

"Baguslah. Kalau begitu, kemari dan gantikan pakaianku." Ken mulai melepas tuxedo di tubuhnya.

Hal itu membuat tubuh Aira menengang seketika. Ini pertama kalinya dia terlibat dengan seorang pria dan langsung diminta menggantikan pakaiannya.

"A-aku belum terbiasa. Aku akan minta pelayan membantumu berganti pakai--"

"Tidak ada pelayan. Mereka semua sudah pergi." Ken memotong ucapan istrinya.

Suara Ken terdengar berat dan dalam. Titahnya penuh dominasi, meruntuhkan keberanian yang diam-diam Aira kumpulkan. Tapi, dia tidak boleh pergi apapun yang terjadi. Sudah tanggung jawabnya untuk mendampingi pria cacat yang telah resmi menjadi suaminya, Yamazaki Kenzo.

"Per-pergi?" Aira tergagap. Dia semakin erat mencengkeram gaunnya.

"Benar. Hanya ada kita berdua di vila ini."

Perasaan Aira semakin tidak tenang mendengar apa yang suaminya katakan. Hanya ada mereka berdua? Di vila tengah hutan ini?

"Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tak terduga? Siapa yang akan menyelamatkan kita?"

"Tentu saja kamu harus menyelamatkanku. Aku lumpuh, hanya bisa berjalan dengan kursi roda."

Hening. Aira menutup mulutnya rapat-rapat. Beban berat terasa menghantam kepalanya.

"Kenapa diam? Kamu menyesal menikah denganku?"

Aira terkesiap. "Tidak. Aku ... "

Hati kecil Aira memberontak, membuatnya kembali menutup mulut dan tidak menyelesaikan kalimatnya.

Jika boleh berpendapat, tentu saja dia menyesali keputusannya ini. Siapa wanita yang rela menikahi pria cacat dan buruk rupa? Terlebih lagi rumor negatif yang beredar di luar mengatakan bahwa pria ini sangat kejam pada orang lain. Dia mafia kelap kakap yang tak tertandingi. Semua orang takut padanya.

"Cepat kemari!"

"Hah?" Aira terperanjat dari lamunan singkatnya. Matanya mengerjap berkali-kali, segera menangkap apa yang harus segera ia lakukan detik berikutnya.

Titah Ken tak bisa disangkal lagi. Meski Aira tidak ingin, tapi langkah kakinya tetap berjalan mendekat. Perintah pria itu layaknya sihir, mengendalikan orang tanpa sadar.

"Duduk!"

Persis seperti anak ayam, Aira duduk di hadapan Ken yang duduk di tepi ranjang.

"Lepas pakaianku," titahnya dengan suara sedatar kertas.

Jemari Aira mendekat, melepas satu per satu kancing kemeja suaminya. Ada bekas luka bakar di perut dan dada, membuat Aira menahan napasnya. Ia tak sampai hati melihatnya, memilih memejamkan mata.

Hal itu membuat Ken terkekeh. Bekas luka di tubuhnya berhasil membuat istrinya ketakutan.

"Buka Matamu! Karena kamu sudah resmi menjadi istriku, maka kamu boleh melepas topengku. Kamu harus melihat seperti apa wajah suamimu." Ken meraih dagu Aira, membuat wajah mereka berhadapan.

Entah untuk yang keberapa kalinya, Aira harus meneguk ludah. Jika bukan karena hutang ayah angkatnya pada keluarga Yamazaki, dia tidak akan ada di situasi ini. Demi membalas budi pada dua orang yang bersedia memungutnya dari panti, dia rela melakukan apa saja.

"Ka-kamu ingin melepasnya?" tanya Aira memastikan. Dia merasa gugup luar biasa.

"Lepaskan saja. Jangan banyak bertanya!"

Dengan tubuh gemetar, Aira mengulurkan tangan. Wanita berwajah bulat itu membulatkan tekad, memberanikan diri menghadapi apapun yang terjadi. Dia bersiap melepas topeng hitam yang selalu dipakai oleh suaminya.

Sebenarnya Aira takut melihat luka yang tersembunyi di sana. Namun, rasa ingin tahu juga melesak di dalam dadanya. Benarkah pria ini mengalami luka bakar serius seperti yang orang-orang bicarakan? Separah apa keadaannya? Atau yang mereka katakan hanya isapan jempol belaka?

Suara petir menggelegar, bersamaan dengan hujan deras yang tiba-tiba turun saat topeng hitam Ken terlepas. Luka bakar warna merah kehitaman tampak di sana, memenuhi sisi wajah sebelah kirinya.

"Argh!" Aira menutup matanya dengan tangan. Napasnya tercekat di tenggorokan. Bahkan, jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Dia syok, terkejut bukan kepalang melihat bekas luka yang tertangkap retina matanya beberapa detik lalu.

Ken terkekeh melihat respon Aira. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Semua orang yang melihat rupanya akan ketakutan, lari tunggang langgang ke sembarang arah. Dan mungkin hal yang sama akan gadis itu lakukan nantinya.

Tubuh mungilnya berguncang sambil menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia mencoba menguatkan diri, berkata dalam hati untuk tidak perlu takut dan mulai membuka matanya.

"Apa kamu takut melihat wajahku?"

"Ak-aku tidak takut."

Namun, keberanian itu sirna seketika saat lampu padam. Kilat petir yang menyambar, membuat wajah Ken terlihat semakin menyeramkan. Teriakan Aira kembali terdengar untuk yang kedua kalinya. Dia benar-benar ketakutan.

"Istriku, kemarilah," pinta Ken dengan nada dingin yang mencekam, membuat ketakutan Aira semakin menjadi-jadi.

"Aku akan cari lampu darurat." Aira berbalik, bersiap pergi. Namun, belum sempat ia melangkah, tangan dingin Ken mencengkeram lengan mungilnya.

Dengan sekali tarikan, tubuh Aira limbung dan kini terbaring di atas ranjang. Hanya dalam hitungan detik, tubuh Ken mengunci keberadaannya, tak mengizinkan bergerak sama sekali.

"Tenanglah, Sayang." Ken menelisik wajah Aira dengan jemari tangannya. "Ada aku di sini."

"Pergi!" usir Aira, menggelengkan kepala sekuat tenaga.

"Pergi?" Ken menggantung kalimatnya, menunjukkan smirk iblis andalannya. "Kemana? Bukankah kamu tahu aku lumpuh. Bagaimana aku bisa pergi tanpa bantuanmu?"

Aira kembali menelan saliva untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Dadanya naik turun dengan cepat, seirama dengan detak jantung yang terus berpacu. Napasnya tercekat.

"Sayang, aku tidak akan menyakitimu," bisik Ken, sengaja mengembuskan udara di telinga Aira.

"Tunggu! Jangan seperti ini." Lagi-lagi wanita bersurai panjang itu menahan dada bidang suaminya. Kilat petir yang terus menyambar di luar sana, membuat wajah menyeramkan Ken kembali terlihat oleh Aira.

"Tunggu apa lagi? Kamu menikah denganku, artinya kamu rela menyerahkan seluruh jiwa ragamu padaku, 'kan?"

Aira menggeleng. Dia benar-benar takut dengan situasi yang ada. Apa yang harus dia lakukan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status