WARNING!
MATURE CONTENT!
NOT FOR CHILD!
* * *
Tak ingin kehilangan momen berharga, Ken mulai menggunakan jemarinya. Dia merangsang titik sensitif di tubuh istrinya, menggunakan tangannya yang dingin untuk meraba leher mulus Aira. Tangan yang lain memenjara lengan istrinya di atas kepala.
"Jangan. Aku mohon jangan lakukan itu. Kamu tidak boleh menyentuhku!" Bulir hangat keluar dari ujung mata Aira. Dia merasa tidak nyaman karena Ken mulai menjelajahi tubuhnya.
"Kenapa tidak boleh? Bukankah ini malam pertama kita?" Ken mulai menurunkan lengan gaun Aira. Bahu putih mulusnya terekspose, membuat Ken tergoda.
"Tidak. Aku tidak pernah ingin menjadi istrimu!" Aira menggeleng tegas, meminta Ken menghentikan apapun yang tengah dilakukannya.
"Kita sudah menikah. Kamu istriku dan aku suamimu. Kamu tidak ingin pun tetap harus melakukannya. Kamu istriku!" Tangan kekar Ken mencengkeram dagu Aira, meminta wanita itu memandang ke arahnya.
Ken kembali berusaha melepas gaun indah di tubuh istrinya. Dia terbawa emosi dan lupa diri.
"Jangan. Aku takut!" Aira berusaha sekuat tenaga mempertahankan pakaian di tubuhnya. Dia belum siap melayani Ken. "Aku bisa melakukan apa saja asalkan bukan hal 'itu'."
"Diam!" bentak Ken.
Aira menggelengkan kepala berkali-kali, menolak perlakuan suaminya. Dia sungguh tidak rela kesuciannya harus diserahkan pada pria asing yang tidak ia sukai.
Dengan tenaga yang tersisa, Aira berusaha memberontak. Dia ingin beranjak pergi dari tempat ini. Namun kaki dan tangannya tak bisa bergerak sama sekali, terkunci sedemikian rupa dengan keberadaan tubuh atletis Ken di atasnya.
"Sayang, jangan melawan," bisik Ken lirih. Satu tangannya mulai menjamah punggung polos Aira, sedang yang lain masih menahan tangan di atas kepala.
Tubuh Aira bergetar, merasakan hal tidak biasa di tubuhnya. Entah sejak kapan zipper di bagian belakang gaun pengantinnya terbuka. Dia sama sekali tidak menyadari hal itu. Otaknya sibuk bekerja, mencari solusi atas situasi yang terjadi.
"Jangan!" mohon Aira, tak bisa menahan luapan air mata yang keluar begitu saja. Ken semakin aktif melancarkan aksinya. Ia dengan leluasa menghisap leher putihnya dan membuat tanda cinta di sana.
"Jangan?" Ken menatap Aira dengan pandangan mematikan. "Bukankah kamu tahu kesepakatan antara ayahmu dengan kakek? Kamu menjadi jaminan agar perusahaan ayahmu diselamatkan. Dengan kata lain, pria itu sudah menjual tubuhmu padaku."
Kecupan mesra menghujani wajah Aira. Ken seolah begitu mendamba, ingin mengecup setiap inchinya tanpa terlewat sama sekali.
'Ini tidak benar!' batin Aira memberontak. Sepasang netra basah itu membola, bersamaan geleyar aneh yang dirasakannya. Tubuhnya gemetar hebat, belum pernah merasakan dicumbu oleh seorang pria.
"Apa belum pernah ada yang melakukan ini padamu? Kenapa kamu tegang sekali?" Kecupan Ken semakin intens, mulai turun menjelajah dada istrinya. Hal itu membuat jantung Aira berhenti memompa darah seketika.
Aira mulai memejamkan mata. Dia menikmati setiap sentuhan Ken di tubuhnya. Meski logikanya menolak, tapi tubuhnya justru berkata sebaliknya. Dia menginginkan lebih.
Saat Aira membuka kelopak matanya, bayangan wajah Ken yang terkena bias kilatan petir kembali terlihat. Hal itu membuat kesadaran Aira kembali seketika.
"Tidak! Jangan menyentuhku!" Aira mendorong tubuh Ken sekuat tenaga. Ketakutan yang dirasakannya semakin memuncak membuat ia mengerahkan seluruh tenaganya. Dia tidak ingin ada di situasi ini lagi. Satu yang pasti, dia harus menyelamatkan diri.
Kuncian tangan Ken terlepas karena dorongan Aira. Gadis itu bahkan menendang perutnya, membuatnya terjungkal ke belakang. Dia duduk di ujung ranjang, hampir jatuh jika tidak segera menyeimbangkan diri.
Melihat kesempatan yang ada, Aira segera kabur dari penguasaan suaminya yang buruk rupa. Langkah kakinya terus menapaki anak tangga dengan tergesa. Dia menjauh dari kamar tempat suaminya berada dengan tenaga yang masih tersisa.
Suasana mencekam begitu kentara. Tak ada penerangan di rumah ini. Hanya kilat petir dari luar yang sepersekian detik masuk ke dalam rumah dan menjadi penerang jalan seorang Aira untuk mencapai pintu utama.
Seperti yang Ken katakan, tak ada seorang pun di kediaman mewah ini. Suara hujan dan kilat yang menyambar di luar sana terdengar saling bersahutan, membuat perasaan Aira semakin kalut.
Tanpa alas kaki, Aira berlari keluar dari vila mewah milik suaminya. Dengan keadaan fisik Ken, dia tidak akan bisa mengejarnya. Itu berarti, dia bisa kabur dengan leluasa.
"Aku harus pergi dari tempat terkutuk ini," tekadnya sambil berlari.
Hujan mulai reda saat Aira kehabisan tenaga. Tubuhnya terjatuh di jalan beraspal, tak sanggup berlari lebih jauh lagi. Kakinya perih, menapaki jalanan beberapa kilometer tanpa alas kaki.
"Semoga tidak ada yang mengejarku," gumam Aira di sela aktivitasnya mengambil napas. Gaun mahal yang melekat di tubuhnya basah kuyup, kotor di beberapa bagian. Tubuhnya yang lemas membuatnya semakin tak berdaya dan akhirnya jatuh terduduk di tepi jalan.
Bulir air mata kembali menghiasi wajah cantiknya. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi situasi ini. Meski vila mewah milik Kenzo tak lagi nampak di matanya, bukan berarti dia sudah aman. Dia hanya berhasil kabur untuk sementara.
"Haus," keluhnya, merasa tenggorokannya kering.
Aira berusaha bangkit dan kembali berjalan. Namun, karena kehabisan tenaga, langkahnya harus terhenti di hitungan ke tiga. Tubuhnya terasa lemas, hampir pingsan. Belum lagi udara dingin yang terasa semakin menyayat, menusuk hingga ke dalam tulang sum-sum tulangnya.
Di kejauhan, tampak sorot mobil mulai mendekat dan terhenti di depan wanita dengan gaun yang tak lagi pantas untuk dilihat. Reflek Aira menutup wajahnya dengan tangan karena terlalu silau.
Seorang pria dengan pakaian serba putih berjongkok di depan Aira. Wajah tampan dengan semerbak parfum yang begitu kuat itu berhasil menyihirnya, membuatnya semakin tak berdaya.
"Nona, apa yang terjadi? Anda baik-baik saja?"
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari