“Ai-chan, bagaimana keadaanmu?” Hirota masuk ke dalam ruang perawatan dengan wajah khawatir. Tiga puluh menit lalu, Kosuke menghubunginya dan mengatakan apa yang terjadi dengan putri angkat kesayangannya.
“Kau baik-baik saja, Sayang?” Sebuah kecupan mendarat di kening Aira. Hal yang sama juga dilakukan oleh Asami, istrinya.
“Maaf karena kami baru bisa menjengukmu, Nak.”
Aira tersenyum, merasa begitu beruntung memiliki keluarga seperti mereka. Meskipun tidak memiliki hubungan darah, tapi mereka tetap menyayanginya seperti putri sendiri. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Sakura, kakak angkatnya, merasa kalau Aira lebih disayang oleh ayah ibu mereka.
“Aku baik, Ayah, Ibu. Maaf sudah membuat kalian cemas.”
Asami kembali memeluk putrinya, memerhatikan wajah bulat Aira yang masih tampak sedikit pucat. Hari ke tiga dirawat di rumah sakit setelah pingsan malam itu.
“Aku akan menemui dokter, kau t
“Hati-hati, Sayang.” Asami membantu Aira turun dari mobil hitam yang membawanya kembali. Seorang asisten rumah tangga segera mendekat, mengambil alih tas yang dibawa oleh tuannya. Hirota bergegas memutari mobil dan ikut memapah Aira, membimbingnya ke beranda.“Aku bisa jalan sendiri, Ayah, Ibu.”“Tidak perlu sungkan. Kondisimu masih lemah, Sayang. Ayo.” Lagi-lagi Asami tidak membiarkan putri angkatnya mandiri. Dia ingin memanjakannya, termasuk sebagai penebus rasa bersalah karena sudah menggadaikan kebebasan gadis itu.Satu persatu anak tangga dilewati bersama. Hirota begitu posesif, seperti memperlakukan putri raja agar tidak tersandung kerikil kecil sekalipun. Aira layaknya intan permata yang amat berharga bagi keduanya.Dari lantai dua, tampak tatap mata yang iri melihatnya. Dia Sakura, putri kandung pasangan tuan dan nyonya Nagasawa. Sejak kecil dia merasa kalau kedua orang tuanya lebih menyayangi Aira, melebihi dirinya sendiri. Padahal, Asami dan Hirota berusaha adil pada keduany
"Salahmu sendiri!"Tawa Kaori terdengar menggema begitu Ken selesai mengungkapkan kegundahan yang dirasakannya."Siapa suruh kamu berpura-pura. Aku sudah mengingatkannya sejak awal. Sebagai seorang konsultan cinta yang tidak mendapat imbalan apa-apa, aku hanya bisa menyuruhmu bersabar. Hanya itu yang bisa kamu lakukan sekarang. Tidak masalah datang ke keluarga Aira sedikit terlambat. Dengan begitu, kamu bisa melihat sikapnya. Dia mengabaikan keberadaanmu atau tetap mau mengurusmu. Lihat ketulusannya. Aku yakin dia akan melupakan sakit hatinya dan memperlakukanmu sebagaimana mestinya. Dia akan menunduk takzim, bahkan menarik kursi agar kamu bisa bergabung dengan mereka di meja makan."Ken tidak bisa berkomentar. Lagi-lagi yang Kaori katakan benar. Jika dia datang lebih awal, pastilah tuan Hirota dan nyonya Asami yang sibuk melayaninya."Karena nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang perlu kamu cemaskan lagi, Ken. Fokus saja mencari lauk pauk agar nasi itu masih bisa masuk ke perutmu."
"Sayang, bangun. Sebentar lagi makan malam." Asami menggoyang lengan Aira perlahan. Senyum hangat terukir di wajahnya, menyaksikan gadis kesayangannya mengerjap beberapa kali."Pukul berapa sekarang, Bu?" Aira duduk bersandar kepala ranjang, memperhatikan wajah cantik wanita yang telah merawatnya bertahun-tahun ke belakang.Asami mengangkat jam digital di atas meja dan mendekatkannya ke depan Aira."6.30. Masih ada waktu beberapa menit untukmu membersihkan diri. Kalau kamu masih lemah, ibu akan mengantarkan makanannya ke sini."Aira menggeleng, sudah merasa lebih baik."Aku akan bergabung dengan kalian di meja makan.""Sungguh? Kamu tidak pusing atau lemas?""Aku baik-baik saja, Bu."Meski masih sedikit pusing, Aira menutupinya. Dia segera masuk ke kamar mandi dan bersandar di pintu sambil memejamkan mata. Bergerak secara tiba-tiba seperti barusan membuat penglihatannya sedikit berbayang. Untung saja dia hafal letak pintu ini. Jadi, tidak perlu membuka mata untuk sampai di sana."Ibu
"Kamu sengaja melakukannya?" pertanyaan Aira langsung menyasar Ken saat keduanya sudah masuk ke kamar tamu di lantai bawah. Karena tidak ada lift untuk mengantarkan kursi roda Ken ke kamar Aira, jadilah mereka bermalam di sini."Apa?" Nada bicara pria cacat itu kembali dingin seperti biasa. Tak ada ramah tamah seperti di meja makan tadi.Aira tak menjawab, duduk di tepi ranjang dan mengamati suaminya yang masih diam di belakang pintu. Setelan formal masih melekat di tubuhnya, tanpa topeng yang sekarang entah di mana. Setelah melepasnya di meja makan, pria itu tak lagi mengenakannya. “Kamu puas?” Aira melepas ikatan rambutnya sebelum membuat cepol agak sedikit ke atas, membuat lehernya tampak begitu jelas. Ken meneguk ludah melihatnya. Bagaimanapun juga, dia seorang pria dewasa.“Sejak awal kamu tahu kalau kakak tidak suka dengan penampilan fisikmu. Kamu sengja memamerkannya agar dia jijik. Apa aku salah?” Nada bicara Aira terdengar ketus. Dia tidak suka acara makan malam dengan kelu
“Ai-chan, kau cantik,” puji Ken sambil memainkan jari telunjuknya di pipi Aira. Atensinya tertuju pada wajah bulat sang istri yang terlelap sejak beberapa jam lalu. Begitu dia keluar dari kamar mandi, wanita ini sudah tidur nyenyak di sisi kiri ranjang. Kondisi fisiknya memang belum kembali fit seperti sedia kala. Satu dua hari ini dia harus banyak istirahat.“Kenapa baru sekarang aku bisa memiliki kesempatan seperti ini? Aku bodoh ya karena sudah mengabaikanmu.” Ken menatap Aira lekat-lekat, seolah memindai seluruh bagian wajah cantiknya tanpa terkecuali. Bahkan tanpa sapuan make up, Aira tetap terlihat memesona.Tak ada suara apa pun selain deru halus penghangat ruangan di kejauhan. Aira sama sekali tidak menyadari pergerakan yang dilakukan suaminya. Tentu saja dia tidak melihat Ken yang berjalan tegap dari kursi roda menuju ranjang mereka.“Terlepas dari itu, aku penasaran. Antara Ken dan Hiro, mana yang lebih kau sukai, Ai-chan?”Ken tersenyum seorang diri, menerka-nerka. Beberapa
Aira mengerjap dua kali, mendapatkan kembali kesadarannya setelah tidur lelap selama delapan jam. Sesekali mulutnya menguap, merasa kantuk masih mendera. Tubuhnya butuh istirahat lebih lama, belum sepenuhnya sehat seperti sedia kala, tapi logikanya berkata cukup."Jam berapa ini?" tukas Aira lirih, meraih jam di samping kiri tubuhnya."Jam empat? Masih terlalu pagi untuk bangun."Detik berikutnya Aira kembali ke posisinya, memejamkan mata dan memeluk bantal hangat yang entah sejak kapan terasa begitu nyaman.Namun, hati kecilnya merasakan ada sesuatu yang lain. Situasi janggal yang tidak seharusnya."Bantal guling ini terasa aneh sekali? Kenapa bentuknya tidak bulat? Aroma pengharum yang melekat di kain pembungkusnya juga berbeda? Bukankah aku ada di kamarku sendiri, tapi rasanya asing sekali." Aira bergumam lirih, meraba bantal berbentuk manusia yang menjadi sandaran kepalanya. Keningnya kembali berkerut, masih dengan mata yang terpejam.Belum habis pertanyaan di dalam kepala terucap
Aira keluar dari kamar mandi sambil mengendap-endap, meminimalkan suara yang ditimbulkan dari langkah kakinya. Dengan hati-hati, Aira menghidupkan lampu yang ada dan mengamati wajah Ken. Tampak pria itu masih terlelap di posisinya, tak berubah sama sekali sejak dia tinggalkan."Semoga saja dia tidak bangun," ucap Aira sambil mendorong kursi roda Ken menjauh. Menempatkannya di samping pintu, terpisah empat meter dari ranjang. Jarak yang bisa Aira gunakan untuk menguji kemampuan suaminya. Dia tidak bisa percaya ucapan Kosuke sebelum melihat bukti dengan mata kepalanya sendiri."Aku akan setia menunggu." Aira keluar dari kamarnya dan stand by di depan pintu, menyisakan ruang kecil yang digunakan untuk mengintai. Sesekali atensinya berkeliling, memeriksa adakah penghuni lain rumahnya yang terjaga. Suasana hening menandakan kalau ayah, ibu, dan Sakura kemungkinan besar masih terlelap di tempatnya masing-masing.Tanpa Aira ketahui, Ken membuka matanya perlahan. Pria itu mengintai tingkah ist
“Pergi!” Untuk ke sekian kali Ken mengusir Aira. Namun, wanita itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dia justru memeluk Ken sekuat tenaga, seperti seorang ibu yang berusaha melindungi putranya.“Maaf, tapi aku tidak akan pergi.”Ken berhenti meronta, mulai mendengarkan detak jantung Aira dengan telinga kanan yang menempel ke dada wanita itu. Aira bersimpuh menggunakan lutut, sedang Ken duduk di lantai karena gagal berdiri untuk ke sekian kali.“Aku mengaku salah. Aku benar-benar minta maaf, Yamazaki-san.” Suara Aira kembali terdengar, bahkan kali ini agak sedikit bergetar. Rasa bersalahnya semakin menjadi, tidak bisa disembunyikan lagi.“Aku tidak bisa memercayaimu, berpikir kalau mungkin saja kamu membohongiku.”Demi memuluskan drama yang dimainkannya, Ken mendorong tubuh Aira dan berbalik badan setelahnya.“Pergi. Tinggalkan aku sendiri,” pintanya lirih, tak lagi dikuasai emosi seperti sebelumnya. “Aku tidak butuh belas kasihan darimu!” tegasnya sambil mengepalkan tangan.A