Matahari hampir tepat di tengah kepala saat Hirota masuk ke dalam kantor Yamazaki di lantai 32. Dia terus menggamit lengan putrinya, memberikan dorongan agar gadis ini tidak perlu takut lagi pada suaminya.
"Sayang, semua akan baik-baik saja. Dia tidak seburuk yang orang-orang katakan di luar sana."
"Kata siapa? kenapa ayah begitu yakin?" Aira masih tetap meragu. Sifat manjanya muncul jika bersama ayah angkat yang sangat disayanginya itu.
"Karena ayah seorang pria. Dan Ken juga pria. Kami sama. Bukankah kamu melihat ibumu tersenyum setiap hari. Itu juga yang harus kamu lakukan di depan suamimu."
Aira menggeleng tegas. "Aku tidak bisa. Ayah dan Ken jelas dua sosok yang berbeda. Ayah lembut dan penyayang. Sedangkan pria itu?" gumaman Aira masih bisa terdengar oleh Hirota.
Angka di atas lift terus bertambah, menandakan mereka akan segera sampai di tempat tujuan. Hal itu membuat Aira semakin erat memeluk lengan ayahnya. Dia benar-benar takut bertemu Ken. Terlebih lagi, ia merasa bersalah karena tidur dengan salah satu staf andalannya.
"Sayang, dengarkan ayah." Hirota meraih kedua pipi putrinya. "Kalau kamu memang belum bisa menyukainya, maka jangan membencinya. Bersikap baiklah sebagai putri ayah dan ibu. Jangan melakukan hal bodoh seperti semalam. Ya?"
Aira tak menjawab. Dia tidak berani mengiyakan hal itu. Dia bahkan tidak menceritakan kalau seorang tanpa nama sudah mengambil mahkota miliknya. Aira takut ayahnya kena serangan jantung jika mendengar hal itu.
'Ayah, maaf aku belum bisa sepenuhnya jujur padamu,' ungkapnya dalam hati.
Bersamaan dengan itu, denting lift terdengar. Pintunya terbuka lebar, mempersilakan Hirota dan Aira keluar dari sana. Seorang pria berpakaian hitam menyambutnya.
"Selamat datang, Tuan, Nona."
Hirota mengangguk, menjawab sapaan salam pria di hadapannya.
"Maaf, Tuan. Tuan Muda tidak mengizinkan Anda masuk ke dalam ruangan. Biarkan nona masuk seorang diri." Pria dengan wajah tanpa ekspresi mencegah langkah kaki Hirota yang bersiap mengantar Aira lebih jauh. Dia pasang badan di depan pintu, mencekal keduanya.
"Ayah," panggil Aira, enggan melepaskan tangan yang sedari tadi ia jadikan pegangan.
"Masuklah, Nak. Semua akan baik-baik saja." Hirota mencium kening putrinya sebelum pergi. Dia mencoba terlihat tegar, menunjukkan senyum terbaiknya. Padahal, dia tidak tega menyerahkan putri kesayangannya untuk menjadi pendamping pria tidak sempurna seperti Yamazaki Kenzo.
Pria dengan alat bantu dengar yang selalu terpasang di telinga itu mengetuk pintu sebelum masuk.
"Tuan, Nona sudah kembali," lapornya sambil menundukkan badan 45 derajat.
"Umm. Bawa dia masuk."
Pria itu pergi, meninggalkan Aira seorang diri dengan sang Suami yang tentu saja memakai topeng hitam andalannya.
"Sudah tahu jalan pulang, heh?" tanya Ken tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di hadapannya. Dia begitu sibuk, memeriksa perkembangan proyek lepas pantai yang kini menjadi perhatian utamanya.
"Maaf," lirih Aira hampir tak terdengar. Hatinya merasa tidak nyaman, kembali mengingat setiap kejadian kemarin.
Ken mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. "Maaf? Untuk apa?"
Kali ini Aira hanya bungkam. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan suaminya.
"Hmm?"
"Aku bersalah." Dua kata itu terucap bersamaan dengan gerakan tangan Aira yang meremas erat ujung bajunya. Itu kebiasaannya saat merasa takut atau panik. Dia khawatir Ken akan murka, seperti gambaran orang tentang sisi iblis di dalam diri suaminya.
"Kesalahan mana yang ingin kamu dapatkan maafku? Kabur di malam pertama kita atau minta maaf karena diam-diam tidur dengan pria lain?"
Sepasang netra Monika membola. Dia tidak menyangka Ken tahu segalanya. Otaknya langsung berpikir bahwa pria mata hijau itu sungguh mengakui kesalahan di depan atasannya.
"Bagaimana perasaanmu? Merasa nyaman? Apa dia berhasil memuaskanmu? Aku lihat kamu sangat bersemangat."
Kalimat sindiran dari Ken semakin membuat Aira tidak nyaman. Dia tidak bisa menghindari apa yang telah berlalu. Semua itu diluar kendalinya. Dia benar-benar tidak sadar meminta untuk dihangatkan. Rasanya aneh, dia tidak biasanya seperti itu. Itu sama sekali bukan sifatnya.
"Heh? Kenapa diam? Jangan katakan kamu tidak ingat apapun yang terjadi dengan staf IT itu. Atau, mungkinkah kamu tidak lagi perawan? Itu bukan yang pertama untukmu jadi tidak terlalu berkesan?"
Aira mengepalkan tangannya di sisi badan, balas menatap Ken yang memandangnya dengan tatap mata meremehkan. Dia tidak ingin mengiyakan atau menyangkal. Jangankan tidur dengan seorang pria, berciuman saja belum pernah.
"Oh, atau jangan-jangan kamu sudah terbiasa one night stand sebelumnya?" Kedua mata Ken semakin melebar, merendahkan wanita di hadapannya tanpa henti. Ekspresi jijik terlihat dari wajahnya yang hanya tampak separuh.
"Cukup. Semua yang kamu katakan tidak benar!" Aira yang tidak bisa lagi menahan emosinya, akhirnya memutuskan untuk bersuara. Apa yang ia dengar dari mulut Ken sungguh kelewatan dan tidak bisa ditolerir.
"Jika kamu ingin tahu, maka berhenti bertanya dan dengarkan penjelasanku. Aku bisa menceritakan detail pria itu memperlakukanku semalam. Semuanya. Tanpa terkecuali. Termasuk saat dia--"
"Tutup mulutmu!" Ken menggeram, menatap istrinya dengan marah. Dia tidak suka Aira begitu bersemangat menceritakan hubungan terlarangnya.
"Aku tidak peduli apa yang terjadi padamu dan pria itu. Bukan urusanku sama sekali. Justru aku yang paling diuntungkan jika kamu hamil."
Tubuh Aira menegang seketika. Apa maksud Ken? Kenapa dia justru senang jika ia hamil? Apa telinganya salah dengar?
Aira duduk seorang diri. Dia masih belum mengerti tentang respon Ken kemarin. Pria itu tidak terlihat marah. Dia justru merasa beruntung kalau pada akhirnya Aira mengandung anak pria dengan mata hijau yang menggaulinya."Aneh," gumamnya lirih. Dia menyesap minuman kotak di tangannya sambil merebahkan badan. Semua terasa tidak nyata. Seharusnya, sebagai seorang suami dia marah karena istrinya tidur dengan pria lain. Tapi, Ken terlihat biasa saja. Bahkan dia tidak segan memberikan bonus untuk staf IT itu."Astaga. Apa dia gila?!" ketus Aira sambil mengacak rambutnya sendiri. Dipikirkan berapa kali pun, rasanya tidak mungkin dia bisa hamil dari pria itu. Ini hubungan pertama kali baginya. Bahkan pangkal pahanya masih terasa sakit sampai sekarang. Itu artinya hubungan biologis kemarin tidak berjalan dengan lancar. Bahkan mungkin saja mereka tidak benar-benar melakukannya.Aira menelungkupkan badannya, membiarkan kepalanya tersembunyi di balik bantal. Dia dibuat gila
Aira mematut diri di depan cermin. Untuk yang terakhir kalinya dia menilai riasan wajahnya yang sedikit tidak biasa."Anda terlihat semakin cantik, Nona," puji seorang perias wajah yang entah dari mana datangnya. Begitu Aira membuka pintu kamar, tiga orang wanita sudah menunggunya."Ini berlebihan. Aku akan pergi ke kantor, bukan ke pesta." Dengan bibir mengerucut, Aira melayangkan protesnya. Dia merasa dandanan ini terlalu berlebihan. Belum lagi pemulas bibir warna merah merona. Menggelikan."Hapus saja make up-nya!" Aira sigap meraih kapas di atas meja, ingin menghapus riasan yang menurutnya berlebihan."Jangan, Nona!" Seorang wanita berambut ikal segera mencekal lengan nonanya. "Anda sudah terlambat. Ayo. Anda harus segera menemui Tuan Muda di kantornya."Dengan langkah tergesa, Aira dibawa menuruni anak tangga pendek di rumah mewah ini. Tubuh kecilnya dipaksa masuk ke dalam mobil mewah warna hitam yang terdapat seorang sopir di dalamnya.
"Kenapa masih diam?" Aira tersentak mendengar pertanyaan suaminya. Dia segera menguasai diri dan fokus dengan kenyataan saat ini. Tangannya terulur ke pundak Ken dan mulai memijatnya. "Kenapa kamu mau menikah denganku?" Ken mulai menikmati perlakuan Aira. Dia ingin mengulik lebih dalam alasan wanita ini mau dengannya. "Kalau boleh memilih aku juga tidak mau," gumamnya samar. "Apa? Aku tidak mendengarnya?" Ken pura-pura tidak dengar, padahal indera pendengarannya yang tajam menangkap dengan baik kalimat keluhan Aira barusan. "Ah, bukan apa-apa. Aku tidak mengatakan apapun," kilahnya canggung. Ken menaikkan satu sudut bibirnya. Dia tahu wanita ini sama seperti yang lainnya, tidak mau dijodohkan dengan pria cacat sepertinya. Tapi, kenapa pada akhirnya dia tidak bisa mengelak? Pasti ada alasan khusus. "Jawab pertanyaanku. Kenapa mau menikah denganku?" Sesaat Aira terdiam, bersamaan dengan gerak tangannya yang terhenti di pu
Aira merasa napasnya sesak karena pelukan pria ini belum lepas juga. Dia takut orang lain akan melihat ini dan mengakibatkan masalah baru untuknya. Meski pernikahan mereka digelar diam-diam dan hanya diketahui keluarga dekat, tak berarti Aira bisa sembarangan bertingkah di luar sana. Ayah dan ibu yang akan terkena imbas nantinya. "Lepas!" pinta Aira, berusaha menggunakan kedua tangannya untuk mendorong dada bidang di hadapannya. Namun dekapan itu tak juga mengendur, bahkan semakin erat. Mau tak mau Aira harus menggunakan cara lain, menginjak kaki pria mata hijau yang mengunci tubuhnya. "Love?!" Pelukannya terlepas, bersamaan dengan tatapan protes yang ia layangkan pada Aira. Sebuah tamparan keras menyapa wajah putih mulusnya, tepat satu detik sebelum Aira melangkahkan kaki, keluar dari kotak besi tempatnya berada. "Love, apa kamu marah padaku?" Pria tanpa nama itu berusaha mengejar Aira, mencekal tangannya di tengah koridor sepi. Tak ada seorang pun d
Aira masih tertegun di tempat duduknya. Dia sungguh belum bisa menerima apa yang terjadi pada kehidupannya dimana ia menikahi dua pria di saat yang bersamaan.“Love,” panggil Hiro, menggerakkan tangannya di depan wajah Aira yang masih melamun tanpa suara. “Maaf membuatmu terkejut.”Hanya bisa menggelengkan kepala, Aira memilih menutup mata. Sekarang tubuhnya menunduk, menyembunyikan wajah dalam tangkupan kedua tangannya. Satu dua bulir air mata keluar begitu saja, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada ayah dan ibu nantinya.“Love, aku--”“Berhenti memanggilku seperti itu! Menjijikkan!” ketusnya putus asa. Dia berdiri, ingin segera pergi dari tempat ini, meninggalkan pria yang mengaku sebagai suaminya. Suami kedua.Namun, bukan Hiro namanya jika dia tidak keras kepala. Tepat saat Aira baru membuka pintu, terdengar debaman yang cukup keras. Kaki Hiro menahan pintu besi di hadapannya agar tidak ter
"Love, can I kiss you?""Jangan gila!" teriak Aira seketika. Dia berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Hiro detik itu juga."Love," Hiro mencoba tetap tenang, meraih tangan Aira yang barusan menyentaknya.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus pria 178 cm itu, membuat tautan tangannya di lengan sang istri terlepas begitu saja. Tatap matanya menatap ke samping, dimana deretan buku tertata rapi."Ma-maaf," ucap Aira, merasa bersalah karena refleks menampar pria yang bisa dikatakan tidak bersalah. Dia terkejut dan bertindak tanpa berpikir jernih.Beberapa detik berlalu tanpa suara. Aira yang tak pernah bersikap kasar sebelumnya, tiba-tiba brutal. Tentu saja itu membuat hatinya merasa bersalah. Dan Hiro, masih tetap di posisinya, menahan napas karena tidak menyangka akan mendapat hadiah khusus dari istrinya.Aira mencengkeram ujung sweater yang dipakainya erat-erat. Egonya bersikeras untuk mempertahankan harga diri sebagai seorang
"Boleh aku bicara, Love?" Suara Hiro terdengar lirih namun masih bisa tertangkap telinga. Aira tak menjawab, masih tertegun setelah membaca beberapa poin perjanjian yang membuatnya terjebak menikahi dua pria. "Kamu menikah dengan Ken demi ayahmu. Dan aku menikahimu demi nyawaku." Hiro duduk di sebelah Aira, menatap wajah istrinya yang kini pucat pasi tanpa ekspresi. "Kita harus luruskan ini. Aku tidak ingin kamu salah paham. Pernikahan kita, sama sekali bukan keinginanku. Kenyataannya kita berdua hanya terpaksa ada di tempat dan waktu yang kurang tepat." Aira masih tetap bungkam. Dia belum bisa berkomentar apapun tentang fakta-fakta mencengangkan yang baru saja ia baca. Dia pikir Hiro begitu bersemangat menjeratnya, ternyata dia juga korban dari kuasa tak terhingga seorang Yamazaki Kenzo. Perlahan tangan Hiro yang hangat menggenggam jemari Aira, memberikan rasa nyaman yang entah kenapa tidak bisa wanita itu tepiskan. Sikap pria ini ham
"Kenapa diam?" Suara Aira sedikit meninggi, menyalak pada pria kacamata yang duduk terhalang meja dari posisinya. "Kita akhiri ketidakjelasan ini. Karena kamu yang mendaftarkan pernikahan kami, maka kamu juga yang harus bertanggungjawab untuk membatalkannya.""Tidak bisa seperti itu, Ai-chan.""Hmm?""Jika kita berpisah, tamatlah riwayatku." Hiro membuka dokumen perjanjian sialan yang ia tandatangani."Apa urusannya denganku? Salahmu sendiri mengambil mau menandatanganinya." Aira menunjukkan sisi egoisnya."Sebagai seorang lelaki, aku harus bertanggungjawab karena ... ""Iya. Iya. Aku tahu alasannya. Tidak perlu mengatakannya di depan semua orang!"Kening Kosuke berkerut dalam. Dia heran melihat sikap dan pembawaan Aira. Sebelumnya, gadis itu terlihat begitu penurut dan tidak melawan saat dia pertama kali datang ke rumah keluarga Nagasawa. Gadis itu dengan patuh mengiyakan perjodohan untuknya. Namun hal sebaliknya yang kini terlihat.