Share

Bab 5. Dua Sosok yang Berbeda

Matahari hampir tepat di tengah kepala saat Hirota masuk ke dalam kantor Yamazaki di lantai 32. Dia terus menggamit lengan putrinya, memberikan dorongan agar gadis ini tidak perlu takut lagi pada suaminya.

"Sayang, semua akan baik-baik saja. Dia tidak seburuk yang orang-orang katakan di luar sana."

"Kata siapa? kenapa ayah begitu yakin?" Aira masih tetap meragu. Sifat manjanya muncul jika bersama ayah angkat yang sangat disayanginya itu.

"Karena ayah seorang pria. Dan Ken juga pria. Kami sama. Bukankah kamu melihat ibumu tersenyum setiap hari. Itu juga yang harus kamu lakukan di depan suamimu."

Aira menggeleng tegas. "Aku tidak bisa. Ayah dan Ken jelas dua sosok yang berbeda. Ayah lembut dan penyayang. Sedangkan pria itu?" gumaman Aira masih bisa terdengar oleh Hirota.

Angka di atas lift terus bertambah, menandakan mereka akan segera sampai di tempat tujuan. Hal itu membuat Aira semakin erat memeluk lengan ayahnya. Dia benar-benar takut bertemu Ken. Terlebih lagi, ia merasa bersalah karena tidur dengan salah satu staf andalannya.

"Sayang, dengarkan ayah." Hirota meraih kedua pipi putrinya. "Kalau kamu memang belum bisa menyukainya, maka jangan membencinya. Bersikap baiklah sebagai putri ayah dan ibu. Jangan melakukan hal bodoh seperti semalam. Ya?"

Aira tak menjawab. Dia tidak berani mengiyakan hal itu. Dia bahkan tidak menceritakan kalau seorang tanpa nama sudah mengambil mahkota miliknya. Aira takut ayahnya kena serangan jantung jika mendengar hal itu.

'Ayah, maaf aku belum bisa sepenuhnya jujur padamu,' ungkapnya dalam hati.

Bersamaan dengan itu, denting lift terdengar. Pintunya terbuka lebar, mempersilakan Hirota dan Aira keluar dari sana. Seorang pria berpakaian hitam menyambutnya.

"Selamat datang, Tuan, Nona."

Hirota mengangguk, menjawab sapaan salam pria di hadapannya.

"Maaf, Tuan. Tuan Muda tidak mengizinkan Anda masuk ke dalam ruangan. Biarkan nona masuk seorang diri." Pria dengan wajah tanpa ekspresi mencegah langkah kaki Hirota yang bersiap mengantar Aira lebih jauh. Dia pasang badan di depan pintu, mencekal keduanya.

"Ayah," panggil Aira, enggan melepaskan tangan yang sedari tadi ia jadikan pegangan.

"Masuklah, Nak. Semua akan baik-baik saja." Hirota mencium kening putrinya sebelum pergi. Dia mencoba terlihat tegar, menunjukkan senyum terbaiknya. Padahal, dia tidak tega menyerahkan putri kesayangannya untuk menjadi pendamping pria tidak sempurna seperti Yamazaki Kenzo.

Pria dengan alat bantu dengar yang selalu terpasang di telinga itu mengetuk pintu sebelum masuk.

"Tuan, Nona sudah kembali," lapornya sambil menundukkan badan 45 derajat.

"Umm. Bawa dia masuk."

Pria itu pergi, meninggalkan Aira seorang diri dengan sang Suami yang tentu saja memakai topeng hitam andalannya.

"Sudah tahu jalan pulang, heh?" tanya Ken tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di hadapannya. Dia begitu sibuk, memeriksa perkembangan proyek lepas pantai yang kini menjadi perhatian utamanya.

"Maaf," lirih Aira hampir tak terdengar. Hatinya merasa tidak nyaman, kembali mengingat setiap kejadian kemarin.

Ken mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. "Maaf? Untuk apa?"

Kali ini Aira hanya bungkam. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan suaminya.

"Hmm?"

"Aku bersalah." Dua kata itu terucap bersamaan dengan gerakan tangan Aira yang meremas erat ujung bajunya. Itu kebiasaannya saat merasa takut atau panik. Dia khawatir Ken akan murka, seperti gambaran orang tentang sisi iblis di dalam diri suaminya.

"Kesalahan mana yang ingin kamu dapatkan maafku? Kabur di malam pertama kita atau minta maaf karena diam-diam tidur dengan pria lain?"

Sepasang netra Monika membola. Dia tidak menyangka Ken tahu segalanya. Otaknya langsung berpikir bahwa pria mata hijau itu sungguh mengakui kesalahan di depan atasannya.

"Bagaimana perasaanmu? Merasa nyaman? Apa dia berhasil memuaskanmu? Aku lihat kamu sangat bersemangat."

Kalimat sindiran dari Ken semakin membuat Aira tidak nyaman. Dia tidak bisa menghindari apa yang telah berlalu. Semua itu diluar kendalinya. Dia benar-benar tidak sadar meminta untuk dihangatkan. Rasanya aneh, dia tidak biasanya seperti itu. Itu sama sekali bukan sifatnya.

"Heh? Kenapa diam? Jangan katakan kamu tidak ingat apapun yang terjadi dengan staf IT itu. Atau, mungkinkah kamu tidak lagi perawan? Itu bukan yang pertama untukmu jadi tidak terlalu berkesan?"

Aira mengepalkan tangannya di sisi badan, balas menatap Ken yang memandangnya dengan tatap mata meremehkan. Dia tidak ingin mengiyakan atau menyangkal. Jangankan tidur dengan seorang pria, berciuman saja belum pernah.

"Oh, atau jangan-jangan kamu sudah terbiasa one night stand sebelumnya?" Kedua mata Ken semakin melebar, merendahkan wanita di hadapannya tanpa henti. Ekspresi jijik terlihat dari wajahnya yang hanya tampak separuh.

"Cukup. Semua yang kamu katakan tidak benar!" Aira yang tidak bisa lagi menahan emosinya, akhirnya memutuskan untuk bersuara. Apa yang ia dengar dari mulut Ken sungguh kelewatan dan tidak bisa ditolerir.

"Jika kamu ingin tahu, maka berhenti bertanya dan dengarkan penjelasanku. Aku bisa menceritakan detail pria itu memperlakukanku semalam. Semuanya. Tanpa terkecuali. Termasuk saat dia--"

"Tutup mulutmu!" Ken menggeram, menatap istrinya dengan marah. Dia tidak suka Aira begitu bersemangat menceritakan hubungan terlarangnya.

"Aku tidak peduli apa yang terjadi padamu dan pria itu. Bukan urusanku sama sekali. Justru aku yang paling diuntungkan jika kamu hamil."

Tubuh Aira menegang seketika. Apa maksud Ken? Kenapa dia justru senang jika ia hamil? Apa telinganya salah dengar?

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Pau Ponsel
mantap cerita nya
goodnovel comment avatar
Maimunah Sani
good...sangat suka
goodnovel comment avatar
Suryanti
menarik sekali hhmm...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status