"Apa yang kamu lakukan padaku?" Aira beranjak dari ranjang, berdiri sambil memegangi selimut di tubuhnya erat-erat. Wajahnya terasa memanas dengan air mata yang siap tumpah. Pangkal pahanya terasa sakit, tapi dia tidak mempedulikannya.
"Maaf," jawabnya lirih. "Anda yang meminta saya menyentuh Anda."
"Bullshit! Itu tidak mungkin!" Aira tidak percaya dengan jawaban pria di hadapannya. Samar-samar dia mengingat pergulatan panas mereka, tapi pikirnya tidak mungkin ia yang meminta lebih dulu.
"Jika Anda tidak percaya, Anda bisa melihat ini."
Pria shirtless itu mendekat ke arah monitor layar datar dan menyalakannya. Hanya dalam hitungan detik, rekaman kamera pengawas di pojok ruangan sudah menampilakn sosok Aira yang tengah menarik tubuhnya ke dalam pelukan.
Seketika wajah bulat Aira merah merona. Dia tidak tahu kenapa dia bisa bertingkah liar seperti itu. Jangankan menggoda pria dan menariknya ke atas ranjang, dekat dengan pria saja tidak pernah.
"Anda bisa lihat sendiri. Anda yang meminta saya untuk tinggal dan memuas--"
"Nonsense." Aira memotong kalimat yang terlontar dari mulut lawan bicaranya. Dia tidak bisa percaya begitu saja. "Kamu pasti sengaja menjebakku!"
"Tidak, Nona. Saya tidak berani."
Aira kembali terduduk di tepi ranjang. Dia tidak tahu kenapa jadi seperti ini. Dia lepas kendali dan tidak mengingat hal itu sama sekali. Ingatannya terhenti pada saat tubuhnya merasa tidak nyaman, ingin menyentuh leher pria yang menolongnya.
"Saya minta maaf karena tidak bisa mengendalikan diri."
"Maaf tidak akan bisa mengembalikan keperawananku yang sudah kamu ambil!" ketusnya murka.
"Saya akan bertanggung jawab."
"Huh? Bertanggung jawab?" Gelak tawa terdengar detik berikutnya.
Aira menertawakan situasi tak terduga yang terjadi padanya. Dia kabur dari Ken di malam pertama mereka, namun justru harus terjebak menghabiskan malam dengan salah satu staf IT kepercayaan suaminya. Apa dia gila?
"Tanggung jawab apa? Kamu akan mengaku kalau kamu tidur dengan istri atasanmu?"
"Bagaimanapun juga saya ikut bersalah dalam hal ini."
Aira menutup mulutnya rapat-rapat sambil memijat keningnya perlahan, tak ingin merespon lagi. Sumpah serapah yang ada di kepalanya ia biarkan saja, tak perlu keluar dari mulut dan membuat situasi semakin tidak terkendali.
Dia harus segera mencari solusi. Semua ini memang kesalahannya. Dia dengan bodohnya kabur keluar vila dan tidak memikirkan bahaya di luar sana. Dan sekarang semuanya sudah terlambat.
Jika saja dia lebih tenang, dia bisa saja mengunci diri di dalam kamar hingga pagi menjelang atau setidaknya sampai ada pekerja datang. Suaminya yang lumpuh tidak akan bisa mendatanginya tanpa bantuan orang lain.
"Nona, saya akan menikahi Anda." cetus pria yang kini bersimpuh di depan lutut Aira.
"Huh?"
"Anda hanya istri sementara Tuan Muda. Sampai kondisi keuangan keluarga Anda stabil, Anda bisa bercerai dengannya."
"Apa kamu gila?!" teriak Aira dengan wajah perah padam. Solusi yang pria ini katakan justru semakin membuat kepalanya penuh. Serasa ingin meledak.
"Saya kepercayaan Tuan Muda. Semua data Anda sudah ada dalam genggaman saya. Jika Anda setuju untuk menikah dengan saya, saya akan membantu Anda agar secepatnya berpisah dengan Tuan Muda."
"Tutup mulutmu! Sebagai seorang staf khusus kepercayaannya, bagaimana bisa kamu bertanya demikian? Dimana kewarasanmu?" Aira masih memasang waspada. Dia baru menyadari pria asing ini mungkin bukan orang biasa. Jika tidak, dia tidak akan seberani itu mengajaknya menikah. Dan lagi, dia mengatakan bahwa dia memiliki semua data keluarganya.
"Kalau begitu, jadikan saya selingkuhan Anda, Nyonya. Lagipula selamanya Tuan tidak akan bisa memuaskan Anda."
Sebuah tamparan mendarat di pipi pria itu. Aira berdiri dan mulai memunguti pakaiannya. Namun, gaun itu tak layak lagi dipakai.
Mau tak mau, Aira memakai dress coklat susu yang tergeletak di meja. Sepertinya pria misterius ini yang sengaja menyiapkan untuknya.
Tak butuh waktu lama, Aira segera membenahi surai panjangnya yang terlihat berantakan. Dia siap pergi keluar dari kamar yang telah menjadi saksi bisu pergulatan panas yang tak seharusnya terjadi.
"Nona, tunggu!" cegah pria itu, menahan tangan Aira di belakang pintu.
"Bukankah Anda tidak menyukai Tuan Muda? Dia cacat, lumpuh, juga buruk rupa. Apa yang membuat Anda bertahan dengannya? Dia bahkan tidak bisa ... "
"Jaga mulutmu!" geram Aira dengan kemarahan memuncak. "Apa yang terjadi diantara kita hanya kecelakaan. Anggap saja tida pernah terjadi apapun. Jika kita bertemu di lain hari, bersikaplah selayaknya orang asing!" Wajah Aira merah padam saat mengatakannya. Dia sungguh kesal karena harus menghadapi pria keras kepala di hadapannya.
"Dan ingat satu hal. Entah seburuk apapun keadaannya, dia tetap suamiku. Kamu ... " Aira menunjuk tepat di depan wajah lawan bicaranya. "Jangan pernah sekali pun menghinanya!"
Dengan langkah terseok menahan perih di kaki, Aira keluar dari kamar salah satu hotel bintang lima tempatnya bermalam. Sambil memikirkan apa yang terjadi, dia melenggang pergi. Punggungnya menghilang, meninggalkan pria yang tak dikenalnya.
"Aira Nagasawa," gumam pria mata hijau sambil mengangkat sebelah alisnya. "Sepertinya kamu berbeda dengan para wanita di luar sana."
Aira tidak tahu pria yang baru saja mendapat omelannya sedang tersenyum lebar tanpa suara. Kepribadiannya berubah seketika, tak lagi terlihat lemah dan tak berdaya seperti sebelumnya. Tangannya melempar rubik ke udara dan menangkapnya. Kesepuluh jemarinya bergerak cepat, menyusun kotak dengan warna acak tanpa melihatnya.
"Heh! Sepertinya menyenangkan berurusan denganmu, Ai-chan," ucap pria yang kini meletakkan rubik di atas meja dengan gerakan yang sedikit kasar. Warnanya sudah tersusun rapi di masing-masing sisi.
Detik berikutnya, ia melepas softlens hijau di kelopak matanya. Tampak manik hitam gelap yang penuh dominasi di sana.
"Aku harus lebih berani," gumamnya sambil tersenyum penuh arti. "Sayang, mari kita bermain-main."
Matahari hampir tepat di tengah kepala saat Hirota masuk ke dalam kantor Yamazaki di lantai 32. Dia terus menggamit lengan putrinya, memberikan dorongan agar gadis ini tidak perlu takut lagi pada suaminya."Sayang, semua akan baik-baik saja. Dia tidak seburuk yang orang-orang katakan di luar sana.""Kata siapa? kenapa ayah begitu yakin?" Aira masih tetap meragu. Sifat manjanya muncul jika bersama ayah angkat yang sangat disayanginya itu."Karena ayah seorang pria. Dan Ken juga pria. Kami sama. Bukankah kamu melihat ibumu tersenyum setiap hari. Itu juga yang harus kamu lakukan di depan suamimu."Aira menggeleng tegas. "Aku tidak bisa. Ayah dan Ken jelas dua sosok yang berbeda. Ayah lembut dan penyayang. Sedangkan pria itu?" gumaman Aira masih bisa terdengar oleh Hirota.Angka di atas lift terus bertambah, menandakan mereka akan segera sampai di tempat tujuan. Hal itu membuat Aira semakin erat memeluk lengan ayahnya. Dia benar-benar takut bertemu Ken
Aira duduk seorang diri. Dia masih belum mengerti tentang respon Ken kemarin. Pria itu tidak terlihat marah. Dia justru merasa beruntung kalau pada akhirnya Aira mengandung anak pria dengan mata hijau yang menggaulinya."Aneh," gumamnya lirih. Dia menyesap minuman kotak di tangannya sambil merebahkan badan. Semua terasa tidak nyata. Seharusnya, sebagai seorang suami dia marah karena istrinya tidur dengan pria lain. Tapi, Ken terlihat biasa saja. Bahkan dia tidak segan memberikan bonus untuk staf IT itu."Astaga. Apa dia gila?!" ketus Aira sambil mengacak rambutnya sendiri. Dipikirkan berapa kali pun, rasanya tidak mungkin dia bisa hamil dari pria itu. Ini hubungan pertama kali baginya. Bahkan pangkal pahanya masih terasa sakit sampai sekarang. Itu artinya hubungan biologis kemarin tidak berjalan dengan lancar. Bahkan mungkin saja mereka tidak benar-benar melakukannya.Aira menelungkupkan badannya, membiarkan kepalanya tersembunyi di balik bantal. Dia dibuat gila
Aira mematut diri di depan cermin. Untuk yang terakhir kalinya dia menilai riasan wajahnya yang sedikit tidak biasa."Anda terlihat semakin cantik, Nona," puji seorang perias wajah yang entah dari mana datangnya. Begitu Aira membuka pintu kamar, tiga orang wanita sudah menunggunya."Ini berlebihan. Aku akan pergi ke kantor, bukan ke pesta." Dengan bibir mengerucut, Aira melayangkan protesnya. Dia merasa dandanan ini terlalu berlebihan. Belum lagi pemulas bibir warna merah merona. Menggelikan."Hapus saja make up-nya!" Aira sigap meraih kapas di atas meja, ingin menghapus riasan yang menurutnya berlebihan."Jangan, Nona!" Seorang wanita berambut ikal segera mencekal lengan nonanya. "Anda sudah terlambat. Ayo. Anda harus segera menemui Tuan Muda di kantornya."Dengan langkah tergesa, Aira dibawa menuruni anak tangga pendek di rumah mewah ini. Tubuh kecilnya dipaksa masuk ke dalam mobil mewah warna hitam yang terdapat seorang sopir di dalamnya.
"Kenapa masih diam?" Aira tersentak mendengar pertanyaan suaminya. Dia segera menguasai diri dan fokus dengan kenyataan saat ini. Tangannya terulur ke pundak Ken dan mulai memijatnya. "Kenapa kamu mau menikah denganku?" Ken mulai menikmati perlakuan Aira. Dia ingin mengulik lebih dalam alasan wanita ini mau dengannya. "Kalau boleh memilih aku juga tidak mau," gumamnya samar. "Apa? Aku tidak mendengarnya?" Ken pura-pura tidak dengar, padahal indera pendengarannya yang tajam menangkap dengan baik kalimat keluhan Aira barusan. "Ah, bukan apa-apa. Aku tidak mengatakan apapun," kilahnya canggung. Ken menaikkan satu sudut bibirnya. Dia tahu wanita ini sama seperti yang lainnya, tidak mau dijodohkan dengan pria cacat sepertinya. Tapi, kenapa pada akhirnya dia tidak bisa mengelak? Pasti ada alasan khusus. "Jawab pertanyaanku. Kenapa mau menikah denganku?" Sesaat Aira terdiam, bersamaan dengan gerak tangannya yang terhenti di pu
Aira merasa napasnya sesak karena pelukan pria ini belum lepas juga. Dia takut orang lain akan melihat ini dan mengakibatkan masalah baru untuknya. Meski pernikahan mereka digelar diam-diam dan hanya diketahui keluarga dekat, tak berarti Aira bisa sembarangan bertingkah di luar sana. Ayah dan ibu yang akan terkena imbas nantinya. "Lepas!" pinta Aira, berusaha menggunakan kedua tangannya untuk mendorong dada bidang di hadapannya. Namun dekapan itu tak juga mengendur, bahkan semakin erat. Mau tak mau Aira harus menggunakan cara lain, menginjak kaki pria mata hijau yang mengunci tubuhnya. "Love?!" Pelukannya terlepas, bersamaan dengan tatapan protes yang ia layangkan pada Aira. Sebuah tamparan keras menyapa wajah putih mulusnya, tepat satu detik sebelum Aira melangkahkan kaki, keluar dari kotak besi tempatnya berada. "Love, apa kamu marah padaku?" Pria tanpa nama itu berusaha mengejar Aira, mencekal tangannya di tengah koridor sepi. Tak ada seorang pun d
Aira masih tertegun di tempat duduknya. Dia sungguh belum bisa menerima apa yang terjadi pada kehidupannya dimana ia menikahi dua pria di saat yang bersamaan.“Love,” panggil Hiro, menggerakkan tangannya di depan wajah Aira yang masih melamun tanpa suara. “Maaf membuatmu terkejut.”Hanya bisa menggelengkan kepala, Aira memilih menutup mata. Sekarang tubuhnya menunduk, menyembunyikan wajah dalam tangkupan kedua tangannya. Satu dua bulir air mata keluar begitu saja, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada ayah dan ibu nantinya.“Love, aku--”“Berhenti memanggilku seperti itu! Menjijikkan!” ketusnya putus asa. Dia berdiri, ingin segera pergi dari tempat ini, meninggalkan pria yang mengaku sebagai suaminya. Suami kedua.Namun, bukan Hiro namanya jika dia tidak keras kepala. Tepat saat Aira baru membuka pintu, terdengar debaman yang cukup keras. Kaki Hiro menahan pintu besi di hadapannya agar tidak ter
"Love, can I kiss you?""Jangan gila!" teriak Aira seketika. Dia berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Hiro detik itu juga."Love," Hiro mencoba tetap tenang, meraih tangan Aira yang barusan menyentaknya.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus pria 178 cm itu, membuat tautan tangannya di lengan sang istri terlepas begitu saja. Tatap matanya menatap ke samping, dimana deretan buku tertata rapi."Ma-maaf," ucap Aira, merasa bersalah karena refleks menampar pria yang bisa dikatakan tidak bersalah. Dia terkejut dan bertindak tanpa berpikir jernih.Beberapa detik berlalu tanpa suara. Aira yang tak pernah bersikap kasar sebelumnya, tiba-tiba brutal. Tentu saja itu membuat hatinya merasa bersalah. Dan Hiro, masih tetap di posisinya, menahan napas karena tidak menyangka akan mendapat hadiah khusus dari istrinya.Aira mencengkeram ujung sweater yang dipakainya erat-erat. Egonya bersikeras untuk mempertahankan harga diri sebagai seorang
"Boleh aku bicara, Love?" Suara Hiro terdengar lirih namun masih bisa tertangkap telinga. Aira tak menjawab, masih tertegun setelah membaca beberapa poin perjanjian yang membuatnya terjebak menikahi dua pria. "Kamu menikah dengan Ken demi ayahmu. Dan aku menikahimu demi nyawaku." Hiro duduk di sebelah Aira, menatap wajah istrinya yang kini pucat pasi tanpa ekspresi. "Kita harus luruskan ini. Aku tidak ingin kamu salah paham. Pernikahan kita, sama sekali bukan keinginanku. Kenyataannya kita berdua hanya terpaksa ada di tempat dan waktu yang kurang tepat." Aira masih tetap bungkam. Dia belum bisa berkomentar apapun tentang fakta-fakta mencengangkan yang baru saja ia baca. Dia pikir Hiro begitu bersemangat menjeratnya, ternyata dia juga korban dari kuasa tak terhingga seorang Yamazaki Kenzo. Perlahan tangan Hiro yang hangat menggenggam jemari Aira, memberikan rasa nyaman yang entah kenapa tidak bisa wanita itu tepiskan. Sikap pria ini ham