Dikarenakan keributan itu Bunda Alia serta Ibu Mira segera beranjak dari kursi. Keduanya keluar pontang-panting menuju luar. Tadinya mereka tengah membahas rencana pernikahan, tentang resepsi dan lain-lain. Sekarang, keduanya tergopoh-gopoh menuju taman dan terdiam membeku melihat Rara meneriaki Gilang.
"Rara, kenapa ini?" tanya Ibu Mira. Secara bergantian ia melihat Rara dan Gilang. Anaknya itu memperlihatkan wajah bengis sedangkan Gilang terdiam bingung."Mama serius mau menikahkan aku dengan laki-laki sombong itu?" tuding Rara ke Gilang. Telunjuknya teracung mantap. Meski duduk di kursi roda rona takut sama sekali tidak ada di wajahnya.Merasa keadaan mulai kacau, Gilang pun maju mendekati Ibu Mira. "Maafkan saya, Bu. Ini hanya kesalahpahaman.""Salah paham? Salah paham kamu bilang?" Rara terkekeh hambar. Binar matanya menyalang-nyalang bak ada kobaran api di sana. Kekaguman yang sempat hadir sirna seketika saat melihat Gilang enggan berjabat tangan dengan. Rara insecure dan mulai berpikir yang tidak-tidak tentang Gilang."Iya, ini salah paham. Saya tidak berniat menghina ataupun merendahkan kamu, Ra.""Bohong. Pembohong.""Saya tidak bohong." Gilang masih mencoba menjelaskan, tapi usaha itu ditepis oleh Rara. Dia sudah terlanjur sakit hati."Apa kamu pikir aku bodoh tidak membedakan mana salah paham mana sengaja? Kamu mengejekku, bukan?""Tidak. Sungguh bukan begitu maksudku." Gilang yang sudah frustrasi mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Dadanya naik turun, bingung bagaimana harus menjelaskan pada Rara."Pembohong. Balum menikah saja kamu pintar berkelit. Apalagi nanti, pasti aku akan kamu bodohi setiap waktu. Aku cacat, aku tidak bisa apa-apa. Kamu bohongi pun aku tidak akan tau. Ayo ngaku.Kontan Gilang istighfar."Rara." Ibu Mira menginterupsi."Ma, aku tidak ingin menikah dengannya!" tegas Rara yang buat tiga orang lain di sana terbelalak."Rara kamu tenang."Namun Rara tidak peduli. Emosinya tengah berada di puncak dan ia tidak berniat menurunkan sedikit tekanan itu. Baginya ia adalah beban yang mungkin saja Gilang menerimanya karena ada niat terselubung"Gilang, tolong jelaskan." Bunda Alia menimpali."Begini, Bun. Tadi dia mengajak bersalaman jadi ... jadi ...." Gilang menjeda kata dan itu sudah dimengerti oleh Ibu Mira dan Bunda Alia. Keduanya tersenyum kecil sembari menatap heran Rara yang masih memberi sorot kebencian."Kan, sudah jelas itu, Ma. Dia menghina fisikku. Dia sombong, memegang tanganku saja dia jijik," omel Rara lagi, tak habis-habisnya dan itu buat Ibu Mira tersenyum kecil. Ia usap rambut panjang Rara"Ra, jangan berpikir yang bukan-bukan. Gilang bukan bermaksud menghina.""Kalau bukan lalu apa?" lanjut Rara. Dia menjawab perkataan Ibu Mira tapi matanya menyalang ke depan, tepat ke arah Gilang. Sorot mata yang sudah seperti laser yang mampu memecah bebatuan. Gilang sedikit merinding dibuatnya."Maafkan aku, Ra. Aku memang tidak boleh bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram. Itu dosa."Mata Rara tak ubahnya bola bekel. Sekarang Gilang secara terang-terangan bilang kalau dirinya itu menyebabkan dosa."Wah, kamu keterlaluan, kamu menganggap aku biang dosa, begitu?" cecar Rara. Matanya melotot geram."Bu-bukan." Gilang memukul pelan bibirnya. Ia salah menjelaskan hingga Rara salah paham."Aku hanya ingin menjaga diri kita. Aku menjaga diriku dan kamu. Kita bukan mahram jadi dilarang bersentuhan.""Apaan, cuma salaman, 'kan? Kamu terlalu kaku. Bilang saja kamu tidak ingin terlibat denganku. Kamu tidak menyukaiku karena aku lumpuh. Iya, kan?" Rara kembali terkekeh ironi dan entah kenapa terdengar penuh kesedihan di telinga Gilang."Ra ...." Bunda Alia mendekat. Ia pegang tangan Rara. "Laki-laki dan perempuan memang diharamkan bersentuhan kalau bukan muhrim. Jadi kamu jangan salah paham. Bersentuhan antar lawan jenis yang bukan mahram itu tidak boleh."Rara diam mendengar penjelasan lanjutan tentang bersentuhan dengan lawan jenis itu memang diharamkan, termasuk berjabat tangan.Setelah Rara agak tenang Gilang pun menimpali, ia juga menjelaskan beberapa hadis yang mengatakan larangan bersentuhan dengan orang yang bukan mahram.Di sini Rara telah paham, tapi terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan. Mulutnya kaku untuk sekadar meminta maaf."Kebiasaan nge-gas kamu harus dihilangkan, Ra." Ibu Mira tersenyum saat mengatakan itu."Ya sudah, tidak apa-apa. Kalau begitu ayo kita masuk. Tidak enak. Kita dilihatin anak-anak," timpal Bunda Alia.Rara cuma terdiam membeku, bahkan pasrah saat kursi rodanya didorong menuju ruang tempat Bunda Alia bekerja mengatur segala sesuatunya tentang panti asuhan. Sesekali ia melihat Gilang. Lelaki itu terlihat sangat tampan dan gagah. Ia sedikit kagum dengan fisik Gilang. Hanya sebatas kagum, ya. Hanya sebatas itu. Ia tidak ingin berharap lebih. Takutnya malah sakit. Kelumpuhan itu buat Rara tidak percaya dengan semua, termasuk Gilang.Sekarang mereka berempat duduk berembuk di sofa dan saling berhadap-hadapan."Bagaimana, Gilang? Apa kamu setuju pernikahannya kita adakan dua bulan lagi?" tanya Ibu Mira, harap-harap cemas."Iya, Bu. Tidak mengapa. Saya akan ikuti apa kata ibu sama Bunda Alia. Insyaallah saya siap." Gilang memperlihatkan senyumnya lagi.Melihat itu bukannya terpesona Rara malah muak. Ia berpikir Gilang hanya bersandiwara. Berkelakuan sok baik agar bisa menikahinya."Itu ciri-ciri laki-laki tidak punya pendirian," ejek Rara. Suaranya lirih. Namun meski lirih masih terdengar di telinga Gilang. Beruntungnya Bunda Alia tidak mendengar itu karena sibuk di meja belakang."Hanya laki-laki bodoh yang mau menikahi aku. Wah, hidupku dramatis sekali, aku cacat dan akan menikah dengan laki-laki bodoh. Tidak beruntungnya hidupku. Aku pikir hidupnya gelandangan lebih beruntung ketimbang aku," lanjut Rara yang masih terdengar sinis."Rara ...." Ibu Mira sampai menyentuh lengan Rara, menegur anaknya itu secara halus. Hanya saja Rara cuek. Ia justru kembali memalingkan wajah. Sejak pertengkaran tadi ia jadi enggan berserobok pandang dengan Gilang. Antara malas, marah dan malu."Bu Mira, apa boleh saya mengatakan sesuatu?""Apa itu, Nak Gilang?" Bu Mira tanpa sadar menelan ludah. Jantungnya bertalu takut Gilang membatalkan rencana pernikahan ini."Mungkin ini terdengar tidak tahu malu, tapi saya hanya ingin bilang, terima kasih kerena telah melahirkan wanita cantik Rara."Rara yang tadinya menatap luar kontan melotot geram. Tak habis pikir ia bisa-bisanya Gilang merayu tepat di depan orang tua."Insyaallah saya siap jadi suaminya," lanjut Gilang."Alhamdulillah. Terima kasih, ya, Nak. kamu berhati besar."Gilang cuma membalas dengan senyum saja. Lalu menundukkan kepala. Sejujurnya ia ingin melihat wajah Rara lagi dan lagi. Namun, keinginan itu ia telan kuat-kuat lantaran tidak ingin terjebur ke dosa zina mata. Rara walau galak tetap saja sedap di pandang mata. Dan ia tak ingin menodai matanya dengan berlama-lama melihat Rara.***Rara terdiam, agak aneh menurutnya Gilang ini. Namun, ketika teringat betapa sederhana dan bijaknya Gilang, ia pun tidak berani menyela."Tapi paling tidak kita rayakan, Lang. Sebagai istri aku rasanya tidak enak kalau hanya menghabiskan hari kelahiranmu dengan hanya berdiam diri."Gilang memegang dagunya. Ia mulai berpikir."Bagaimana kalau pesan kue?" usul Rara. Matanya berbinar.Sayangnya usul itu mendapat gelengan kepala."Lalu maunya apa?" Rara kembali cemberut."Bagaimana kalau masak. Aku ingin mencicipi masakanmu," balas Gilang."Masak?"Gilang mengiakan dengan anggukan."Emang mau masakan apa?" tanya Rara lagi.Gilang pun terlihat berpikir. "Buatkan aku sayur asem dan ikan asin saja, bagaimana?""Cuma itu?" Rara benar-benar tidak habis pikir."Jangan bilang cuma, kamu tau menu itu sukses buatku nambah tiga kali.""Masa cuma itu.""Tapi aku maunya itu, bagaimana?"Mulanya Rara ragu, tapi setelah melihat Gilang yang tampak sangat berharap ia pun mengiakan dengan anggukan."W
Setahun kemudian.Rumah tangga Gilang dan Rara semakin membaik dari waktu ke waktu. Layaknya rumah tangga pada umumnya, di rumah sederhana Gilang itu selalu ada canda, tawa, kadang ada sedikit pertengkaran kecil antara mereka.Namun, itu tak jadi pemicu keretakan. Justru sebaliknya, mereka saling memahami antara lain, membuat rumah tangga mereka kian kokoh.Satu tahun itu pula Gilang berhasil menunjukkan keseriusan. Cinta yang tulus membuatnya tak pernah lelah maupun mengeluh dengan kondisi Rara yang cacat. Justru, rasa sayang serta peduli untuk Rara makin menggebu.Rara sendiri sama, dia terus berusaha sembuh. Kabar baiknya sekarang sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Terakhir, Rara juga sudah mulai berjalan dengan dua kaki, meskipun hanya bertahan lima langkah.Kendati demikian tak buat asanya putus. Ada Gilang yang selalu menyemangati dan itu buat Rara semangat lagi. Ia ingin cepat berjalan normal agar bisa mengimbangi langkah Gilang. Ingin seperti pasangan kebanyakan yang men
Dari semenjak kejadian tadi siang, Rara menjadi lebih banyak diam. Gilang sendiri juga belum berani cerita apa-apa. Pria itu masih berusaha menyusun kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Rara Nantinya."Ra, kamu baik-baik aja 'kan?" Gilang melongok ke kamar. Tampak Rara tengah duduk sembari membaca buku bertema islami dengan posisi kaki selonjoran."Itu pertanyaan kamu yang ke empat kali. Memangnya kamu tidak bosen?" balas Rara tanpa menatap.Diperlakukan seperti membuat Gilang salah tingkah. Kelakuannya saat ini makin tambah belingsatan saja."Ra, kamu baca apa?" Gilang mendekat, matanya seketika membola saat mengetahui halamaan buku yang Rara baca. "Kamu ngapain baca begituan?" tanya Gilang spontan."Memangnya kenapa? Aku hanya penasaran saja dengan hukum poligami. Ternyata poligami sangat indah jika dijalani sesuai kaidah. Aku tidak menyangka pahala istri yang dipoligami sangat besar!"Mendengar itu, Gilang makin tambah misuh-misuh. Ia berebut buku tersebut lantas menaruhnya ke
Pemandangan yang baru saja dilihat membuat Rara memutuskan untuk menutup pintu mobil. Di titik ini, Rara merasa harga dirinya dijatuhkan seketika. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana suaminya itu dipeluk oleh wanita lain, akan tetapi ia tidak bisa berlari untuk sekadar mencegah, apalagi sampai membuat perhitungan kepada Nayla.Dari jendela mobil juga, Rara melihat Nayla yang terus menyeret koper lalu hilang di balik pintu gerbang. Setelah itu ia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu terlihat memapah Bunda Alia masuk ke dalam rumah.Kini tinggallah Rara di dalam mobil seorang diri. Kesunyian halaman di panti asuhan saat ini sukses menambahkan momen sakit di hati Rara semakin menggebu-gebu. Ia menangis. Hatinya menjerit atas semua yang baru saja ia saksikan.Rara bukan mempermasalahkan pelukan perpisahan yang dilakukan oleh Nayla, tapi Rara menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua itu terjadi. Bahkan untuk sekadar menyusul Gilang saja, Rara tak mampu melakukannya
Gilang baru saja hendak menurunkan Rara dari mobil saat suara ribut-ribut terdengar di pelataran panti. Lelaki itu gagas menoleh, dari kejauhan ia melihat Bunda Alya sedang terlibat cekcok dengan Nayla. Sepertinya perdebatan mereka cukup serius. Gilang pun segera meminta izin pada Rara agar melerai keduanya terlebih dahulu."Ra, kamu di mobil sebentar ya! Kayaknya Bunda lagi bertengkar sama Nayla. Aku pisahin mereka dulu."Saking paniknya, Gilang gagas berlari tanpa menunggu jawaban Rara terlebih dahulu. Di sofa mobil yang pintunya sudah terbuka, Rara hanya dapat menatap punggung Gilang yang semakin menjauh darinya. Ia juga menatap kursi roda yang baru saja dibentangkan oleh Gilang. Namun, sayang, Rara tidak bisa menggapai benda yang sangat dibutuhkannya tersebut karena posisinya terlalu jauh.Sementara Gilang. Lelaki itu berlari secara membabi buta. Lalu berdiri di tengah-tengah mereka." Ada apa ini?" seru Gilang sambil menatap Bunda Alya dan Nayla secara bergantian, bahkan ia lupa
***"Gawat, Ra! Gawat!"Gilang masuk ke kamar begitu saja saat Rara sedang asik membaca buku panduan salat. Wanita itu sedang menghafalkan beberapa hafalan doa dan tata cara salat tahajud saat Gilang mendekat dengan mimik wajah cemas."Ada apa? Kenapa kamu cemas begitu?""Nayla Ra … Nayla ….""Nayla kenapa?" Rara memekik.Hati Rara sedikit tercubit melihat Gilang begitu mencemaskan Nayla. Namun, ia tepis segala perasaan tidak baik itu karena Nayla dan Gilang memiliki ikatan persaudaraan yang cukup kuat meski bukan saudi kandung."Anak panti bilang Bunda Alia bertengkar dengan Nayla. Ternyata kepergiannya Nayla ke Singapur terlalu mendadak, dan tanpa sepengetahuan Bunda.""Kok bisa, Lang?""Entahlah, Ra! Anak panti bilang Nayla mau berangkat sore nanti, dia juga bilang kalau Nayla sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan menerima dana sebesar 150 juta.""Astagfirullahallazim. Kamu serius, Lang? Aku takutnya Nayla itu ditipu. Perusahaan mana yang berani memberi DP sebanyak itu?""Maka d