Belakangan Tami terlihat lebih diam. Wanita itu tetap melakukan rutinitasnya dan melayani semua kebutuhan Satria. Hanya saja, semua dilakukan tanpa suara.Satria kesal sendiri. Dia merindukan ocehan Tami. Sudah sejak malam itu istrinya seolah mendiamkannya, meski akan tetap menjawab bila ditanya. Berbeda bila sedang berbicara dengan mama Emilia, dunia seolah milik mereka berdua. Tawa Tami bahkan kadang terdengar begitu kencang dan lepas.Merasa sudah tak tahan, ingin meluapkan rasa rindunya. Satria menangkap lengan Tami yang sedang berjalan melewatinya. Dia menarik ke pangkuan dan memerangkap pinggangnya erat.“Apaan, sih, Mas. Aku mau ke dapur.” Protes Tami.Satria diam. Dia hanya menatap wajah teduh Tami dan malah menahan napas. Tiba-tiba rasa gugup hinggap dan malah menyemburkan kalimat lain, “Kalau kamu masih mendiamkan aku, jangan salahkan aku kalau semua fasilitas untuk keluargamu akan aku hentikan.”Bibir Tami maju karena cemberut. Tangannya mengepal menahan kesal dan akhirnya
Satria memilih tak mengambil pusing. Nanti akan ada waktunya untuk membicarakan banyak hal pada Tami. Setelah dirinya mampu memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya. Karena sejak menikah, hati dan pikirannya terasa tak sinkron. Hatinya pun sering merasakan hal yang baru kali ini dia rasakan. Terlebih Tami tak menunjukkan reaksi apa pun. Seperti saat ini, mereka sedang bersiap untuk sarapan. Maka dengan sigap, Tami menghampiri Satria dan membantu merapikan kemeja setelah memasangkan dasi juga jas kerja. Wanita itu mengulas senyum kecil dan berlalu begitu saja keluar kamar. Satria mengikuti layaknya anak kecil yang tak mau jauh dari ibunya. Selalu seperti itu setiap hari. Dia tak peduli, hanya mengikuti apa yang otak perintahkan pada tubuhnya.“Aku enggak mau makan nasi,” ucap Satria begitu duduk di meja makan.Tami melongo. Dia melihat nasi goreng dan beberapa lauk pelengkap di meja lalu cemberut ke arah Satria.Dengan sekuat tenaga, Satria berusaha menahan tawa. Selalu begini s
Tami sudah beberapa kali melihat ponselnya. Jemarinya mengetikkan sebuah pesan, tapi kemudian dihapusnya kembali. Begitu terus sejak satu jam yang lalu. Hatinya tak tenang, hari sudah mulai beranjak malam tapi Satria belum juga pulang. Namun, untuk menanyakan kabar lebih dulu juga dia ragu.Diletakkannya ponsel di meja dan Tami meraih remote televisi berusaha mengusir rasa tak nyaman di dadanya. Tak lama, suara pintu terbuka membuat dia menengok cepat dan dirinya langsung tersenyum lega.Kening Satria berkerut. Melihat Tami yang masih terjaga dan menghampirinya, dia lantas bertanya, “Kok belum tidur?”“Kenapa baru pulang?” Tami malah melemparkan pertanyaan lain.Satria tersenyum. Dia menarik tangan Tami untuk kembali duduk di sofa depan televisi. Meletakkan tas juga jas di sofa lain lalu duduk di samping Tami sambil bercerita, “Tadi aku ketiduran di kantor, pas bangun ternyata udah agak sore dan kerjaan aku masih menumpuk. Makanya pulang telat.”“Ketiduran?!” “Iya, kayanya aku kekeny
Menghabiskan akhir pekan bersama Tami membuat Satria tak bisa melesapkan senyumnya walau sejenak. Pagi ini, dia berjalan melewati lobi dengan pandangan semua orang yang tertuju padanya dengan raut wajah bingung.Pria itu merasa tubuhnya sangat bugar dan penuh semangat. Seperti ponsel dengan baterai penuh. ‘Menghabiskan waktu berdua hanya dengan melakukan hal sederhana ternyata bisa menghasilkan efek bahagia sebesar ini.’ Pikir Satria yang lagi-lagi tersenyum sendiri karena di kepalanya terputar penggalan semua hal yang mereka lakukan selama dua hari kemarin.Kepalanya menoleh saat mendengar suara ketukan dan pintu yang perlahan membuka. Raut wajahnya sontak berubah keruh dan masam, kala melihat Irwan melenggang dengan santai dan bibir yang menyeringai.“Mau apa kamu kesini?! Pergilah, aku sibuk.” Ketus Satria.“Tenang dulu Kakakku sayang. Aku punya sesuatu yang akan membuat kamu sadar sesadar-sadarnya,” ujarnya dengan senyum miring kala menarik kursi dan mendudukkan diri santai di sana
“Bagaimana ini bisa terjadi,” hardik Satria pada Bagus orang kepercayaannya yang selama ini dimintanya mengawasi Tami.Satria tidak bisa berpikir tenang, semua rasa campur aduk dalam hati dan pikirannya. Dia memejamkan mata sesaat dan memijit pelipisnya dengan sebelah tangannya di pinggang. Pria itu benar-benar tak tenang.“Ma-maaf, Pak. Tadi saya lalai. Sungguh, kejadiannya begitu cepat hingga kami semua tak menyadari bahwa ada mobil bak terbuka yang melaju kencang dan menabrak Bu Tami. Kami sempat ingin mengejar, tapi melihat keadaan Bu Tami kami memilih membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu,” sahut Bagus dengan suara yang gemetar menahan takut.“Ta-tadi kami bahkan lupa mengabari Bapak, sampai pihak rumah sakit perlu tanda tangan wali untuk operasi. Saat itu kami baru ingat dan memberikan nomor telepon Bapak,” ujarnya takut-takut.Satria mendengkus keras mendengar itu, sungguh emosinya kini seolah dipermainkan. Hari ini jantungnya bagai melakukan akrobat di dalam sana. Dia bahk
"Cari sampai ketemu! Rekaman CCTV, pelaku dan siapa di balik ini. Semua itu, sore ini sudah harus di tangan saya.” Suara Satria penuh dengan kemarahan.Tak tahan lagi melihat Tami yang sedang ditangani dokter, dia memilih bangkit dan berjalan keluar. Amarah seketika naik kala mengingat kembali setiap perkataan Irwan semalam.Satria tak pernah pulang ke rumah sejak Tami mengalami kecelakaan. Semua keperluannya dibawakan oleh mamanya setiap pagi, mereka akan bergantian jaga. Sedangkan Mama Widya dan Sissy tidak pernah diizinkan menjenguk kecuali ada Satria di sana. Namun, semalam -hampir tengah malam- Irwan datang. Wajahnya penuh kepuasan kala melihat Tami terbaring tak berdaya dan menampakkan raut mengejek pada Satria. “Pergi! Ini bukan jam untuk membesuk.” Usir Satria.“Tenang, Kak. Aku hanya ingin melihat keadaan kalian. Melihat keadaanmu lebih tepatnya.” Irwan memutari ranjang pasien agar bisa bertatapan langsung dengan Satria.Satria berusaha menjaga emosi dan menjaga raut wajahn
“Sial ... sial ... sial.” Sissy memekik tertahan kala memasuki apartemen Irwan. Dia bahkan membuat pintu berdentum saking kerasnya menutup.Tubuhnya masih tegang karena bentakan Satria di rumah sakit. Gadis itu tidak pernah menyangka kalau kakak iparnya sangat mengerikan saat marah. Dirinya kesal sekaligus merasa ketakutan. Ternyata selama ini dirinya salah menilai pria itu. Sikap pendiamnya telah di salah artikan oleh Sissy dan dia menyesal sudah termakan omongan Irwan, bahkan sudah menyerahkan seluruh dirinya untuk pria pengangguran itu.“Jelek banget nasib aku. Astaga, sekarang apa yang harus aku lakukan,” desahnya frustrasi. “Gimana kalau uang kuliah aku dihentikan atau uang bulanan yang di tarik. Ya ampun, tolong aku mama.” Sissy mulai menangis.Sissy menangis meratap. Dirinya stres, kesal dan marah pada dirinya dan terutama pada Irwan. Seharusnya saat pertemuan yang tidak disengaja sore itu, dirinya langsung pergi saja dan pulang. Bukan malah ikut Irwan ke apartemen ini dan ber
Di rumah sakit, Widya tidak langsung beranjak setelah diberi peringatan oleh Satria. Dirinya masih mencoba peruntungan. Berharap hati menantunya akan luluh setelah melihat kegigihannya.“Tolong, Nak Satria. Mama mau melihat Tami. Biar bagaimana pun, Tami ‘kan anak kandung mama.” Bujuk Widya.“Tapi saya suaminya dan memiliki hak lebih besar atasnya. Jadi, Mama lebih baik pulang dan menjauh dari Tami.” Tegas Satria.“Tapi, Nak –“ “Lebih baik Mama pulang dan turuti kemauan saya, sebelum saya berubah pikiran.” Potong Satria tanpa menoleh ke Widya.Widya sontak menahan marah dan berbalik untuk segera beranjak dari sana. “Dari pada semua fasilitas di cabut, lebih baik tak perlu pedulikan anak itu,” gumam Widya.Tadinya dia berpikir, jika memberikan sedikit perhatian pada Tami maka Satria akan luluh dan memberikannya tambahan uang untuknya sebagai biaya merawat Tami selama di rumah sakit. Rupanya dirinya salah mengira. Maka dari itu, saat ini dia memilih duduk di kantin rumah sakit untuk m