Suara debur ombak yang memecah karang terdengar begitu menghanyutkan. Penuh ketenangan dan mematikan dalam satu saat. Sudah beberapa bulan Widya hidup tenang di pesisir pantai sana walaupun harus menekan diri dari hidup mewah, tapi tak apa. ‘Hanya beberapa tahun dan setelahnya kemewahan akan kembali padanya.’ Pikirnya.Sedari jauh hari, Widya sudah berjaga-jaga dalam menjaga hartanya. Dia sengaja menguras tenaga dan pendapatan Tami agar uangnya sendiri tak tersentuh. Meskipun suaminya tak sekaya Christian, tapi dia mendapatkan harta warisan yang tak sedikit ditambah beberapa aset yang diam-diam dia rebut dari Tami. Belum lagi hasil klaim dari asuransi, sebenarnya dia dan kedua putrinya bisa hidup dengan nyaman tanpa kekurangan.Nyatanya, dia berpura-pura mendadak miskin dan memaksa Tami untuk bekerja keras untuk menghidupi mereka tak peduli apa yang dikerjakan oleh putri sulungnya itu.Lalu kini, meski dia harus bertahan jauh dari semua orang yang terpenting adalah seluruh kekayaannya
“Mas Irwan!” Panggil Tami pelan, sambil mencengkeram tasnya erat. Baru saja pintu lift terbuka, pemandangan di depan mata membuatnya tersentak dengan wajah yang pias.Di dalam sana, kekasihnya sedang memeluk mesra seorang pegawai wanita dari divisi pemasaran. Sontak mereka menjaga jarak dan tersenyum kaku karena salah tingkah. Sedangkan Tami perlahan memasuki lift dan berusaha bersikap tenang, melirik sebentar kepada perempuan tersebut yang saat ini menunduk dalam dan beringsut mundur ke belakang.Berulang kali Irwan berusaha menggenggam tangan Tami. Tetapi, sebanyak itu pula dia ditepis. Begitu pula, ketika lift sudah berhenti dan mereka melangkah keluar. Irwan terus berusaha menjelaskan sambil mengekor di belakang Tami dan hasilnya tetap sama, tak di gubris.“Sayang, dengar dulu penjelasan aku. Aku tadi benar-benar cuma mau bantu dia melepas benang yang tersangkut di jam tanganku, jadi posisinya seperti itu. Padahal aku enggak peluk dia sama sekali.” Beberapa kali Irwan berpindah da
“Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Atau kamu merasakan sesuatu? Sebentar, saya akan panggilkan dokter untuk kamu.”Suara bariton dengan pertanyaan beruntun menyapa pendengaran Tami ketika dia sadarkan diri.Mata Tami mengerjap pelan, berusaha memindai ke sekeliling ruangan dan mencoba menelan saliva saat mulut dan tenggorokan terasa sangat kering. Dan ketika tangannya terangkat untuk menekan pelipis yang terasa sakit, jarum infus di tangan mengkonfirmasi keberadaannya saat ini. Matanya terpaku pada sosok maskulin yang menatap khawatir.“Pak Satria? Bagaimana bisa?" lirih Tami melihat sang atasan berdiri tanpa ekspresi.Seingatnya dia ada di apartemen semalam. Lalu kenapa pagi ini sudah ada di rumah sakit dengan Satria yang menemani.Suara deheman terdengar dari lelaki berusia empat puluh tahun yang masih betah melajang itu, “Em, kamu pasti bingung.” Satria menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Semalam saat saya pulang dan melewati unitmu, tak sengaja mendengar suara teriakan. Jadi, sa
Akhir pekan ini Tami sengaja tak pulang karena badannya belum pulih benar dan dia membutuhkan istirahat. Alasan lainnya sudah pasti adalah menghindari omongan dan perilaku menyakitkan dari Mama dan adiknya.Tami mendesah keras. Dia memijit pelipisnya sembari duduk bersandar di sofa ruang tengah apartemennya saat terdengar bunyi bel beberapa kali. Dengan malas dia membukakan pintu dan wajah terkejutnya tak bisa disembunyikan lagi.“Mau ngapain kamu kesini,” tanya Tami penuh kecurigaan.Sissy tak peduli atas omongan kakaknya dan dia melangkahkan kaki masuk bahkan sebelum dipersilakan. “Sejak kapan main ke tempat kakak sendiri harus ada alasan, “ celetuknya.Decak kesal terdengar jelas dari bibir Tami. “Ya udah, jangan ganggu karena aku mau tidur.”Gadis manja dengan gaun navy terusan selutut itu menyamankan diri di sofa dan menjawab sembari mencibir, “Terserah.”Dalam hati Sissy membatin, “Aku mau tahu, Satria akan kesini atau enggak ya. Karena aku menginginkannya, Kak.”Setelah beberap
Dua tahun yang lalu perasaan Tami membuncah bahagia. Dia tak menyangka akan dapat pria yang membuatnya jatuh cinta. Namun, kebahagiaan tak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah berpacaran, Irwan mulai mengeluh banyak hal dan mulai meminjam uang pada Tami. Padahal Irwan juga memiliki kedudukan di kantor. Entah digunakan untuk apa uang itu.Lebih menjijikkan lagi pria itu pun kerap terlihat menggoda beberapa wanita dan selalu berkelit saat terciduk langsung oleh Tami.Kesabaran Tami habis dan malam itu adalah puncaknya. Mulai saat itu, Tami bersumpah tak ingin lagi bertemu dengan Irwan, apa pun kondisinya. Tetapi, takdir berkata lain.“Mas Irwan,” suara Tami sangat lirih, hingga hanya dirinya yang bisa mendengar.Matanya membola sempurna, pria yang disangkanya telah mendekam di dalam penjara malah terlihat beberapa meter di depan sana sedang tersenyum menatapnya. Tami segera membalikkan badan berjalan cepat menuju kasir dan mencari jalan keluar.Jantungnya semakin berdegup kencang sa
Satria menyeringai puas. Sambil mengelus foto mendiang kekasihnya, dia berucap lirih, “Pembalasanku untuk kematianmu akan segera terlaksana, Sayang. Tunggulah sebentar lagi, Tami akan kubuat merasakan sakit sampai dia tak ingin ada di dunia ini lagi.”Dia memejamkan mata sejenak, dadanya selalu sesak setiap kali mengingat Vania -tunangannya- yang meninggal satu minggu sebelum hari pernikahan mereka. Satria terpuruk dan hal itu membuat hatinya kebas kehilangan rasa.Sudah tiga tahun berlalu, tapi rasa sakit itu masih ada dan berkembang menjadi dendam yang bukannya menghilang malah semakin membakar diri Satria untuk melampiaskan sakit hatinya pada Tami.Tak peduli apa pun risikonya, dia sudah bertekad untuk membuat keluarga Tami hancur dan bersujud memohon ampun di kakinya.“Kali ini aku tidak akan menahan diri lagi.” Kemarahan terlihat jelas di wajah pria yang selama ini terkenal baik hati dan ramah.Rahangnya mengeras dengan mata yang berkobar, “Tak akan kubiarkan kamu hidup bahagia,
Tami berulang kali mengumpati Satria. Dia geram bukan main. Entah apa yang ada di pikiran atasannya itu hingga tiba-tiba ingin menikahinya. Apalagi mamanya yang juga ikut setuju tanpa menanyakan apa pun padanya.Bahkan, setelah dia melontarkan penolakan dan semua orang sudah pulang, hatinya masih tak tenang. Saat ini, dia masih di rumah mamanya di dalam kamarnya sendiri dan mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Terlebih kata-kata Satria saat dia melabrak pria itu di telepon malah terus terngiang di kepala.“Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”“Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”“Dengan entengnya dia mengancamku,” gumam Tami sambil mencibir. Hatinya kesal bukan main.Dia terdiam sesaat, menghempaskan tubuh ke kasur dan memandang langit-langit kamarnya. “Tapi apa yang dia bilang itu benar juga, apalagi mas Irwan enggak merasa salah sama sekali.”Tami benar-benar tak tenang, dia bangun d
Tami duduk manis di salah satu kafe yang berada dekat dengan apartemennya. Rencana untuk bertemu di unitnya langsung dia batalkan saat bayangan malam buruk bersama Irwan tiba-tiba berkelebat di benaknya, membuat sekujur tubuhnya merinding dan gemetar ketakutan.Dia meminum perlahan jus alpukat yang sudah berkurang setengah, tapi Satria belum juga tampak batang hidungnya. Tami memejamkan mata dramatis berusaha menekan emosi yang mulai menyeruak di dirinya. Gadis itu tak ingin ada di sini, tapi hal ini harus dilakukan sebelum semua semakin mempercepat penyesalan.Kursi di depannya bergeser, senyum tipis terlihat dari wajah tanpa raut rasa bersalah. “Ada urusan yang harus saya lakukan terlebih dahulu tadi.”“Saya juga belum lama,” cicit Tami mengalah.Mata Satria melirik ke arah gelas Tami yang sudah hampir habis isinya, dia tersenyum miring sebelum memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. “Sudah menyerah dan siap menikah dengan saya?” Suara Satria terdengar dengan pertanyaan merem