Blurb Setelah lepas dari kekasih yang toxic, tak membuat Tamia bisa bernapas lega. Justru kehidupan baru akan di jalani karena dipaksa ibunya menikah dengan pria yang lebih tua 13 tahun darinya. Awalnya Tami mengira semua akan baik-baik saja, toh Satria adalah pria yang ramah dan baik hati. Siapa sangka, di balik senyum ramah pria itu tersimpan banyak misteri. Yang mengejutkan lagi, mantan pacar toxic Tami rupanya adik kandung Satria yang merasa hubungan mereka belum usai. Apakah takdir akan memberikan Tami kebahagiaan atau menghancurkan gadis itu tanpa sisa.
Lihat lebih banyak“Mas Irwan!” Panggil Tami pelan, sambil mencengkeram tasnya erat. Baru saja pintu lift terbuka, pemandangan di depan mata membuatnya tersentak dengan wajah yang pias.
Di dalam sana, kekasihnya sedang memeluk mesra seorang pegawai wanita dari divisi pemasaran. Sontak mereka menjaga jarak dan tersenyum kaku karena salah tingkah. Sedangkan Tami perlahan memasuki lift dan berusaha bersikap tenang, melirik sebentar kepada perempuan tersebut yang saat ini menunduk dalam dan beringsut mundur ke belakang.
Berulang kali Irwan berusaha menggenggam tangan Tami. Tetapi, sebanyak itu pula dia ditepis. Begitu pula, ketika lift sudah berhenti dan mereka melangkah keluar. Irwan terus berusaha menjelaskan sambil mengekor di belakang Tami dan hasilnya tetap sama, tak di gubris.
“Sayang, dengar dulu penjelasan aku. Aku tadi benar-benar cuma mau bantu dia melepas benang yang tersangkut di jam tanganku, jadi posisinya seperti itu. Padahal aku enggak peluk dia sama sekali.” Beberapa kali Irwan berpindah dari sisi kanan dan kiri Tami, berusaha untuk mendapatkan perhatian sambil mengimbangi langkahnya.
Tami mengatupkan mulutnya lekat. Wajahnya datar, melihat lurus ke depan dengan tubuh di tegakkan dan langkah yang sedikit terburu-buru di atas high hells sampai ke area parkir. Dia langsung memasuki mobil, mengunci dari dalam dan melajukannya tanpa menatap lagi ke arah Irwan.
Sesampainya di apartemen, Tami tak menunggu lama untuk mandi, memasak dan membersihkan dapur karena ingin membuat tubuhnya lelah agar bisa tertidur pulas. Mengingat kejadian seperti itu bukanlah yang pertama kali, dirinya tak ingin terus berada di atas genangan air matanya sendiri. Dia bukanlah perempuan bodoh, meski dulunya terlalu dimanja, nyatanya dia mampu berdiri sendiri saat ini. Namun, hingga malam menjelang hatinya masih dipenuhi kegelisahan. Karena tidak bisa tidur, dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan membuat susu hangat untuk membantunya agar bisa terlelap.
“Kenapa kamu tega menyakitiku terus menerus mas,” gumam lirih Tami dengan air mata yang menetes pelan.
Belum genap langkahnya menuju dapur, suara bel mengagetkannya dan membuat Tami berbalik ke arah pintu.
Dia terkejut, ketika mengintip keluar melalui lubang intip di pintunya.
“Mau apa mas Irwan kesini malam-malam begini?” Bisiknya sendiri.
Dengan perlahan Tami membuka pintunya dan Irwan menyeringai kecil melihat kekasihnya yang mengernyit.
“Em, mas ingin minta maaf, rasanya mas tidak akan sanggup kalau menunggu hingga besok. Boleh mas masuk?” Tanya Irwan pelan, mencoba menghilangkan keraguan di wajah Tami.
Dibukanya pintu sedikit lebar agar Irwan bisa masuk dan begitu pintu tertutup, tubuh Tami terkesiap dan membeku sejenak. Irwan mendekapnya erat dari belakang dan mendaratkan kecupan berulang di belakang kepalanya.
“Mas, jangan begini. Ayo duduk, kita bisa bicara baik-baik!” Tegas Tami sambil berusaha melepaskan kedua tangan Irwan yang melingkar di pinggangnya.
Melihat Tami tidak nyaman, Irwan perlahan melepaskan pelukan dan berjalan menuju sofa.
Untuk beberapa detik tak ada yang membuka suara. Lalu perlahan tangan Tami sudah berada dalam genggaman Irwan.
Gadis itu hanya bisa menghela nafas lelah dengan mata terpejam, bersiap dengan drama episode terbaru yang akan di suguhkan kekasihnya malam ini.
“Sayang, kamu udah enggak marah, ‘kan, sama aku?” Tanya Irwan sambil menatap dalam ke wajah Tami.
“Hem....”
“Benar? Sekali lagi aku minta maaf ya. Aku akan lebih menjaga diri aku buat kamu,” katanya berjanji.
“Hem....”
“Kalau gitu, aku boleh minta tolong sama kamu?” Irwan bertanya dengan senyum yang semringah.
Tami membuang sebentar wajahnya, dia sudah tahu akan ke arah mana pembicaraan ini berakhir. Entah kenapa, mesti tahu hubungannya ini tidak sehat. Dia selalu saja gagal untuk mengakhirinya.
“Apa, Mas. Kamu mau pinjem uang lagi? Yang kemarin aja belum terbayar, loh,” sindir Tami ketus.
“Aku pasti bayar, Sayang. Aku mau dapat bonus besar. Begitu itu cair, aku bayar sekalian sama yang kemarin ya. Boleh, ‘kan? Aku janji,” jawabnya cepat sambil memainkan ujung rambut Tami.
“Maaf, Mas. Aku enggak pegang uang!” Tegas Tami.
Mendengar itu, raut wajah Irwan langsung keruh. Dia perhatikan lamat-lamat wajah cantik kekasihnya yang memiliki keturunan timur tengah. Hidung mancung, bibir tipis dengan bulu mata lentik yang saat ini sedang memberengut. Pikiran kotor seketika hadir di otaknya.
“Maksud kamu? Bukannya kamu baru gajian ya?” Tanya sinis Irwan.
“Kamu ‘kan tahu sendiri, aku harus kirim ke ibu. Belum lagi untuk nutupin utang kamu dan kebutuhan sehari-hari aku. Jadi, udah enggak pegang uang lebih, Mas. Mending kamu cari kerja tambahan kalau masih perlu uang lebih,” ucap Tami dengan nada yang sedikit meninggi.
“Kamu sindir aku?! Mentang-mentang kamu sekretaris direktur, terus kamu rendahin aku, gitu!” Teriakan Irwan terdengar memenuhi ruangan apartemen itu.
“Terserah.” Jawab Tami malas lalu berdiri ingin masuk ke dalam kamarnya.
Merasa direndahkan, Irwan ikut berdiri. Menarik kasar lengan Tami, hingga tubuhnya berbalik lalu tamparan keras menyapa pipinya.
“Sombong Lo sekarang, udah ngerasa bisa rendahin gue, hah!” Teriak Irwan di depan wajah Tami sambil memegang lengan Tami dengan tangan lainnya.
“Gue enggak mau tahu, mana uangnya? Gue perlu buat besok!” Kali ini teriakannya di sertai cengkeraman di dagu Tami.
“Sakit, Mas,” rintih Tami pelan.
Dia tahu akan percuma melawan karena berujung dengan semakin banyak luka memar yang dia dapatkan.
“Kasih dulu uangnya.” Pinta Irwan.
“Enggak ada, Mas. Sungguh,” ucap Tami lirih.
“Cewek sialan!” Teriak Irwan di telinga Tami sambil menarik keras rambutnya ke belakang.
Teriakan demi teriakan bergantian di apartemen Tami. Teriakan cacian dan kesakitan seolah saling menyahuti, namun tak satu pun orang yang menolong.
Irwan yang gelap mata, berulang kali menghujani Tami dengan berbagai pukulan di sekujur tubuhnya.
“Ampun, Mas.” Pinta Tami dengan air mata yang mengalir deras dan menahan pukulan demi pukulan yang datang.
“Uang dulu, lalu kamu bebas, Sa-yang.” Seringai mengerikan terlihat jelas di wajah Irwan.
Dia menyeret Tami dan melemparkan ke sofa, mengukung tubuh Tami di bawah badan besarnya dan menarik kasar piyama yang dikenakan hingga robek tak beraturan.
Tami menangis hebat sambil menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, berusaha menghindar atas apa yang akan Irwan lakukan ke dirinya.
Dia berusaha keras melawan sekuat tenaganya untuk melepaskan diri, walau rasa jijik sudah menghinggapi seiring dengan jejak basah yang Irwan berikan.
“Tolong–ampun, Mas. Aku benar- benar enggak punya uang.” Mohon Tami sekali lagi.
Pukulan keras kembali ke wajah Tami. Membuat kepalanya pusing dan penglihatannya berputar. Di ambang kesadaran Tami masih bergumam, "Siapa pun tolong!" Dan kesadarannya perlahan menghilang.
Bersamaan dengan menghilangnya kesadaran Tami, pintu apartemennya terdengar dibuka keras dan suara derap kaki cepat juga teriakan penuh kemarahan terdengar. "Brengsek!"
Suara debur ombak yang memecah karang terdengar begitu menghanyutkan. Penuh ketenangan dan mematikan dalam satu saat. Sudah beberapa bulan Widya hidup tenang di pesisir pantai sana walaupun harus menekan diri dari hidup mewah, tapi tak apa. ‘Hanya beberapa tahun dan setelahnya kemewahan akan kembali padanya.’ Pikirnya.Sedari jauh hari, Widya sudah berjaga-jaga dalam menjaga hartanya. Dia sengaja menguras tenaga dan pendapatan Tami agar uangnya sendiri tak tersentuh. Meskipun suaminya tak sekaya Christian, tapi dia mendapatkan harta warisan yang tak sedikit ditambah beberapa aset yang diam-diam dia rebut dari Tami. Belum lagi hasil klaim dari asuransi, sebenarnya dia dan kedua putrinya bisa hidup dengan nyaman tanpa kekurangan.Nyatanya, dia berpura-pura mendadak miskin dan memaksa Tami untuk bekerja keras untuk menghidupi mereka tak peduli apa yang dikerjakan oleh putri sulungnya itu.Lalu kini, meski dia harus bertahan jauh dari semua orang yang terpenting adalah seluruh kekayaannya
Keadaan Tami perlahan mulai membaik dan hari ini sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah dengan beberapa catatan dari dokter.“Ada yang mau dibeli sebelum sampe rumah, Sayang?” tanya Satria.Setelah perdebatan yang memakan waktu, Satria akhirnya berhasil membawa Tami dalam mobilnya. Dia melirik ke belakang lewat spion tengah dan terkikik saat mobil mewah warna hitam itu mengiringi. Wajah mertuanya saat ini pasti sedang cemberut dan itu membuatnya geli sekaligus puas. “Enak saja mau memonopoli istri cantikku,” batinnya.“Enggak usah deh, Mas. Aku hanya mau istirahat,” jawab Tami.Anggukan kepala diberikan Satria sebagai jawaban dan perlahan memelankan laju kendaraan karena jarak rumah mereka yang sudah tak terlalu jauh lagi.“Mau aku gendong?”Mobil mereka sudah parkir dengan sempurna di halaman rumah. Begitu juga mobil Christian, pria itu bahkan sudah turun dan menunggu di dekat pintu masuk.“Enggak usah, Mas. Aku udah sehat,” jawab Tami sambil cemberut.Satria terkekeh dan mencubit
Aryo sedang menunggu perintah selanjutnya. Dia tak berani untuk melangkah lebih dulu meski sudah bisa menebak tindakan apa yang akan diambil oleh atasannya. Kembali lagi, dia bukan pria gegabah dan selalu tenang dalam kondisi apa pun.Satria ingin sekali melakukan panggilan telepon kepada Aryo. Akan tetapi, pandangan tajam yang menghunus dirinya membuat dirinya membeku. Seolah sedang terikat kencang, tubuhnya sulit digerakkan saking terpaku pada mata mertuanya.Dia berdeham.Tami meringis melihat itu. Namun tak sedikit pun keinginan untuk membantu suaminya. Mendengar Vania di kasus itu bukan sepenuhnya korban, membuat hatinya kembali perih. Pertanyaan kenapa dan kenapa terus berputar di kepalanya. Mereka bahkan tidak saling kenal. “Saya tidak akan tinggal diam jika Vania benar-benar terlibat. Mantan tunangan kamu telah merampas kebahagiaan putri saya.” Ancaman Christian memecahkan kesunyian yang tercipta.“Papi,” panggil Satria pelan. Dia menyadari kalau saat ini mertuanya itu sedang
“Kalau memang sudah tidak ada yang mau dibahas lagi, saya tunggu laporannya segera dari masing-masing divisi.”Satria mengakhiri rapat mingguannya dengan cepat. Pikirannya sedang tidak fokus, alih-alih mengalihkan pada pekerjaan dia lebih memilih untuk menyelesaikan yang membuat kepalanya riuh belakangan ini.Langkahnya semakin cepat begitu dia keluar dari ruang rapat. Sejak pagi rencananya sudah matang dan itu hanya bisa dilakukan bila tumpukan dokumen di mejanya menghilang. Dan saat ini hal itu yang akan dilakukannya, dengan cepat.“Pak.”Satria gegas berbalik badan dengan wajah kesal. Dia bahkan belum sampai ke mejanya, pintu ruangannya baru tertutup tapi Aryo sudah berani menginterupsinya. Baru saja kemarahan hendak terlontar, tapi bibirnya langsung mengatup lagi begitu Aryo menyampaikan laporannya.“Saya menemukan alamat bengkel yang ada di video Bu Widya. Juga pria yang berbicara dengan Bu Widya kala itu.”Satria mengangkat ujung bibirnya dan mengangguk pelan. Wajah kesalnya aib
“Apa katamu?” tanya Widya dengan suara tercekat.Tami mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa reaksi wanita itu menjadi sedikit berbeda, seperti sedang menahan sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu.Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Widya sedikit mendesak, “Aku tanya, tadi kamu bilang apa? Christian mencari tahu soal kecelakaan ayahmu? Buat apa?” Sebisa mungkin dirinya bersikap tenang di depan Tami, meski menahan emosi yang siap meledak.Tami yang masih bingung mengangguk pelan, kemudian dia menjawab, “Iya, Ma. Memangnya kenapa? Bukannya itu bagus?”“Buat apa mencari tahu tentang informasi orang yang sudah mati?!”Tami mengerjap kaget. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Widya akan berteriak bahkan untuk masalah seperti ini. Jika dilihat-lihat, memang ada yang aneh dari sikap wanita itu semenjak dirinya menyebutkan tentang kasus kecelakaan ayahnya, padahal sebelumnya masih meributkan soal uang. Tami bertanya, “Mama kenapa, sih? Kenapa malah berteriak begitu?”Widya mengg
“Itu yang kamu mau, Nak?” tanya Christian pada putrinya.“Iya, Pi.” Tami membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan kematian sang ayah. Dia ingin mengetahui fakta di balik tragedi naas itu.Christian terdiam sesaat, kemudian dia akhirnya memutuskan, “Iya, baiklah. Kalau memang itu yang kamu mau, Nak.”Christian merealisasikan niatnya untuk mencari tahu kebenaran di balik kecelakaan ayah Tami. Kejadian itu sudah berlalu sejak enam tahun dan tentunya itu bukan hal yang mudah untuk bisa mengungkap kasus dalam waktu singkat.Namun, bukan Christian kalau tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang putri tercinta. Lelaki itu memanggil orang suruhannya untuk mengulik kasus itu, tidak peduli dengan cara dan bagaimana semuanya terungkap.“Papi akan kasih kamu kabar secepat yang Papi bisa,” kata Christian pada Tami.“Aku enggak mau bikin Papi merasa terburu-buru, jadi gunakan waktu yang Papi punya dengan perlahan.” Tami hanya tidak mau terlalu membebani lelaki itu. Dia sudah cukup membuat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen