Tepat pukul sepuluh pagi, pesawat sewaan mereka lepas landas. Iya, Papa Felix sengaja tidak membeli tiket pesawat komersial melainkan menyewa sebuah pesawat jet milik salah seorang sahabatnya. Dia tak ingin anak dan menantunya kelelahan di perjalanan dan malah tak ada tenaga lagi begitu sampai di sana.“Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Pak? Eh, Mas.” Ralatnya cepat saat melihat lirikan tajam Satria padanya.“Saya juga enggak tahu!”Suara decakan terdengar, membuat Satria menoleh. “Udah sana, kamu duduk yang jauh, jangan ganggu aku!”“Jangan-jangan aku mau di buang ke pulau terpencil,” bisik Tami pada diri sendiri sambil berjalan pelan ke kursi belakang. Dan membayangkan itu dia jadi bergidik.Satria memutar matanya malas. “Dari pada saya mengeluarkan tenaga untuk membuangmu di pulau, lebih baik makananmu di taburi racun. Akan lebih hemat waktu,” cibiran ketus itu terdengar jelas.Mata Tami melotot dan gegas berjalan lebih cepat menghindari suaminya.Perjalanan yang awalnya dikira Tam
Mata Tami memejam erat, dia menahan perih di bagian tubuh bagian bawahnya. Namun, hal itu tak sesakit hatinya. Air matanya menetes perlahan, tapi hal itu tak membuat Satria menghentikan apa yang sedang dinikmatinya sekarang.“Vania ... aku mencintaimu, Sayang. Oh, Vania. Terima kasih sudah menjaganya untukku.” Suara mengeram tertahan Satria terdengar begitu jelas. Karena pria itu menyandarkan kepalanya di bahu Tami yang hanya bisa diam pasrah dalam kungkungannya.Hati Tami membuncah, dia kira Satria mulai bisa membuka hati dan akan belajar menerima dirinya dengan sungguh-sungguh sebagai istri. Tapi, senyumannya seolah melesap langsung ke perut bumi kala mendengar nama wanita lain yang di teriakkan suaminya saat pria itu mendapatkan kepuasan.“Hukuman kamu, benar-benar menghukumku, Mas,” batin Tami menangis. Dia memiringkan badannya saat Satria sudah berguling ke samping. Mereka masih di pinggir pantai, dengan beralaskan daun pisang. “Diri ini benar-benar sudah tak ada lagi harga dir
“Sayangnya mama,” suara penuh kebahagiaan terdengar dan pelukan hangat di terima Tami. Wajahnya juga tak luput dari banyaknya kecupan dari mama mertuanya.Satria entah ke mana. Begitu sampai mereka berpisah di depan bandara dan Tami langsung diantar ke rumah utama.“Maaf ya, Sayang. Kalian jadi terpaksa pulang lebih cepat dan hanya dua malam di sana. Pasti kamu sedih ya. Biasanya kalau sudah ke sana, semua pada betah dan enggak mau pulang.” Mama Emilia terlihat menyesal dan sedikit bersalah pada menantunya ini.“Aku malah bahagia bisa keluar dari pulau itu, Mah,” ucap Tami dalam hati. Yang tampak malah senyum manis menenangkan dan ucapan penuh pengertian,” Enggak kok, Mah. Kami bisa ke sana lagi kapan-kapan dan Mamah benar, di sana begitu indah.”“Iya, kamu benar. Nanti kita bisa ke sana saat liburan dan kamu bisa melanjutkan bulan madu ke negara lain.” Mama Emilia masih terus berusaha menghibur Tami.Wajah Tami malah tercipta senyum pias setiap kali mendengar kata bulan madu.“Ya uda
Ketukan pintu kembali terdengar. Dalam pikirannya dia mencoba menebak siapa yang datang. Ternyata kepala bagian keamanan di perusahaannya.“Maaf, Pak. Bapak memanggil saya?” tanyanya sopan.“Masuk, Pak. Saya mau lihat rekaman cctv kemarin. Sekaligus ada beberapa hal yang harus saya tanyakan,” ujar Satria. Dewo pria paruh baya yang sudah lama mengabdi sebagai keamanan di perusahaan itu pun beringsut mendekat dan meletakkan laptopnya di atas meja.Ruangan Satria telah rapi beberapa menit lalu dan kini dia kan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Apa ada kejadian janggal beberapa hari ini? Dan apa saja yang dilakukan adik saya kemarin?” Meski masih muda, tapi suara tenang penuh wibawa itu selalu membuat sungkan para bawahannya tak terkecuali Dewo. “Bapak bisa lihat sendiri,” ucap Dewo sembari menggeser laptopnya ke arah Satria.Dahi Satria berkerut. Dia benar-benar tak menyangka adik kandungnya bisa melakukan itu semua. Terlebih membawa orang luar yang notabene adalah saingan pe
Baru saja Satria ingin membuka pintu kamarnya, tapi pintu tersebut sudah terbuka lebih dulu dengan wajah Tami yang segar sehabis mandi. Lengannya lantas menyentuh bahu Tami, bermaksud membawanya masuk kembali ke kamar.“Mas, aku mau minum. Haus banget. Kamu masuk dulu aja, mandi. Bajunya sudah aku siapkan, nanti aku kembali lagi.” Cegah Tami seraya menahan tubuhnya agar tak di tarik masuk ke dalam kamar.“Sebentar aja. Em ... ada yang mau aku bicarakan.” Rayu Satria.“Aku haus sekali, Mas.” Tami bersikeras.Bukan Satria namanya jika tidak keras kepala. Dia merangkul Tami dan merapatkan ke tubuhnya sambil memaksa untuk melangkah ke dalam. Menutup pintu dengan kaki dan menghimpit istrinya ke dinding.Matanya menikmati setiap inci wajah cantik istrinya, mengelus pipi Tami pelan. “Kenapa kamu malah terus memenuhi kepala aku?!” tanya Satria dalam hati.Wajahnya mendekat, hidung mereka sudah bersentuhan. Tami memejamkan mata, membuat senyum miring tercipta di bibir Satria.“Satria! Turun ka
Tami kira, kehidupannya setelah menikah akan terasa lebih baik. Mama dan adiknya akan tenang karena tidak kekurangan uang lagi dan yang paling utama bisa jauh dari Irwan, pria brengsek yang sudah menghancurkan hatinya.Namun, semesta rupanya tak ingin dirinya bahagia terlalu cepat. Seperti sore tadi. Rasanya seperti di lempar dari ketinggian ratusan meter. Bagaimana tidak, mendengar kenyataan bahwa Irwan ternyata adalah adik iparnya sendiri merupakan sesuatu yang tak pernah Tami sangka.Padahal dulu Satria berjanji sebelum mereka menikah, “ Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.” “Itu artinya dia akan menjauhkan Irwan dariku, kan. Lalu apa-apaan ini?” tanya Tami pada diri sendiri.Mata Tami bergerak liar, dia terdiam di dalam kamar apartemen Satria. Otaknya berusaha mencari penggalan memori yang belakangan ini terjadi.“Malam itu, aku di selamatkan dari kebejatan Irwan. Begitu sadar sudah di rumah
Belakangan Tami terlihat lebih diam. Wanita itu tetap melakukan rutinitasnya dan melayani semua kebutuhan Satria. Hanya saja, semua dilakukan tanpa suara.Satria kesal sendiri. Dia merindukan ocehan Tami. Sudah sejak malam itu istrinya seolah mendiamkannya, meski akan tetap menjawab bila ditanya. Berbeda bila sedang berbicara dengan mama Emilia, dunia seolah milik mereka berdua. Tawa Tami bahkan kadang terdengar begitu kencang dan lepas.Merasa sudah tak tahan, ingin meluapkan rasa rindunya. Satria menangkap lengan Tami yang sedang berjalan melewatinya. Dia menarik ke pangkuan dan memerangkap pinggangnya erat.“Apaan, sih, Mas. Aku mau ke dapur.” Protes Tami.Satria diam. Dia hanya menatap wajah teduh Tami dan malah menahan napas. Tiba-tiba rasa gugup hinggap dan malah menyemburkan kalimat lain, “Kalau kamu masih mendiamkan aku, jangan salahkan aku kalau semua fasilitas untuk keluargamu akan aku hentikan.”Bibir Tami maju karena cemberut. Tangannya mengepal menahan kesal dan akhirnya
Satria memilih tak mengambil pusing. Nanti akan ada waktunya untuk membicarakan banyak hal pada Tami. Setelah dirinya mampu memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya. Karena sejak menikah, hati dan pikirannya terasa tak sinkron. Hatinya pun sering merasakan hal yang baru kali ini dia rasakan. Terlebih Tami tak menunjukkan reaksi apa pun. Seperti saat ini, mereka sedang bersiap untuk sarapan. Maka dengan sigap, Tami menghampiri Satria dan membantu merapikan kemeja setelah memasangkan dasi juga jas kerja. Wanita itu mengulas senyum kecil dan berlalu begitu saja keluar kamar. Satria mengikuti layaknya anak kecil yang tak mau jauh dari ibunya. Selalu seperti itu setiap hari. Dia tak peduli, hanya mengikuti apa yang otak perintahkan pada tubuhnya.“Aku enggak mau makan nasi,” ucap Satria begitu duduk di meja makan.Tami melongo. Dia melihat nasi goreng dan beberapa lauk pelengkap di meja lalu cemberut ke arah Satria.Dengan sekuat tenaga, Satria berusaha menahan tawa. Selalu begini s