Share

Bab 10 - Hari Pertama Jadi Mantu

“Roro Ayu, layani suamimu dengan baik!”  perintah Bunda Rindu saat mereka berada di meja makan untuk menikmati sarapan pertama kalinya.

Ayu langsung menarik piring dari atas meja dengan kasar dan mengambilkan nasi dan lauk untuk  Nanda. Wajahnya, tetap saja tak mau bersahabat dengan suaminya itu.

“Kamu sudah memutuskan menerima lamaran keluarga  Nanda. Bersikap baiklah pada suamimu!” perintah Edi.

“Ayah, ayah tahu kalau aku nggak mau menikah. Bukankah ayah sendiri yang bilang kalau aku bisa membesarkan anak ini tanpa ayahnya. Aku rela menanggung malu seumur hidupku daripada harus berumah tangga dengan orang yang tidak mencintaiku  seumur hidupnya,” tutur Ayu sambil menahan kesal.

“Roro Ayu, nggak baik bicara seperti itu! Nanda sudah jadi suamimu. Sebagai seorang istri, kamu harus tetap berbakti dan menurut pada suamimu.”

Ayu menghela napas dan mengangguk terpaksa. Ia meraih susu hangat yang disiapkan oleh pelayan rumahnya dan menyodorkannya pada Nanda. Ia memaksa bibirnya untuk tersenyum ke arah Nanda, pria yang kini berstatus sebagai suaminya.

Nanda tersenyum menatap wajah Roro Ayu. Meski ia tidak mencintai  wanita itu, ia sudah berjanji untuk memperlakukannya dengan baik. Walau bagaimana pun, Roro Ayu adalah ibu dari calon anaknya.

“Ayu, apa kamu masih pergi bekerja hari ini?” tanya Edi tanpa menatap wajah puterinya  itu.

“Masih, Ayah.”

“Bukankah sudah sepakat untuk berhenti bekerja? Wanita-wanita di keluarga Hadyoningrat tidak ada yang bekerja. Mereka memiliki kewajiban mengurus keluarga dengan baik,” tutur Edi. “Pria yang bertugas memenuhi semua kebutuhan finansial keluarga.”

Nanda terdiam sambil menikmati makanan di hadapannya. Ia tidak ingin membatasi Roro Ayu dan juga tidak melarangnya untuk bekerja. Namun, aturan dari keluarga bangsawan ini sepertinya tidak bisa ia bantah. Benar-benar malapetaka baginya jika harus hidup dalam aturan kuno dan kedisplinan. Ia terbiasa hidup bebas tanpa aturan dan diatur oleh siapa pun.

“Ayah tidak mau tahu. Ini hari terakhirmu bekerja. Jika kamu masih memaksa untuk bekerja, maka suamimu yang harus melakukan pekerjaan rumah. Bagaimana?”

Nanda langsung mengangkat kepalanya. “Ayah tenang saja! Ayu tidak akan bekerja setelah hari ini.”

Edi manggut-manggut. “Amora Internasional adalah perusahaan besar. Kamu tidak mungkin tidak sanggup menghidupi puteriku ‘kan? Ayah bertugas mencari nafkah, ibu bertugas menjaga moral keluarga.  Itu aturan dalam keluarga kami secara turun-temurun.”

Nanda dan Ayu mengangguk bersamaan.

“Kehamilanmu di luar pernikahan, bukan hanya mencoreng nama baik keluarga, tapi juga bukti kalau ibumu tidak bisa menjaga moral keluarga,” tutur Edi.

“Ayah ...!?” Rindu mengernyitkan dahi ke arah Edi. Ia ingin mengelak, tapi tatapan tajam suaminya itu berhasil membungkam mulutnya dalam sekejap.

“Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kalian!” pinta Edi. “Kalian akan segera menjadi orang tua. Harus belajar bagaimana menjadi contoh untuk anak-anak kalian kelak.”

“Anak-anak? Satu anak saja aku  tidak mau, Ayah!” protes Ayu dalam hati. Ia melanjutkan makannya hingga habis sembari mendengar begitu banyak nasihat dari ayahnya.

Usai sarapan bersama, Nanda segera mengajak Ayu untuk masuk ke dalam mobilnya dengan  sikap yang begitu manis. Ia buru-buru menjalankan mobil tersebut meninggalkan kediaman keluarga  Hadyoningrat yang penuh aturan-aturan menjengkelkan.

“Yu ...!”

Hening.

“Ayu ...!”

Hening.

“AYUU ...! Kamu budeg?”

Ayu masih saja bergeming.

“Aku nggak  tahan sama aturan keluarga kamu yang banyak banget. Kalau  sudah menikah, apa kamu boleh tinggal berdua  saja bersama suamimu?” tanya Nanda.

Ayu mengangguk kecil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status