Mata Zura melebar seketika. Bagaimana mungkin Charlos jujur pada Edgar. "Lalu?"
"Aku menghajarnya di depan banyak polisi. Aku merasa puas, setidaknya rasa sakit yang kamu rasakan sudah aku balaskan, Zura!"
"Edgar, seharusnya kamu tidak melakukan itu. Apalagi di kantor polisi, bagaimana jika kamu bermasalah."
"Kenapa kamu diam, Zura? Kenapa kamu tidak mencariku selama satu tahun." Edgar mengalihkan pembicaraan. "Apa kamu ragu aku bisa membawamu pergi dari Charlos?"
Zura terdiam sejenak, hanya mata mereka yang saling melekat.
"Aku tidak enak menganggumu, kamu sudah menikah, kita punya kehidupan masing-masing."
"Dan kita sama-sama tidak bahagia saat itu. Iya kan?"
Zura lagi-lagi diam. Ucapan Edgar benar, dirinya dan Edgar sama-sama tidak bahagia, tapi tidak ada yang saling mencari satu sama lain. Edgar tidak pernah mengunjungi Zura ke UK, hanya sebatas pesan text untuk menanyakan kabar mantan kekasihnya itu. Dan pesan dari Edgar selalu dibalas dengan kebohongan. Mengatakan baik-baik saja padahal begitu menderita.
Edgar tiba-tiba merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya, ia mengusap tengkuk lehernya, kenapa rasanya begitu panas sekali di apartemen ini, jantungnya juga tiba-tiba berdegup kencang.
"Edgar, kamu kenapa?" tanya Zura panik melihat gelagat aneh Edgar.
"Tidak, aku baik-baik saja," jawabnya.
"Kamu seperti kepanasan, sebentar aku ambilkan air dingin." Zura segera beranjak dari duduknya, pergi ke dapur.
Edgar masih mencoba berpikir, apa yang ia rasakan sepertinya ia tahu kenapa. Kemudian dia mengingat Baila memberikan orange jus dan melarang Edgar untuk pergi, bahkan Baila sampai berdiri di depan mobil Edgar untuk menghalangi. Sebelumnya Baila tidak pernah sampai seperti itu jika Edgar hendak pergi.
"Dia pasti memasukan obat ke minuman tadi. Dasar Baila sialan!" hardiknya dengan kesal.
"Ini, minum dulu." Zura memberikan segelas air dingin. Edgar menatap gelas itu sejenak kemudian beralih menatap Zura yang berdiri di dekatnya.
Edgar tahu, yang ia inginkan bukan segelas air dingin, tapi pelampiasan nafsunya. Haruskah ia menyelesaikannya dengan Zura?
Zura bergeming saat Edgar tidak mengambil gelas di tangannya, justru malah menatapnya tanpa berhenti.
"Edgar."
"Zura."
Mereka saling memanggil bersamaan. "Ada apa? Kamu ---"
Belum selesai Zura berbicara, Edgar sudah menarik tangan Zura, membuat gelas di tangannya jatuh ke lantai dan Edgar mendekapnya erat. Awalnya hanya kebingungan yang dirasakan gadis itu, hingga Edgar tiba-tiba menciumnya dengan tangan yang tidak diam.
***
Zura terbangun ketika merasakan pelukan yang begitu hangat pada tubuhnya, sejenak ia bertanya, beruang apa yang sedang memeluknya?
Tapi ketika ia sadar, sontak Zura terbelalak, Edgar memeluknya tanpa pakaian dan ketika Zura mencoba mengintip tubuhnya dibawah selimut, Zura dibuat semakin kaget karena dirinya telanjang. Ia segera mendekap tubuhnya sendiri dengan selimut tebal dan mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi sebelumnya.
Hingga ingatannya berputar beberapa jam yang lalu dimana Edgar melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. Dan lebih bodohnya lagi, Zura yang awalnya menolak malah larut dengan sentuhan-sentuhan yang diberikan Edgar.
Zura memukul-mukul kepalanya sendiri, ingin sekali ia merutuki kebodohannya yang juga tidak bisa menahan gejolak yang tumbuh di dalam tubuhnya.
Edgar mengerjap-ngerjapkan matanya, ia melihat Zura kelihatan sangat frustasi sampai mengacak-ngacak rambut juga memukuli kepalanya.
"Zura, apa yang kamu lakukan?" Edgar menahan tangan Zura. Zura sontak terbelalak ketika tahu Edgar sudah bangun, mau ditaruh dimana mukanya setelah ini. Zura malu sekali.
Edgar bangun dan duduk, menatap Zura. Sementara gadis itu hanya memalingkan wajahnya, Edgar mengelus kepala Zura. "Maaf, aku tidak bisa menahannya. Jangan malu, aku akan bertanggung jawab dan dengan senang hati menikahimu."
"A-apa? Menikah?" tanya Zura. Apakah ia akan menjadi istri kedua. Zura sontak menggeleng. "Tidak perlu, lupakan.
Edgar menaikkan alisnya. "Kamu engga mau aku bertanggung jawab?"
Ingin sekali Zura menjawab ia bukan tidak mau Edgar bertanggung jawab, tapi ia tidak mau jadi istri kedua dan harus berurusan dengan Baila.
"T-tidak," jawab Zura terbata.
"Aku akan tetap menikahimu, karena aku ingin bertanggung jawab," sahut Edgar. Ia menyibakkan selimut hendak pergi ke kamar mandi.
"Tapi bagaimana dengan Baila?" tanya Zura membuat Edgar mengurungkan niatnya ke kamar mandi dan kembali menatap mantan kekasih tercintanya itu.
"Kenapa kamu selalu memikirkan dia?"
"Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu tidak memikirkan dia?" tanya Zura.
"Aku dan dia hanya pernikahan bisnis dan akan selesai setelah dua tahun. Tinggal satu tahun lagi aku bisa menceraikan dia."
Zura terbelalak. Apa pernikahan bisnis kontraknya seperti itu? Kenapa Baila menyetujui? Kalau dirinya diajak pernikahan bisnis oleh seseorang, Zura tidak akan pernah mau.
"Kamu dan Baila mempermainkan pernikahan, Edgar!"
Edgar menarik ujung bibirnya tersenyum. "Lalu bagaimana denganmu? Pernikahan seperti apa yang kamu lalui? Bukankah itu permainan juga? Kamu jelas-jelas tidak mencintai Charlos tapi masih mau menikah dengan dia dan mendapatkan siksaan dari pernikahanmu sendiri."
Zura menelan salivanya susah payah. Sampai kapanpun jika berbicara dengan Edgar ia pasti akan kalah telak. Dia pintar mencari jawaban.
***
Mereka sudah mandi dan hendak makan malam bersama. Sedari tadi ponsel Edgar mendapat terorran dari Baila, tapi Edgar membiarkannya. Dia sedang memasak di dapur dan seperti biasa Zura disuruh duduk dan diam, sesekali Zura menoleh pada ponsel Edgar di meja pantry. Nama Baila terus muncul, menelpon dan mengirim pesan.
"Aku pikir kamu harus mengangkat telpon Baila dulu. Mungkin dia khawatir karena kamu belum pulang."
"Apa yang harus dikhawatirkan, aku bukan anak kecil." Edgar berkata seraya memotong tomat.
"Ya, tapi dia tidak berhenti menelponmu."
"Tolong matikan saja ponselku, Zura."
"K-kamu yakin?" Zura hanya berpikir Edgar akan mendapatkan masalah dari Baila jika ponselnya dinon-aktifkan.
"Cari siapa, Nona?" tanya seorang pria pada Baila yang masih bergeming sebab yang keluar ternyata bukan Edgar atau pun Zura. "I-ini apartemen siapa ya?" tanya Baila. Informasi yang diberikan suruhannya semalam tidak salah, tapi kenapa bukan suaminya yang keluar, Baila heran. "Ini apartemen milikku." "Sayang, siapa?" Baila menoleh pada perempuan yang menghampiri mereka. Perempuan itu datang dengan kemeja putih pendek dan rambut berantakan yang basah seperti habis mandi. "Tidak tau, Nona ini aku juga tidak mengenalnya." "Siapa yang kamu cari?" tanya perempuan itu sinis sebab berpikir Baila adalah selingkuhan kekasihnya. "M-maaf, saya salah kamar. Permisi ..." Baila segera pergi dari sana membuat pasangan tersebut saling menoleh heran. *** Baila berjalan pelan di lorong dengan kebingungan, apakah suruhannya salah mengikuti Edgar. Ia mendengus kasar.
Edgar tengah mengeringkan rambut Zura yang baru saja selesai mandi. Moment seperti ini sering dilakukan Edgar ketika masih berpacaran dengan Zura, ia sering membantu Zura mengeringkan rambut panjangnya. Apalagi hampir setiap hari Zura berada di mansion Maria, bercanda dengan Maria dan juga Elia. "Lain kali, jangan mandi terlalu malam, Zura." "Aku ketiduran tadi," sahut gadis itu. "Kamu engga mau ke luar lagi? Engga mau jalan-jalan?" "Mau, sih. Tapi ...""Aku akan mengajakmu jalan-jalan besok sore. Gimana?" "Kerjaan kamu bakalan selesai sore, bukannya baru selesai malam hari." "Tidak ada yang mengaturku, Zura. Aku pemilik perusahaan, kapanpun aku bisa pulang." Zura hanya tersenyum mendengar jawaban Edgar. "Gimana kabar Mama dan Elia?" tanya Zura tiba-tiba. "Mereka baik, si calon Dokter itu juga rajin belajar." Zura tersenyum getir. "Mereka pasti sangat membenciku ya, Edgar."
Hubungan mereka saat di UK dulu tidak terlalu baik juga tidak terlalu buruk. Jika bertemu mereka saling tidak perduli satu sama lain, tapi bagi Zura, sikap mereka lebih baik dibanding Charlos. Calvin dan Theo merasa bosan, ia menghabiskan waktu di klab sampai malam hari, Calvin mabuk parah dan main wanita sementara Theo hanya menikmati musik dan minum sedikit. Beberapa wanita klab berusaha menggoda Theo, tapi Theo tidak merasa tertarik sama sekali. Ketika ia mulai merasa bosan, ia mencoba mengajak Calvin pulang. Tapi sayangnya karena dia mabuk parah, Calvin tidak bisa diajak berbicara, malah meracau tidak jelas sambil memeluk wanita penghibur. "Tinggalkan saja dia, aku tidak keberatan," ucap si wanita penghibur itu. Theo berdecak. "Pesankan kamar untuknya, aku yang membayarnya besok." "Oke," sahut si wanita penghibur itu dengan tersenyum. Sementara Baila, dia menunggu kepulangan suaminya di
Edgar kembali membalikkan badan dengan wajah datarnya. "Dimana, Zura? Dia kembali lagi ke sini, kan? Kamu bertemu lagi dengannya. Iya kan, Edgar?" "Tanya pada matamu sendiri, jika kamu tidak pernah melihatnya, dia tidak ada di sini," jawab Edgar santai. Anhar sedari tadi hanya mematung di belakang Edgar. "Aku tau kamu menyembunyikannya!" desis Baila. "Kamu harus ingat Edgar, Ibumu tidak akan pernah setuju kamu kembali kepada wanita itu!""Dia Ibuku, bukan urusanmu!" tukas Edgar. Edgar sudah tidak mau mendengar apa-apa lagi, ia melangkahkan kakinya dengan cepat diikuti Anhar. Mengabaikan teriakan Baila di telinganya. Baila berteriak frustasi, dalam hatinya ia ingin sekali menjambak rambut Zura, melampiaskan kebenciannya terhadap gadis itu. ***Seorang pria berdiri depan istana buckingham. Rambutnya yang kecoklatan tertiup angin, ia memakai mantel tebal coklat dengan syal hitan di lehernya. Musim dingin lebi
Ponselnya Charlos yang berada di kamarnya di UK terus berdering. Nomor itu hanya Baila yang tahu dan ketika Charlos kembali ke Indonesia, dia lupa tidak memberitahu Baila, juga tidak membawa ponsel tersebut. "Firasatku benar-benar tidak enak, aku merasa Edgar bertemu kembali dengan Zura ... tapi kenapa Charlos tidak mengangkat telponku." Ia bermonolog sendirian, menghela nafas kasar, frustasi dan ketakutan, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Edgar tadi pagi mengatakan kepada Maria jika Maria tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Apa aku harus pergi ke UK saja? Tapi aku juga tidak tau dimana alamat rumahnya ... aaarrggh!" dia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Baila juga tidak mengenal orang tua Charlos. Hari itu ia hanya bekerjasama dengan Charlos untuk memisahkan Edgar dan membawa Zura jauh dari pria itu. Baila keluar dari kamar, ia meminta kunci mobil pada supir yang selalu mengantarnya kemanapun ia pergi. "Tapi Nyonya, Tuan
"Aku tidak berbicara denganmu!" hardik Edgar menunjuk wajah Baila. Baila terus menatap Edgar, ia mengkhawatirkan sesuatu, bagaimana jika Zura ternyata ada di sini, bertemu dengan Edgar kembali dan menjadi alasan pria itu jarang pulang ke mansion. "Edgar, apapun alasannya, Mama sudah tidak menyukai Zura lagi!" "Ma ---" "Lupakan dia, Edgar!" bentak Maria membuat Edgar terdiam seketika. "Sekalipun dia merengek ingin kembali kepadamu, Mama tidak akan pernah setuju sampai kapanpun!!" Edgar mendelik pada Baila dan akhirnya memilih pergi karena tidak mau bertengkar lebih lama dengan Ibunya. "Edgar! Edgar!" teriak Maria. Tapi langkah Edgar sedikit pun tidak berhenti. "Maa ..." Baila merengek pada Maria dengan memeluk lengan mertuanya itu, seakan ia tengah menjadi istri yang menyedihkan karena tidak dicintai oleh suaminya sendiri.