Edgar pun memberikan gelas kosong itu pada Baila. Lalu keluar dari kamar, Baila menyimpan gelas kosongnya di meja dan pergi menyusul suaminya.
"Hubby, kamu mau kemana?" tanya Baila menyusul langkah Edgar yang menuruni anak tangga. Baila harus sedikit berlari untuk mengimbangi langkah kaki suaminya.
Baila kaget saat Edgar melewati begitu saja ruang keluarga yang itu artinya pria itu hendak pergi dari mansion. "By, jangan pergi!" teriak Baila berlari menyusul Edgar. Ia pikir hanya keluar kamar dan duduk di ruang keluarga untuk menonton tv atau melakukan hal lain. Tapi kenapa Edgar malah mau pergi.
Baila memegang tangan Edgar membuat pria itu menghentikan langkahnya di teras mansion.
"By, jangan pergi. Kamu baru sampai, mau pergi kemana lagi?" Baila bingung, bagaimana dengan efek obat itu jika Edgar pergi dari mansion. Ia takut Edgar melampiaskan nafsunya pada orang lain.
Bagaimana jika pelacur di klab? Ah, Baila tidak bisa membayangkan jika pelacur klab menang untuk tidur bersama Edgar.
"Lepaskan!" hardik Edgar tanpa berbalik menatap Baila.
"Engga, pokoknya kamu engga boleh pergi, kamu baru pulang, kenapa pergi lagi sih, engga kasian sama aku, aku kangen tau." Baila merengek membuat Edgar menghela nafas kasar, sikap Baila membuang-buang waktu.
Pria itu pun menghempaskan kasar tangan Baila dan segera masuk mobil. Baila menggedor jendela mobil dengan kuat, tapi Edgar malah menyalakan mesin mobilnya.
"Plis turun, By turun dulu aku mohon!"
Edgar seakan tuli, tidak perduli dengan teriakan Baila. Karena merasa gagal, Baila pun berlari ke depan mobil Edgar, ia melentangkan kedua tangannya.
"Kalau kamu mau pergi, tabrak aku dulu!" teriak Baila. Sebenarnya saat mengatakan itu Baila sedikit was-was, dia tahu Edgar tidak akan takut dengan ancaman apapun.
Di dekat Baila ada salah satu penjaga mansion yang menatap bergantian Baila dan Tuannya di dalam mobil. Sambil mencoba menebak, apa Tuan-nya akan benar-benar menabrak Baila?
Edgar menarik ujung bibirnya tersenyum, ia memundurkan mobilnya dengan cepat dan melihat itu penjaga berpakaian hitam pun terbelalak, sepertinya Edgar sedang memberi jarak untuk menjalankan mobilnya dengan cepat dan menabrak Baila.
Deru mobil yang sangat bising membuat Baila terbelalak, Edgar seakan sedang memberi peringatan kalau ia tidak main-main untuk menabrak Baila jika tidak segera pergi dari sana.
Mobil pun melaju dan Baila sontak berteriak tapi untungnya penjaga di dekat Baila segera menarik tangannya hingga mobil Edgar bisa melaju bebas.
Baila yang kini berada dipelukan penjaga itu tidak berani membuka mata. Takut tiba-tiba bertemu malaikat maut, tapi karena ia mendengar suara detak jantung seseorang, ia pun perlahan membuka matanya dan ketika ia mendongak sontak Baila terkejut, menjerit dan segera mendorong penjaga yang sudah menyelamatkannya nyawanya itu.
"Ihhh ... jangan sentuh-sentuh! aku ini Nyonyamu!"
"Maaf, Nyonya. Saya khawatir Tuan menabrak anda."
"Engga mungkin lah dia nabrak istrinya sendiri!"
Ingin sekali penjaga itu menjawab jika Edgar tidak main-main untuk menabrak Baila tadi. Tapi ia memilih diam saja.
Edgar pulang ke mansion memang untuk mandi saja, dia kembali pergi menuju apartemen Zura dengan pikiran yang kalut. Entah kenapa perasaannya begitu berkecamuk dan juga marah disaat bersamaan.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Zura ketika suami yang menikahinya menyuruhnya menjadi pelacur dan bagaimana sakitnya tubuh Zura menjadi sasaran amarah Charlos karena dia tidak mengikuti keinginan pria jahat itu.
Dalam satu tahun Edgar membayangkan Zura yang tertawa bersama suaminya ternyata salah, ia bahkan sempat membenci gadis itu, ternyata penderitaan yang didapatkan mantan kekasihnya bukan kebahagiaan seperti yang Edgar pikirkan.
Edgar benar-benar merasa bodoh dan menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang menimpa mantan kekasihnya itu.
Sesampainya di apartemen, ia segera keluar dari mobil, berjalan masuk ke dalam lift dan menekan angka empat.
Tak lama, pintu lift terbuka, ia keluar dan menekan bel apartemennya. Zura pun membuka pintu dan terkesiap ketika Edgar langsung memeluknya.
"Edgar ..."
Edgar mengencangkan pelukannya, membuat wajah Zura meringis sebab kesulitan bernafas. "Maafkan aku, Zura. Aku tidak ada di sampingmu ketika kamu merasakan sakit karena Charlos!"
Mata Zura bergerak-gerak, ia bingung, ada apa dengan perkataan Edgar. Kenapa dia membahas masalah Charlos lagi.
"Maafkan aku karena mengizinkanmu menikah dengan dia. Semua yang terjadi ini salahku," lanjutnya dengan rasa bersalah yang seakan menggerogoti dadanya.
"Edgar, ayo duduk dan bicara," ajak Zura menenangkan.
Akhirnya Edgar luluh dan dia pun duduk di sofa bersama Zura.
"Ada apa?" tanya Zura. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Aku pergi ke kantor polisi untuk menemui Charlos." Edgar berbohong. "Dia menceritakan semuanya, dia menyuruhmu menjadi pelacur, kan?"
"Cari siapa, Nona?" tanya seorang pria pada Baila yang masih bergeming sebab yang keluar ternyata bukan Edgar atau pun Zura. "I-ini apartemen siapa ya?" tanya Baila. Informasi yang diberikan suruhannya semalam tidak salah, tapi kenapa bukan suaminya yang keluar, Baila heran. "Ini apartemen milikku." "Sayang, siapa?" Baila menoleh pada perempuan yang menghampiri mereka. Perempuan itu datang dengan kemeja putih pendek dan rambut berantakan yang basah seperti habis mandi. "Tidak tau, Nona ini aku juga tidak mengenalnya." "Siapa yang kamu cari?" tanya perempuan itu sinis sebab berpikir Baila adalah selingkuhan kekasihnya. "M-maaf, saya salah kamar. Permisi ..." Baila segera pergi dari sana membuat pasangan tersebut saling menoleh heran. *** Baila berjalan pelan di lorong dengan kebingungan, apakah suruhannya salah mengikuti Edgar. Ia mendengus kasar.
Edgar tengah mengeringkan rambut Zura yang baru saja selesai mandi. Moment seperti ini sering dilakukan Edgar ketika masih berpacaran dengan Zura, ia sering membantu Zura mengeringkan rambut panjangnya. Apalagi hampir setiap hari Zura berada di mansion Maria, bercanda dengan Maria dan juga Elia. "Lain kali, jangan mandi terlalu malam, Zura." "Aku ketiduran tadi," sahut gadis itu. "Kamu engga mau ke luar lagi? Engga mau jalan-jalan?" "Mau, sih. Tapi ...""Aku akan mengajakmu jalan-jalan besok sore. Gimana?" "Kerjaan kamu bakalan selesai sore, bukannya baru selesai malam hari." "Tidak ada yang mengaturku, Zura. Aku pemilik perusahaan, kapanpun aku bisa pulang." Zura hanya tersenyum mendengar jawaban Edgar. "Gimana kabar Mama dan Elia?" tanya Zura tiba-tiba. "Mereka baik, si calon Dokter itu juga rajin belajar." Zura tersenyum getir. "Mereka pasti sangat membenciku ya, Edgar."
Hubungan mereka saat di UK dulu tidak terlalu baik juga tidak terlalu buruk. Jika bertemu mereka saling tidak perduli satu sama lain, tapi bagi Zura, sikap mereka lebih baik dibanding Charlos. Calvin dan Theo merasa bosan, ia menghabiskan waktu di klab sampai malam hari, Calvin mabuk parah dan main wanita sementara Theo hanya menikmati musik dan minum sedikit. Beberapa wanita klab berusaha menggoda Theo, tapi Theo tidak merasa tertarik sama sekali. Ketika ia mulai merasa bosan, ia mencoba mengajak Calvin pulang. Tapi sayangnya karena dia mabuk parah, Calvin tidak bisa diajak berbicara, malah meracau tidak jelas sambil memeluk wanita penghibur. "Tinggalkan saja dia, aku tidak keberatan," ucap si wanita penghibur itu. Theo berdecak. "Pesankan kamar untuknya, aku yang membayarnya besok." "Oke," sahut si wanita penghibur itu dengan tersenyum. Sementara Baila, dia menunggu kepulangan suaminya di
Edgar kembali membalikkan badan dengan wajah datarnya. "Dimana, Zura? Dia kembali lagi ke sini, kan? Kamu bertemu lagi dengannya. Iya kan, Edgar?" "Tanya pada matamu sendiri, jika kamu tidak pernah melihatnya, dia tidak ada di sini," jawab Edgar santai. Anhar sedari tadi hanya mematung di belakang Edgar. "Aku tau kamu menyembunyikannya!" desis Baila. "Kamu harus ingat Edgar, Ibumu tidak akan pernah setuju kamu kembali kepada wanita itu!""Dia Ibuku, bukan urusanmu!" tukas Edgar. Edgar sudah tidak mau mendengar apa-apa lagi, ia melangkahkan kakinya dengan cepat diikuti Anhar. Mengabaikan teriakan Baila di telinganya. Baila berteriak frustasi, dalam hatinya ia ingin sekali menjambak rambut Zura, melampiaskan kebenciannya terhadap gadis itu. ***Seorang pria berdiri depan istana buckingham. Rambutnya yang kecoklatan tertiup angin, ia memakai mantel tebal coklat dengan syal hitan di lehernya. Musim dingin lebi
Ponselnya Charlos yang berada di kamarnya di UK terus berdering. Nomor itu hanya Baila yang tahu dan ketika Charlos kembali ke Indonesia, dia lupa tidak memberitahu Baila, juga tidak membawa ponsel tersebut. "Firasatku benar-benar tidak enak, aku merasa Edgar bertemu kembali dengan Zura ... tapi kenapa Charlos tidak mengangkat telponku." Ia bermonolog sendirian, menghela nafas kasar, frustasi dan ketakutan, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Edgar tadi pagi mengatakan kepada Maria jika Maria tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Apa aku harus pergi ke UK saja? Tapi aku juga tidak tau dimana alamat rumahnya ... aaarrggh!" dia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Baila juga tidak mengenal orang tua Charlos. Hari itu ia hanya bekerjasama dengan Charlos untuk memisahkan Edgar dan membawa Zura jauh dari pria itu. Baila keluar dari kamar, ia meminta kunci mobil pada supir yang selalu mengantarnya kemanapun ia pergi. "Tapi Nyonya, Tuan
"Aku tidak berbicara denganmu!" hardik Edgar menunjuk wajah Baila. Baila terus menatap Edgar, ia mengkhawatirkan sesuatu, bagaimana jika Zura ternyata ada di sini, bertemu dengan Edgar kembali dan menjadi alasan pria itu jarang pulang ke mansion. "Edgar, apapun alasannya, Mama sudah tidak menyukai Zura lagi!" "Ma ---" "Lupakan dia, Edgar!" bentak Maria membuat Edgar terdiam seketika. "Sekalipun dia merengek ingin kembali kepadamu, Mama tidak akan pernah setuju sampai kapanpun!!" Edgar mendelik pada Baila dan akhirnya memilih pergi karena tidak mau bertengkar lebih lama dengan Ibunya. "Edgar! Edgar!" teriak Maria. Tapi langkah Edgar sedikit pun tidak berhenti. "Maa ..." Baila merengek pada Maria dengan memeluk lengan mertuanya itu, seakan ia tengah menjadi istri yang menyedihkan karena tidak dicintai oleh suaminya sendiri.