LOGIN“Apa kau sudah siap?”
tanya Leonhart begitu melihat Nadine keluar dari kamarnya. Nadine tampak rapi dengan blouse putih dan celana panjang hitam. Rambutnya ditata rapi dan dijepit kebelakang. “Mungkin.” jawab Nadine sambil tersenyum kecil, meski wajahnya terlihat tegang. Bagaimana tidak? Hari ini Nadine akan diperkenalkan secara resmi ke tim inti Inter Tech, dan berkeliling kantor untuk melihat divisi tempat ia akan bekerja nanti. “Ini, makanlah dulu,” ucap Leonhart sambil memberikan semangkuk salad sayuran ke Nadine. “Terima kasih,” jawab Nadine. Nadine tidak langsung menyantap sarapannya. Ia cukup lama memandangi saladnya sambil melamun. Leonhart memperhatikan raut wajah Nadine yang tampak tegang. Ia mulai khawatir. “Apa kita tunda saja perkenalan hari ini?” tanyanya pelan. Nadine cepat menggeleng. “Ti-tidak, jangan ditunda. Aku sudah menyiapkan diri untuk pertemuan hari ini,” jawabnya, sedikit gugup. “Benarkah? Apa kau yakin?” Nadine menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Ya. Jangan khawatir.” Setelah selesai sarapan, Nadine dan Leonhart bersiap untuk berangkat ke kantor bersama. Sepanjang perjalanan, Nadine hanya diam sambil membaca ulang buku catatannya tentang Inter Tech dan divisi pengembangan produk. “Kau tak perlu terus-terusan membaca dokumen itu, Nadine. Kau tidak sedang ujian,” ucap Leonhart memecah keheningan. “Aku hanya takut lupa. Aku takut jadi bahan perbincangan di antara karyawanmu,” jawab Nadine, masih menatap catatannya. Leonhart menggelengkan kepala. “Tidak mungkin. Kau harus lebih percaya diri, Nadine,” ucapnya meyakinkan. Nadine tidak menjawab. Ia terlalu fokus dengan buku catatannya. Setibanya di kantor Inter Tech, Nadine langsung disambut oleh sekretaris pribadi Leonhart yang bernama Rissa. Wanita berusia 37 tahun itu berpenampilan rapi dan ramah, membuat Nadine merasa cukup nyaman. “Selamat pagi, Bu Nadine. Hari ini saya akan menemani Anda berkeliling kantor dan memperkenalkan semua divisi yang ada di Inter Tech.” kata Rissa dengan senyum sopan. “ Baik, terima kasih, Rissa.” jawab Nadine. Leonhart dan Nadine kemudian berpisah. Leonhart menuju kantornya, sementara Nadine mengikuti Rissa untuk berkeliling kantor dan melihat-lihat. Nadine mendengarkan penjelasan Rissa dengan penuh perhatian. Sesekali, ia mencatat poin-poin penting di buku kecil yang dibawanya. Sementara itu, Leonhart diam-diam memperhatikan Nadine dari balik tirai kaca kantornya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangan Leonhart dan membuatnya tersentak. “Masuk,” sahut Leonhart. “Pak Leonhart,” suara asistennya membuat Leonhart menoleh. “Iya?” jawabnya singkat. “Rissa sudah mulai mengantar Bu Nadine berkeliling kantor,” lapornya. Leonhart mengangguk. “Setelah selesai, minta Rissa melapor kepadaku.” “Baik, Pak Leonhart.” Asistennya membungkuk sopan, lalu pamit keluar dari ruangan. Sekitar satu setengah jam kemudian, Rissa datang dan mengetuk pintu ruang kerja Leonhart. “Silakan masuk,” ucap Leonhart singkat. Rissa masuk dan berdiri di hadapannya. “Bagaimana?” tanya Leonhart langsung, tanpa basa-basi. “Bu Nadine terlihat sangat antusias, Pak. Beliau banyak bertanya dan mencatat. Saat ini, beliau sedang berada di kantin untuk makan siang,” lapor Rissa. Leonhart hanya mengangguk pelan, lalu mempersilakan Rissa keluar dari ruangannya. Sementara itu, Nadine duduk di salah satu bangku di pojokan kantin karyawan, berharap dapat makan dengan tenang. Namun, dimanapun ia berada, gosip akan selalu ada. “Aku dengar dia istrinya Pak Leonhart.” “Benarkah? Yang katanya menikah kontrak itu?” Nadine mendengar bisik-bisik itu, tapi memilih untuk tidak menggubrisnya. Ia membuka kotak makan siang yang diberikan Rissa dan mulai menyantapnya perlahan. Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Saat Nadine menoleh, Leonhart sudah ada di depannya. “Boleh aku duduk di sini?” tanya Leonhart. “Tentu,” jawab Nadine cepat karena terkejut. Leonhart mulai mengajukan berbagai pertanyaan, mulai dari apa saja yang dilakukannya bersama Rissa, bagaimana perasaan Nadine saat berkeliling kantor, hingga hal-hal yang ia sukai dari kantor tersebut. Nadine menjawab semua pertanyaan itu dengan antusias. Tak disangka, beberapa menit pun berlalu. Leonhart kemudian mengajak Nadine pulang untuk beristirahat. Mereka menuju parkiran dan kembali ke apartemen. Namun, sesampainya di lobi, mereka dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tak terduga dengan senyum sinis menghiasi wajahnya. Rafael. “Wah, kalian terlihat sangat bahagia,” ucap Rafael penuh ejekan. “Bagaimana rasanya, Paman, setelah berhasil merebut tunangan keponakanmu sendiri?” sindir Rafael. Nadine spontan melangkah maju, berniat membantah ucapan Rafael. Namun, tangan Leonhart dengan cepat menahan lengannya. “Apa maumu?” tanya Leonhart, menatap tajam ke arah Rafael. “Aku hanya ingin melihat dan memastikan bagaimana kehidupan barumu setelah menikahi tunanganku. Dan jujur saja …” Rafael menyeringai. “Aku tidak sabar melihatmu hancur!” ejek Rafael. Leonhart hanya diam, membiarkan Rafael yang langsung berbalik dan pergi. Keributan itu menjadi tontonan sekaligus bahan pembicaraan para penghuni apartemen yang berada di lobi. Beberapa bahkan sempat merekamnya dengan ponsel mereka. “Kenapa kau menahanku?” tanya Nadine kesal “Kau tak perlu meladeni orang seperti itu.” jawab Leonhart datar. Mereka segera naik lift dan masuk ke unit apartemen. Leonhart langsung menghubungi tim PR Inter Tech untuk mengurus masalah perekaman video terkait keributannya dengan Rafael di lobi apartemen. Tapi, karena video itu sudah terlanjur beredar luas, tim PR kesulitan untuk menghentikan semuanya. Komentar demi komentar negatif mulai bermunculan di sosial media. Beberapa menit kemudian, ponsel Leonhart kembali berdering. Setelah membaca pesannya, Leonhart menoleh ke arah Nadine dengan wajah serius. “Kenapa?” tanya Nadine dengan wajah tegang. “Video konferensi pers Rafael sudah dipublikasikan.” ucap Leonhart dengan wajah serius.“Apa kau sudah siap? Pastikan tidak ada barang yang tertinggal.”Leonhart bertanya untuk memastikan Nadine tidak melupakan barang penting yang perlu dibawa ke Prancis.“Ya, aku sudah siap dan sudah memastikan semua barang penting dibawa,” jawab Nadine dengan yakin.Nadine pun menghampiri Leonhart sambil menarik dua kopernya dan satu tas besar yang sedang ia gunakan.Leonhart mengambil alih satu koper yang sedang Nadine bawa.“Biar aku bawakan satu kopermu,” ucapnya sambil menarik koper dari tangan Nadine.“Terima kasih,” jawab Nadine lembut.Mereka berdua pun keluar dari kamar lalu berjalan menuruni lift menuju lobi. Seorang sekuriti yang melihat Leonhart dan Nadine muncul dengan banyak koper segera menghampiri mereka.“Sini, Pak. Biar saya bantu,” ucap sekuriti itu sopan sambil tersenyum ramah.“Oh, ya. Terima kasih,” balas Leonhart sambil tersenyum tipis.Leonhart kemudian berjalan menuju area parkir untuk mengambil mobil, sementara Nadine menunggu di depan lobi bersama sekuriti yan
“Maafkan aku, ya, teman-teman.”Mira berdiri di hadapan Nadine dan Revan saat mereka berada di ruang kerja.“Terutama kau, Nad. Maafkan Ardian, ya,” tambahnya dengan wajah memelas.Mira tertunduk lesu. Nadine yang melihatnya seperti itu merasa kasihan, lalu mencoba meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.“Tidak apa-apa, Mir. Jangan khawatirkan itu,” ucapnya lembut.“Sekali lagi, maafkan aku,” ucap Mira pelan.Nadine berdiri di samping Mira, lalu merangkul pundaknya dengan lembut untuk menenangkannya.Tak lama kemudian, mereka kembali ke meja kerja masing-masing.Nadine mulai menyicil kembali beberapa pekerjaannya yang tersisa agar nanti, saat ia pergi, tidak ada pekerjaan yang harus dialihkan ke rekan lain.Tak terasa jam kerja pun berakhir. Nadine segera bersiap menuju kantor Leonhart.Namun, saat ia hendak pergi, Mira memanggilnya.“Nadine!”Nadine berhenti dan menoleh.“Ada
“Kenalkan, ini Ardian dari divisi marketing.”Mira memperkenalkan pasangan barunya kepada Nadine dan Revan.Mereka bertemu di sebuah kafe yang terletak di depan kantor. Nadine dan Revan duduk berhadapan dengan Mira dan Ardian.“Ya, halo. Saya Nadine, temannya Mira,” sapa Nadine ramah.“Ya, saya Revan,” ucap Revan dengan nada datar.Ardian tersenyum, lalu memperkenalkan dirinya dengan percaya diri,“Ya, saya Ardian, pacarnya Mira.”Nadine membalas senyumnya, dan mereka pun mulai menyantap hidangan sambil berbincang ringan. Namun, di tengah obrolan, Ardian tiba-tiba menoleh pada Nadine.“Oh iya, Nadine, kamu itu istrinya Pak Leonhart, kan?” tanyanya sambil tersenyum.Nadine mengangguk pelan.Ardian kembali melanjutkan,“Kenapa kamu bekerja? Bukannya lebih enak jadi istri CEO, tinggal di rumah, belanja, dan jalan-jalan?” tanyanya polos namun terdengar menyinggung.Pertanyaan itu membuat Na
“Harusnya kau langsung mengusirnya saja!”seru Nadine dengan nada kesal setelah mereka akhirnya pergi.Leonhart menatap Nadine dengan lembut.“Jika kau ingin membalas dendam, jangan tunjukkan taringmu sekarang,” ucapnya tenang.Nadine hanya menatap datar, lalu melanjutkan makan tanpa banyak bicara.Setelah selesai dan membayar, mereka kembali menuju apartemen.“Aku sudah mendapat hotel untuk kita tinggal sementara di Paris,” ujar Leonhart sambil menyetir.“Sudah? Bukankah Marissa yang akan menyediakannya?” tanya Nadine heran.Leonhart sempat melirik Nadine sekilas.“Ya, aku memintanya untuk menyerahkan urusan akomodasi padaku,” jawabnya santai.Nadine mengangguk pelan.“Baiklah, aku percaya pada pilihanmu,” katanya singkat.Nadine lalu menatap keluar jendela mobil, membiarkan pikirannya melayang dalam diam.Tak lama, mereka tiba di apartemen.Begitu sampai, Nadine berp
“Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini.”Sapaan dari ayahnya itu membuat Nadine merasa tidak nyaman. Ia sangat menghindari pertemuan dengan keluarganya.Tanpa aba-aba, Yusuf, papa Nadine langsung meminta pelayan untuk menambah dua kursi di meja mereka.Ternyata, Yusuf datang bersama Cecilia, ibu tiri Nadine, yang sebelumnya sudah ia temui di mal tadi.“Ya,” jawab Nadine malas, tanpa ekspresi.Berbeda dengan Nadine, Yusuf justru tampak antusias. Bukan karena rindu bertemu putrinya, melainkan karena di hadapan mereka duduk Leonhart, sumber keuntungan yang ia incar.“Bagaimana kabar kalian berdua? Tidak ada masalah, kan?” tanyanya ramah, berusaha mencairkan suasana.Leonhart menjawab sopan, “Tidak ada masalah. Kami baik-baik saja,” ujarnya sambil tersenyum tipis.Sementara itu, Cecilia menatap Nadine dengan pandangan sinis.“Ya, mereka setelah menikah sama sekali tidak memberi kabar. Bukankah itu bisa
“Lama tidak bertemu, putriku.”Perkataan itu terasa seperti duri yang menusuk kulit Nadine. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan ibu tirinya di mal tempat ia memulai kehidupan barunya.Nadine terdiam, tak mampu menjawab. Perasaannya campur aduk antara terkejut, marah, dan muak.“Kenapa kau tidak menyapaku? Kau sungguh tidak sopan!” tegas Cecilia sambil melipat kedua tangannya di dada.Leonhart yang melihat ekspresi Nadine mulai berubah, segera mengambil alih pembicaraan.“Halo, Tante. Selamat siang, sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Leonhart dengan nada ramah.Namun Cecilia, yang memang tidak menyukai Leonhart, menjawab dengan ketus,“Ya.”Setelah itu, ia mulai mengintimidasi Nadine dengan nada sinis yang seolah menempatkan Nadine sebagai anak durhaka.“Kenapa kau tidak mengirim kabar setelah menikah? Apa kau sudah melupakan keluargamu?” tanyanya tajam.Nadine masih diam. Ia menunduk, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi.“Ya, memang begitulah jadinya kalau merawat an







