“Ternyata ini tidak seburuk yang aku bayangkan.”
Itulah yang Nadine pikirkan ketika ia membuka matanya pagi itu. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya telah menikah dengan Leonhart. Nadine bangun dan duduk ditepi tempat tidurnya, lalu menatap ke arah jendela. Samar samar terlihat pemandangan jalan raya kota dari balik tirainya. Nadine berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri serta mengganti pakaian. Setelah mandi dan berpakaian santai, Nadine keluar dari kamarnya. Ia melihat Leonhart sudah duduk di meja makan, menyantap sepotong sandwich dan secangkir kopi. “Pagi,” sapa Nadine sambil duduk di sebelah Leonhart. Leonhart menoleh, lalu mengangguk. “Pagi. Apa tidurmu nyenyak?” tanyanya. Nadine mengangguk. “Lumayan,” sahutnya. Ia mengambil sepotong sandwich dan menuangkan jus ke dalam gelasnya. Nadine menyantapnya dalam diam. Leonhart yang sudah selesai sarapan, bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruang tamu untuk kembali bekerja. “Setelah selesai sarapan, temui aku di ruang tamu. Ada yang ingin kubicarakan,” ucap Leonhart. Nadine hanya mengiyakannya dengan anggukan. Setelah selesai, seperti biasa, Nadine membereskan bekas sarapannya dan langsung menghampiri Leonhart di ruang tamu. Leonhart mengangkat sebuah map berwarna coklat dari meja samping dan menyerahkannya kepada Nadine. “Ini beberapa dokumen penting tentang divisi pengembangan produk dan struktur perusahaan yang harus kau pelajari,” ucap Leonhart sambil menatap Nadine. “Jika ada yang tidak kau mengerti, kau bisa bertanya padaku,” lanjutnya. Nadine menerima map itu dan duduk dikursi seberang Leonhart. Ia membuka halaman pertama dan mulai membacanya. Tulisannya rapi dan cukup mudah dipahami, meski ada beberapa istilah-istilah yang tidak Nadine pahami dan membuatnya harus berpikir lama. Nadine merasa ini akan menjadi tantangan baru dalam hidupnya. Selama hampir dua jam, Nadine duduk diam sambil membaca berkas demi berkas sambil mencatat hal hal penting di buku catatan kecilnya. Sesekali Nadine bertanya pada Leonhart tentang istilah yang tidak ia mengerti. “Leonhart, apa maksud dari produk masuk tahap validasi desain?” tanya Nadine sambil menunjuk halaman yang ia baca. Leonhart menoleh dan menjelaskan dengan sabar, “Itu artinya produk kita telah selesai dari sisi konsep, dan sekarang sedang diuji coba desainnya, termasuk kenyamanan dan fungsinya.” Nadine mengangguk, lalu mencatat penjelasan itu.”Berarti tahap selanjutnya adalah tahap produksi?” tanya Nadine, penasaran. “Ya, tapi masih ada evaluasi data konsumen dan uji bahan sebelum itu,” lanjut Leonhart. Meski awalnya canggung, Nadine sangat menikmati proses belajarnya, terutama dengan sikap Leonhart yang menurutnya berbeda, tidak seperti pertama kali mereka bertemu, dingin dan terlalu serius. Menjelang siang, mereka makan siang bersama. Sebelumnya, Nadine telah memesan makanan siap saji melalui situs web restoran. “Maaf, aku memesan semua menu. Aku belum tahu apa yang kau suka,” ujar Nadine tersenyum canggung. Leonhart hanya tersenyum kecil. “Tidak masalah. Aku bisa makan apa saja, jangan khawatir.” jawab Leonhart santai. Setelah makan, mereka kembali ke rutinitas masing-masing. Leonhart kembali bekerja di sofa ruang tamu, sedangkan Nadine membaca halaman terakhir dari dokumen yang ia pelajari sejak tadi. Karena terlalu suntuk belajar di dalam ruangan, Nadine akhirnya pindah tempat dan duduk di balkon luar sambil membawa buku catatannya. Angin sore yang berhembus sejuk membuat pikirannya terasa lebih rileks. Nadine menatap langit yang mulai berubah warna. Matahari pun perlahan mulai terbenam. Akhirnya, Nadine selesai mempelajari dokumen yang diberikan Leonhart. Ketika Nadine merapikan buku dan dokumen itu, Leonhart keluar dari ruang tamu dan menghampirinya di balkon. “Kau terlihat lebih rileks sekarang,” kata Leonhart sambil menyandarkan punggung ke dinding balkon. Nadine tersenyum. “Aku hanya mencoba beradaptasi,” sahutnya. Leonhart mengangguk. “Kau bisa bertanya langsung padaku kalau ada hal yang tidak kau mengerti. Sekretarisku juga akan siap membantumu mulai minggu depan,” lanjutnya. “Baik, terima kasih,” jawab Nadine. Leonhart menatap langit yang mulai gelap. “Besok pagi, kau mau ikut ke kantor?” tanyanya. “Untuk apa?” tanya Nadine, terkejut. “Hanya untuk berkenalan dengan staf dan melihat-lihat kantor tempatmu akan bekerja nanti,” lanjut Leonhart. “Memangnya boleh?” tanya Nadine, antusias. Leonhart menoleh ke arah Nadine dan tersenyum tipis. “Tentu saja. Siapa yang berani melarang istri CEO datang ke kantor?” candanya. Nadine hanya tersenyum canggung mendengar ucapan Leonhart. Akhir-akhir ini, sikap Leonhart mulai santai dan terbuka. Ia juga mulai sering bergurau untuk membuat Nadine lebih rileks. Suasana kembali hening. Mereka sekarang berdiri berdampingan, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba, notifikasi ponsel Leonhart berbunyi, memecah keheningan diantara mereka. Leonhart membuka pesan di ponselnya dan ekspresi wajahnya seketika berubah serius. Nadine yang sedari tadi memperhatikan ekspresi wajah Leonhart bertanya, “Ada apa?” Leonhart menatap Nadine dengan serius. “Rafael akan mengadakan konferensi pers di kediamannya.” Nadine mengernyitkan kening. “Untuk apa?” “Sepertinya ada wartawan yang mengabaikan peringatanku dan mulai menggali informasi langsung ke tempat Rafael,” jawab Leonhart sambil menelepon tim PR Inter Tech.“Saya tidak menyangka bahwa paman saya ternyata juga ingin menikahi tunangan saya.”Rafael berakting sedih di depan wartawan, seolah-olah dirinya adalah korban dari Leonhart.Berita tentang konferensi pers Rafael dengan cepat menyebar hingga ke Singapura.Komentar negatif mulai bermunculan dari segala arah, dan cacian serta makian ditujukan untuk Leonhart yang dianggap merebut tunangan dari keponakannya sendiri.Nadine yang melihat konferensi pers Rafael mulai muak dengan semua tuduhannya terhadap Leonhart.“Apa kau akan diam saja?” tanya Nadine dengan nada kesal.Leonhart tak menjawab. Ia menyeruput kopinya dengan santai.Nadine yang heran dengan ketenangan Leonhart atas masalah ini, menjadi kesal.“Kenapa diam? Apa kau kehabisan cara untuk menyelesaikan ini? Apa kau akan diam saja di tuduh seperti ini oleh bajingan itu? tanyanya bertubi-tubi.Leonhart menatap Nadine, menenangkannya. Dengan percaya diri, ia tersenyum kecil.“Tenanglah, tak usah panik. Bagaimanapun, Rafael tak akan pe
“Apa kau sudah siap?”tanya Leonhart begitu melihat Nadine keluar dari kamarnya. Nadine tampak rapi dengan blouse putih dan celana panjang hitam. Rambutnya ditata rapi dan dijepit kebelakang.“Mungkin.” jawab Nadine sambil tersenyum kecil, meski wajahnya terlihat tegang.Bagaimana tidak? Hari ini Nadine akan diperkenalkan secara resmi ke tim inti Inter Tech, dan berkeliling kantor untuk melihat divisi tempat ia akan bekerja nanti.“Ini, makanlah dulu,” ucap Leonhart sambil memberikan semangkuk salad sayuran ke Nadine.“Terima kasih,” jawab Nadine.Nadine tidak langsung menyantap sarapannya. Ia cukup lama memandangi saladnya sambil melamun.Leonhart memperhatikan raut wajah Nadine yang tampak tegang. Ia mulai khawatir.“Apa kita tunda saja perkenalan hari ini?” tanyanya pelan.Nadine cepat menggeleng. “Ti-tidak, jangan ditunda. Aku sudah menyiapkan diri untuk pertemuan hari ini,” jawabnya, sedikit gugup.“Benarkah? Apa kau yakin?”Nadine menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Ya. Janga
“Ternyata ini tidak seburuk yang aku bayangkan.”Itulah yang Nadine pikirkan ketika ia membuka matanya pagi itu. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya telah menikah dengan Leonhart.Nadine bangun dan duduk ditepi tempat tidurnya, lalu menatap ke arah jendela. Samar samar terlihat pemandangan jalan raya kota dari balik tirainya.Nadine berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri serta mengganti pakaian.Setelah mandi dan berpakaian santai, Nadine keluar dari kamarnya. Ia melihat Leonhart sudah duduk di meja makan, menyantap sepotong sandwich dan secangkir kopi.“Pagi,” sapa Nadine sambil duduk di sebelah Leonhart.Leonhart menoleh, lalu mengangguk. “Pagi. Apa tidurmu nyenyak?” tanyanya.Nadine mengangguk. “Lumayan,” sahutnya.Ia mengambil sepotong sandwich dan menuangkan jus ke dalam gelasnya. Nadine menyantapnya dalam diam.Leonhart yang sudah selesai sarapan, bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruang tamu untuk kembali bekerja.“Setelah selesai sarapan, temui aku di
“Maaf, aku tidak sempat memberitahumu soal bekerja di Inter Tech. Aku pikir, akan lebih baik jika kau ikut bergabung,”Leonhart berkata pelan saat mereka duduk di dalam mobil, setelah konferensi pers selesai.Nadine menunduk, lalu menatap Leonhart dengan serius. “Kenapa kau mengambil keputusan tanpa persetujuanku? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?” kata Nadine, sedikit kesal.Leonhart terdiam sesaat sebelum akhirnya bicara. “Kupikir keputusan yang kuambil adalah keputusan terbaik untukmu. Mungkin karena aku terbiasa mengambil keputusan sendiri, aku jadi tidak mempertimbangkan perasaanmu.” Nada suaranya terdengar menyesal.Nadine mengangguk pelan.“Itu masa depanku. Mulai sekarang, aku ingin kau menanyakan dan memberitahuku lebih dulu sebelum mengambil keputusan,” ucapnya tenang tapi tegas.Leonhart menatapnya, lalu bertanya hati-hati,“Jadi … apa kau tidak ingin bergabung dan bekerja di Inter Tech?”“Siapa bilang aku tidak mau? Tentu saja aku sangat ingin bergabung disana.” jawab
“Apa tanggapan kalian terkait video rekaman keluarga Wijaya yang tersebar?”tanya seorang wartawan yang langsung menghampiri Nadine dan Leonhart yang baru saja turun ke lobi hotel.Nadine kebingungan. Video apa yang dimaksud para wartawan? Nadine menatap Leonhart dengan penuh tanya.“Kami akan menjelaskannya dalam konferensi pers siang ini di Singapura. Tolong beri kami waktu,” jawab Leonhart dengan tenang.Konferensi pers? Nadine bertanya-tanya apa maksudnya, kenapa ia tidak diberitahu apapun?Mereka segera naik ke mobil yang sudah disiapkan dan segera berangkat menuju bandara Soekarno Hatta.“Apa maksud para wartawan tadi? Rekaman video apa? konferensi pers apa? Kenapa kau tidak memberitahuku apa pun?” Nadine menatap Leonhart, matanya penuh tanda tanya.Leonhart menatap Nadine lekat-lekat. “Rekaman itu tentang percakapan kita sehari sebelum pernikahan. Dan soal konferensi pers … maaf, aku benar-benar lupa memberitahumu.”“Maksudmu soal kau yang ingin menggantikan Rafael menikah de
“Ada apa? Apa kau datang karena berubah pikiran?”Suara Nadine pelan, tapi terasa getir. Ia duduk sambil memandangi dirinya di depan cermin rias.Leonhart meletakkan amplop coklat di meja rias Nadine, “Aku tidak berubah pikiran. Aku hanya ingin memberimu ini,” jawab Leonhart.“Apa ini kontrak pernikahan?” tanya Nadine.Leonhart hanya menganggukan kepalanya.“Aku hanya ingin kau melihat dan memeriksanya. Jika ada syarat yang mau kau tambahkan, kau bisa katakan padaku,” ucapnya tanpa basa-basi.Tanpa menunggu jawaban Nadine, Leonhart berbalik dan melangkah keluar dari ruangan.Nadine perlahan mengambil amplop itu dengan tangan yang gemetar, lalu dengan hati-hati ia membuka amplop itu dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang dijadikan satu di dalamnya.Nadine membaca satu per satu terkait pasal dalam kontrak. Nadine terdiam. Ia menarik napas panjang.Nadine sedikit lega setelah membaca isi kontrak itu. Ia sempat berpikir bahwa Leonhart akan benar-benar memperalatnya melalui kontrak t