Share

Bab 7: Titik Akhir

Author: HarunaHana
last update Last Updated: 2023-08-08 08:52:15

Wisnu diam sejenak, menatap putrinya lurus-lurus. Ada bahagia sekaligus khawatir yang bergumul di dada. Bahagia karena Wisnu tahu akan menitipkan putrinya pada orang yang tepat. Jadi, jika sewaktu-waktu dia pergi, Kalila akan meneruskan hidup dengan laki-laki yang ia percaya berperangai baik. Di sisi lain Wisnu khawatir karena ia tahu sifat Kalila. Ia takut gadisnya justru menjadi beban Farhan.

 

"Papa bilang apa ke Bang Farhan?" Kalila mengulang pertanyaan karena Wisnu tidak segera menjawab. Meski bisa menebak, Kalila ingin memastikan. Siapa tahu sang papa berubah pikiran dan urung menjodohkannya dengan Farhan.

 

Wisnu menyingkirkan setiap lintasan buruk yang sempat mampir dan menyesaki kepala. Bukankah Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya? Sebaiknya aku memelihara prasangka baik. Wisnu meneguhkan hati. Ada doa yang diucapkan diam-diam berbarengan masuknya udara ke rongga paru-parunya saat ia menghela napas sebelum memberi jawab. "Papa terima lamaran dia dan papa juga bilang kalau kamu setuju,” ujarnya kemudian dengan suara tenang, tanpa keraguan sedikit pun.

 

Binar di mata Kalila seketika meredup. Arah bola mata yang semula tertuju pada Wisnu beralih ke jam dinding. Kalila mengerjap karena penanda waktu itu menjelma seraut wajah Haiyan. Lalu, pergerakan jarum jam menghapus sedikit demi sedikit wajah Haiyan seolah waktu telah melipat semua harap, membungkus rapat-rapat keping-keping angan akan hidup masa depan yang sempat tumbuh di hati Kalila.

 

"Apa tidak ada kesempatan buat Lila menikah dengan laki-laki yang Lila cintai, Pa? Seperti dulu Mama menerima Papa karena cinta." Kalila memberanikan diri menyanggah. Meski untuk melakukannya, ia harus menahan sesak di dada juga air mata yang mendesak-desak ingin segera keluar.

 

Seumur hidup, baru sekali Kalila menentang sang papa. Ketika itu ia ingin memilih Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi Wisnu berharap Kalila bisa mengikuti jejaknya mengambil jurusan teknik. Kalila merajuk. Ia mengurung diri di kamar dan mogok makan sampai hati Wisnu luluh. Kali ini, Kalila tidak mungkin melakukan hal serupa, terlalu konyol dan kekanak-kanakan. Lagi pula, menikah jauh lebih rumit ketimbang memilih jurusan. Ada kehidupan dunia dan akhirat di sana. Hati sang mungkin bisa direngkuh dengan mudah.

 

"Seingat Papa, Papa sudah ngasih kesempatan buat kamu untuk menyodorkan calon lain. Tapi Papa tunggu, nggak ada satu nama pun yang kamu sebut. Papa anggap kamu belum ada calon."

 

"Ada yang pernah berjanji pada Lila." Akhirnya Lila mengaku. Ia merasa tidak punya pilihan lain. “Maksudnya, dia sudah melamar Lila, tapi belum bisa ketemu Papa,” lanjut Lila saat melihat tatap penuh tanya milik Wisnu.

 

Sesaat, raut muka Wisnu berkerut lalu kembali datar. "Siapa? Kenapa kamu nggak ngomong ke Papa?" Ada setitik kecewa dalam suara Wisnu. Ia tidak menyangka kalau diam-diam Kalila sudah terikat janji.

 

Kepala Kalila tertunduk. Bola matanya menatap piring yang isinya sudah dingin. Jemarinya meremas tepi rok. Mendadak perut gadis itu mulas.

 

Menunggu, Wisnu kembali menyendok makanan hingga denting sendok beradu dengan piring mengisi jeda di antara mereka.

 

Kalila mendongak sambil mengganjur napas. "Mas Haiyan." Ia menjawab dengan suara nyaris tak terdengar.

 

Ah, pria itu. “Kalau begitu, minta Haiyan ketemu Papa secepatnya.”

 

"Maaf, Pa. Mas Haiyan lagi sibuk. Lila sudah hubungi dia tapi belum ada waktu ketemu Papa. Mungkin setelah proyeknya selesai, dia akan ketemu Papa."

 

“Mungkin?” Wisnu menggeleng. “Dia tidak sesibuk yang kamu kira. Papa tunggu sampai besok Minggu. "

 

Kalila menyimpan baik-baik keputusan Wisnu. Selepas makan malam, ia mencoba menghubungi Haiyan dan berakhir sunyi. Pesannya sampai, tetapi tak kunjung dibaca dan teleponnya tidak diangkat. Ketika pagi datang dan Kalila membuka chat room, Haiyan hanya menuliskan dua huruf, "ya". 

 

Namun, Saat waktu yang diberikan Wisnu habis, Haiyan tetap tidak muncul. Hanya pesannya yang sampai, mengabarkan kalau ia masih di Purworejo diiringi kata maaf dan lagi-lagi janji untuk datang jika suatu hari sudah luang.

 

Jawaban Haiyan menyudahi penantian Kalila. "Aku minta maaf tidak bisa menunggu lagi, Mas." Berat Kalila mengatakan, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia lelah mengejar, juga menunggu. Lebih baik ia mengikuti permintaan sang papa.

 

“Please, La. Tolong ngertiin posisiku.”

 

“Maaf, Mas. Aku nggak bisa nunggu lagi.” Kalila mengirim pesan terakhir. Setelah itu, ia tidak pernah lagi menjawab pesan dan mengangkat telepon Haiyan.

 

Hari itu, sepekan setelah memutus kontak dengan Haiyan, Kalila menyerahkan draft final skripsinya. Rasa sakit di hati mendorong Kalila menuntaskan naskah skripsinya. Hampir setiap hari ia begadang. Sering ia mendekam di perpustakaan fakultas atau universitas hingga batas kunjung berakhir. Ditemani laptop dan buku tebal, Kalila berharap bisa melerai segala luka.

 

“Cepet banget ngerjain revisinya, La?” Dosen pembimbingnya tersenyum kecil. “Diapain Prof. Wisnu sampai kamu ngebut begini?”

 

“Mumpung lagi luang, Pak. Jadi saya selesaikan saja.” Kalila meringis. Ia berharap tidak ada revisi lagi dan bisa segera daftar ujian. Hari-harinya akan gelap dan Kalila tidak tahu masih sanggup berpikir waras atau tidak. Menerima Farhan dan melupakan Haiyan adalah bagian sangat sulit dalam hidupnya, lebih sulit dari mengerjakan skripsi dan diuji dosen paling killer di jagad Fakultas Ilmu Budaya.

 

“Oke. Saya terima. Akan saya kabari segera hasil review-nya.”

 

“Terima kasih, Pak.” Kalila mengangguk sopan kemudian berpamitan.

 

Dari fakultas, Kalila bergerak ke markas Semut Merah. Tidak ada yang ingin dilakukannya selain duduk mengobrol dengan adik-adik tingkat, melihat mereka berlatih dan mendengar denting gitar meningkahi lantunan bait-bait puisi.

 

Langkah Kalila terhenti di tengah halaman. Ia mengucek mata, tidak percaya dengan penglihatannya. Benar-benar ajaib, ada Haiyan sedang duduk di sana. Ia sedang berbicara dengan ketua Semut Merah periode tahun ini kemudian menekuri lembar demi lembar proposal di tangan. Lelaki itu terkejut sesaat, tetapi kemudian bisa bersikap wajar, ketika Kalila mendatangi mereka dan duduk tidak jauh darinya.\

 

"Kenapa Mas Haiyan menghindar?" Kalila tak dapat menyembunyikan kekesalan hatinya saat ketua Semut Merah sudah kembali ke sekelompok anak yang sedang latihan vokal. Kini mereka duduk berdua di serambi markas.

 

"Aku minta maaf. Apa kita bisa bicara sekarang?"

 

"Jawab saja pertanyaanku di sini. Kenapa kamu menghindar dan berbohong?"

 

Haiyan menyugar rambut frustrasi. Pertemuan tak terduga dengan Kalila merusak rencananya. "Aku benar-benar minta maaf. Aku terpaksa."

 

"Jadi bener Mas Haiyan melamar Gea?"

 

Haiyan melihat ke sekeliling. Panik. "Jangan ngomong di sini." Ia berdiri. Ditariknya tangan Kalila menjauhi markas.

 

“Berhenti!” Kalila melepas cengkeraman Haiyan. "Jadi bener kamu melamar Gea?" Kalila berkata dengan suara lebih keras, tidak peduli dengan tatap heran sekelompok anggota yang tengah duduk-duduk di bawah pohon dan sedang merencanakan pementasan akhir tahun.

 

"Aku akan jelaskan. Tapi nggak di sini, La."

 

"Kalau gitu nggak usah. Hubungan kita selesai di sini. Besok aku kembalikan cincin dari Mas Haiyan." Kalila berlari meninggalkan Haiyan, mendekati motornya.

 

"Dengar dulu, La. Kasih aku kesempatan meyakinkan keluargaku untuk membatalkan lamaran ke Gea."

 

"Tidak perlu, Mas. Pilih perempuan yang diterima keluargamu. Jangan bawa aku ke situasi yang tidak menyenangkan. Ditolak itu nggak enak."

 

Tiba-tiba mata Kalila tertuju pada motor yang baru memasuki halaman markas. Kalila tahu, Miranti datang memboncengkan Gea. Sementara Haiyan tidak tertarik sedikit pun untuk menoleh. Ia tetap berdiri di hadapan Kalila, menghalangi gadis itu meneruskan langkah.

 

“Please, La. Tolong ngertiin posisiku. Aku masih memperjuangkan kamu, memperjuangkan kita.”

 

"Cukup, Mas. Tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Kita sudah selesai."

 

"Nggak, La." Haiyan meraih tangan Kalila. "Aku cuma mau kamu. Aku tidak mencintai Gea." Kalimat itu meluncur cepat dari mulut Haiyan, menyatu dengan udara, menembus telinga Kalila, Miranti, dan Gea.

Berempat, mereka mematung, sibuk dengan kecamuk pikiran. Lalu, raut muka Haiyan seketika sekusut benang ruwet ketika menyadari kehadiran Gea.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
dasar lelaki hidung belang ushlah lagi kalila bikin sakit hati model laki2 bgtu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 73: Pertarungan (2)

    Kaivan tersenyum sinis. “Saya yakin Anda tidak ingin kehilangan Nona Miranti yang cantik. Tapi, saya hanya mau menukar nyawa Wisnu dengan gadis itu, bagaimana?” Kaivan berkata dengan tenang seolah pertukaran nyawa manusia tidak lebih dari tukar-menukar mainan. “Tentu saja saya akan menghabisinya setelah menikmati tubuhnya.” Kaivan menyeringa lalu tertawa. Ada yang menggelegak di tubuh Andromeda, tetapi ia berusaha menahan diri. Permainan sedang berada di puncak. Ia tidak akan terpancing. “Dan pastinya, bukan hanya saya yang akan menikmati tubuhnya. Orang-orang kepercayaan saya juga.” Kaivan melirik dua pengawal yang berdiri di dekat Andromeda. Lirikan yang kemudian dibalas dengan senyum menjijikkan. Andromeda terdiam sesaat. “Well, mau bagaimana lagi. Kalau memang itu syaratnya, saya setuju.” “Wow!” Kaivan bertepuk tangan. “Bravo! Jadi nyama Nona Miranti tak lebih berharga dari Wisnu?” Andromeda mengedikkan bahu. “Tolong bawa dia ke mari, Tuan. Saya ingin bertemu dengannya untuk

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 72: Pertarungan

    Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ada

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 71: Pertaruhan

    “Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 70: Dalam Pelukan Farhan

    halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-)***Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prinsipn

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 69: Jatuh Cinta Setiap Hari

    Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 68: Keinginan Tersembunyi Wisnu

    Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status