Home / Romansa / Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa / Bab 6: Mengapa Harus Menghindar

Share

Bab 6: Mengapa Harus Menghindar

Author: HarunaHana
last update Last Updated: 2023-08-08 08:47:22

"Sumpah, La, aku dengar sendiri Gea ngomong kalau Mas Haiyan ngelamar dia. Telingaku masih normal, La." Miranti berseru gusar dalam telepon setelah Kalila mengirim screenshot pesan Haiyan. "Kalau nggak percaya, kamu tanya langsung, deh, Gea."

 

Ide bagus. Kalila membatin. Kalau Haiyan susah dihubungi, ia bisa bertanya pada Gea. Tapi nanti, tidak sekarang. Aku harus dapat penjelasan dari Mas Haiyan dulu, bukan Gea.

 

"Aku kejar Mas Haiyan dulu, deh. Coba dia ngomong apa."

 

"Coba nanti aku korek-korek lagi Gea. Mana tahu kemarin dia halu setelah nonton drakor." Miranti terkekeh.

 

"Dih. Awas kalau sampai kamu salah kasih info, Mir."

 

"Iya, iya. Aku bakal tanggung jawab. Kamu bakal aku traktir di Sky High kalau sampai telingaku geser dan salah denger."

 

Sayangnya, sampai satu bulan berlalu, Haiyan tetap saja tidak bersedia bertemu. Dia selalu punya cara untuk menghindar, mulai dari masih di luar kota, menemani mamanya berobat dan terapi, ketemu klien dan mahasiswa. Kalila mulai curiga. Pria itu bahkan memperpanjang sampai dua tiga bulan ke depan akan sulit ditemui.

 

Pernah Kalila nekat ke kampus meski harus menanggung resiko bertemu sang papa dan Farhan. Namun, ia sudah menyiapkan alibi. Kalila membuat proposal palsu tentang permohonan dana untuk membiayai pementasan drama terbaru. Tidak sulit untuk membuat karena Miranti bisa memalsu tanda tangan semua orang dengan lihai.

 

Kalila mencari jadwal mengajar Haiyan dan menunggunya di dekat kelas. Rupanya Haiyan lebih sering mengajar lewat online karena sering di luar kota. Dia hanya hanya sesekali ke kampus dan tidak ada satu pun yang tahu waktunya.

 

"Mengelak adalah salah satu tanda pria sudah berbohong. Apalagi, tiga kali aku nanya ke Gea, jawaban dia nggak berubah. Fiks, dia memang dilamar Mas Haiyan." Miranti berujar santai usai mendengar curhat Kalila. "Dah, lepasin dia saja. Tangkap Pak Farhan." Dia yang sudah mendengar curhat Kalila tentang rencana perjodohan yang diputuskan papanya mencoba memberi saran.

 

"Appan, sih." Kalila mencubit lengan Miranti.

 

"Lho, apa salahnya nerima Pak Farhan? Dia baik, kok.

 

"Kamu tega aku nikah sama om om?"

 

"Dia belum tua, La. Masih tiga puluhan, kan?" Miranti meneguk es kopi susu. "Lagian, dia itu ahjussi rasa oppa. Nggak kelihatan tua, kok."

 

Kalila menyedot es lemon tea sebanyak mungkin. Mendadak tenggorokannya kering dan sakit. Ia teringat sang papa yang belum berhenti mengejar kepastian darinya sementara Kalila belum akan memberi jawaban jika belum bertemu Haiyan. Ia harus mendengar dengan telinga sendiri kalau Haiyan memang berpaling.

 

"Aku nggak punya rasa sama dia." Kalila tidak punya cukup nyali untuk mengatakan hal itu pada sang papa sehingga dia memilih mengulur waktu, tidak tahu sampai kapan.

 

"Milih mana, mati-matian mencintai orang lain padahal dia nggak cinta, atau dicintai orang lain?" Miranti memutar-mutar garpu di tangan. Ditatapnya Kalila lurus-lurus. Raut mukanya terlihat serius. Jarang-jarang Miranti bicara dengan nada dan ekspresi wajah seserius itu.

 

"Harusnya sama-sama cinta, Mir. Aku dan Mas Haiyan sama-sama cinta." Lagi, es lemon tea melewati mulut, tersisa sedikit sampai perutnya sedikit kembung padahal sepiring siomay masih harus dihabiskan.

"Siapa tahu, diam-diam cintanya sudah luntur diguyur air musim hujan. Namanya laki-laki."

Enteng saja Miranti mengucapkan teorinya seolah hati Kalila tidak sakit saat mendengar.

 

"Mau sampai kapan kamu nunggu tanpa kepastian? Kalau buat aku, realistis saja. Siapa yang ngasih kepastian, dia duluan kita pilih."

 

Embusan napas kasar keluar dari mulut Kalila. Bahunya sedikit melorot. Pandangan perempuan berkulit putih itu beralih ke piring berisi siomay. Lalu, tangannya sibuk mengaduk sambal dan potongan-potongan siomay, menambah kecap, dan sambal.

 

"Dikit saja sambalnya." Miranti memegang tangan Kalila yang akan memasukkan sendok kedua. "Inget perut kamu. Mas Haiyan minggat, dunia tidak akan kiamat. Jadi kamu harus berusaha tetap sehat."

Mengabaikan larangan Miranti, Kalila justru memasukkan sendok ketiga. Dibiarkannya Miranti yang mendengkus kesal.

 

"Eh, kenapa kamu nggak nanyak Om Wisnu? Siapa tahu papamu tahu di mana Mas Haiyan. Mereka satu kantor, kan?"

 

Kunyahan Kalila melambat. "Kenapa nggak dari kemarin-kemarin kamu ngasih ide ini?"

 

"Namanya ide, kapan datang nggak bisa dipaksa."

 

Bibir Kalila mengerucut. Sorot matanya meredup. Bayang gelap hubungannya dengan Haiyan seperti awan kelabu yang tiba-tiba menutup langit.

 

Malam harinya, Kalila menyiapkan makan malam dengan malas. Papanya baru pulang dari luar kota dan pasti akan menuntut jawaban. Kalila tidak punya cara untuk mengelak selain jujur tentang keberadaan Haiyan.

 

"Ehm, Pa, Mas Haiyan lagi sibuk, ya?" Akhirnya Kalila memberanikan diri membuka obrolan tentang pria itu sebelum Wisnu membicarakan Farhan.

 

"Sibuk banget. Papa lihat dia cuma sesekali." Wisnu menghirup aroma sup dari mangkuk. "Kenapa?" Pandangan menelisik Wisnu menyapu wajah Kalila yang sedang menyodorkan piring dan sendok padanya.

 

"Nggak apa-apa, Pa. Dicari teman-teman klub. Mau minta dana." Kalila berdusta. Ia duduk menunggu Wisnu selesai mengambil nasi.

 

"Minta saja. Dia lagi garap proyek gede."

 

"Bareng Papa juga?"

 

"Nggak," sahut Wisnu cepat sementara tangannya mengambil sepotong ayam goreng dan sesendok sambal.

 

Kalila nyaris tersedak. Mati-matian dia menahan diri agar tidak tampak terkejut.

 

"Proyek dia di Purworejo, proyek PLTA. Kalau Papa di Kulonprogo, proyek pembangkit listrik dari sampah."

 

Lagi-lagi Mas Haiyan berbohong. Kalila sudah tidak terlalu memperhatikan penjelasan Wisnu. Kepalanya terisi sosok Haiyan dan pesan-pesannya. Detik itu ia mulai mempercayai kata-kata Miranti.

 

"Oh, iya, La. Papa sudah kasih jawaban ke Farhan."

 

Kali ini Kalila benar-benar tersedak. Ia bisa menduga apa yang dikatakan Wisnu pada Farhan.

"Jawaban apa, Pa? Sepertinya Lila belum ngomong apa-apa." Kalila mendadak gugup. Diteguknya air putih cepat-cepat karena tenggorokannya sakit.

 

"Susah memang kalau masih muda pelupa," gerutu Wisnu. Diletakkannya sendok dan garpu lalu disandarkannya punggung ke kursi. "Kamu beneran lupa, atau pura-pura lupa?"

 

"Lila nggak lupa. Tapi Lila belum kasih jawaban apa-apa ke Papa. Kenapa Papa malah ngasih jawaban ke Bang Farhan?"

 

"La, menggantung keputusan itu nggak baik." Wisnu melunakkan suara dan pandangan. "Papa juga tidak suka digantung. Kamu juga pasti begitu."

 

Kepala Kalila tertunduk. Tidak sanggup bertemu pandang dengan sang papa.

 

"Kamu juga nggak mau digantung, kan?"

 

Sosok Haiyan kembali melintas di benak Kalila. Mas Haiyan, kamu di mana, sih? Kenapa tega menghilang tanpa kabar?

 

Susah payah Kalila menelan ludah yang terasa pahit. Sambal yang baru saja lewat di tenggorokan bersama sesendok nasi dan potongan sayur menggelitik tenggorokan hingga Kalila terbatuk-batuk. Batuknya berhenti setelah meneguk separuh gelas air putih.

 

"Karena Papa nggak zalim ke Farhan, jadi Papa putuskan saja tanpa nunggu kamu. Keburu Papa jadi fosil kalau nunggu kamu."

 

"Jadi Papa bilang apa ke Bang Farhan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 73: Pertarungan (2)

    Kaivan tersenyum sinis. “Saya yakin Anda tidak ingin kehilangan Nona Miranti yang cantik. Tapi, saya hanya mau menukar nyawa Wisnu dengan gadis itu, bagaimana?” Kaivan berkata dengan tenang seolah pertukaran nyawa manusia tidak lebih dari tukar-menukar mainan. “Tentu saja saya akan menghabisinya setelah menikmati tubuhnya.” Kaivan menyeringa lalu tertawa. Ada yang menggelegak di tubuh Andromeda, tetapi ia berusaha menahan diri. Permainan sedang berada di puncak. Ia tidak akan terpancing. “Dan pastinya, bukan hanya saya yang akan menikmati tubuhnya. Orang-orang kepercayaan saya juga.” Kaivan melirik dua pengawal yang berdiri di dekat Andromeda. Lirikan yang kemudian dibalas dengan senyum menjijikkan. Andromeda terdiam sesaat. “Well, mau bagaimana lagi. Kalau memang itu syaratnya, saya setuju.” “Wow!” Kaivan bertepuk tangan. “Bravo! Jadi nyama Nona Miranti tak lebih berharga dari Wisnu?” Andromeda mengedikkan bahu. “Tolong bawa dia ke mari, Tuan. Saya ingin bertemu dengannya untuk

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 72: Pertarungan

    Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ada

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 71: Pertaruhan

    “Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 70: Dalam Pelukan Farhan

    halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-)***Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prinsipn

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 69: Jatuh Cinta Setiap Hari

    Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 68: Keinginan Tersembunyi Wisnu

    Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 67

    Farhan membiarkan Andromeda pergi tanpa mengantarnya sampai keluar rumah. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai lintasan pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Ia memilih menyalakan laptop dan membuka data bisnis gelap keluarga Atmaveda. Sampai saat ini ia masih tak habis pikir, dari kota yang katanya paling nyaman dan ngangeni ini, hidup bos mafia yang puluhan tahun menjalankan bisnis ilegal tanpa tersentuh hukum. “Kaivan dan Airlangga tetap akan kami seret ke penjara. Tapi kamu tahu, mereka sangat rapi dalam menyembunyikan kejahatan. Tidak akan mudah membekuk mereka, Kawan.” Ucapan Andromeda kembali terngiang di kepala. Waktu itu, Farhan keberatan jika harus bernegosiasi dengan Kaivan karena itu artinya, ia menukar bukti kejahatan Kaivan dengan nyawanya. Setelah negosiasi, ia dan Wisnu harus diam padahal mereka tahu ada kejahatan besar sedang berlangsung. Farhan tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dijalaninya ketika harus menyembu

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 66: Seperti Layang-Layang

    Andromeda menatap sengit Farhan sebelum kembali melihat ke arah halaman. “Coba ingat baik-baik, apa ada kata membunuh dalam kalimatku? Apa aku memintamu membunuh anak Kaivan?” Andromeda menekan earpiece di telinga kanannya. Dialihkannya perhatian pada Farhan. “Tuhan memberi otakmu, tolong dipakai untuk mikir yang bener, bukan cuma mikirin Kalila.” “Sial!” Farhan meraih dan mencengkeram kedua lengan Andromeda. Lantas, salah satu kakinya maju ke depan, lalu ia berbalik dan sedikit membungkuk. Diangkatnya tubuh Andromeda dan membantingnya ke lantai perpustakaan yang beralas permadani dari Iran. “Kutu kupret busuk!” Andromeda meringis seraya berusaha bangun. Ia tidak menduga kalau Farhan akan semarah itu. Dielusnya bagian punggung yang sedikit ngilu. “Aku akan balas nanti setelah kamu benar-benar sembuh.” Dilayangkannya tinju ke wajah Farhan yang dengan tangkas berhasil ditangkis pria itu. “Ingat, aku mengalah, bukan kalah!” ujarnya geram. “Berhenti mengejekku atau aku akan melakukan

  • Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa   Bab 65: Rencana Terakhir

    Farhan terbangun karena dering tak biasa terdengar dari ponselnya. Sebelum bangun, ia menoleh. Kalila masih pulas, tidur dengan kepala di atas lengan Farhan. Dengan hati-hati Farhan mengangkat kepala Kalila agar ia bisa menarik tangannya kemudian meletakkan kembali di atas bantal. Menyibak selimut, Farhan turun cepat-cepat dari ranjang, mengambil ponsel yang ia simpan di atas rak seraya melirik jam dinding. Jam dua dinihari. Sepagi ini sahabatnya sudah menghubungi. "Seperti tidak ada waktu lain saja." Farhan bergumam pelan sambil mengacak rambut. Kumbang JantanSiap-siap rencana kedua.Jam sembilan aku ke rumahmu. Berdiri di samping rak, perhatian Farhan masih tertuju pada layar ponsel meski pesan yang baru saja ia baca sudah dihapus. Hari ini ia berencana menyusun rencana penelitian untuk diajukan ke Dikti dan PIMNAS. Ada beberapa tema penelitian yang sudah lama mampir di kepalanya dan Farhan berharap tahun ini ada salah satu dari tema-tema itu yang bisa ia mulai. Namun, panggila

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status