Share

Alasan Bryan

"Bryan?"

Belle masuk semakin dalam mencari pria yang sangat ia cintai. Langkahnya kecilnya kemudian terhenti di pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, dengan ragu, Belle mengintip melalui celahnya yang terbuka. Tubuh seseorang pria yang tengah menggigil di atas ranjang membuat Belle sontak berlari masuk.

"Bryan!" pekiknya cemas.

"Belle  ..." lirih Bryan lemah sembari membuka mata, ia mengulas senyuman ketika sosok wanita cantik telah duduk di sisi ranjangnya. "Belle, maafkan aku."

"Bryan, ayo, kita ke rumah sakit. Kamu demam!"

"Aku nggak apapa, Belle. Aku cuma masuk angin."

"Nggak apapa gimana! Ini badanmu panas, kamu juga menggigil. Ayo, aku antar ke rumah sakit!" Belle hendak bangkit untuk menyibak selimut Bryan, tetapi pria itu lebih dulu menahan tangannya hingga membuat Belle kembali duduk di tempat semula.

"Aku cuma butuh kamu, Belle. Aku sudah minum obat tadi. Dan sekarang aku cuma butuh pelukan kamu biar cepet pulih," pinta Bryan memohon.

Meskipun masih dirundung kekhawatiran, Belle akhirnya hanya bisa menuruti keinginan Bryan yang sederhana. Ia naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh pria yang telah menjalin kasih selama tiga tahun bersamanya.

Setelah satu jam berlalu, suara dengkuran halus dan bunyi napas Bryan yang teratur membuat Belle mengendurkan pelukannya. Ia membiarkan Bryan terlelap di bantalnya dan memutuskan turun dari ranjang. Belle penasaran apa yang dilakukan Zane diluar sana, apakah pria itu masih betah menunggunya?

Saat mengintip dari balik gorden, Belle melihat sosok Zane tengah duduk sambil memejamkan mata di dalam mobilnya.

"Belle?"

"Ya!" Belle buru-buru berbalik dan melihat Bryan sudah duduk di ranjang sembari mengawasinya.

"Kamu ngapain?" tanya Bryan bingung ketika Belle nampak salah tingkah.

"Kamu sendiri kok sudah bangun? Kamu harus banyak istirahat, Bryan!" saran Belle sembari mendekat ke ranjang dan duduk disamping  Bryan, ia menjulurkan tangannya ke kening pria itu untuk mengecek suhu tubuhnya yang mulai normal. "Sudah baikan, kan? Sana tidur lagi, aku di sini kok, nggak akan ke mana-mana."

"Kamu menginap di sini, kan?" ucap Bryan mengiba, ia meraih jemari kekasihnya lantas menggenggamnya dengan erat. "Malam ini menginap di sini, ya? Aku kangen banget sama kamu, Belle. Aku kangen kita yang dulu."

"Bryan, aku masih Belle yang dulu. Menikah nggak akan membuatku berhenti mencintai kamu."

"Tapi kamu tinggal dengan pria itu, Belle. Kamu serumah dengan dia, aku cemburu."

Belle tertawa melihat wajah tampan itu kini tengah merajuk. Ia mengusap lembut pipi Bryan dengan penuh kasih.

"Aku dan dia sudah membuat perjanjian, Bryan. Kami akan berpisah setelah tiga tahun menikah. Dan kami--"

"Tiga tahun? Itu lama sekali, Belle!" 

"Aku nggak punya pilihan lain. Papa pasti curiga kalo aku menikah hanya setahun atau dua tahun. Jadi menurutku tiga tahun cukup untuk membuat perjanjian," terang Belle berapi-api. "Lagipula, kamu tiba-tiba menghilang dan lenyap. Aku nggak punya pilihan lain selain  setuju dengan ide papa atau aku akan dicoret jadi ahli waris."

"Aku minta maaf, Belle. Aku bukan menghilang, aku cuma sedang sibuk melakukan evaluasi pasca konser. "

"Tapi nomormu bahkan nggak bisa dihubungi. Kamu seperti sengaja menghindar, Bryan!"

"Aku sibuk, Beb. Tom menyita ponselku karena ingin aku fokus pada konser tunggalku. Aku minta maaf, aku memang bersalah." Bryan mengeratkan genggaman tangannya dan mengecup mesra punggung tangan milik Belle."Aku janji, setelah ini akan menyisihkan lebih banyak waktu untukmu. Aku juga sudah nggak peduli dengan pendapat orang lain tentang hubungan kita. Aku cinta sama kamu, Belle, aku nggak bisa hidup tanpa kamu."

Mendengar kalimat manis itu membuat sekujur tubuh Belle meremang. Saat kepala Bryan mendekat, hembusan napas pria itu semakin membuat Belle berdebar tak karuan. Perlahan, bibir keduanya menyatu untuk saling melepas rindu setelah dua bulanan terpisah. Ya, Belle sangat menyukai cara Bryan mencium dan membelai setiap inci tubuhnya.

Belle seakan lupa, bila di halaman parkir seorang pria tengah menunggunya. Sudah hampir tiga jam berlalu dan Zane masih betah menanti Belle turun dan pulang bersamanya. Nafsu telah membuat Belle melupakan statusnya yang telah menjadi istri pria lain, bukan pria yang saat ini tengah berbagi saliva dengannya.

"Belle, jangan tinggalin aku. Nggak  ada pria lain yang bisa memuaskan kamu seperti aku, Belle!" desah Bryan diantara napasnya yang memburu.

Seakan terhipnotis oleh perkataan itu, Belle meyakini dibawah alam sadarnya jika Bryan lebih baik dari pria manapun. Belle sangat mencintai Bryan. Ciuman panas itu perlahan turun ke leher jenjang milik Belle, semakin turun ke bawah hingga akhirnya Belle tersadar jika ia sudah kelewat batas.

Ciuman itu kemudian terjeda ketika ponsel Belle berdering. Tiada henti benda pipih itu bergetar dan berbunyi hingga menggangu konsentrasi Bryan. Mau tak mau, akhirnya Belle mendorong tubuh Bryan yang sudah menindih tubuhnya dan turun dari ranjang untuk melihat siapa yang tengah meneleponnya.

Sebaris nama membuat bola mata Belle membeliak. Ia memperhatikan jam yang hampir menunjuk angka 1 dinihari.

"Siapa yang menelepon, Beb?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status