"Gak guna!" Thena tersungkur di lantai rumahnya yang masih berupa tanah berdebu, sementara Bimo mengamuk karena Thena tak bisa memberinya uang untuk berjudi.
Sebuah pukulan keras dari kayu rotan itu menodai betis mulus Thena yang seputih susu. Luka dari pukulan itu meninggalkan guratan merah dengan rasa perih yang menyiksa, walau rasa sakitnya sangat menyengsarakan, tapi Thena enggan menangis.
Padahal dulu Bimo tak seperti ini. Bimo tak pernah sekasar ini. Bimo yang dahulu Thena kenal hanyalah pria baik dan cukup tampan, sehingga Thena pun berani jatuh hati padanya.
Namun, entah kebencian macam apa yang merasuki Bimo. Pria itu tiba-tiba saja berubah setelah mereka dijodohkan. Setelah mereka menikah, Bimo jadi terjerumus pada perjudian dan bahkan jadi pemabuk. Semua hal baik yang dulu Thena lihat dari pria itu pun seketika lenyap dari ingatannya.
Yang tersisa hanyalah Bimo yang terlalu mengerikan untuk bisa Thena anggap sebagai manusia.
Tak hanya itu, Bimo pun jadi selalu menyalahkan Thena atas kehidupannya yang sengsara dan menganggap Thena sebagai penyebab dari putusnya hubungan dia dengan Ayu— perempuan yang kala itu menjadi kekasih hatinya.
"Gak ada, mas. Aku gak punya uang lagi... beneran, aku gak bohong."
"Halah! pasti diumpetin kan duitnya? Ngaku! Kerja keras jadi buruh cuci dari rumah ke rumah, masa gak dapet duit!"
Thena tersentak tiap kali mendapat pukulan demi pukulan itu. Ia bahkan tak sanggup untuk sekadar berteriak kesakitan karena jika ia melakukannya, pukulan itu akan semakin membabibuta.
"Uangnya aku pake buat beli minyak sama beras, mas. Udah abis, telur saja gak kebeli-" ucapnya tertahan.
Thena tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, ketika tangan besar nan kasar itu meraih lehernya dan menekannya keras untuk sekadar-
"Kalung lo gue ambil, buat bayar hutang judi."
Bimo membuka kalung emas yang dikenakan oleh Thena itu dengan hati-hati, sementara Thena sudah tidak punya kekuatan lagi untuk mencegahnya.
"Itu kalung buat biaya lahiran anak kita, mas... jangan diambil." Suara Thena lemah.
Namun apa pernah Bimo jadi pria baik yang punya nurani?
Tentu saja tidak pernah.
"Bodoamat," cetus Bimo tak acuh.
Dengan tidak tahu malunya, Bimo mengantongi kalung itu, mendorong kasar bahu Thena sampai punggung Thena terantuk kayu penyangga dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu.
Rasa sakit luar biasa langsung menjalari punggung Thena, membuatnya mematung merasakan rasa sakit itu sendirian.
Kemudian, Bimo bergegas pergi begitu saja keluar rumah meninggalkan Thena yang tak berdaya di tempatnya.
Isak tangis yang terdengar pilu itu keluar dari bibir Thena yang gemetar. Dia memandang nelangsa kepergian suami kejamnya itu, bukan karena ia bersedih atas ketidakberadaan Bimo, bukan itu.
Thena menangis karena satu-satunya harapan biaya untuk melahirkan anaknya telah raib, ditambah dengan fakta bahwa dirinya tidak pernah seberharga itu di mata suaminya sendiri.
“Sakit,” gumam Thena dengan suara tercekik. Detik itu juga ia memeluk perut buncitnya yang tiba-tiba terasa sakit seperti tengah diurut dengan sangat keras.
Sakit… sangat sakit.
Thena meringkuk, memeluk perutnya sambil terus meringis kesakitan. Sampai kemudian darah segar mengalir deras dari paha atasnya, diiringi sensasi sesuatu yang keluar dari dalam dirinya.
***
“Sialan!” umpat Bimo menendang kaleng soda itu dengan kesal.
Ia menyugar rambutnya dan mengusap kasar wajahnya, mulai mengutuk dirinya sendiri karena kalah dalam berjudi.
"Tolol, emang. Udah berharap bisa menang banyak setelah jadiin kalungnya jaminan, eh malah kalah. Padahal, niatnya buat bayar hutang."
Lagi, Bimo menyugar rambutnya. Ia merasa frustasi... benar-benar frustasi. Sesekali ia mendengus jengkel lalu meludah sembarangan sambil terus merutuki ketidakberuntungannya.
Baru saja Bimo berniat melangkahkan kakinya untuk pulang menuju rumahnya, ketika sebuah mobil Jeep berhenti di depannya.
Seseorang kemudian keluar dari sana, dan menghampiri Bimo dengan aura yang membuat Bimo menelan ludahnya dengan susah payah.
"Hutangmu, Bimo. Lagi-lagi kamu ingkar janji dan tidak membayar hutangmu," ucap pria setengah baya dengan suara bariton yang membuat Bimo sontak menatap lawan bicaranya itu dengan ketakutan besar yang tercipta jelas diwajahnya.
"B-Bukan gitu, Pak Mandor. Saya mau bayar kok. Tadinya saya mau bayar pake uang hasil judi, cuma gimana, ya, hari ini saya kalah judi. Janji deh Pak Mandor, nanti saya akan bayar." Alibinya.
"Banyak alasan," desis pria setengah baya yang dijuluki sebagai Pak Mandor itu. Kemudian ia melirik ke arah dua orang pria berbadan kekar disisi kiri dan kanannya. "Bawa dia. Tuan Brian memintaku untuk membuat pertemuan dengan si Bimo Bimo ini," lanjutnya.
Tanpa menunggu lama, kedua pria kekar itu langsung menyergap Bimo dan menyeretnya masuk ke dalam mobil. Sekalipun Bimo meronta-ronta, kedua pria kekar itu tetap bisa membuat Bimo masuk ke dalam mobil tanpa bisa berkutik lagi.
Di dalam mobil, Bimo diapit oleh kedua pria kekar itu, dimana tiap kali ia memberontak, yang dirasakannya kemudian adalah sensasi dari tulang bahunya yang terasa hampir remuk.
Tak butuh memakan waktu lama. Ketika akhirnya mereka sampai di rumah megah nan mewah itu, buru-buru para pria besar itu membawa Bimo ke dalam rumah.
Dengan kasar, tubuh Bimo diseret ke ruang bawah tanah, lalu dilemparkan tepat dibawah kaki pria lumpuh yang duduk di kursi rodanya.
Walau dalam keremangan cahaya yang minim, tapi Bimo bisa melihat dengan jelas dan memastikan bahwa pria yang ada dihadapannya itu punya dagu yang bengkok.
Seperti orang stroke.
"Tuan... Maaf tuan, ini cuma salah paham. Hutangnya pasti saya bayar!" mohon Bimo dengan panik, lalu memeluk erat kaki pria di hadapannya itu.
Pak Mandor yang melihat itu, hanya berdecak dan mendelik muak.
"Percuma berbicara dengan tuanku karena dia hanya bisa melihatmu tanpa bisa mendengarkan suaramu– tuanku tuli. Lagipula jangan berbicara omong kosong. Aku tahu kalau dirimu hanya berbohong, kamu gak akan bisa bayar hutangmu,Bimo."
"Bisa, pak... Saya bisa bayar hutangnya!" Bantah Bimo cepat. Kemudian, ia beringsut mundur dan bersimpuh di kaki sang mandor.
"Mau bayar pake apa? Kamu miskin, Bimo," cibirnya meremehkan semua janji Bimo yang terdengar seperti omong kosong baginya.
"Saya punya barang berharga. Saya akan jual itu ke tuan Brian. Mungkin bisa melunasi hutang saya," katanya.
"Barang apa?"
"Istri saya."
Pria setengah baya yang dijuluki sebagai Pak Mandor itu pun diam sejenak lalu kemudian melirik ke arah Brian untuk sekadar berbicara dengan bahasa isyarat. Membicarakan hal yang diucapkan Bimo itu kepada Brian.
(Bawa perempuan itu kehadapanku, Ismail. Biar aku sendiri yang memastikan apa barangnya layak beli atau tidak,) ucap Brian dengan bahasa isyaratnya.
Pak Mandor yang bernama Ismail itu pun lalu mengangguk mengerti lalu kemudian mengalihkan pandangannya pada Bimo.
"Bawa istrimu kehadapan tuanku. Biar tuanku sendiri yang memastikan apakah istrimu layak untuk dibeli atau tidak," pungkas Ismail dingin.
***
"Ikut gue,” tukas Bimo seraya menarik tangan Thena untuk mengikutinya.
Padahal Bimo baru saja pulang,tapi tanpa nurani, ia langsung menarik Thena secara kasar. Ia bahkan tak bertanya terlebih dahulu tentang kondisi Thena, padahal saat ini Thena belum pulih pasca keguguran.
“Ke mana? Aku sakit, mas. Aku baru keguguran, apa kamu gak akan ngerasa sedih sama sekali?”
“Syukur deh kalo keguguran. Beban hidup gue berkurang satu,” pungkasnya dingin dan masih terus menarik tangan Thena untuk keluar dari rumah dan bergegas mengajaknya masuk ke dalam mobil Jeep yang dikendarai oleh salah satu anak buah Brian.
“Kita mau ke mana?” ulang Thena yang mulai panik ketika mobil itu melaju pergi.
Namun, Bimo tak menggubrisnya. Ia tetap diam seribu bahasa, memilih fokus ke jalanan desa yang mereka lalui, sampai tak lama kemudian akhirnya mereka pun sampai di kediaman Brian.
Rumah dua tingkat dengan gaya arsitektur Mediterania itu tampak berdiri dengan kokohnya, begitu kontras dengan rumah-rumah di desa yang umumnya hanya berupa rumah bedeng dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Sekitar 50 orang penjaga berdiri di setiap sudutnya, menjaga keamanan rumah atau yang lebih tepatnya adalah menjaga keamanan Brian si sang empunya rumah yang tidak berdaya sama sekali di atas kursi rodanya.
"Ayo turun," perintah Bimo yang lagi-lagi menarik kasar tangan Thena untuk masuk ke dalam rumah itu.
Bagian dalam rumah jauh lebih megah, membuat Thena sempat tersihir dengan keindahannya, sebelum akhirnya keberadaan dua orang yang datang membuatnya kembali tersadar bahwa ia berada di tempat asing.
Thena membeku.
Tatapannya terpaku pada seorang pria yang duduk di atas kursi roda, dengan kondisi yang membuat Thena buru-buru menundukan kepalanya karena tak sanggup melihatnya.
Pria itu cacat.
Walaupun punya wajah yang sangat tampan, tapi ketampanan itu bahkan tertutupi oleh rahang yang bengkok dan juga kondisinya yang duduk di atas kursi roda.
"Saya datang dengan istri saya, pak. Gimana?" ujar Bimo terlihat begitu ceria, sementara Thena bahkan tidak nyaman sekali karena di tatap lekat-lekat oleh pria disabilitas itu.
"Ayo Thena perkenalkan dirimu," tambah Bimo seraya menyenggol lengan Thena.
Thena mengerjapkan matanya beberapa kali, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk mendongak dan dengan ragu mengulurkan tangannya.
"Nama saya Gea Athena," kata Thena memperkenalkan diri.
Perlahan, Brian mengulurkan tangannya dan menyambut uluran tangan Thena, tetapi ia tak bicara.
"Tuanku bernama Brian Kusuma Atmaja. Beliau tidak bisa mendengarmu dan tidak bisa bicara, karena beliau tuli dan bisu." Suara Ismail mewakili Brian, membuat Thena jadi semakin merasa tak nyaman.
Thena bahkan bergerak gelisah karena Brian tak juga melepaskan genggaman tangannya. Ia takut... sangat takut pada Brian, entah itu karena kondisi fisiknya atau mungkin karena aura tak baik yang melingkupi pria itu, yang jelas Thena takut pada Brian.
Kemudian, Ismail menoleh sejenak pada tuannya-
(Bagaimana tuan, apa anda suka?) tanyanya dengan bahasa isyarat.
Sengaja, karena tak ingin Thena tahu bahwa dirinya yang dijadikan sebagai objek tawar menawar.
(Lumayan. Kau bayar saja, Ismail. Perempuan ini harus jadi milikku.)
Hari Senin pagi, Athena begitu semangat melangkahkan kakinya memasuki lift VIP khusus para eksekutif perusahaan.Hari ini sangat menyenangkan bagi Athena karena ia berangkat bekerja diantar oleh Reza. Pria itu bahkan datang pagi-pagi sekali untuk sekadar menjemput Athena. Bahkan,Reza begitu telaten menyuapi Valerie, membuat Athena merasa benar-benar punya pasangan yang cocok untuk dirinya dan ayah yang baik untuk anaknya."Morning, Bu Aleah. Anda sepertinya sangat ceria hari ini, tidak seperti biasanya." Suara Brian menyapa.Sontak, saat itu Athena menoleh ke belakang, untuk sekadar mendapati Brian yang tersenyum tipis ke arahnya.Ah, sial memang. Saking larutnya dalam rasa senang, Athena bahkan sampai tidak melihat keberadaan Brian.“O-Oh… morning pak Brian,” sahut Athena sedikit terbata. Ia berdeham sejenak sebelum akhirnya ia menetralkan raut wajahnya kembali menjadi terlihat tanpa ekspresi."Diantar oleh suami, bu?" ta
You Hate When People See You Cry Because You Want To Be That Strong Girl. At The Same Time, Though, You Hate How Nobody Notices How Torn Apart And Broken You Are.(Anonymous)***“Baba, pon unyi.” (Papa, handponenya bunyi.) Suara menggemaskan itu terdengar, disusul dengan langkah kecil Valerie yang datang menghampiri Andreas dengan sebuah ponsel yang digenggam erat oleh tangan mungilnya.Andreas dan Athena yang saat itu sedang duduk di ruang tamu membicarakan soal bisnis pun akhirnya menoleh ke arah Valerie yang berjalan sedikit limbung ke arah mereka.“Oh, iya beneran bunyi. Makasih ya?” Andreas menyahut senang seraya meraih tubuh mungil Valerie untuk duduk dipangkuannya.Ia mengambil ponselnya dan menerima panggilan itu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya padangdan matanya tertuju ke arah Athena.“Ada apa?” tanya Athena.Andreas tak langsung menjawab. Ia menutup lubang spiker
"Kak Andre," panggil Athena ragu. Ia bersandar pada daun pintu ruang praktek Andreas di klinik pria itu.“Ada apa?” sahut Andreas bertanya, setelah ia selesai membungkus semua obat-obatan racikannya.“Eng… itu… aku mau tanya… apa dokter Reza… suka ngerayain ulang tahun?” tanya Athena dengan suara yang sedikit terbata-bata.Mendengar itu, Andreas pun seketika mengulum senyumnya dan berbalik menatap Athena dengan kedua alis yang sengaja naikkan sebelah, berniat menggoda Athena.“Apa ini artinya kamu mau memberikan lampu hijau pada penantian Reza selama ini?”Athena menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia tiba-tiba saja merasa malu dan canggung kalau harus mengakui niatannya.“Eng.. iya, aku pikir kata-kata kakak juga ada benernya. Mulai dari hari ini aku mau buka hati aku buat dokter Reza. Apa kakak tahu di mana dokter Reza biasanya ngerayain ulang tahun?”
“Minum obat anda, tuan.” Suara Ismail menegur Brian yang masih saja keras kepala tak mau meminum obatnya sama sekali.Brian masih tetap memilih terus berbaring lemah di atas tempat tidurnya, sambil terus mendiamkan demam menggorogoti tubuhnya lebih lama lagi.“Berhenti mengoceh, Ismail. Suaramu membuat kepalaku makin sakit,” protes Brian seraya menarik selimutnya sampai menutupi seluruh kepalanya.“Tuan, kan, harus mengurus perusahaan. Belum lagi proyek bersama perusahaan Hilton. Kalau anda masih terbaring lemah seperti ini, bu Aleah Dominique pasti akan marah besar. Anda tahu sendiri bagaimana murkanya beliau seperti apa?"Brian diam. Ia enggan menjawab ucapan Ismail dan memilih tetap memejamkan matanya.Pada akhirnya Ismail hanya bisa menghela napas berat dan mengembalikan botol pil obat anti depresan juga obat demam Brian itu ke dalam laci nakas."Ah, ternyata tuan sudah tak punya semangan hidup. Padahal saya
"Brian Atmaja bercerai," ucap Andreas membaca headline dari berita online yang ia baca di ponselnya. “Ckckck... jaman sekarang berita perceraian orang-orang kaya lebih banyak dimuat di media berita, darpada informasi saham atau apapun yang lebih pending,”lanjutnya berkomentar.Sementara Athena tampak termenung mendengar kabar itu. Entah ia harus bereaksi seperti apa. Sebab, untuk sekadar bergembira pun ia tak mampu. Hatinya sudah terlanjur kosong untuk sekadar memberikan reaksi soal Brian.“Kamu gak mau ketawa gitu?” tanya Andreas seraya menoleh ke arah Athena.Athena menggeleng cepat.“Gak deh makasih. Gak peduli juga hidup mereka berantakan atau apa pun juga, kecuali kalo mereka sengsara karena perbuatanku, barulah aku senang." Sudut bibir Athena berkedut, menyunggungkan senyum miring untuk beberapa saat.Andreas terbahak, lalu mengulurkan tangannya untuk sekadar mengusap gemas puncak kepala Athena.&ldq
Tak ada banyak yang aku harapkan.Cukup dengan melihatmu setiap pagi menyajikan senyum dan ucapan selamat pagi tiap kali aku bangun tidur pun, aku sudah bahagia.Ah, andai semua harap tentangmu bisa jadi nyata, Aleah.(Reza Zanuardi)***"Atas nama ibu Aleah Dominique?" suara seorang kurir langsung menyapa begitu Athena membuka pintu mansion Andreas.Bukannya langsung menjawab, Athena justru mengerutkan keningnya bingung dengan segala tanya di kepala-Dia tahu alamat ini dari mana? batin Athena.“Ya, saya sendiri. Ada keperluan apa?”tanya Athena akhirnya, alih-alih menanyakan pertanyaan yang sebelumnya sempat terlintas di kepalanya.“Oh, ini ada kiriman bunga dan kotak hadiah untuk ibu Aleah Dominique atas nama pengirim Reza Zanuardi,” jawabnya ringan seraya mengulurkan rangkaian bungan mawar-bunga baby birth dan tulip ungu itu kepada Athena.Sedangkan Athena sudah