3 Juni 2023
Tiga bulan sebelum hari pertunangan.
Cantika memasuki klinik hewan milik Lian yang sudah sepi. Cantika memang sengaja memilih jam malam, karena Lian pasti sudah selesai praktik saat ini. Cantika melangkah menuju ruangan praktik Lian, namun sebelum tiba di sana Cantika lebih dulu disambut oleh Fandy—asisten Lian.
“Maaf, kami sudah tutup.”
“Aku emang sengaja nunggu tutup. Dokter Lian ada di ruangannya, kan?” Cantika hendak lanjut berjalan menuju ruangan Lian, namun Fandy menghadangnya. “Maaf, tapi dokter Lian sudah mau pulang.”
“Bilang sama dia kalo yang dateng calon istrinya,” tegas Cantika dan langsung duduk di kursi tunggu yang di sediakan di depan ruang praktik Lian. Fandy terdiam beberapa saat, seolah masih mencerna ucapan Cantika barusan.
“Kenapa malah bengong di situ? Buruan kasih tau Lian.”
“I—iya permisi…” Fandy buru-buru melipir masuk ke ruangan Lian. Cantika tersenyum penuh rencana. “Liat aja Dion— aku bakal kasih kamu kejutan yang nggak pernah kamu sangka-sangka.”
Tak berapa lama kemudian, Lian keluar di dampingi oleh Fandy. Lian menatap heran pada Cantika yang masih duduk di kursi tunggu sambil melambai mesra ke arahnya.
“Hai, Sayang…” sapa Cantika tanpa segan. Lian makin bingung dengan sikap Cantika. Fandy masih terheran-heran hingga menyodok lengan Lian.
“Beneran lo mau nikah? Kenapa gak pernah cerita sama gue? Terus cewek itu kayaknya gak asing deh, tunangan si Dion kan?” bisik Fandy, detik berikutnya Lian langsung menyentil jidat Fandy.
“Gak usah kepo! Lo balik sana!” Lian mendorong Fandy menjauh darinya. Fandy berdecak, dia melirik ke arah Cantika lalu kembali pada Lian— seolah masih enggan pergi duluan.
“Buruan!” Lian melotot pada Fandy.
“Iya, bawel!” Fandy berdecak kesal sebelum akhirnya pergi.
Lian terdiam sejenak, sedang serius memikirkan alasan kenapa Cantika tiba-tiba datang ke kliniknya—bahkan menyapanya dengan sebutan ‘sayang’. Lian ingat betul, sejak pertama kali dia mengenal Cantika, perempuan itu selalu menunjukkan ketidaksukaannya.
Lian akhirnya melangkah menghampiri Cantika sembari tersenyum manis. “Halo, Mbak Cantik. Tumben banget dateng ke klinik?”
“Lo udah lama tau kalo gue calon istri Dion, kan?”
Lian mengerutkan kening saat mendengar pertanyaan Cantika. Perempuan itu hanya menanyakan sesuatu yang sudah jelas. “Yaa— ya taulah.”
“Terus apa lo tau, kalo selama ini lo selalu ganggu hubungan gue sama Dion?” tanya Cantika dengan ekspresi sinis. Lian tersenyum garing, ekspresinya menunjukkan jika ia sedang tak habis pikir.
“Maksud mbak Cantik ganggu— ganggu yang kayak gimana?”
“Selama ini Dion selalu mentingin lo ketimbang gue. Bahkan waktu gue minta Dion bantu ngurus acara pertunangan, dia lebih milih bawain kandang kuncing ke rumah lo.” Cantika bangkit dari duduknya, terus menatap Lian dengan sengit sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Gaya judesnya saat menegur Lian sebenarnya mengingatkan dirinya pada adegan istri sah yang lagi ngelabrak pelakor di sinetron-sinetron.
“Mbak, aku nggak pernah nyuruh Dion ngelakuin itu, semua yang dia lakuin atas inisiatif dia sendiri,” tegas Lian.
“Lo kan bisa nolak? Lo bisa ngusir dia, lo bisa nyuruh dia buat mentingin gue— se-simple itu!”
“Nggak simple kalo urusannya sama Dion, mbak Cantik tau sendiri kalo dia kepala batu,” ujar Lian. Lian mendorong Cantika agar kembali duduk, kemudian dia sendiri juga duduk di bangku tunggu dengan memberi jarak satu kursi dari Cantika. Entah kenapa bicara dengan perempuan itu sangat menguras energinya.
“Sekarang coba mbak tanya sama diri sendiri— selama ini hubungan mbak sama Dion nggak berjalan mulus, apa karena masalah dari luar? Harusnya mbak jadi orang yang paling tau, sebenarnya masalah kalian sumbernya dari mana.”
“Dari elo!!” Cantika kembali bangkit, berdiri tepat di hadapan Lian yang masih duduk di bangku tunggu. “Dion lebih peduli sama elo. Gue dikacangin gara-gara elo. Jangan-jangan kalian emang pacaran? Iya? Kalian gay?”
“Mbak jangan sembarangan ngomong ya!” Lian berdiri dari duduknya hingga kini mereka berdiri saling berhadapan. “Meski aku nggak alim-alim banget, tapi aku orang beriman. Aku juga masih normal, 200% normal!” Nada bicara Lian agak meninggi dari sebelumnya. Kali ini Lian memang tak bisa menahan emosinya.
Cantika mengangkat sebelah tangannya, memberi kode agar Lian tak lagi bicara. Cantika sebenarnya sadar jika apa yang terjadi bukan salah Lian, namun dia sedang butuh orang untuk dipersalahkan.
“Kalo lo normal, berarti Dion yang hombreng. Selama ini dia bucin sama lo.”
“Mbak, fitnah lebih kejam dari pembunuhan.” Lian mulai lelah bicara dengan Cantika.
“Perhatian dia ke elo gak bisa bohong, Lian. Gue inget waktu gue sakit, dia gak pernah mau jagain gue. Kalo elo yang sakit, dia rela gak pulang buat jagain lo. Fix sih, kalian emang pacaran,” tuding Cantika.
"Mbak sakit bisul doang kali, makanya Dion males jagain," tebak Lian.
Cantika langsung melotot marah. Ngeri dengan tatapan tajam Cantika, Lian buru-buru menjelaskan, “Aku sama Dion nggak pacaran, Mbak. Aku berani sumpah.”
“Kalo lo normal, coba buktiin.” Cantika menatap Lian dengan ekspresi menatang, membuat Lian bergidik dan langsung menutup dadanya dengan kedua tangan seolah ingin melindungi diri jika ada serangan mendadak dari Cantika.
“Maksudnya mbak mau nyoba kejantananku? Astaghfirullah, nggak boleh loh mbak nganu sebelum nikah.”
Cantika kesal dan meraup muka Lian. “Gue nggak ngajak lo nganu.”
“Terus?”
Cantika berdeham, sebelum bertanya, “Menurut lo, gue cantik gak?”
“Iya, cantik banget,” jawab Lian tanpa keraguan.
Cantika manggut-manggut. “Kalo gitu, mending lo aja yang nikah sama gue.”
Lian tersedak ludah sendiri sesaat setelah mendengar permintaan Cantika hingga terbatuk beberapa kali. “Mbak Cantik tadi ngomong apa? Kayaknya tadi aku salah denger.”
“Gue pengen kita nikah!” tegas Cantika.
“Mbak lagi sakit, ya?” Lian menyentuh kening Cantika sejenak, kemudian tersenyum garing. “Tapi maaf, Mbak. Ini klinik hewan, bukan kejiwaan.”
Cantika kesal, dia menarik kerah baju Lian, lalu menghempaskan tubuh Lian ke arah dinding dengan kasar. Lian terbelalak kaget dengan sikap barbar perempuan itu. Namun sebelum Lian pindah posisi, Cantika lebih dulu menggunakan lengannya untuk menahan dada Lian agar tubuhnya tetap tersudut pada dinding.
“Kamu apa-apaan sih?” Lian kesal.
“Gue serius sama ucapan gue tadi, gue beneran pengen nikahin lo,” ucap Cantika tanpa ragu. Kedua matanya menatap tajam pada Lian yang tubuhnya masih terkunci oleh lengannya. Lian terdiam beberapa jenak, seolah berusaha mengontrol emosinya. Lian menarik napas panjang, lalu mulai tergelak menertawakan Cantika.
“Lo lagi ngetawain apa?”
“Mbak lucu deh, emang seputus asa itu mbak sama Dion? Sampe mbak malah ngajak aku nikah?” Ledek Lian. Cantika balas tertawa. “Gue gak peduli lo mau komen apa, yang jelas gue bakal nikahin lo.”
“Aku nggak mau, Mbak.”
“Sayangnya gue nggak lagi nawarin lo, tapi gue perintahin lo jadi suami gue.”
“Mbak nggak bisa maksa aku…”
“Oh ya?” Cantika tertawa, “Sayangnya masa depan lo ada di tangan gue.”
Lian mengernyit heran. Cantika bisa melihat ekspresi penasaran tersebut.
“Jadi gak tega liat lo penasaran gini.” Cantika mengangkat tangannya yang sebelumnya menahan dada Lian. Cantika kemudian meraih hp di tasnya, lalu mengutak atiknya sejenak.
“Gue tau kalo lo dokter hewan gandungan.”
Lian terdiam dengan eskpresi tegang saat mendengar ucapan Cantika. Terlebih saat Cantika menunjukkan layar hp-nya yang memperlihatkan laman website untuk mengecek status dokter.
“Nama lo nggak terdaftar sebagai dokter, gue juga tau kalo klinik lo ini juga ilegal. Lo bisa bayangin sendiri, apa yang bakal terjadi kalo gue sebarin fakta ini? Lo bakal tamat.”
Lian hanya diam dengan ekspresi shock. Cantika tersenyum puas melihat ekspresi Lian. Cantika mencubit ujung dagu Lian, lalu berbisik, “Gimana? Udah mau jadi nikah sama gue?”
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S