***
Celine sudah menyelesaikan pembayaran perlengkapan dan furniture untuk rumah barunya. Sebetulnya, tidak bisa dianggap rumah baru juga. Town House yang kini ditempatinya merupakan salah satu warisan mendiang suami yang diwariskan untuknya. Alaric Kusuma adalah anak tengah yang datang dari keluarga berada. Semua warisan atas nama Celine merupakan hasil jerih payahnya sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga Kusuma.
Ia memutuskan untuk menikmati secangkir kopi sebelum pulang. Matanya tertuju pada cafe yang berada di pintu muka pusat perbelanjaan. Dekorasi cafe yang menarik karena mengusung konsep Green House dengan sejumlah tanaman hias dan bunga beragam warna.
Kehadirannya disambut oleh suasana yang nyaman dan segar karena di tengah cafe terdapat pohon rindang yang menaungi ruangan semi terbuka. Pengunjung yang duduk pun tidak terlalu ramai seperti di dalam pusat perbelanjaan furniture tadi.
Celine memesan iced americano dan roti lapis prosciutto. Hidangan yang menggugah selera saat cacing dalam perutnya meronta-ronta minta makan. Ia memilih berdiri di balik meja dekat barista yang sedang menyelesaikan pesanannya. Matanya lalu tertunduk dengan keberadaan seorang gadis mungil yang sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Ujung mulut Celine membentuk senyuman puas meski hanya dengan memandang gadis itu.
Gadis kecil itu terlihat kesulitan meraih gelas yang berisi milkshake di hadapannya. Tepat hitungan ketiga, tangan kecilnya tidak kuat dan menjatuhkan gelas berisi minuman itu.
Prang! Gelas kaca tinggi itu terjatuh dan menyisakan puing beling di lantai. Celine dengan sigap menghampiri karena khawatir akan ada pecahan kaca melukai sang gadis mungil.
Celine meraih kedua tangan kecil itu dan menggendongnya dengan segera. Ia memanggil pelayan dengan sigap. “Mas, ini tolong dibersihkan dulu. Saya khawatir pecahan gelas mengenai anak ini.”
Pelayan mengangguk dan dengan segera menutup Tempat Kejadian Perkara dengan serbet putih dari pinggangnya. Sedetik kemudian, pekerja lain sudah siap membawa peralatan untuk membersihkan pecahan.
“Sayang, kamu tidak apa-apa?” Celine menatap wajah Lola.
Lola menggeleng dan terlihat sangat pucat. Celine menunggu balita yang sedang mengenakan pakaian putri kerajaan ini akan menangis meraung-raung seperti anak kecil pada umumnya. Tapi ternyata, Lola bukan balita yang suka menangis dan berteriak.
“Loh, nggak nangis. Hebat ya, Tuan Putri. Tante ijin menggendong kamu sebentar ya, soalnya Tante Celine khawatir pecahan gelasnya akan melukaimu.”
Lola mengangguk mengerti tapi kegundahan di wajahnya belum sirna.
Celine memperhatikan wajah Lola yang blasteran. Ia mencoba cara lain agar gadis mungil ini bisa memberitahu dimana orang tuanya berada.
“Princess, where’s your mommy and daddy?”
“I don’t have mommy, Tante. Ayah is meeting with his friends right now.” Lola membuka suaranya dan menunjuk ruang semi terbuka dimana ayahnya berada.
Belum sempat Celine merespon penjelasan Lola. Salah satu pekerja dengan name tag Manajer mendekati tempat Celine dan Lola berdiri.
“Ibu, makanannya biar kami ganti. Sebentar kami bantu pindahkan barangnya ke meja yang sudah kami siapkan. Silakan.”
Celine mengiyakan dan mengikuti utusan manajer ke meja baru yang sudah dibersihkan.
***
Celine masih menggendong Lola sambil duduk bersamanya. Entah mengapa, ia tidak ingin melepas gadis kecil ini begitu saja. Celine langsung teringat dengan mendiang bayinya yang meninggal yang bahkan belum sempat menghirup dunia.
Andai, kecelakaan itu tidak merenggut nyawa bayinya. Sudah tentu bayinya juga akan tumbuh sama manisnya seperti gadis mungil yang sedang digendongnya saat ini. Begitu suara hati Celine membisiki lamunannya.
“Tante.” Suara Lola menghamburkan lamunan Celine.
“Iya, Manis. Kau boleh memanggilku Celine.” Celine mengelus pipi tembem Lola. Gadis mungil di pangkuannya terkikik. Padahal, Celine sudah khawatir gadis kecil ini akan menangis mencari kedua orang tuanya.
Bukankah anak sekecil ini seharusnya didampingi seorang dewasa? Bagaimana jika ia adalah penculik dan dengan mudah akan membawa kabur Tuan Putri ini? Celine mulai merangkai ide gila untuk menculik gadis kecil di hadapannya.
“Princess manis, namamu siapa?”
“Ayah bilang, aku tidak boleh berbicara dengan orang asing.”
“Uhm, anak pintar.” Celine memuji kepintaran Lola. “Baiklah kalau begitu, supaya kita lagi menjadi asing, kau dan aku harus saling berkenalan sambil bersalaman.”
Tampak keraguan di wajah gadis kecil ini.
“Sesama Tuan Putri harus saling mengenal loh,” bujuk Celine. “Ayo, ceritakan tentang kerajaanmu, Tuan Putri?” Celine meraih ujung dress Lola yang menyerupai kostum Princess Jasmine lengkap dengan mahkota kecil di atas kepalanya yang dikepang manis.
“Memang Tante Celine seorang putri juga?” Terlihat kilatan ingin tahu dari mata Lola.
“Tentu saja. Apa kau tidak mengenal Princess Celine dari Budapest, Hungaria?” Celine mengetes Lola.
Lola menggeleng.
“Baiklah, akan kuceritakan bagaimana kerajaan milikku di Budapest. Tapi, cerita ini hanya akan kubagi pada sesama Putri.”
“Namaku Aurora. Ayah, Opa dan Oma selalu memanggilku Lola.” Lola menjelaskan dengan antusias pada Celine.
“Halo, Princess Aurora. Senang berkenalan denganmu, aku Putri Celine.” Celine memperkenalkan diri dan mereka hanyut dalam dongeng yang akan diceritakan olehnya untuk Lola.***
IG: TabiCarra10
***Satu jam setengah berlalu dengan cepat. Barra mencapai meja Lola dan menemukan gadis kecilnya tidak berada di tempat semula. Salah satu pelayan dengan sigap menunjukkan dimana putri kecil dan istrinya berada.Hah, apa? Istri? Sejak kapan aku memiliki Istri? Barra protes dalam hati. Wajahnya merah padam menahan amarah dan rasa khawatir mengenai keberadaan putrinya.Apa mantan istrinya sudah kembali dan akan merebut Lola darinya? Tapi, Aimee tidak mungkin mengenal wajah Lola. Sejak kepergiannya, Barra tidak pernah berniat mencari Aimee atau menghubunginya.Barra akhirnya menangkap sosok putrinya yang sedang dipangku seorang wanita. Ia hanya bisa menangkap sosok feminin dari balik punggungnya. Keduanya sedan
***Setelah pertemuan pertama mereka yang dramatis di sudut cafe, Celine berhasil membujuk Barra untuk menikmati makan siang bersama. Sejak pemakaman Alaric, Celine pergi dari tanah air dan hampir memutus semua kontak komunikasi dengan semua orang, termasuk Barra.“Jadi, sekarang kau meneruskan bisnis keluarga Hutama di bidang pertambangan?” Keduanya sudah duduk berhadapan. Lola sedang menikmati suapan terakhir makanan kesukaannya dan tidak terlalu mengikuti perbincangan dua orang dewasa di hadapannya.“Salah satu tebakanmu tentang aku betul tapi rasanya kurang tepat, Celine. Aku memang melanjutkan bisnis ayah di bawah perusahaan Hutama, tapi aku membuat anak perusahaan baru yang khusus bergerak di bidang pembaharuan lingkungan. Sebutlah untuk menebus rasa bersalah keluargaku pada tanah dan bumi ak
***“Ayah.” Lola berkata pelan sambil menyandarkan punggungnya di car seat bangku penumpang.“Uhm.” Barra menjawabnya dengan ogah-ogahan. Isi kepalanya masih sibuk bersama bayangan Celine tadi di cafe.“Ayah, terima kasih sudah mengajak Lola jalan-jalan hari ini. Bertemu Queen.”“Queen?” Barra kini terlihat antusias dengan hal yang baru disampaikan Lola.“Iya, Queen Celine. Ayah tahu tidak, Tante itu Putri juga loh.”“Oh ya?” Barra bertanya balik pada putri semata wayangnya.&ldq
***Brakk! Dengan tergesa Barra mendorong pintu apartemen dengan Hannah tidak sabar. Sedangkan, perempuan muda berusia setengah dari Barra itu sudah menggeliat tidak sabar di gendongannya. Sepasang tangan Hannah mengalung pada leher Barra yang kekar. Ia sibuk memberi penanda pada ceruk leher Barra.“Apa kau yakin teman sekamarmu sedang tidak ada di rumah?”Perempuan muda itu menjawab dengan erangan karena terlalu sibuk.Barra tidak menahan diri lagi. Ia segera menghimpit punggung Hannah ke dinding terdekat. Dengan cekatan, ia sudah membuka resleting dress bodycon Hannah dan meloloskannya melewati kepala. Hanya tersisa
***Gaun merahnya tertiup pelan disambut langit sore. Kalau bukan bertugas menjadi salah satu pengiring pengantin wanita, ia tidak akan mungkin mau mengenakan gaun berani seperti ini. Jelas sudah tipe gaun yang cukup mengekspos lekuk tubuhnya, bukan bagian dari kepribadiannya. Tapi, karena Ethel adalah sepupunya, ia tidak bisa menolak permintaannya.Celine sempat bertukar kabar dengan beberapa kawan sekolahnya dulu. Bagaimanapun juga, bagi lingkungan terbatas seperti mereka ruang lingkup pertemanan biasanya juga akan sama. Mungkin kasus berbeda untuknya yang selama lima tahun terakhir memilih pergi dan mengasingkan diri.Tidak disangka ia harus memasang tampang ramah sepanjang hari, ketika hampir semua kawannya menanyakan kondisin
***Klik! Sejak kapan Maa bersikap panik menghadapi Lola yang sedang demam? Diberi ibuprofen dan membiarkan anak itu istirahat adalah obat mujarab.“Apa kita perlu melanjutkan kegiatan kita tadi di atas sofa nyaman itu, Sayang?”Terdengar suara perempuan bersama Barra.“Uhm.” Barra menjawab dengan decakan nikmat. Bibirnya sibuk mengecupi leher polos perempuan yang kini melekat pada dada lelaki itu.Rasa ingin tahu Celine membuatnya mendongakkan kepala sedikit. Mungkin inilah definisi mengintip sesungguhnya. Sepasang matanya kembali dikejutkan dengan Barra yang sedang melumat bibir gadis muda di hadapannya.Aduhhh, bagaimana ini kala
***Situasi lalu lintas tidak terlalu ramai pada Minggu petang seperti ini. Mobil Barra membelah jalanan utama dengan kecepatan cahaya. Entah apa yang membuatnya mendadak khawatir seperti ini.Drtt! Ponselnya kembali bergetar. Nama ayahnya tertera di nada panggil. Barra meraih headset dan menekan tombol jawab.“Ayah.”“Barra, kami sedang menuju IGD. Lola kini menggigil dan panasnya sudah lebih dari 40 derajat, kami khawatir. Rumah sakit Saint Vincent.”“Baik, aku menyusul kesana nanti. Ada yang harus aku lakukan dulu.”“Jangan lama-lama ya.” Ayah Barra berkata dengan cepat.
*** Celine tertidur di samping Lola sambil memegangi tangan kecil itu. Sisi wajah kanannya ia rebahkan di ranjang dengan posisi duduk yang tidak nyaman karena ketiduran dengan tidak sengaja. Matanya mengerjap dan melihat Lola yang terlelap. Tadi subuh anak kecil itu sempat bangun dan meminta air minum padanya. Celine melihat secercah riang dari tubuh mungil yang sedang meringis menahan sakit itu. “Queen Celine,” begitu Lola memanggilnya, “Perut Lola sakit lagi.” Celine menghubungi perawat dan mereka memberi penahan sakit ringan yang aman untuk anak kecil. Meski tidak bisa melenyapkan rasa sakit di perut Lola, setidaknya gadis itu dapat kembali beristirahat agar tidak kekurangan cairan. Ia memandang jam tangan kecil denga