***
Mengingat kejadian semalam. Kegiatan berasyik-masyuknya digagalkan oleh kehadiran atasan Ann. Barra gagal mengeksekusi Ann si gadis bahenol. Sial! Barra merutuk dalam hati. Jumat malamnya kacau sudah. Padahal, ia sudah berpuasa syahwat hampir sebulan ini karena aktivitas perusahaan yang sibuknya bukan main menerima pesanan konsumen.
Bagaimana sabtu-minggu ini? Sabtu paginya harus diisi dengan jadwal meeting dadakan dengan calon klien yang berprospek besar. Mana bisa dibatalkan! Belum lagi kesialannya berhenti, ketika akan menuju garasi mendadak pengasuh Lola mengejarnya dengan panik sambil menggendong Lola, putri semata wayangnya. Pengasuh paruh baya itu memohon ijin pulang karena suaminya mengalami kecelakaan dan kini berada di rumah sakit.
Sekejam-kejamnya Barra, tidak mungkin ia melarang perempuan paruh baya penuh keibuan itu untuk mengejar suaminya yang sedang terluka. Terlihat Lola sudah siap dengan ransel mininya.
“Ayah.” Lola memanggil namanya. Anak gadisnya terlihat menyerupai princess mini yang imutnya bukan main. Dua bulan lagi, usianya akan genap lima tahun. Untuk gadis mungil seusianya, Lola bukan anak yang susah diatur biarpun aktifnya tidak kepalang.
“Lola, kamu temani Ayah menghadiri rapat ya. Ayah tidak sempat menitipkan kamu ke rumah Opa dan Oma karena mereka juga sedang ada urusan pagi ini. Lola, jangan nakal!”
Anak gadisnya mengangguk dengan antusias. Mungkin dalam pikirannya, ayah sedang mengajaknya jalan-jalan. Barra akui, ia memang jarang jalan keluar rumah hanya berdua dengan Lola. Akhir pekan Lola biasanya akan dititipkan di rumah orang tuanya. Sejak kepergian Aimee dari hidup Barra untuk mengejar karirnya sebagai model internasional dan meninggalkan Lola tepat ketika bayi mereka berumur genap enam bulan.
***
“Lola!” Barra meneriaki gadis kecilnya dari jarak tiga meter. Beberapa mata menguncinya dengan pandangan ingin tahu. Bagaimana seorang lelaki dewasa bisa meneriaki anak balita intonasi kemarahan tidak tertahan?
Alis Lola menyatu, bibirnya mengatup dengan sudut yang ditarik kebawah, sepasang matanya yang bulat mulai banjir dengan air mata. Tapi, Lola sama sekali tidak bersuara. Gadis kecil itu menahan isak sekuat tenaganya.
“Apa Ayah bilang? Kamu jangan kemana-mana! Kalau ada penculik, bagaimana? Dasar anak nakal!” Barra kehabisan sabar dan dengan secepat kilat sudah meraih Lola. Meski suaranya tertahan tapi cengkeraman kasar Barra seolah menusuk kepolosan putri kecilnya.
“Aww, Ayah! Sakit. Lola… Lo...Laaa.” Anak gadisnya tidak bisa lagi menahan tangis. Derainya memecah keramaian cafe pada sabtu siang. Barra segera membawa Lola ke sudut cafe terdekat. Mendudukinya di sofa. Kedua kaki gadis itu tergantung karena dudukan sofa yang cukup tinggi.
Barra mendorong punggung Lola agar bersandar dan mengambil sejumlah peralatan gambar dari dalam tas ransel princess dengan agak kasar.
“Sudah, jangan menangis. Ini lanjutkan gambarnya.” Suara Barra mulai melunak karena tidak tega sendiri. Jauh dalam lubuk hati, ia sering mempertanyakan mengapa sikapnya terlalu dingin pada Lola. Semua kekacauan yang terjadi dalam rumah tangganya bersama Aimee tentu bukan salah gadis kecilnya. Tapi, mengapa ia selalu bersikap keras dan acuh?
Barra mengelus pelan pipi Lola dengan sayang. Naluri kebapakannya mendadak muncul. Lola menghentikan tangis dan memandang wajah Barra. Seketika itu pula Lola sudah kembali tersenyum manis. Seakan lupa dengan hardikan yang baru saja dimuntahkan ayahnya dua menit lalu.
“Ayah, Lola janji tidak nakal lagi. Lola duduk disini ya, tunggu Ayah.” Cicit kecil gadis mungil Barra mengalir dengan tulus.
Barra mengangguk. Mengambil nampan berisi rainbow cupcake dan milkshake vanilla kesukaan Lola. “Tunggu, Ayah. Jangan berbicara pada orang asing!”
Ia memberi instruksi pada barista cafe yang sedang bertugas tepat di sebelah meja Lola. Hampir semua pekerja di cafe mengenal Barra. Sudah tiga tahun terakhir, perusahaannya yang memasok tanaman hias dan bunga segar untuk dekorasi cafe. Setiap dua minggu sekali selalu ada jenis bunga dan tanaman eksotis menghias di cafe.
Barra berjalan ke samping dan melewati beberapa meja, dimana calon klien dan anak buahnya sedang menunggu di ruangan khusus meeting. Setelah duduk di kursi, Barra bisa menangkap sosok Lola yang sudah mulai menggambar dan terlihat sibuk sendiri di di sofanya.
Hatinya cukup tenang karena bisa mengawasi Lola dari jauh dan tetap melanjutkan rapat penting untuk keberlangsungan bisnisnya.***
IG: TabiCarra10
*** Celine sudah menyelesaikan pembayaran perlengkapan dan furniture untuk rumah barunya. Sebetulnya, tidak bisa dianggap rumah baru juga. Town House yang kini ditempatinya merupakan salah satu warisan mendiang suami yang diwariskan untuknya. Alaric Kusuma adalah anak tengah yang datang dari keluarga berada. Semua warisan atas nama Celine merupakan hasil jerih payahnya sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga Kusuma. Ia memutuskan untuk menikmati secangkir kopi sebelum pulang. Matanya tertuju pada cafe yang berada di pintu muka pusat perbelanjaan. Dekorasi cafe yang menarik karena mengusung konsep Green House dengan sejumlah tanaman hias dan bunga beragam warna.
***Satu jam setengah berlalu dengan cepat. Barra mencapai meja Lola dan menemukan gadis kecilnya tidak berada di tempat semula. Salah satu pelayan dengan sigap menunjukkan dimana putri kecil dan istrinya berada.Hah, apa? Istri? Sejak kapan aku memiliki Istri? Barra protes dalam hati. Wajahnya merah padam menahan amarah dan rasa khawatir mengenai keberadaan putrinya.Apa mantan istrinya sudah kembali dan akan merebut Lola darinya? Tapi, Aimee tidak mungkin mengenal wajah Lola. Sejak kepergiannya, Barra tidak pernah berniat mencari Aimee atau menghubunginya.Barra akhirnya menangkap sosok putrinya yang sedang dipangku seorang wanita. Ia hanya bisa menangkap sosok feminin dari balik punggungnya. Keduanya sedan
***Setelah pertemuan pertama mereka yang dramatis di sudut cafe, Celine berhasil membujuk Barra untuk menikmati makan siang bersama. Sejak pemakaman Alaric, Celine pergi dari tanah air dan hampir memutus semua kontak komunikasi dengan semua orang, termasuk Barra.“Jadi, sekarang kau meneruskan bisnis keluarga Hutama di bidang pertambangan?” Keduanya sudah duduk berhadapan. Lola sedang menikmati suapan terakhir makanan kesukaannya dan tidak terlalu mengikuti perbincangan dua orang dewasa di hadapannya.“Salah satu tebakanmu tentang aku betul tapi rasanya kurang tepat, Celine. Aku memang melanjutkan bisnis ayah di bawah perusahaan Hutama, tapi aku membuat anak perusahaan baru yang khusus bergerak di bidang pembaharuan lingkungan. Sebutlah untuk menebus rasa bersalah keluargaku pada tanah dan bumi ak
***“Ayah.” Lola berkata pelan sambil menyandarkan punggungnya di car seat bangku penumpang.“Uhm.” Barra menjawabnya dengan ogah-ogahan. Isi kepalanya masih sibuk bersama bayangan Celine tadi di cafe.“Ayah, terima kasih sudah mengajak Lola jalan-jalan hari ini. Bertemu Queen.”“Queen?” Barra kini terlihat antusias dengan hal yang baru disampaikan Lola.“Iya, Queen Celine. Ayah tahu tidak, Tante itu Putri juga loh.”“Oh ya?” Barra bertanya balik pada putri semata wayangnya.&ldq
***Brakk! Dengan tergesa Barra mendorong pintu apartemen dengan Hannah tidak sabar. Sedangkan, perempuan muda berusia setengah dari Barra itu sudah menggeliat tidak sabar di gendongannya. Sepasang tangan Hannah mengalung pada leher Barra yang kekar. Ia sibuk memberi penanda pada ceruk leher Barra.“Apa kau yakin teman sekamarmu sedang tidak ada di rumah?”Perempuan muda itu menjawab dengan erangan karena terlalu sibuk.Barra tidak menahan diri lagi. Ia segera menghimpit punggung Hannah ke dinding terdekat. Dengan cekatan, ia sudah membuka resleting dress bodycon Hannah dan meloloskannya melewati kepala. Hanya tersisa
***Gaun merahnya tertiup pelan disambut langit sore. Kalau bukan bertugas menjadi salah satu pengiring pengantin wanita, ia tidak akan mungkin mau mengenakan gaun berani seperti ini. Jelas sudah tipe gaun yang cukup mengekspos lekuk tubuhnya, bukan bagian dari kepribadiannya. Tapi, karena Ethel adalah sepupunya, ia tidak bisa menolak permintaannya.Celine sempat bertukar kabar dengan beberapa kawan sekolahnya dulu. Bagaimanapun juga, bagi lingkungan terbatas seperti mereka ruang lingkup pertemanan biasanya juga akan sama. Mungkin kasus berbeda untuknya yang selama lima tahun terakhir memilih pergi dan mengasingkan diri.Tidak disangka ia harus memasang tampang ramah sepanjang hari, ketika hampir semua kawannya menanyakan kondisin
***Klik! Sejak kapan Maa bersikap panik menghadapi Lola yang sedang demam? Diberi ibuprofen dan membiarkan anak itu istirahat adalah obat mujarab.“Apa kita perlu melanjutkan kegiatan kita tadi di atas sofa nyaman itu, Sayang?”Terdengar suara perempuan bersama Barra.“Uhm.” Barra menjawab dengan decakan nikmat. Bibirnya sibuk mengecupi leher polos perempuan yang kini melekat pada dada lelaki itu.Rasa ingin tahu Celine membuatnya mendongakkan kepala sedikit. Mungkin inilah definisi mengintip sesungguhnya. Sepasang matanya kembali dikejutkan dengan Barra yang sedang melumat bibir gadis muda di hadapannya.Aduhhh, bagaimana ini kala
***Situasi lalu lintas tidak terlalu ramai pada Minggu petang seperti ini. Mobil Barra membelah jalanan utama dengan kecepatan cahaya. Entah apa yang membuatnya mendadak khawatir seperti ini.Drtt! Ponselnya kembali bergetar. Nama ayahnya tertera di nada panggil. Barra meraih headset dan menekan tombol jawab.“Ayah.”“Barra, kami sedang menuju IGD. Lola kini menggigil dan panasnya sudah lebih dari 40 derajat, kami khawatir. Rumah sakit Saint Vincent.”“Baik, aku menyusul kesana nanti. Ada yang harus aku lakukan dulu.”“Jangan lama-lama ya.” Ayah Barra berkata dengan cepat.