Share

Bab 2

Author: Osaka ois
last update Huling Na-update: 2024-06-06 07:30:28

Keesokan harinya. Tepatnya sore ini Jharna dijemput supir dari kediaman Agustine. Tepat saat sampai, Agustine sendiri yang menyambutnya dan memberikan pelukan hangat selamat datang. Keduanya berjalan masuk dengan tangan Agustine senantiasa menggandeng Jharna, memperlakukannya hangat selayaknya keluarga sungguhan.

"Anakku masih berada di ruang kerja, mungkin nanti saat jam makan malam tiba dia akan keluar," ungkap Agustine sambil tersenyum kecil.

"Baiklah, Bu. Aku mengerti." Masih ada rasa tak rela akibat perjodohan ini, dia takut kebebasannya semakin tipis sekedar mengekspresikan diri. Namun, Jharna tetap pada tujuan utama, membalas Agustine semampunya melalui calon suaminya nanti.

Sedangkan Agustine menuntun Jharna ke lantai atas tempat atap yang telah di desain nyaman, guna bersantai. Di sana ternyata ada meja bundar berukuran sedang, beserta camilan dan teh.

Keduanya duduk seraya menikmati pemandangan langit yang semakin larut berubah, menjadikan warna jingga menciptakan senja di akhir petang. Jharna termangu memandangi semua itu, sudah lama perasaan tenang seperti ini tidak datang berlabuh.

"Bagaimana, kau menyukainya, hmm?" tebak Agustine di kala perhatian Jharna benar-benar teralihkan.

Jharna mengangguk mengiyakan, kemudian menatap Agustine penuh linangan air mata. "Terima kasih, Bu, kau menunjukkan sesuatu yang indah untuk aku pandangi. Ini sangat berarti bagiku."

Tangan wanita paruh itu menepuk lembut pundak kanan Jharna. "Senang mendengar mu, kalau menyukainya. Padahal ini sangat sederhana, aku bersyukur kau senang walau hanya hal kecil."

"Bu, ini lebih dari yang kau pikirkan. Sebelum aku bertemu denganmu, aku jarang sekali menikmati pemandangan langit seindah senja, biasanya aku melewatinya kala pekerjaan selanjutnya berlangsung."

Hati Agustine berdesir nyeri, perlakuan kecilnya amat berarti bagi Jharna. Tiada orang yang menghargai usahanya demi kebahagiaan seseorang, anak-anaknya saja tak mempunyai niat berkata demikian, malah mereka hanya membalas ucapan terima kasih tanpa mau menatap saking sibuknya bekerja.

Usapan diberikan di kepala belakang Jharna. Sentuhan tersebut terasa nyaman, seolah-olah memang ada rasa kasih sayang di sana. Begitu pula Agustine, dirinya rela menuangkan perhatian untuk calon menantunya ini.

"Hiduplah sesuai kemauanmu nanti, anakku bukanlah seseorang yang suka mengekang," cakap Agustine tiba-tiba.

"Aku pikir itu akan sulit Bu," balas Jharna hati-hati.

***

Pukul tujuh malam. Semua orang telah berada di meja makan, maksudnya tiga orang, dua lain alias anak Agustine tidak makan malam di mansion pada malam ini.

Makan malam berjalan normal, tidak untuk Jharna. Dia tak habis pikir, jika pria yang sering dirinya lihat adalah anak Agustine sendiri. Si pria penyuka kopi itu duduk tenang dengan ekspresi datar, lalu fokus pada makanannya.

Suasana tercipta canggung. Dua orang lainnya terlihat biasa sambil menikmati santapan malam. Semua berlangsung sekitar lima belas menit, lalu ketiganya melanjutkan obrolan di ruang keluarga, supaya terasa sedikit santai.

"Perkenalkan, ini adalah Jharna Obelia. Dan Jharna, ini adalah anakku, Maximilian Kingston."

Max mengalihkan perhatiannya. "Max."

Jharna pula membalas singkat. "Aku Jharna."

Agustine menggaruk pipi kirinya yang tak terasa gatal. Kedua tangannya lalu mengatup jadi satu, dan memangkunya di atas paha. Berkata, "Seperti sebelumnya, Ibu akan memperkenalkan seseorang padamu, Max. Dia adalah Jharna, janda yang memiliki satu anak."

"Lalu, katakan maksudnya, Bu." Alisnya bertaut, mendengar ucapan sang ibu sambil menantikan kalimat selanjutnya.

"Dia adalah calon istrimu, Jharna adalah pilihan Ibu. Maukah, kau menerimanya, Nak?"

Mata tajam Max beralih ke arah Jharna yang kini menundukkan kepala. Tidak ketara kalau ada ketakutan atau apapun itu, jelasnya, di mata Max, Jharna hanya bisa berpasrah kala sang ibu menyampaikan maksudnya sedari tadi.

"Pilihan Ibu selalu benar untuk anak-anaknya, untuk apa aku langsung menolaknya tanpa tahu bagaimana sosok yang ada di hadapanku ini? Semua adalah demi kebaikanku, bukan?" tanya balik dari Max.

"Ah, jarang sekali kau banyak bicara begini. Tetapi, Ibu tak mungkin memberikan sebuah hal buruk untuk anaknya sendiri. Jikalau kau berkenan, Ibu bisa membiarkan kalian berbincang-bincang tentang satu sama lain."

"Maka tolong beri kami ruang, Bu," pinta Max sembari memandang lurus ke Jharna.

Agustine tersenyum bahagia, lalu berpamitan setelah menyuruh pelayan menyiapkan teh sebagai teman mengobrol. Kini keduanya benar-benar ditinggal oleh Agustine.

Max menaruh ponselnya di atas meja dan memijat pangkal hidung, kemudian menatap Jharna. "Pasti ada sesuatu, mengapa Ibu menjodohkan kita berdua," cetusnya menyapa keheningan.

"Saya tahu, ini sangat mendadak bagi anda, menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak, itu mungkin dapat mencoreng harga diri anda." Jharna membenarkan perkataan Max. Tak ayal anggukan kecil tergerak. "Tapi saya ingin mengenal anda setelah pertemuan ini terjadi."

Pria itu mengangkat alisnya, memandang Jharna datar, lalu tersenyum sinis. "Memang apa yang kau mau?"

Jharna memainkan jemarinya. Membalas tatapan Max secara lekat. "Bukan apa-apa. Namun—mengapa anda menerima pernikahan ini?"

Max memicing tajam sorot matanya, memberikan tatapan mengganggu bagi Jharna.

"Aku hanya menjalani apa yang sudah ditentukan dan diberikan. Jadi, jangan berharap lebih dariku."

Max bersandar pada sofa di belakang tubuhnya, lalu mengambil ponsel dan memainkannya di depan Jharna, seolah Jharna tidak semenarik itu. Sedangkan Jharna lumayan tertohok, berharap ada kebaikan di pernikahan keduanya ini.

Hal tersebut cukup menyadarkan Jharna, bahwa pernikahan yang dilandasi pelunasan hutang takkan berjalan baik. Dia pun menahan air matanya, entah mengapa semakin hari dirinya semakin menyedihkan saja.

"Maaf, saya permisi," ucap Jharna.

Max berdeham singkat dan memfokuskan diri kembali pada ponselnya. Jharna berjalan ke arah kamar mandi tamu di lantai itu, hingga dirinya berpapasan oleh Agustine yang kebetulan ingin menghampiri keduanya di ruang keluarga.

"Kau mau ke mana, Jharna?" Mata Agustine menelisik raut muka calon menantunya. "Apa Max berkata kasar padamu?"

"Tidak Bu, aku mau ke kamar mandi tamu," ujar Jharna berupaya bersikap tenang dan itu berhasil.

Agustine menghembuskan napas lega. "Kalau begitu, temui aku di ruangan tadi."

Mendengar itu Jharna menggeleng pelan, lalu berdalih, "Maafkan aku. Anakku malam ini baru pulang dari rumah Bibiku, Bu. Jadi, bolehkah aku langsung pulang setelah buang air kecil?"

"Oh, begitu ya. Baiklah, nanti Ibu bicarakan kepada Max dan menyuruhnya mengantarkan dirimu," putus Agustine yang baru ingin Jharna tolak, akan tetapi Max muncul dari arah ruang keluarga.

"Ibu, maafkan aku. Aku harus melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda," sela Max dan menatap Jharna sekilas. "Kita masih memiliki supir, jika kau lupa."

Max melenggang pergi, menghadirkan rasa tak enak di hati Agustine. Di sisi Jharna, wanita itu mencoba menyikapinya dengan biasa saja, karena tidak mau menimbulkan keributan, akibat perihal kecil.

"Kau harus terbiasa dengan sikap dan mulut pedasnya. Jangan menyerah pada Max, aslinya Max adalah seorang pria baik, walau datar dan dingin, pria itu masih sayang keluarganya."

Jharna menghela napas pelan, tangannya terangkat mengusap lengan Agustine agar tak terlalu dicemaskan hubungannya bersama Max, dikarenakan ini tahap awal keduanya saling mengenal. "Baiklah Bu, aku paham, tak perlu dipikirkan. Aku baik-baik saja."

Akhirnya Jharna menyelesaikan urusannya dan bergegas pulang, tak lupa dirinya pamit terlebih dulu pada Agustine yang menunggu. Mobil mewah tersebut membawa Jharna keluar dari pekarangan luas mansion Kingston.

Di ruang kerjanya, Max berdiri di depan jendela sambil memperhatikan mobil yang berisi Jharna di dalamnya. Wajah datar khas miliknya sungguh membuat orang di sekitarnya kurang nyaman, apa lagi tersirat ekspresi Jharna kala di dekat dirinya.

Pekerjaannya menumpuk dan harus mengantar Jharna? Lebih baik mementingkan pekerjaannya terlebih dahulu, agak egois, namun begitulah jalan berpikir Max tentang kehidupannya saat ini. Selagi ada supir di mansion, Max tak harus susah payah mengantar Jharna pulang.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 48

    "Apa berita tempo hari cukup menghibur anda, Tuan?" Seseorang yang sedang dia tanya tak langsung menoleh.Max, dirinya tengah memandangi foto cantik Jharna melalui ponselnya. Perhatiannya harus teralihkan, karena pertanyaan menarik dari Austin barusan. "Ya, lumayan. Apa ada masukkan tentang bumbu tambahan?"Austin diam-diam tersenyum miring. "Tentu ada, Tuan-ku. Bumbu penyedap mana yang paling bagus, agar masakan tersebut kian sedap dirasa?""Saya menyarankan pemanis, seperti gula," tambah Austin bersemangat.Kening Max berkerut sesaat, lalu tak lama kepalanya mengangguk. Benaknya sampai membayangkan, rasa puas hasil kinerja anak buahnya satu ini. Perlahan-lahan bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Dia gemar sekali hal yang menurutnya pantas dimasak. Contohnya, yang sedang mereka perbincangkan sekarang."Tampaknya aku mesti memberikan bonus untukmu, Austin," cetus Max sempat berpikir. "Lakukan apa maumu terhadap masakan yang sedang kau pegang. Janjikan aku hasil memuaskan nantinya

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 47

    Oliver menggaruk kepala belakangnya, ada rasa malu menghinggapi dirinya sejak memasuki kamar. Kekasihnya, Mac, tak mau berpisah kamar dan hanya ingin bersamanya. Dua insan yang sedang melakukan kegiatan masing-masing sesekali mencuri pandang ke satu sama lainnya.Mac menutup kasar laptopnya. Kini tatapan tajam menghadap Oliver sepenuhnya dia berikan. Wanita itu berpindah, mengikis jarak yang hampir membuat Oliver bangun. Tangannya mencekal lembut menghentikan pergerakan Oliver bersama kegugupan sang pria amat kentara kental di mimik wajah tampannya tersebut."Mau ke mana?" Oliver segera menggeleng cepat saat Mac melayangkan pertanyaan.Tiba-tiba Mac kembali bergerak, lalu duduk mengangkang di pangkuan Oliver, mengalungi pinggang kokoh sang kekasih menggunakan kaki jenjangnya. Kedua tangannya memegang pundak, seraya tatapannya kian serius. "Masih ingat janjimu setelah kita keluar dari sini nantinya?"Oliver menghembuskan napas lega, dia kira Mac mau melakukan hal tidak-tidak di kediama

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 46

    Dua hari berikutnya, Max memenuhi permintaan Jharna. Memulangkan anak tirinya ke rumah mereka sekarang ini. Pria itu semakin menerima kehadiran Aidan, walau anak itu bukanlah dari benihnya sendiri. Kehadiran calon anak mereka berdua seolah berdampak aura positif ke sekitar, hingga berpengaruh ke kehidupan Max. "Jadi aku akan mempunyai seorang adik?" tanya seorang anak kecil, tiada lain ialah Aidan. Sirat bahagia serta antusias ternyata juga membubuhi hati anak itu, membuat Jharna dan Max menganggukkan kepalanya serentak. "Wah, akhirnya!" "Apa kau sangat senang?" Max menggali sedikit kejujuran sang anak. Tentunya Aidan tanpa berbohong mengangguk semangat. "Sangat, sangatlah senang, Ayah!" "Aku berjanji akan menjadi seorang kakak yang baik," lanjutnya tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi susu. Max menoleh ke Jharna. Jharna memahaminya pun mengusap sayang lengan kekar nan kokoh tersebut, pertanda semuanya dapat berjalan lancar. Rasa haru sulit Max bendung, tapi kali ini dia

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 45

    "Hmm, pagiku disambut dengan berita terbaru ini—adalah hiburan," gumamnya menonton tayangan televisi. Kedua lesung pipinya tampak terbentuk, setelah sadar ulah siapa atau dalang di balik berita menggemparkan jagat media. Di luaran sana pasti khalayak telah menggunjing habis-habisan dua orang itu. Apa lagi dia tahu wanita di dalam berita, yang tengah menjadi sorotan perbincangan panas. Dia hanya menggelengkan kepala tidak habis pikir. Ada untungnya sempat menurut oleh pria itu, kalau tidak, semua keburukan yang dirinya sembunyikan bertahun-tahun akan terbongkar dengan cara melebihi kasus perselingkuhan sekaligus hal mengejutkan lainnya seperti di berita pagi ini. Ya, setidaknya menuruti keinginan ego adalah pilihan terbaik, ketimbang mengutamakan perasaan sendiri. "Mau bagaimana lagi, aku masih mencintai Jharna. Sekeras aku menepis kenyataan dan berusaha melupakannya, bagian terbaik ialah mencoba meletakkan dirinya di lubuk hati terdalam. Meski aku tersiksa sendirian, namun bayan

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 44

    Setelah sekian lama tidak memberi waktu pada dirinya sendiri, terutama mengistirahatkan mentalnya agar selalu terkendali dengan baik, Jharna kini tahu permasalahan tersebut selama dirinya sudah menerima Max kembali. Tanpa sadar dia menyisihkan celah buat mengaturnya sesuai keinginannya sendiri. Memanipulasi car berpikirnya dan tak serta-merta turut andil dalam permainan emosi. Sehingga menciptakan ruang di hati Jharna supaya mau terbuka, terlebih memaafkan atas kesalahan pria selaku suaminya. Entah itu perbuatan masa lalu atau masa sekarang yang tengah mereka jalani. Rasanya helaan napas berat adalah isyarat kurang tak nyaman, gambaran tepat mengenai suasana hati. Bahkan, raut wajah tanpa ekspresi enggan sekali menampilkan sedikit empati. Sayangnya, semua tidak bertahan lama. Jharna mempunyai sisi berpasrah serta firasatnya mengatakan, harus mau bersabar menghadapi Max. Dikarenakan pria itu pintu masuk penderitaan juga pintu keluar menuju kebahagiaan. Dia harap pun begitu. "Apa

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 43

    Pada malam harinya di restoran mewah berbintang lima. Max memutuskan mengajak Jharna menikmati suasana malam, hitung-hitung melepaskan penat setelah rasa letih mempengaruhi akibat kegiatan di kantor memuakkan. Rencananya Max mengajak Jharna ke tempat lain selain restoran nantinya. Jharna sendiri menuruti apa kemauan Max, sampai keduanya tak perlu pulang dan hanya membersihkan diri di kamar pribadi milik Max di ruang kerjanya. Terlebih, di sana sudah tersedia sebuah gaun indah nan anggun. Sama sekali tidak menunjukkan desain lekukan tubuh berlebih, tampak sangat sopan seperti gaun formal. Kini Jharna telah siap. Wajahnya di poles tipes dengan riasan sederhana, di tambah max juga baru keluar dari kamar mandi, mampu mengalihkan sebentar pandangan Jharna. "Apa gaun ini kau yang memilihnya?" Max berjalan menghampiri sang istri sembari mematri senyuman di bibirnya. "Tentu, khusus untukmu, hanya boleh aku menilai seberapa layak pakaian melekat di tubuh ini. Sekarang kau adalah istriku,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status