Setelah kekacauan tadi, aku memutuskan untuk mengunci pintu, ya khawatir perempuan-perempuan koleksi lelaki itu datang lagi, dan mengacau, yang ujung-ujungnya tentu aku lagi yang harus membereskannya.
Aku segera kembali ke dapur, memasak makan malam kesukaannya. Nenek bilang ia suka nasi goreng, jadi akan kuputuskan untuk memasak itu malam ini. Kalau sampai ia menolaknya, lihat saja, akan kupastikan ia memakannya. Aku tidak akan membiarkannya terus-terusan berada dalam keputus asaan. Aku mengetuk pintu kamarnya, sekali, dua kali aku masih mengetuknya dengan pelan. Tapi rupanya ia masih tak mau membukanya, maka aku sudah akan mengetuknya dengan keras, sampai ... tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan lelaki yang duduk di kursi roda dengan wajah rusak, di pangkuannya ada sepasang piyama kotak-kotak hijau. Aku ingat lagi, Nenek bilang itu piyama favorit Naqib. "Aku mau ganti pakaian," Ucapnya yang membuatku langsung mengangguk, lalu mengikutinya masuk kembali ke kamar. Kadang aku ingin menangis tiap kali memakaikannya pakaian, sekujur tubuhnya dipenuhi luka, dan aku yakin ketika itu terjadi, ketika luka itu masih menganga pasti rasanya sangat menyakitkan. Tetapi, sebisa mungkin kutahan tangisanku. Aku yakin, lelaki ini tidak akan senang atau bahkan akan mengamuk jika tahu aku mengasihaninya. "Sudah, kau boleh keluar!" Ia mengusirku, ya seperti biasa. Dan, aku tentu tidak akan mau pergi, kecuali aku menginginkannya. Aku tidak akan mengalah, lagi pula ini demi kebaikannya, demi kesehatannya. Aku diam saja, memandangi lelaki yang melajukan kursi roda canggihnya itu menuju ranjang besar. Sepertinya ia menyadari keberadaanku yang tak kunjung keluar, membuatnya berhenti, ia menatapku dengan tatapan yang seolah menyiratkan bahwa ia tak lagi ingin hidup. "Kau boleh keluar! Aku mau tidur!" Aku menggelengkan kepala, dan hal itu membuatnya berdecak sebal. "Apa lagi?" tanyanya keki. "Kau harus makan malam dan minum obat!" kataku padanya dengan tegas. Aku tidak akan membiarkannya bermalas-malasan makan, atau pun minum obat. "Aku tidak menginginkan kedua hal sialan itu!" Mulutnya memang terkadang terlalu pedas, dan itu memuakkan untuk didengar. Tapi aku harus bersabar, harus terbiasa untuk mendengarnya. "Kau harus mau dan menginginkan kedua hal sialan, yang bisa membantumu untuk sembuh itu!" sahutku mencoba bersabar, walau rasanya aku sudah ingin menangis saking kesal, dan emosi menghadapi tingkah lelaki ini. "Aku tidak menginginkannya! Jangan mengangguku!" Aku tak mendengarkan keluhannya, jadi langsung saja aku mendekat padanya, dan kudorong kursi roda canggihnya dengan kedua tanganku. Tapi, tentu saja karena itu kursi roda canggih, ia bisa menghentikannya hanya dengan menekan tombol mirip tuas di dekat tangan kirinya. Haruskah aku menggendongnya? Apakah aku sanggup? Seharusnya aku sanggup 'kan? Ia tak terlihat seberat itu, tapi bagaimana jika kami justru malah terjatuh? Aku menghela napas. "Aku memasak nasi goreng untukmu, aku tahu doktermu mungkin akan marah mendengar ini. Tapi malam ini aku membiarkanmu memakannya, jadi ayo keluar makan malam, dan minum obat. Baru setelahnya kau bisa tidur, Tuan Naqib Kamandhana," Ucapku sembari menekankan nama panjangnya di akhir. Kudorong lagi kursi rodanya, dan sepertinya ia setuju, mengingat lelaki ini tak lagi menekan tuas di tangan kirinya. Kami berhenti di depan meja makan, dan aku mulai menyuapinya makan, sesendok demi sesendok, lama kelamaan akhirnya nasi goreng itu habis juga. Berikutnya kubantu ia meminum obatnya, dan beruntung ia tak banyak komentar, langsung meminum obatnya. Akhirnya hari ini berakhir, dan waktunya tidur. Kami tidur bersebelahan, tadinya ku pikir kami akan tidur di kamar terpisah, tapi rupanya tidak. Dan, aku tak keberatan tidur di sofa, kalau seandainya ia tak mau satu ranjang denganku. Tapi, ia mengatakan padaku untuk tidur di sampingnya saja. Aku menurut tentunya. Malam ini aku tak langsung memejamkan mata. Entah mengapa tiba-tiba, aku penasaran pada bingkai foto yang dibalik di atas meja. Aku bangkit dari ranjang, dan berjalan ke sisi kanan, di mana meja itu berada. Kuambil perlahan bingkai foto itu, tetapi sebelumnya aku menatap lelaki yang tengah memejamkan mata di ranjang. Ia Naqib, dan segala hal tentangnya begitu aneh juga misterius di mataku. Aku selalu penasaran tentangnya, selalu ingin mengajaknya mengobrol, tetapi ia tentu tidak akan menggubrisku tiap kali aku mencoba membuka pembicaraan. Aku membalik bingkai fotonya, dalam foto itu berdiri seorang lelaki mengenakan setelan jas formal berwarna hitam, dasi panjang menghiasi kerah kemejanya. Rambutnya ditata rapi dengan model undercutt, yang membuatku terpaku adalah seulas senyuman di wajahnya. Senyuman itu rupanya memang benar seperti apa yang dikatakan orang-orang. Sehangat mentari pagi. Menyenangkan dan menenangkan untuk dilihat. Lalu bagaimana bisa senyuman sehangat itu pergi? Dan bagaimana caranya agar senyuman sehangat mentari pagi itu kembali? Ku letakkan kembali bingkai foto itu, aku juga membaliknya seperti awal tadi. Kali ini aku menatap Naqib, menyusuri wajahnya dari alis yang tak lagi ada, kelopak matanya yang menggelap coklat, dan hidungnya, mulutnya, hingga dagunya. Semuanya, aku menatapnya. Dan benar, tak lagi sama. Tak seperti Naqib yang tadi kulihat di foto. Aku tak tahu, tapi tiba-tiba saja, entah mendapat keberanian dari mana, aku menyentuh wajahnya. Aku mengusapnya perlahan, sangat kasar, dan aku segera menarik tanganku dari sana. Kalau sampai lelaki ini tahu aku menyentuh wajahnya, ia mungkin akan mengamuk dan melontarkan kata-kata pedasnya padaku. Sebaiknya aku segera tidur, mengingat esok anggota lain keluarga ini akan pulang dari berlibur. Dan, sudah pasti akan jadi hari yang sibuk juga melelahkan. *** Suara adzan subuh berkumandang, membangunkanku dari nyenyak alam mimpi. Segera aku bangkit dari ranjang, sebelumnya aku menatap lelaki di sampingku yang masih memejamkan mata. Aku ingat beberapa hari yang lalu, saat aku membangunkannya untuk sholat subuh, ia justru mengatakan kalau ia tak pernah sholat, ia juga bilang tak punya agama dan tak percaya Tuhan, ia menyebut dirinya atheis. "Naqib!" Aku memberanikan diri untuk membangunkannya. "Naqib!" Ia mengerang lalu dahinya mengerut, dan kelopak matanya yang cokelat gelap terbuka, sorot mata redup itu menatapku. "Apa?" Tanyanya dengan nada sedikit kesal. "Sholat subuh," sahutku yang membuatnya kembali memejamkan mata. "Naqib!" Ia langsung membuka matanya lagi, dan menatapku sengit. "Beberapa malam yang lalu aku sudah mengatakannya padamu tentang kepercayaanku bukan? Aku tidak pernah sholat, dan tak pernah percaya pada Tuhan! Jadi, beribadahlah sesukamu, tapi jangan mengajakku!" Ucapnya membuatku sungguh tak mengerti mengapa lelaki ini begitu sombong terhadap Tuhan. Aku masih berdiri di pinggir ranjang, menatapnya yang juga menatapku. "Mengapa?" Aku sungguh ingin tahu alasan mengapa ia menolak percaya Tuhan. Ia mengalihkan tatapannya dariku, matanya menatap ke arah lain. "Itu bukan urusanmu!" Ia menyahut dengan nada membentak. Tapi, aku bukan perempuan yang mudah menyerah. "Itu urusanku karena–" "Karena apa? Karena kau istriku? Begitu maksudmu? Benarkah? Menurutmu ini betulan pernikahan? Kau mungkin tak akan pernah mau menikah denganku jika bukan karena hartaku! Semua perempuan yang mendekatiku sama! Hanya menginginkan hartaku, bukan aku! Bukan!" Ia memandangiku sengit, bisa kulihat otot-otot di sekitar lehernya menonjol. Tiap kali aku mencoba akrab, atau sedikit peduli padanya, kami selalu berakhir bertengkar seperti ini. Dan, ia kembali memejamkan matanya, mengabaikanku lagi. Baiklah, sepertinya aku memang tidak bisa memaksanya. Ia perlu waktu, dan aku akan mendoakannya agar perlahan ia menyadari bahwa Tuhan memang ada. Bersambung.Apa yang dokter katakan rupanya meleset, mengenai Naqib yang kemungkinan akan sadar dalam dua hari lagi, karena kenyataannya sore ini, mata lelaki itu telah terbuka, ia menatapku lama sekali tanpa berkedip, dan aku segera menekan tombol di ujung brankar, memanggil dokter agar segera datang memeriksa lelaki ini.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, aku merasa sangat lega, gemuruh badai di hatiku benar-benar telah lenyap. Dan kini Naqib telah dipindahkan ke ruang rawat, serta apabila kondisinya semakin membaik dalam dua hari, ia bisa pulang. Ku harap kondisinya segera baik, agar kami bisa segera pulang, tak perlu terlalu lama di rumah sakit."Kau perlu sesuatu?" Di ruangan ini hanya ada aku dan Naqib. Paman Qasim sudah datang tadi sore, dan malam ini ia mengatakan tak bisa datang, ia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya.Lelaki itu masih belum mengatakan apa-apa, sejak baru sadar hingga kini malam telah datang.Aku menghela napas, membiarkan saja ia untuk menyesu
Seorang perempuan bernama Aleisha bangun cukup pagi, merasa kesal luar biasa setelah sang Ayah—Qasim menghubungi agar ia segera ke rumah sakit. Perempuan itu turun dari ranjang besarnya, rambut cokelat gelap panjangnya acak-acakkan, sejenak perempuan itu menatap kaca datar di pojok kamar, menatap diri sendiri yang penampilannya begitu kusut."Naqib, Naqib dan selalu Naqib! Entah apa yang membuat Ayah begitu menyayanginya," Ia menggerutu lalu memutuskan masuk ke kamar mandi, menyalakan keran di bak dan segera menenggelamkan diri di sana, memejamkan mata menikmati air hangat, dan membiarkan piyama bunga-bunga kuningnya basah."Aleisha!" Perempuan itu tahu siapa yang memanggil, membuatnya berdecak sebal. Ia segera menyelesaikan mandinya, dan keluar dengan pakaian baru yang rapi."Ada apa?" Aleisha memandang kesal lelaki yang berdiri di depan rak bukunya, yang dibalas dengan tatapan malas oleh lelaki itu."Kita harus pergi ke rumah sakit, bukankah Ayah sudah bilang padamu?" Lelaki itu, Ba
Pagi itu, ketika langit terlalu erat dipeluk oleh sang awan, yang kelabu karena terlalu banyak menyimpan kesedihan anak-anak manusia, hingga mencegah sang surya untuk memunculkan diri. Laiba, perempuan yang mengenakan jilbab panjang putih, dengan gamis warna senada, dan sandal itu, melintasi lorong demi lorong rumah sakit dengan tergesa.Seseorang mungkin akan pergi hari ini, dan ia tak akan pernah kembali lagi. Setiap harinya memang begitu, bahwa jika ada yang lahir, maka akan ada yang mati, dan itu terjadi di belahan dunia mana pun. Tapi Laiba tidak siap, ia tidak siap jika itu untuk lelaki itu. Ia tak ingin kehilangan lelaki itu. Perempuan itu berhenti tepat di depan ruang ICU, dan seorang lelaki paruh baya tengah berdiri tepat di depan pintu ruangan, menatap ke arah dalam dengan ekspresi wajah gelisah, dahinya berkerut-kerut, lingkaran di bawah matanya tampak jelas, bibirnya bergerak-gerak, terus mengucapkan kalimat demi kalimat, sebuah doa agar seseorang yang berada dalam ruang
Setelah berbincang cukup lama dengan Azizeh, dan perempuan berusia 59 tahun itu pamit hendak melakukan pekerjaannya yang lain, jadi ku pikir aku bisa kembali ke kamar segera.Langkahku justru tiba-tiba berhenti di depan gudang, karena aku kembali mengingat kejadian saat Naqib kejang-kejang di depan pintu ini, dan Jon saat itu baru saja bersamanya. Entah apa yang sebenarnya pernah terjadi di gudang ini, Naqib seperti memiliki memori kelam, sehingga membuatnya mengalami kejang.Aku mendekati pintu itu, dan mencoba membukanya. Tak ku sangka pintunya tak dikunci, perlahan aku masuk ke gudang yang cukup gelap itu, tetapi sedikit cahaya masih tampak, membuatku dengan mudan menemukan saklar lampu.Seketika semua benda yang ada di gudang mulai terlihat, dan aku terkejut ketika menyadari bahwa gudang ini tampak tak seperti gudang pada umumnya, maksudku, tempat ini cukup bersih untuk disebut gudang, hanya saja memang beberapa benda ada yang tak tertumpuk rapi, juga sebuah ranjang yang ditutupi
Sudah dua minggu lamanya, Naqib terbaring koma di brankar rumah sakit, matanya masih betah memejam, dan ventilator masih ada di mulutnya, begitupun selang infus di tangan kirinya, bahkan tiga hari lalu, dokter memasang kabel-kabel kecil di kedua pelipis Naqib, aku tak tahu apa fungsinya, tapi aku tahu alat itu telah menggambarkan bahwa Naqib dalam kondisi yang semakin buruk.Pagi ini sekitar pukul sembilan pagi, aku mendatangi mushola di rumah sakit, mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat dhuha, berdoa pada-Nya agar melindungi lelaki itu, menjaga Naqib, membuat kondisinya membaik, dan segera sadarkan diri.Ini kali pertama aku merasakan gelisah yang tiada akhirnya, menunggu lelaki itu membuka mata, dan kembali mengucapkan sepatah kata walau ucapan pedas sekalipun.Aku tak ingat kapan Yazan sampai di rumah sakit ini, duduk di sampingku, entahlah mungkin karena ia bahkan tak mengatakan sepatah kata pun sejak tadi, dan hanya ada keheningan di antara kami."Bagaimana keadaan Kakak ipar?
Hari semakin siang, dan kali ini waktu telah menunjukkan pukul 10. Paman Qasim memintaku untuk berkeliling rumah sakit saja, atau pergi ke taman depan rumah sakit untuk menenangkan diri, sementara ia akan menunggui Naqib di depan ruang ICU. Aku segera menganggukkan kepala, dan setuju atas pinta lelaki paruh baya itu.Di sepanjang koridor, aroma menyengat obat lah yang memenuhi rongga hidungku, kadang aku juga berpapasan dengan seorang pasien yang hendak dipindahkan ruangannya, atau dengan para perawat yang mendorong brankar, di atasnya terbaring seorang pasien berlumuran darah, kadang pula brankar didorong dengan perempuan, yang perutnya membuncit, peluh mengiringinya, ia hendak melahirkan, dan terakhir aku menyaksikan, seorang anak lelaki mungkin berusia sekitar 5 tahunan, yang mulutnya dipasangi ventilator, matanya terpejam damai, tangannya dililit selang infus, kepalanya diperban, dan sepanjang brankar itu melaju ke arah ruang operasi, suara tangisan perempuan yang ku pikir Ibunya