Beranda / Romansa / Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa / 2. Senyuman Sehangat Mentari Pagi

Share

2. Senyuman Sehangat Mentari Pagi

Penulis: Maulana Hani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-11 09:31:17

Setelah kekacauan tadi, aku memutuskan untuk mengunci pintu, ya khawatir perempuan-perempuan koleksi lelaki itu datang lagi, dan mengacau, yang ujung-ujungnya tentu aku lagi yang harus membereskannya.

Aku segera kembali ke dapur, memasak makan malam kesukaannya. Nenek bilang ia suka nasi goreng, jadi akan kuputuskan untuk memasak itu malam ini. Kalau sampai ia menolaknya, lihat saja, akan kupastikan ia memakannya. Aku tidak akan membiarkannya terus-terusan berada dalam keputus asaan.

Aku mengetuk pintu kamarnya, sekali, dua kali aku masih mengetuknya dengan pelan. Tapi rupanya ia masih tak mau membukanya, maka aku sudah akan mengetuknya dengan keras, sampai ... tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan lelaki yang duduk di kursi roda dengan wajah rusak, di pangkuannya ada sepasang piyama kotak-kotak hijau. Aku ingat lagi, Nenek bilang itu piyama favorit Naqib.

"Aku mau ganti pakaian," Ucapnya yang membuatku langsung mengangguk, lalu mengikutinya masuk kembali ke kamar.

Kadang aku ingin menangis tiap kali memakaikannya pakaian, sekujur tubuhnya dipenuhi luka, dan aku yakin ketika itu terjadi, ketika luka itu masih menganga pasti rasanya sangat menyakitkan. Tetapi, sebisa mungkin kutahan tangisanku. Aku yakin, lelaki ini tidak akan senang atau bahkan akan mengamuk jika tahu aku mengasihaninya.

"Sudah, kau boleh keluar!" Ia mengusirku, ya seperti biasa. Dan, aku tentu tidak akan mau pergi, kecuali aku menginginkannya. Aku tidak akan mengalah, lagi pula ini demi kebaikannya, demi kesehatannya.

Aku diam saja, memandangi lelaki yang melajukan kursi roda canggihnya itu menuju ranjang besar. Sepertinya ia menyadari keberadaanku yang tak kunjung keluar, membuatnya berhenti, ia menatapku dengan tatapan yang seolah menyiratkan bahwa ia tak lagi ingin hidup.

"Kau boleh keluar! Aku mau tidur!"

Aku menggelengkan kepala, dan hal itu membuatnya berdecak sebal. "Apa lagi?" tanyanya keki.

"Kau harus makan malam dan minum obat!" kataku padanya dengan tegas. Aku tidak akan membiarkannya bermalas-malasan makan, atau pun minum obat.

"Aku tidak menginginkan kedua hal sialan itu!" Mulutnya memang terkadang terlalu pedas, dan itu memuakkan untuk didengar. Tapi aku harus bersabar, harus terbiasa untuk mendengarnya.

"Kau harus mau dan menginginkan kedua hal sialan, yang bisa membantumu untuk sembuh itu!" sahutku mencoba bersabar, walau rasanya aku sudah ingin menangis saking kesal, dan emosi menghadapi tingkah lelaki ini.

"Aku tidak menginginkannya! Jangan mengangguku!" Aku tak mendengarkan keluhannya, jadi langsung saja aku mendekat padanya, dan kudorong kursi roda canggihnya dengan kedua tanganku. Tapi, tentu saja karena itu kursi roda canggih, ia bisa menghentikannya hanya dengan menekan tombol mirip tuas di dekat tangan kirinya.

Haruskah aku menggendongnya? Apakah aku sanggup? Seharusnya aku sanggup 'kan? Ia tak terlihat seberat itu, tapi bagaimana jika kami justru malah terjatuh?

Aku menghela napas. "Aku memasak nasi goreng untukmu, aku tahu doktermu mungkin akan marah mendengar ini. Tapi malam ini aku membiarkanmu memakannya, jadi ayo keluar makan malam, dan minum obat. Baru setelahnya kau bisa tidur, Tuan Naqib Kamandhana," Ucapku sembari menekankan nama panjangnya di akhir.

Kudorong lagi kursi rodanya, dan sepertinya ia setuju, mengingat lelaki ini tak lagi menekan tuas di tangan kirinya.

Kami berhenti di depan meja makan, dan aku mulai menyuapinya makan, sesendok demi sesendok, lama kelamaan akhirnya nasi goreng itu habis juga. Berikutnya kubantu ia meminum obatnya, dan beruntung ia tak banyak komentar, langsung meminum obatnya.

Akhirnya hari ini berakhir, dan waktunya tidur. Kami tidur bersebelahan, tadinya ku pikir kami akan tidur di kamar terpisah, tapi rupanya tidak. Dan, aku tak keberatan tidur di sofa, kalau seandainya ia tak mau satu ranjang denganku. Tapi, ia mengatakan padaku untuk tidur di sampingnya saja. Aku menurut tentunya.

Malam ini aku tak langsung memejamkan mata. Entah mengapa tiba-tiba, aku penasaran pada bingkai foto yang dibalik di atas meja. Aku bangkit dari ranjang, dan berjalan ke sisi kanan, di mana meja itu berada.

Kuambil perlahan bingkai foto itu, tetapi sebelumnya aku menatap lelaki yang tengah memejamkan mata di ranjang. Ia Naqib, dan segala hal tentangnya begitu aneh juga misterius di mataku. Aku selalu penasaran tentangnya, selalu ingin mengajaknya mengobrol, tetapi ia tentu tidak akan menggubrisku tiap kali aku mencoba membuka pembicaraan.

Aku membalik bingkai fotonya, dalam foto itu berdiri seorang lelaki mengenakan setelan jas formal berwarna hitam, dasi panjang menghiasi kerah kemejanya. Rambutnya ditata rapi dengan model undercutt, yang membuatku terpaku adalah seulas senyuman di wajahnya.

Senyuman itu rupanya memang benar seperti apa yang dikatakan orang-orang. Sehangat mentari pagi. Menyenangkan dan menenangkan untuk dilihat.

Lalu bagaimana bisa senyuman sehangat itu pergi? Dan bagaimana caranya agar senyuman sehangat mentari pagi itu kembali?

Ku letakkan kembali bingkai foto itu, aku juga membaliknya seperti awal tadi.

Kali ini aku menatap Naqib, menyusuri wajahnya dari alis yang tak lagi ada, kelopak matanya yang menggelap coklat, dan hidungnya, mulutnya, hingga dagunya. Semuanya, aku menatapnya. Dan benar, tak lagi sama. Tak seperti Naqib yang tadi kulihat di foto.

Aku tak tahu, tapi tiba-tiba saja, entah mendapat keberanian dari mana, aku menyentuh wajahnya. Aku mengusapnya perlahan, sangat kasar, dan aku segera menarik tanganku dari sana. Kalau sampai lelaki ini tahu aku menyentuh wajahnya, ia mungkin akan mengamuk dan melontarkan kata-kata pedasnya padaku.

Sebaiknya aku segera tidur, mengingat esok anggota lain keluarga ini akan pulang dari berlibur. Dan, sudah pasti akan jadi hari yang sibuk juga melelahkan.

***

Suara adzan subuh berkumandang, membangunkanku dari nyenyak alam mimpi. Segera aku bangkit dari ranjang, sebelumnya aku menatap lelaki di sampingku yang masih memejamkan mata. Aku ingat beberapa hari yang lalu, saat aku membangunkannya untuk sholat subuh, ia justru mengatakan kalau ia tak pernah sholat, ia juga bilang tak punya agama dan tak percaya Tuhan, ia menyebut dirinya atheis.

"Naqib!" Aku memberanikan diri untuk membangunkannya.

"Naqib!" Ia mengerang lalu dahinya mengerut, dan kelopak matanya yang cokelat gelap terbuka, sorot mata redup itu menatapku.

"Apa?" Tanyanya dengan nada sedikit kesal.

"Sholat subuh," sahutku yang membuatnya kembali memejamkan mata.

"Naqib!" Ia langsung membuka matanya lagi, dan menatapku sengit.

"Beberapa malam yang lalu aku sudah mengatakannya padamu tentang kepercayaanku bukan? Aku tidak pernah sholat, dan tak pernah percaya pada Tuhan! Jadi, beribadahlah sesukamu, tapi jangan mengajakku!" Ucapnya membuatku sungguh tak mengerti mengapa lelaki ini begitu sombong terhadap Tuhan.

Aku masih berdiri di pinggir ranjang, menatapnya yang juga menatapku. "Mengapa?" Aku sungguh ingin tahu alasan mengapa ia menolak percaya Tuhan.

Ia mengalihkan tatapannya dariku, matanya menatap ke arah lain.

"Itu bukan urusanmu!" Ia menyahut dengan nada membentak.

Tapi, aku bukan perempuan yang mudah menyerah.

"Itu urusanku karena–"

"Karena apa? Karena kau istriku? Begitu maksudmu? Benarkah? Menurutmu ini betulan pernikahan? Kau mungkin tak akan pernah mau menikah denganku jika bukan karena hartaku! Semua perempuan yang mendekatiku sama! Hanya menginginkan hartaku, bukan aku! Bukan!" Ia memandangiku sengit, bisa kulihat otot-otot di sekitar lehernya menonjol.

Tiap kali aku mencoba akrab, atau sedikit peduli padanya, kami selalu berakhir bertengkar seperti ini. Dan, ia kembali memejamkan matanya, mengabaikanku lagi.

Baiklah, sepertinya aku memang tidak bisa memaksanya. Ia perlu waktu, dan aku akan mendoakannya agar perlahan ia menyadari bahwa Tuhan memang ada.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   44. Bersama-sama Hancur

    Dua hari berlalu, setelah insiden penembakkan di laut hari itu, Paman Qasim meminta Laiba dan Naqib untuk sementara waktu tetap tinggal di rumah, dan tak pergi ke mana-mana. Mereka pagi ini ikut sarapan di bawah bersama anggota keluarga lainnya. Suasananya tak begitu menyenangkan. Barnaz dan Aleisha yang tampak memakan nasi goreng mereka dengan malas, karena mereka ingin segera pergi dari rumah, ke tempat kegemaran masing-masing, Zulaina yang merasa jengkel dalam hati berulang kali mengutuk Naqib, dan Syadiah yang disebut Nyonya Besar Kamandhana, yang juga merupakan Nenek dari Naqib, Barnaz, dan Aleisha itu juga memasang wajah tak senang. Hanya Qasim yang tampak cerah di antara mendung dan rengutan orang-orang pagi ini, bibirnya melengkung ke atas sejak tadi, ia begitu menikmati sarapan pagi ini. Akhirnya sarapan selesai setelah sekitar 30 menit, mereka semua harus bercengkrama satu sama lain di meja makan. Meja makan itu segera kosong, dan beberapa pekerja mulai berdatangan, terma

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   43. Laut yang Mendengarkan

    "Kau mau naik yacht?" Aku mungkin tak kunjung berkedip, atau bahkan sekarang mulutku terbuka lebar karena tak percaya ia mengajak ku untuk naik yacht. Maksudku, sungguh?"Tidak apa-apa jika kau tak mau. Kita bisa ....""Aku mau!" Sepertinya aku menyahut terlalu bersemangat, karena Naqib menatapku cukup lama, ya meski tanpa ekspresi sekali pun, tetapi selanjutnya lelaki ini menganggukkan kepala, ia lalu memanggil Ashak, yang berdiri tak jauh di belakang kami."Ini milik Paman Qasim, ia mengizinkan kita menaikinya," Naqib menjelaskan ketika kami telah berada di atas yacht, dan Ashak yang akan menjadi nahkoda.Kami duduk di area belakang yacht, menikmati sepoian angin yang menerpa wajah ketika yacht akhirnya dilajukan oleh Ashak.Ini kali pertama aku menaiki yacht, dan sama sekali tak pernah membayangkan kalau aku akan bisa menaikinya.Aku menatap Naqib yang tengah mendongakkan kepala, membuatku ikut melakukannya. Menjelang siang, langit memang semakin membiru cerah, awan hanya muncul be

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   42. Kami dan Dermaga

    Aku melepas sepatu, dan ketika hendak melangkah untuk duduk di ujung jembatan dermaga, suara Naqib yang menginterupsi membuatku menghela napas."Hendak menenggelamkan diri sembari meninggalkan sepatu, sebagai kenangan? Begitukah yang akan kau lakukan?" Bisa kah ia berhenti berpikir demikian? Berpikir bahwa aku akan melenyapkan diriku sendiri?Aku tak menoleh, tetapi langsung menyahut, "tidak, aku tidak akan menenggelamkan diri."Setelahnya lelaki itu diam, ia tak lagi mencegahku dengan kata-katanya yang sungguh pedas itu.Aku duduk di ujung jembatan, membiarkan kedua kakiku mengenai air laut, dan pagi ini udara cukup dingin tapi tak mengapa, aku senang. Tak heran udara semakin dingin akhir-akhir ini, mengingat musim kemarau telah datang menyapa, angin berembus cukup kencang. Udara kering saat siang hari juga panas, dan ketika malam datang hingga pagi hari, udara akan terasa dingin."Jadi kau juga suka laut?" Aku tak tahu sejak kapan lelaki ini sudah ada di samping ku dengan kursi roda

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   41. Yang Menghidupkan

    Ku pikir aku sudah mati, tapi tidak rupanya. Karena aku justru jatuh ke lantai, dan seseorang datang menarikku. Naqib, ia melakukannya, ia menarik kakiku ke belakang, mungkin susah payah dengan kondisinya yang lumpuh, karena sebelum memutuskan untuk melompat, aku mendengar suara keras sesuatu terjatuh, dan tak ku duga itu adalah Naqib."Kenapa? Kenapa, ku tanya, Laiba? Kenapa?" Ia berteriak, menatapku dengan mata ber-iris cokelatnya yang tajam.Aku sudah duduk di lantai, sementara lelaki itu telungkup karena tentu saja, ia tak bisa menggerakan kakinya dengan mudah untuk duduk.Air mataku meluruh begitu saja, dan aku benci untuk menyadari betapa aku memang lemah, betapa aku mudah menangis, aku benci, sungguh."Jangan tanyakan apapun, karena aku ...." Sungguh aku tak bisa lagi melanjutkan ucapanku, karena suaraku bergetar, dan aku justru ingin menangis dengan keras.Kepalaku menunduk, aku tak ingin menatap mata lelaki ini, karena air mataku pasti akan menetes makin banyak saat menatapny

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   40. Pada Kematian yang Dinanti

    Apa yang dokter katakan rupanya meleset, mengenai Naqib yang kemungkinan akan sadar dalam dua hari lagi, karena kenyataannya sore ini, mata lelaki itu telah terbuka, ia menatapku lama sekali tanpa berkedip, dan aku segera menekan tombol di ujung brankar, memanggil dokter agar segera datang memeriksa lelaki ini.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, aku merasa sangat lega, gemuruh badai di hatiku benar-benar telah lenyap. Dan kini Naqib telah dipindahkan ke ruang rawat, serta apabila kondisinya semakin membaik dalam dua hari, ia bisa pulang. Ku harap kondisinya segera baik, agar kami bisa segera pulang, tak perlu terlalu lama di rumah sakit."Kau perlu sesuatu?" Di ruangan ini hanya ada aku dan Naqib. Paman Qasim sudah datang tadi sore, dan malam ini ia mengatakan tak bisa datang, ia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya.Lelaki itu masih belum mengatakan apa-apa, sejak baru sadar hingga kini malam telah datang.Aku menghela napas, membiarkan saja ia untuk menyesu

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   39. Mawar Berdarah di Taman Belakang

    Seorang perempuan bernama Aleisha bangun cukup pagi, merasa kesal luar biasa setelah sang Ayah—Qasim menghubungi agar ia segera ke rumah sakit. Perempuan itu turun dari ranjang besarnya, rambut cokelat gelap panjangnya acak-acakkan, sejenak perempuan itu menatap kaca datar di pojok kamar, menatap diri sendiri yang penampilannya begitu kusut."Naqib, Naqib dan selalu Naqib! Entah apa yang membuat Ayah begitu menyayanginya," Ia menggerutu lalu memutuskan masuk ke kamar mandi, menyalakan keran di bak dan segera menenggelamkan diri di sana, memejamkan mata menikmati air hangat, dan membiarkan piyama bunga-bunga kuningnya basah."Aleisha!" Perempuan itu tahu siapa yang memanggil, membuatnya berdecak sebal. Ia segera menyelesaikan mandinya, dan keluar dengan pakaian baru yang rapi."Ada apa?" Aleisha memandang kesal lelaki yang berdiri di depan rak bukunya, yang dibalas dengan tatapan malas oleh lelaki itu."Kita harus pergi ke rumah sakit, bukankah Ayah sudah bilang padamu?" Lelaki itu, Ba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status