Aku tidak keberatan siapa pun yang datang bertamu ke rumah ini, lagi pula ini bukan rumahku, melainkan rumah si "mentari pagi", yang katanya dihadiahkan untukku karena aku mau menikah dengannya. Tapi kenapa harus orang ini? Kenapa?
"Ada perlu apa?" Aku bertanya pada perempuan, yang pakaiannya kurang bahan ini. Selangkangannya nyaris terlihat, belahan dadanya terlalu rendah, dan kulihat wajahnya yang dipenuhi make up itu. Bibir merah merona, pipi dengan pewarna merah, alis meliuk-liuk, bulu mata lentik anti badai. Sungguh penampilan yang sangat berniat menggoda lelaki. Aku tahu apa tugasnya, dan mengapa ia datang kemari. Aku juga tahu atas suruhan siapa perempuan ini datang. "Di mana Naqib?" Oh uang Naqib lebih tepatnya. Mana mungkin ia betulan mencari lelaki itu, setelah tahu kondisinya? Aku diam saja, mengabaikannya dan memilih menuju dapur. Sebaiknya aku memasak makan malam, lagi pula meski lelaki itu bilang tak mau diganggu, ia harus tetap makan malam, dan aku akan memaksanya untuk makan dengan cara apa pun. Aku sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk menjadi istri yang baik, maka aku tidak akan mengingkarinya, meski suamiku membenciku sekali pun. Ia harus minum obat, dan karena itulah aku harus memaksanya makan tiap ia menolak makan malam, seperti malam ini tentunya. Kupikir perempuan itu akan putus asa, dan langsung pergi karena ia kuabaikan, tapi rupanya tidak. Ia justru mengikuti langkahku sampai ke dapur. Perempuan yang rambutnya digerai sepanjang punggung, dan dipotong dengan model butterfly itu bersidekap dada, menatapku dari bawah sampai atas lalu seulas senyum mengejek tampak di wajahnya. "Jadi begini sekarang selera Naqib? Sungguh buruk," ejeknya sembari mengambil apel, yang letaknya di keranjang buah tak jauh dari jangkauannya. Apa ia bilang barusan? Selera? Buruk? Hei? Aku benar-benar ingin tertawa sekarang, tapi urung kulakukan karena aku lebih senang membalasnya dengan wajah tanpa ekspresiku. Kuabaikan saja perempuan sinting tak tau malu ini. Malam-malam datang dengan pakaian kurang bahan, dan ke rumah lelaki yang sudah beristri? Sungguh, dasar tak tahu malu. "Hei! Aku bicara padamu, Laiba! Tidak usah sok belagak menjadi nyonya rumah, lagi pula Naqib tak mencintaimu!" Ia kesal, bisa kudengar dari nada bicaranya. Aku menatapnya. "Ia mungkin tidak mecintaiku, tapi ia menikahiku!" Aku membalasnya sembari menunjukkan cincin nikah, yang memutari jari manisku. Wajahku kuusahakan tanpa ekspresi, sengaja kulakukan agar ia makin kesal. Perempuan itu menatapku dengan mata tak suka, ia jengkel seketika. Dan mengibaskan tangannya, sudah malas berdebat sepertinya. "Aku tidak mau berbasa-basi denganmu! Sekarang katakan di mana Naqib?" "Naqib atau uangnya?" Biar kuperjelas saja. Perempuan itu gelagapan, ia langsung membuang muka. Dan, seketika kembali menatapku dengan tatapan tajam. "Jangan banyak omong, di mana Naqib?" Aku mengambil pisau, aku mendekatinya lalu tanganku mendekat ke lehernya, dan kutunjuk kamar Naqib menggunakan pisau di tangan kananku yang dekat dengan leher jenjangnya itu. "Di sana! Naqib di kamarnya," ucapku lalu menarik kembali tangan, dan meletakkan pisau ke tempat semula. Perempuan itu agak sedikit ketakutan, tetapi segera menghentakkan kakinya, yang mengenakan sepatu berhak tinggi, dan berjalan menuju kamar lelaki itu. Apa aku cemburu? Aku tidak tahu. Lagi pula aku dan lelaki itu baru menikah dua minggu lalu. Memangnya cinta bisa tumbuh secepat itu? Dan, sejak menikah kami tak pernah menjalani kehidupan romansa, yang ada hanya pertengkaran, dan tatapan kebencian yang selalu ia berikan padaku. Ya, apa yang bisa diharapkan dari pernikahan tanpa cinta ini memangnya? Tapi aku penasaran, membuatku mengikuti langkah perempuan itu. Benar saja, ia tengah berdiri di depan pintu kamar si "mentari pagi", mengetuknya beberapa kali sembari berulang kali memanggil namanya. Mengapa aku berharap ia tak membukakan pintu? Tidak, tentu saja bukan karena aku sudah mencintai si "mentari pagi", ini karena aku ingin membalas perempuan tak tahu malu itu. "Naqib! Naqib! Ini aku Elsh, kau masih ingat aku bukan?" Kuharap ia tidak ingat, lagi pula kemana saja kau sekarang baru datang? Ya, perempuan ini bernama Elsh. Ia pasti salah satu perempuan yang sebelumnya, dengan senang hati menyerahkan diri pada pelukkan lelaki itu. Aku sudah tahu bagaimana sepak terjang lelaki bernama Naqib Kamandhana itu, ia seorang lelaki yang gemar bermain perempuan, dan menyukai dunia malam. Tapi semenjak lumpuh, dan wajah tampannya yang katanya amat rupawan itu rusak, ia berhenti. Tentu saja, mungkin ia malu dan ya, tak ada lagi wanita yang mau dekat-dekat dengannya, kecuali karena hartanya. "Naqib! Naqib! Aku tahu kau di dalam, aku sangat merindukanmu." Tak kusangka pintu yang biasanya harus ku pukul-pukul sampai tanganku merah baru terbuka, kini sudah terbuka secara perlahan bahkan tanpa perlu tenaga berlebih. Seorang lelaki dengan wajah rusak, keluar dari sana mengenakan kursi roda canggihnya. Ekspresi wajahnya hampa. Lelaki itu menatap Elsh, yang sejak tadi sudah senyum-senyum bak orang sawan. Tak kusangka Elsh tiba-tiba naik ke pangkuan Naqib, hei? Ia sungguh tak tahu malu ya? Atau urat malunya sudah putus? Aku sungguh tak mengerti kalau ada perempuan semacam ini, dan aku melihatnya dengan mataku sendiri. Kini perempuan tak tahu malu itu bahkan mengalungkan tangannya ke leher Naqib. Aku tak mengerti, sungguh tak mengerti. "Aku merindukanmu," Elsh merengek manja pada Naqib. Dan saat itulah mata bersorot redup miliknya bertubrukkan dengan mataku. "Singkirkan ia dariku!" Apa maksudnya adalah aku? Aku harus menyingkir darinya? Tapi aku bahkan berjarak cukup jauh darinya. Aku menghela napas, memutuskan hendak berbalik, apalagi setelah melihat Elsh menatapku dengan senyum mengejek, seolah ia menang karena Naqib memilihnya. "Kubilang singkirkan ia dariku! Kenapa malah pergi?" Aku berhenti, dan menatap lelaki itu lagi. Aku bingung, sungguh. "Cepat singkirkan perempuan ini dariku, Laiba! Aku tau kau tak sebodoh itu untuk memahami ucapanku!" Ucapnya ketus. Aku segera mendekat, dan menarik lengan perempuan itu, yang rupanya malah semakin erat mengalung pada leher Naqib. Perempuan ini sebenarnya punya otak atau tidak sih? Ia tidak bisa berpikir ya? Tidak punya malu? "Kau tak dengar barusan apa yang dikatakan Naqib huh?" "Cepat turun!" Aku membentak perempuan itu. Dan ia justru menjambak jilbabku, membuat kepalaku jadi miring ke kanan. Aku tak mau kalah, kugunakan kesempatan itu untuk menariknya turun dari pangkuan Naqib. Dan berhasil. Sayangnya ia masih saja menarik jilbabku, membuat kain itu jatuh begitu saja ke lantai, dan aku yakin sekarang rambutku pasti mirip rambut singa. Mengingat aku tak menyisirnya beberapa hari ini. "Singkirkan tanganmu dari rambutku!" Ia berteriak ketika aku mulai membalas, menjambak rambutnya. Kami saling menjambak, dan bisa kulihat lelaki itu hanya diam, duduk manis di kursi roda canggihnya, menonton kami saling jambak seolah tengah menonton pertunjukkan sirkus. "Kau yang menyingkir!" Aku membalasnya, dan segera aku menyikut perutnya. Biar dia rasakan sikutan dariku yang pasti sangat sakit, karena tanganku ibarat tinggal kulit dan tulang saja. "Arghh! Dasar gila! Perutku sakit!" Ia berteriak lagi, lalu menyingkir dan menatapku sengit. "Tunggu pembalasanku, Laiba!" Ia mengancam dan pergi begitu saja. Aku hanya menghela napas, dan segera mengambil jilbabku yang terjatuh di lantai. Ketika hendak memakainya, tatapanku bersibobrok dengan tatapan lelaki itu. "Aku tahu rambutku seperti rambut singa sekarang, tapi kau tak perlu menatapku sampai sebegitunya," ucapku sarkas. Lelaki itu hanya diam, dan berikutnya berbalik, masuk kembali ke kamarnya menggunakan kursi roda, mengabaikanku dengan mudahnya. Bisakah aku memohon agar ia segera sembuh? Aku sudah muak untuk berhadapan dengan wajah garangnya itu, belum lagi mulutnya yang pedas, dan tukang komplen ini itu. Selain itu ia juga senang memerintah. Tak heran mengingat, ia seorang Tuan Muda dari Keluarga Kamandhana. Bersambung.Dua hari berlalu, setelah insiden penembakkan di laut hari itu, Paman Qasim meminta Laiba dan Naqib untuk sementara waktu tetap tinggal di rumah, dan tak pergi ke mana-mana. Mereka pagi ini ikut sarapan di bawah bersama anggota keluarga lainnya. Suasananya tak begitu menyenangkan. Barnaz dan Aleisha yang tampak memakan nasi goreng mereka dengan malas, karena mereka ingin segera pergi dari rumah, ke tempat kegemaran masing-masing, Zulaina yang merasa jengkel dalam hati berulang kali mengutuk Naqib, dan Syadiah yang disebut Nyonya Besar Kamandhana, yang juga merupakan Nenek dari Naqib, Barnaz, dan Aleisha itu juga memasang wajah tak senang. Hanya Qasim yang tampak cerah di antara mendung dan rengutan orang-orang pagi ini, bibirnya melengkung ke atas sejak tadi, ia begitu menikmati sarapan pagi ini. Akhirnya sarapan selesai setelah sekitar 30 menit, mereka semua harus bercengkrama satu sama lain di meja makan. Meja makan itu segera kosong, dan beberapa pekerja mulai berdatangan, terma
"Kau mau naik yacht?" Aku mungkin tak kunjung berkedip, atau bahkan sekarang mulutku terbuka lebar karena tak percaya ia mengajak ku untuk naik yacht. Maksudku, sungguh?"Tidak apa-apa jika kau tak mau. Kita bisa ....""Aku mau!" Sepertinya aku menyahut terlalu bersemangat, karena Naqib menatapku cukup lama, ya meski tanpa ekspresi sekali pun, tetapi selanjutnya lelaki ini menganggukkan kepala, ia lalu memanggil Ashak, yang berdiri tak jauh di belakang kami."Ini milik Paman Qasim, ia mengizinkan kita menaikinya," Naqib menjelaskan ketika kami telah berada di atas yacht, dan Ashak yang akan menjadi nahkoda.Kami duduk di area belakang yacht, menikmati sepoian angin yang menerpa wajah ketika yacht akhirnya dilajukan oleh Ashak.Ini kali pertama aku menaiki yacht, dan sama sekali tak pernah membayangkan kalau aku akan bisa menaikinya.Aku menatap Naqib yang tengah mendongakkan kepala, membuatku ikut melakukannya. Menjelang siang, langit memang semakin membiru cerah, awan hanya muncul be
Aku melepas sepatu, dan ketika hendak melangkah untuk duduk di ujung jembatan dermaga, suara Naqib yang menginterupsi membuatku menghela napas."Hendak menenggelamkan diri sembari meninggalkan sepatu, sebagai kenangan? Begitukah yang akan kau lakukan?" Bisa kah ia berhenti berpikir demikian? Berpikir bahwa aku akan melenyapkan diriku sendiri?Aku tak menoleh, tetapi langsung menyahut, "tidak, aku tidak akan menenggelamkan diri."Setelahnya lelaki itu diam, ia tak lagi mencegahku dengan kata-katanya yang sungguh pedas itu.Aku duduk di ujung jembatan, membiarkan kedua kakiku mengenai air laut, dan pagi ini udara cukup dingin tapi tak mengapa, aku senang. Tak heran udara semakin dingin akhir-akhir ini, mengingat musim kemarau telah datang menyapa, angin berembus cukup kencang. Udara kering saat siang hari juga panas, dan ketika malam datang hingga pagi hari, udara akan terasa dingin."Jadi kau juga suka laut?" Aku tak tahu sejak kapan lelaki ini sudah ada di samping ku dengan kursi roda
Ku pikir aku sudah mati, tapi tidak rupanya. Karena aku justru jatuh ke lantai, dan seseorang datang menarikku. Naqib, ia melakukannya, ia menarik kakiku ke belakang, mungkin susah payah dengan kondisinya yang lumpuh, karena sebelum memutuskan untuk melompat, aku mendengar suara keras sesuatu terjatuh, dan tak ku duga itu adalah Naqib."Kenapa? Kenapa, ku tanya, Laiba? Kenapa?" Ia berteriak, menatapku dengan mata ber-iris cokelatnya yang tajam.Aku sudah duduk di lantai, sementara lelaki itu telungkup karena tentu saja, ia tak bisa menggerakan kakinya dengan mudah untuk duduk.Air mataku meluruh begitu saja, dan aku benci untuk menyadari betapa aku memang lemah, betapa aku mudah menangis, aku benci, sungguh."Jangan tanyakan apapun, karena aku ...." Sungguh aku tak bisa lagi melanjutkan ucapanku, karena suaraku bergetar, dan aku justru ingin menangis dengan keras.Kepalaku menunduk, aku tak ingin menatap mata lelaki ini, karena air mataku pasti akan menetes makin banyak saat menatapny
Apa yang dokter katakan rupanya meleset, mengenai Naqib yang kemungkinan akan sadar dalam dua hari lagi, karena kenyataannya sore ini, mata lelaki itu telah terbuka, ia menatapku lama sekali tanpa berkedip, dan aku segera menekan tombol di ujung brankar, memanggil dokter agar segera datang memeriksa lelaki ini.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, aku merasa sangat lega, gemuruh badai di hatiku benar-benar telah lenyap. Dan kini Naqib telah dipindahkan ke ruang rawat, serta apabila kondisinya semakin membaik dalam dua hari, ia bisa pulang. Ku harap kondisinya segera baik, agar kami bisa segera pulang, tak perlu terlalu lama di rumah sakit."Kau perlu sesuatu?" Di ruangan ini hanya ada aku dan Naqib. Paman Qasim sudah datang tadi sore, dan malam ini ia mengatakan tak bisa datang, ia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya.Lelaki itu masih belum mengatakan apa-apa, sejak baru sadar hingga kini malam telah datang.Aku menghela napas, membiarkan saja ia untuk menyesu
Seorang perempuan bernama Aleisha bangun cukup pagi, merasa kesal luar biasa setelah sang Ayah—Qasim menghubungi agar ia segera ke rumah sakit. Perempuan itu turun dari ranjang besarnya, rambut cokelat gelap panjangnya acak-acakkan, sejenak perempuan itu menatap kaca datar di pojok kamar, menatap diri sendiri yang penampilannya begitu kusut."Naqib, Naqib dan selalu Naqib! Entah apa yang membuat Ayah begitu menyayanginya," Ia menggerutu lalu memutuskan masuk ke kamar mandi, menyalakan keran di bak dan segera menenggelamkan diri di sana, memejamkan mata menikmati air hangat, dan membiarkan piyama bunga-bunga kuningnya basah."Aleisha!" Perempuan itu tahu siapa yang memanggil, membuatnya berdecak sebal. Ia segera menyelesaikan mandinya, dan keluar dengan pakaian baru yang rapi."Ada apa?" Aleisha memandang kesal lelaki yang berdiri di depan rak bukunya, yang dibalas dengan tatapan malas oleh lelaki itu."Kita harus pergi ke rumah sakit, bukankah Ayah sudah bilang padamu?" Lelaki itu, Ba