Share

6. Lelaki Hobi Marah

Penulis: Maulana Hani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 16:57:24

Melihatnya sudah membuka mata, dan sedikit berbicara membuatku semakin lega. Aku senang ia bangun lagi, dan senang setelah Dokter Kahil datang mengatakan, kalau Naqib memiliki kemungkinan untuk berjalan lagi, tapi ia harus rajin meminum obatnya juga mulai mengikuti terapi.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah selama ini Naqib tak meminum obatnya dengan rajin? Maksudku sebelum kami menikah? Dan, terapi? Benarkah tak ada yang mampu memaksanya untuk ikut terapi? Aku yakin Paman Qasim pasti sudah membujuk lelaki ini, dan lelaki ini tentu menolaknya, sehingga membuat terapi tak kunjung dilakukan padanya.

Setelah Dokter Kahil pergi, aku duduk di samping kanan brankar Naqib lagi, lantaran saat Dokter Kahil datang tadi aku duduk di sofa. Mendengarkan penjelasannya mengenai keadaan kaki Naqib, dan kemungkinan lelaki itu untuk bisa kembali berjalan.

"Kau sudah tahu kau masih bisa berjalan lagi kalau ikut terapi?" Ku harap ia tidak mengiyakan, karena aku sangat kesal jika sampai ia mengiyakan.

Tapi tiap kali berhadapan dengan lelaki ini, ekspekstasiku tentu saja selalu ia patahkan, jadi hancur lebur tak berbentuk. Ia justru menganggukkan kepala, mengiyakan.

"Lalu kenapa kau tak terapi?" Beri aku alasan yang jelas, ku mohon. Ku mohon agar aku tak terlalu kesal, sampai ingin mencubit perut lelaki ini.

Matanya yang sorotnya redup itu menatapku tak senang. "Bukan urusanmu!" Selalu, selalu saja begitu. Apa ia tidak bisa membagi barang sedikit saja, perihal kehidupannya padaku? Apa itu terlalu terlarang atau apa? Aku sungguh tak habis pikir akan segala tindakan lelaki ini. Sungguh.

Aku menghela napas, menenangkan diri. "Apa pun katamu, tapi ini penting. Ini penting untuk kesembuhanmu, memangnya kau tak ingin sembuh? Katanya kau tak senang berada di atas kursi roda terus-terusan, dan itu artinya kau ingin bisa berjalan lagi bukan?" Biar saja aku cerewet atau apa pun itu, karena aku peduli padanya. Aku mendukung agar ia sembuh, agar ia bisa kembali berjalan, atau bahkan berlari lagi.

Ia masih menatapku, kami bertatapan cukup lama. Sampai seringai mengerikan muncul di wajahnya. "Karena aku bukan ingin sembuh, tapi ingin mati!" Ketusnya membuatku terdiam cukup lama.

Aku terkejut dengan seringai itu, aku juga terkejut lantaran baru tahu, seringai itu seperti ... seperti pernah ku lihat sebelumnya. Tapi di mana? Dan, bagaimana bisa aku melihatnya? Ah iya, benar, Barnaz. Iya, Barnaz Kamandhana. Seringai itu persis seperti milik Barnaz Kamandhana, sepupu lelaki Naqib. Ia putra sulung dari Paman Qasim. Aku pernah melihatnya menyeringai saat mengobrol dengan adik perempuannya, Aleisha Kamandhana, yang hari itu juga tengah tersenyum menyeringai. Entah apa yang mereka bicarakan saat itu.

Ah ya, tentu saja. Mereka sepupu, jadi sudah cukup wajar mirip di beberapa hal.

"Kenapa diam? Sudah kehabisan kata?" Suara Naqib yang begitu ketus membuatku berjingkit.

Aku menatapnya, dan segera memasang senyum. Walau rasanya ingin ku pukul bahunya agar ia tak terus-terusan ketus padaku.

"Tidak, aku hanya memikirkan sesuatu saja. Oh iya, kau suka membaca 'kan?" Jangan mengira aku akan kehabisan topik pembicaraan dengannya. Aku memang tak terlalu cerewet, tapi aku bisa cerewet jika aku mau, lebih tepatnya di situasi tertentu.

Naqib menatapku lama, lalu terdengar dengusan sebal dari mulutnya. Tidak bisa kah ia menanggapi dengan santai? Mengapa harus selalu sebal begitu? Ini sungguh membuat aku kesal padanya. Tapi, lagi dan lagi aku harus sabar. Istri yang baik tentu harus sabar menghadapi segala tingkah suami, meski suami sangat menyebalkan.

"Kau tahu dari mana?" Suaranya terdengar sangat menyebalkan, ia setengah kesal dan entahlah aku tak mengerti.

Ku usahakan untuk terus menyunggingkan senyum, walau lama-lama rasanya aku agak geram.

"Saat kau meninggalkan aku di depan pintu kamarmu, saat itu Azizeh datang dan membukakannya untukku. Aku masuk dan melihat-lihat. Kamar itu bagus, rapi, juga bersih. Aku melihat beberapa buku tertata di meja samping ranjang, dan aku yakin kau memang suka membaca," Aku menimpali dengan panjang lebar, berharap dengan demikian lelaki ini mau sedikit akrab denganku.

"Itu dulu. Sekarang aku tak lagi suka membaca!" Lelaki ini menyahut dengan tatapan yang beralih.

Aku tak memedulikan ucapannya, kini aku memilih bangkit menuju meja dekat sofa, dan mengambil buku yang sejak seminggu lalu sudah ada di sana. Setelahnya aku duduk kembali di bangku sebelumnya.

Senyumku mengembang, sembari memegang buku itu. "Ini, kau suka membacanya 'kan?" Jangan mengatakan tidak, karena kalau ia sampai mengatakan tidak, aku akan tahu kalau ia berbohong. Mengingat kemarin Paman Qasim sempat melihat buku itu, dan mengatakan kalau buku itu adalah buku favorit Naqib.

"Tidak!" Ia membalas singkat. Sangat singkat nyaris, membuatku ingin melemparkan buku ini pada wajahnya, yang tanpa ekspresi itu.

Lelaki ini memang menyebalkan, sangat menyebalkan. Sungguh. Tapi aku tetap mencoba tersenyum padanya.

"Paman Qasim bilang, buku ini adalah buku favoritmu. Mau ku bacakan ini?" Aku berusaha untuk terus dekat padanya, mencoba akrab dan berharap ia mau membuka diri. Aku tak berharap apa pun, mungkin kita bisa menjadi teman, atau sahabat.

"Berisik! Sebaiknya kau diam karena aku ingin tidur!"

Ya Allah, Ya Tuhanku. Tabahkanlah aku, sabarkanlah aku karena ke depannya aku harus terus menghadapi segala tingkah lelaki, yang menjadi suamiku ini.

Aku berusaha tersenyum, walau rasanya ingin ku cubit perut lelaki ini. "Baiklah, kalau begitu, kau bisa mulai memejamkan matamu, dan aku akan membacakan buku ini untukmu, mungkin beberapa bab agar kau bisa tidur lebih nyenyak," Ucapku berusaha setenang dan sesabar mungkin menghadapi lelaki ini.

Lelaki itu menatapku, bibirnya tersenyum mengejek. Oh, ya Allah. Sabarkan lah aku sabarkan.

"Kalau begitu, aku mungkin akan mimpi buruk karena mendengarkan kau bercerita. Lagi pula aku bukan anak kecil, yang harus dibacakan dongeng tiap kali hendak tidur! Jadi, sebaiknya kau diam, dan jangan mengajakku berbicara lagi!" Sangat ketus, dan kembali aku harus mengucapkan mantra. Ya mantra mujarab yang biasa ku ucapkan saat ia membuatku kesal. Begini bunyinya. Sabar, sabar, dan sabar.

Aku mengangguk, mengalah pada lelaki ini yang rupanya memang agak cerewet. Tapi, aku tak heran, beberapa malam yang lalu, Paman Qasim sempat bercerita kalau semasa kecil hingga remaja, Naqib adalah seseorang yang ramah, hangat, dan ceria. Sayangnya kepribadian itu menghilang sejak ia mengalami kelumpuhan. Ia berubah, sangat berubah, sampai seperti bukan lagi seorang Naqib.

Aku tetap duduk di bangku semula, menatap lelaki yang kini betulan memejamkan matanya. Ku tatap tangan kanannya, dan aku menemukan sayatan di pergelangan tangannya itu. Aku menyentuhnya, dan itu membuat lelaki ini jadi membuka mata, menatapku dengan alis mengerut.

"Ini kenapa?" Aku penasaran, sungguh.

"Aku sudah bilang untuk tak menggangguku bukan? Kenapa kau senang sekali mencari tahu segala hal tentangku? Menurutmu aku akan langsung berbaik hati, setelah kau tahu segalanya tentangku? Tidak! Tidak akan pernah!" Jika saja tangannya bisa ia gerakkan, mungkin ia sudah menyingkirkan tanganku, yang masih menyentuh pergelangan tangannya. Lantaran Dokter bilang, tangannya ada kemungkinan terasa sakit bila digerakan secara tiba-tiba. Saat kejang di rumah, ia memang jatuh dari kursi roda, dan tangannya tertimpa.

Aku tak menyerah, memilih mengusap pergelangan tangannya, berharap dengan demikian ia tak semakin marah. Lagi pula mengapa sih ia seolah senang sekali marah-marah.

"Singkirkan tanganmu!" Ketusnya yang ku balas dengan senyuman.

"Aku tak mendengarmu," Sahutku sengaja mengerjai lelaki hobi marah-marah ini.

"Terserahmu!" Ia makin ketus tapi segera lelaki ini memejamkan mata.

Aku masih mengusap pergelangan tangannya, lalu mencoba menggenggam tangan yang jika dibandingkan dengan tanganku tak ada apa-apanya. Tanganku sangat mungil.

"Bisakah kau berhenti memegang tanganku?" Eh? Ku pikir lelaki hobi marah-marah ini sudah tidur.

"Tidak," sahutku sambil memasang senyum ke arahnya. Ku pikir aku mulai senang membuatnya kesal, sepertinya bukan senang, mungkin lebih tepatnya terbiasa.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   40. Pada Kematian yang Dinanti

    Apa yang dokter katakan rupanya meleset, mengenai Naqib yang kemungkinan akan sadar dalam dua hari lagi, karena kenyataannya sore ini, mata lelaki itu telah terbuka, ia menatapku lama sekali tanpa berkedip, dan aku segera menekan tombol di ujung brankar, memanggil dokter agar segera datang memeriksa lelaki ini.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, aku merasa sangat lega, gemuruh badai di hatiku benar-benar telah lenyap. Dan kini Naqib telah dipindahkan ke ruang rawat, serta apabila kondisinya semakin membaik dalam dua hari, ia bisa pulang. Ku harap kondisinya segera baik, agar kami bisa segera pulang, tak perlu terlalu lama di rumah sakit."Kau perlu sesuatu?" Di ruangan ini hanya ada aku dan Naqib. Paman Qasim sudah datang tadi sore, dan malam ini ia mengatakan tak bisa datang, ia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya.Lelaki itu masih belum mengatakan apa-apa, sejak baru sadar hingga kini malam telah datang.Aku menghela napas, membiarkan saja ia untuk menyesu

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   39. Mawar Berdarah di Taman Belakang

    Seorang perempuan bernama Aleisha bangun cukup pagi, merasa kesal luar biasa setelah sang Ayah—Qasim menghubungi agar ia segera ke rumah sakit. Perempuan itu turun dari ranjang besarnya, rambut cokelat gelap panjangnya acak-acakkan, sejenak perempuan itu menatap kaca datar di pojok kamar, menatap diri sendiri yang penampilannya begitu kusut."Naqib, Naqib dan selalu Naqib! Entah apa yang membuat Ayah begitu menyayanginya," Ia menggerutu lalu memutuskan masuk ke kamar mandi, menyalakan keran di bak dan segera menenggelamkan diri di sana, memejamkan mata menikmati air hangat, dan membiarkan piyama bunga-bunga kuningnya basah."Aleisha!" Perempuan itu tahu siapa yang memanggil, membuatnya berdecak sebal. Ia segera menyelesaikan mandinya, dan keluar dengan pakaian baru yang rapi."Ada apa?" Aleisha memandang kesal lelaki yang berdiri di depan rak bukunya, yang dibalas dengan tatapan malas oleh lelaki itu."Kita harus pergi ke rumah sakit, bukankah Ayah sudah bilang padamu?" Lelaki itu, Ba

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   38. Mesin yang Membuat Lelucon

    Pagi itu, ketika langit terlalu erat dipeluk oleh sang awan, yang kelabu karena terlalu banyak menyimpan kesedihan anak-anak manusia, hingga mencegah sang surya untuk memunculkan diri. Laiba, perempuan yang mengenakan jilbab panjang putih, dengan gamis warna senada, dan sandal itu, melintasi lorong demi lorong rumah sakit dengan tergesa.Seseorang mungkin akan pergi hari ini, dan ia tak akan pernah kembali lagi. Setiap harinya memang begitu, bahwa jika ada yang lahir, maka akan ada yang mati, dan itu terjadi di belahan dunia mana pun. Tapi Laiba tidak siap, ia tidak siap jika itu untuk lelaki itu. Ia tak ingin kehilangan lelaki itu. Perempuan itu berhenti tepat di depan ruang ICU, dan seorang lelaki paruh baya tengah berdiri tepat di depan pintu ruangan, menatap ke arah dalam dengan ekspresi wajah gelisah, dahinya berkerut-kerut, lingkaran di bawah matanya tampak jelas, bibirnya bergerak-gerak, terus mengucapkan kalimat demi kalimat, sebuah doa agar seseorang yang berada dalam ruang

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   37. Pintu Gudang dan Lelaki Itu

    Setelah berbincang cukup lama dengan Azizeh, dan perempuan berusia 59 tahun itu pamit hendak melakukan pekerjaannya yang lain, jadi ku pikir aku bisa kembali ke kamar segera.Langkahku justru tiba-tiba berhenti di depan gudang, karena aku kembali mengingat kejadian saat Naqib kejang-kejang di depan pintu ini, dan Jon saat itu baru saja bersamanya. Entah apa yang sebenarnya pernah terjadi di gudang ini, Naqib seperti memiliki memori kelam, sehingga membuatnya mengalami kejang.Aku mendekati pintu itu, dan mencoba membukanya. Tak ku sangka pintunya tak dikunci, perlahan aku masuk ke gudang yang cukup gelap itu, tetapi sedikit cahaya masih tampak, membuatku dengan mudan menemukan saklar lampu.Seketika semua benda yang ada di gudang mulai terlihat, dan aku terkejut ketika menyadari bahwa gudang ini tampak tak seperti gudang pada umumnya, maksudku, tempat ini cukup bersih untuk disebut gudang, hanya saja memang beberapa benda ada yang tak tertumpuk rapi, juga sebuah ranjang yang ditutupi

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   36. Kaset Pita

    Sudah dua minggu lamanya, Naqib terbaring koma di brankar rumah sakit, matanya masih betah memejam, dan ventilator masih ada di mulutnya, begitupun selang infus di tangan kirinya, bahkan tiga hari lalu, dokter memasang kabel-kabel kecil di kedua pelipis Naqib, aku tak tahu apa fungsinya, tapi aku tahu alat itu telah menggambarkan bahwa Naqib dalam kondisi yang semakin buruk.Pagi ini sekitar pukul sembilan pagi, aku mendatangi mushola di rumah sakit, mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat dhuha, berdoa pada-Nya agar melindungi lelaki itu, menjaga Naqib, membuat kondisinya membaik, dan segera sadarkan diri.Ini kali pertama aku merasakan gelisah yang tiada akhirnya, menunggu lelaki itu membuka mata, dan kembali mengucapkan sepatah kata walau ucapan pedas sekalipun.Aku tak ingat kapan Yazan sampai di rumah sakit ini, duduk di sampingku, entahlah mungkin karena ia bahkan tak mengatakan sepatah kata pun sejak tadi, dan hanya ada keheningan di antara kami."Bagaimana keadaan Kakak ipar?

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   35. Pemberani Sepertinya, Seperti Angin

    Hari semakin siang, dan kali ini waktu telah menunjukkan pukul 10. Paman Qasim memintaku untuk berkeliling rumah sakit saja, atau pergi ke taman depan rumah sakit untuk menenangkan diri, sementara ia akan menunggui Naqib di depan ruang ICU. Aku segera menganggukkan kepala, dan setuju atas pinta lelaki paruh baya itu.Di sepanjang koridor, aroma menyengat obat lah yang memenuhi rongga hidungku, kadang aku juga berpapasan dengan seorang pasien yang hendak dipindahkan ruangannya, atau dengan para perawat yang mendorong brankar, di atasnya terbaring seorang pasien berlumuran darah, kadang pula brankar didorong dengan perempuan, yang perutnya membuncit, peluh mengiringinya, ia hendak melahirkan, dan terakhir aku menyaksikan, seorang anak lelaki mungkin berusia sekitar 5 tahunan, yang mulutnya dipasangi ventilator, matanya terpejam damai, tangannya dililit selang infus, kepalanya diperban, dan sepanjang brankar itu melaju ke arah ruang operasi, suara tangisan perempuan yang ku pikir Ibunya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status