Home / Romansa / Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa / 7. Mata yang Irisnya Cokelat

Share

7. Mata yang Irisnya Cokelat

Author: Maulana Hani
last update Last Updated: 2025-06-09 16:58:20

"Rumah itu sudah ku jual! Jadi, kalian harus tinggal di Rumah Besar Kamandhana mulai sekarang!" Panggilan itu seketika diputuskan secara sepihak. Dan, aku sungguh terkejut mendapati sikap Nenek yang sangat berbeda. Rupanya segala hal tentang Naqib, dan Keluarga Kamandhana memang menyimpan banyak keanehan juga rahasia. Aku segera memasukkan kembali ponsel ke saku.

Aku menghela napas, menatap Naqib yang duduk dengan tenang di kursi roda canggihnya. Kami berdua pulang ke rumah, dan sayangnya ketika mencoba mengetuk pagar, seseorang keluar dari sana, menjelaskan bahwa ia adalah pemilik baru rumah kami.

Aku berjongkok di samping lelaki ini, mengamati rumah yang cukup besar yang beberapa minggu telah kami tempati. Rumahnya nyaman, asri, dan menyenangkan tinggal di sini. Sayangnya Nenek malah menjualnya, maka mau tak mau seperti yang Nenek katakan di panggilan tadi, kami harus tinggal di kediaman Kamandhana, lebih tepatnya rumah besar.

"Aku tidak mau kembali ke sana!" Ucapan Naqib sungguh membuatku bingung. Aku jadi menolehkan kepala, menatap lelaki ini.

"Lalu ke mana? Kau punya tempat lain?" Ya, siapa tahu lelaki kaya raya ini punya tempat yang bisa kami gunakan untuk tinggal. Apartemen mungkin? Biasanya orang kaya memiliknya bukan?

Lelaki ini diam saja. Sepertinya ia tak punya. Lalu bagaimana? Haruskah kami berdua menghabiskan hari di depan pagar, sembari menunggui koper, dan barang-barang kami yang ditinggalkan di sini? Aku tak mengerti jalan pikirannya. Sungguh.

"Ke rumahmu!" Ide yang sangat buruk.

Rumahku? Ia mungkin tak akan bisa tidur nyenyak kalau di sana, bukan, bukan karena rumahku reyot atau apa lah itu. Tapi, lingkungan tempatku tinggal sangat berisik, kadang meski sudah pukul 11 malam, seorang tetangga ada saja yang berkaraoke, menganggu tetangga lain yang ujung-ujungnya hanya diselesaikan secara kekeluargaan, setelah salah satunya mengancam akan melaporkan ke polisi. Dan, orang itu akan mengulanginya lagi. Sampai kami sebagai tetangga sudah muak, membiarkan saja orang itu bertingkah sesuka hatinya.

Kali ini aku tak lagi menatap lelaki ini, memilih menatap lurus ke arah gerbang, yang sejak kecil selalu kuimpikan. Ya, aku selalu bermimpi memiliki rumah dengan gerbang kayu yang dipernis, dan mengkilap. Persis seperti gerbang di rumah ini, rumah yang kini tak lagi bisa kami berdua tinggali. Oh, rumah kami yang malang. Ah, tidak justru kami yang malang sekarang.

"Kau sangat menyukai rumah ini?" Tidak bisa kah ia tak mengganggu khayalanku? Aku sedang malas berbicara padanya. Dan beginilah, tiap aku malas berbicara ia akan mengajakku berbicara, lalu sebaliknya, saat aku mengajaknya berbicara, ia akan mengabaikanku atau bahkan marah-marah, dan ketus padaku. Dasar menyebalkan.

"Aku bicara padamu!" Ketusnya membuatku menghela napas, aku menolehkan kepala, membuat kami jadi bertatapan.

Jujur saja, aku selalu senang menatap matanya. Iris mata cokelatnya itu sangat indah, dan menenangkan untuk ditatap, diselami. Dahinya mengerut dalam, sudah jelas ia pasti akan marah-marah lagi.

"Iya, iya aku mendengarmu," balasku setengah kesal, sebelum ia marah-marah tentunya.

"Lalu kenapa tak menjawab?" Aku tersenyum padanya, agak geram tapi aku harus sabar.

"Aku hanya senang tinggal di sini, gerbang rumahnya bagus," Ungkapku jujur. Terserah ia percaya atau tidak.

Lelaki ini justru berdecih. Sudah ku bilang, lelaki ini memang menyebalkan, sangat menyebalkan.

"Pesan taksi sekarang!" Seenak jidat ia memerintahku. Andai saja, andai saja ia bukan suamiku, mungkin sudah sejak tadi ku pukul wajahnya menggunakan tanganku.

Baru saja hendak mengambil ponsel, suara deru mesin mobil terhenti. Dan, aku bangkit, menoleh ke belakang. Menemukan mobil berwarna merah menyala, yang ternyata milik Bibi Zulaina. Aku ingat saat hari Naqib melamarku, mobil merah itu datang ke rumahku, dan paling mencolok di antara deretan mobil lainnya yang berwarna hitam. Dan Bibi Zulaina keluar dari sana diikuti oleh Jon, sopir pribadinya.

Naqib tak peduli, lelaki itu masih saja menghadap ke arah rumah ... maksudku mantan rumah kami. Oh, rumah kami yang nyaman. Aku akan merindukanmu, rumah.

"Pesan taksi saja! Cepat!" Apa ia tak melihat atau mendengar deru mesin mobil? Haruskah aku menarik kursi rodanya, dan menunjukkan pada lelaki ini kalau di hadapan kami sudah ada mobil? Tapi, ya, aku harus bersabar. Sabar, sabar, dan sabar. Jika, sabar itu berbentuk uang, aku mungkin sudah punya triliunan di rekening bank milikku sekarang. Dasar lelaki menyebalkan.

Seorang lelaki dengan setelan jas formal keluar dari mobil, dan setelahnya menyapaku, mengingat Naqib masih saja tak mau menoleh, masih menghadap ke arah rumah.

"Nona Muda! Saya disuruh menjemput anda dan Tuan Muda oleh Nyonya Besar," Jon menyapa dengan ramah, lalu aku menganggukkan kepala.

"Sebentar, aku akan berbicara pada Naqib dulu," Ucapku yang segera diangguki oleh Jon.

Aku membalikkan badan, kini berjongkok di hadapan Naqib yang duduk di kursi rodanya tanpa ekspresi.

"Ayo kita pulang," ucapku berusaha selembut mungkin, mencoba membujuknya dan ku harap ini berhasil.

Lelaki ini diam saja, mengabaikanku, seolah aku makhluk tak kasat mata. Aku menghela napas, kali ini menyentuh tangannya, dan matanya langsung menatapku. "Kau harus segera istirahat, kalau memesan taksi, mungkin datangnya akan lama. Jadi, tak apa ya kita naik mobil bersama Jon?" Aku membujuknya lagi, ku harap kali ini ia mau mengatakan sesuatu, atau minimal menganggukkan kepalanya.

"Aku bisa memesan taksi sendiri! Kau bisa pergi dengannya!" Kali ini kemarahannya tak seperti biasa, di matanya yang ber-iris cokelat itu ada amarah yang membara, kebencian, dan rasa sakit.

Aku sungguh tak mengerti. Ada apa sebenarnya? Ini juga mengingatkanku pada kejadian di depan pintu gudang waktu lalu, ketika Jon meninggalkan Naqib yang termangu menatap pintu gudang, dan setelahnya lelaki ini mengalami kejang. Lalu, hari ketika kami pertama kali tiba di rumah ini, tatapan Naqib pada Jon, ku sadari seperti penuh amarah membara, kebencian, dan rasa sakit. Tatapan ini juga yang ku dapati sekarang, meski ia tak melihat ke arah Jon secara langsung.

Kali ini aku mengangguk mengerti. Aku akan menuruti keinginan lelaki ini, karena aku perlu tahu siapa sebenarnya Jon, dan mengapa tatapan Naqib padanya selalu dipenuhi kebencian juga amarah membara. Dan untuk mengetahui hal itu tentu saja perlu waktu.

"Maaf, Jon. Aku lupa kalau kami berdua sudah memesan taksi, aku minta maaf, tapi kami akan naik taksi saja," Aku bangkit dan segera menghadap Jon, mengucapkan permintaan maaf.

Ku lihat ekspresi Jon sedikit berubah, dari yang sebelumnya agak berseri-seri, menjadi sedikit kesal. Ini aneh, tapi segera ekspresi di wajahnya kembali normal. Ia sepertinya cukup ahli mengendalikan ekspresi di wajahnya.

Ada rahasia apa di antara Jon dan Naqib? Apa lelaki ini pernah menyakiti Naqib? Atau apa? Semua pertanyaan itu memenuhi kepalaku, membuatku melamun agak lama, tak sadar Jon memanggilku.

"Ah, iya. Maaf, aku malah melamun."

Jon mengangguk, lalu tanpa lama lelaki itu segera berpamitan padaku, dan terakhir pada Naqib.

"Saya pergi dulu ... Tuan Muda Naqib!" Ada jeda di ucapannya. Dan aku mengamati ekspresi di wajahnya, ujung bibirnya seperti terangkat sedikit. Apa ia barusan menyeringai? Ah, sepertinya tidak, aku hanya salah melihat saja.

Mobil dengan warna merah menyala itu melaju meninggalkan kami berdua. Dan setelahnya Naqib baru mau menatap jalanan, ia tak lagi menatap gerbang rumah.

"Kau sudah pesan taksinya?"

"Sabar sebentar, Tuan Muda!" Sahutku dengan senyuman.

Dengusan terdengar dari mulut Naqib. "Jangan memanggilku begitu!" Sepertinya ia memang tak suka dipanggil begitu, tapi aku hanya meledeknya saja, semoga ia tak sungguhan marah, karena jika ia marah ini akan menyulitkanku. Ketika marah, lelaki ini sering kali menolak berbicara, makan, dan bahkan mandi. Ia hanya akan duduk di kursi roda canggihnya seharian, berdiam diri tanpa mau melakukan apa-apa.

"Sudah! Kita tinggal menunggunya saja!" Ucapku usai memesan taksi. Ku lihat ekspresi lelaki ini tampak sedikit lega.

Aku tak tahu apa yang sebenarnya pernah terjadi di rumah itu, sehingga lelaki ini menolak untuk kembali tinggal di sana. Atau apa yang terjadi antara dirinya dengan Jon, sehingga ia seolah amat membenci lelaki ramah itu. Ku harap jika aku mengetahuinya, itu bukan hal-hal mengerikan, itu hanya kebencian biasa lelaki ini terhadap orang-orang. Ya, ku harap begitu.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   40. Pada Kematian yang Dinanti

    Apa yang dokter katakan rupanya meleset, mengenai Naqib yang kemungkinan akan sadar dalam dua hari lagi, karena kenyataannya sore ini, mata lelaki itu telah terbuka, ia menatapku lama sekali tanpa berkedip, dan aku segera menekan tombol di ujung brankar, memanggil dokter agar segera datang memeriksa lelaki ini.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, aku merasa sangat lega, gemuruh badai di hatiku benar-benar telah lenyap. Dan kini Naqib telah dipindahkan ke ruang rawat, serta apabila kondisinya semakin membaik dalam dua hari, ia bisa pulang. Ku harap kondisinya segera baik, agar kami bisa segera pulang, tak perlu terlalu lama di rumah sakit."Kau perlu sesuatu?" Di ruangan ini hanya ada aku dan Naqib. Paman Qasim sudah datang tadi sore, dan malam ini ia mengatakan tak bisa datang, ia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya.Lelaki itu masih belum mengatakan apa-apa, sejak baru sadar hingga kini malam telah datang.Aku menghela napas, membiarkan saja ia untuk menyesu

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   39. Mawar Berdarah di Taman Belakang

    Seorang perempuan bernama Aleisha bangun cukup pagi, merasa kesal luar biasa setelah sang Ayah—Qasim menghubungi agar ia segera ke rumah sakit. Perempuan itu turun dari ranjang besarnya, rambut cokelat gelap panjangnya acak-acakkan, sejenak perempuan itu menatap kaca datar di pojok kamar, menatap diri sendiri yang penampilannya begitu kusut."Naqib, Naqib dan selalu Naqib! Entah apa yang membuat Ayah begitu menyayanginya," Ia menggerutu lalu memutuskan masuk ke kamar mandi, menyalakan keran di bak dan segera menenggelamkan diri di sana, memejamkan mata menikmati air hangat, dan membiarkan piyama bunga-bunga kuningnya basah."Aleisha!" Perempuan itu tahu siapa yang memanggil, membuatnya berdecak sebal. Ia segera menyelesaikan mandinya, dan keluar dengan pakaian baru yang rapi."Ada apa?" Aleisha memandang kesal lelaki yang berdiri di depan rak bukunya, yang dibalas dengan tatapan malas oleh lelaki itu."Kita harus pergi ke rumah sakit, bukankah Ayah sudah bilang padamu?" Lelaki itu, Ba

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   38. Mesin yang Membuat Lelucon

    Pagi itu, ketika langit terlalu erat dipeluk oleh sang awan, yang kelabu karena terlalu banyak menyimpan kesedihan anak-anak manusia, hingga mencegah sang surya untuk memunculkan diri. Laiba, perempuan yang mengenakan jilbab panjang putih, dengan gamis warna senada, dan sandal itu, melintasi lorong demi lorong rumah sakit dengan tergesa.Seseorang mungkin akan pergi hari ini, dan ia tak akan pernah kembali lagi. Setiap harinya memang begitu, bahwa jika ada yang lahir, maka akan ada yang mati, dan itu terjadi di belahan dunia mana pun. Tapi Laiba tidak siap, ia tidak siap jika itu untuk lelaki itu. Ia tak ingin kehilangan lelaki itu. Perempuan itu berhenti tepat di depan ruang ICU, dan seorang lelaki paruh baya tengah berdiri tepat di depan pintu ruangan, menatap ke arah dalam dengan ekspresi wajah gelisah, dahinya berkerut-kerut, lingkaran di bawah matanya tampak jelas, bibirnya bergerak-gerak, terus mengucapkan kalimat demi kalimat, sebuah doa agar seseorang yang berada dalam ruang

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   37. Pintu Gudang dan Lelaki Itu

    Setelah berbincang cukup lama dengan Azizeh, dan perempuan berusia 59 tahun itu pamit hendak melakukan pekerjaannya yang lain, jadi ku pikir aku bisa kembali ke kamar segera.Langkahku justru tiba-tiba berhenti di depan gudang, karena aku kembali mengingat kejadian saat Naqib kejang-kejang di depan pintu ini, dan Jon saat itu baru saja bersamanya. Entah apa yang sebenarnya pernah terjadi di gudang ini, Naqib seperti memiliki memori kelam, sehingga membuatnya mengalami kejang.Aku mendekati pintu itu, dan mencoba membukanya. Tak ku sangka pintunya tak dikunci, perlahan aku masuk ke gudang yang cukup gelap itu, tetapi sedikit cahaya masih tampak, membuatku dengan mudan menemukan saklar lampu.Seketika semua benda yang ada di gudang mulai terlihat, dan aku terkejut ketika menyadari bahwa gudang ini tampak tak seperti gudang pada umumnya, maksudku, tempat ini cukup bersih untuk disebut gudang, hanya saja memang beberapa benda ada yang tak tertumpuk rapi, juga sebuah ranjang yang ditutupi

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   36. Kaset Pita

    Sudah dua minggu lamanya, Naqib terbaring koma di brankar rumah sakit, matanya masih betah memejam, dan ventilator masih ada di mulutnya, begitupun selang infus di tangan kirinya, bahkan tiga hari lalu, dokter memasang kabel-kabel kecil di kedua pelipis Naqib, aku tak tahu apa fungsinya, tapi aku tahu alat itu telah menggambarkan bahwa Naqib dalam kondisi yang semakin buruk.Pagi ini sekitar pukul sembilan pagi, aku mendatangi mushola di rumah sakit, mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat dhuha, berdoa pada-Nya agar melindungi lelaki itu, menjaga Naqib, membuat kondisinya membaik, dan segera sadarkan diri.Ini kali pertama aku merasakan gelisah yang tiada akhirnya, menunggu lelaki itu membuka mata, dan kembali mengucapkan sepatah kata walau ucapan pedas sekalipun.Aku tak ingat kapan Yazan sampai di rumah sakit ini, duduk di sampingku, entahlah mungkin karena ia bahkan tak mengatakan sepatah kata pun sejak tadi, dan hanya ada keheningan di antara kami."Bagaimana keadaan Kakak ipar?

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   35. Pemberani Sepertinya, Seperti Angin

    Hari semakin siang, dan kali ini waktu telah menunjukkan pukul 10. Paman Qasim memintaku untuk berkeliling rumah sakit saja, atau pergi ke taman depan rumah sakit untuk menenangkan diri, sementara ia akan menunggui Naqib di depan ruang ICU. Aku segera menganggukkan kepala, dan setuju atas pinta lelaki paruh baya itu.Di sepanjang koridor, aroma menyengat obat lah yang memenuhi rongga hidungku, kadang aku juga berpapasan dengan seorang pasien yang hendak dipindahkan ruangannya, atau dengan para perawat yang mendorong brankar, di atasnya terbaring seorang pasien berlumuran darah, kadang pula brankar didorong dengan perempuan, yang perutnya membuncit, peluh mengiringinya, ia hendak melahirkan, dan terakhir aku menyaksikan, seorang anak lelaki mungkin berusia sekitar 5 tahunan, yang mulutnya dipasangi ventilator, matanya terpejam damai, tangannya dililit selang infus, kepalanya diperban, dan sepanjang brankar itu melaju ke arah ruang operasi, suara tangisan perempuan yang ku pikir Ibunya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status