Share

5. Kita Saling Mengenal?

Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya.

"Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."

Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh.

"Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.

Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana.

"Kamu siapa?" Attara mengulang pertanyaan saat di rumah sakit tadi, pertanyaan yang belum sempat Arjani jawab.

Senyuman getir menghiasi wajah Arjani, sebisa mungkin ia menahan air matanya. Menoleh, ia mengulurkan tangan pada Attara untuk berkenalan. "Arjani Mason, kamu bisa memanggilku Arja," jelasnya. Mengulang berkenalan seperti ini, membuat Arjani dejavu dengan ingatannya semasa SMA.

"Lalu, namaku adalah Attara?" tanya pria itu lagi, memastikan namanya yang ia lupa sendiri. Tadi saat di rumah sakit, Arjani memang sempat mengingatkan Attara hanya sampai pada identitas pria itu sendiri.

Arjani mengangguk membenarkan. "Attara Behzad. Usiamu 29 tahun, dan kamu seorang ayah dari gadis kecil yang sangat menggemaskan di ujung sana," tambah Arjani, telunjuknya mengarah ke ujung tenda. Di sana, Chika tengah menangis di atas pangkuan Reyma.

Sejak mendapati kenyataan ayahnya tidak bisa lagi mengingat dirinya, Chika menangis hebat. Bahkan sampai sekarang, gadis cilik itu masih tidak mau mendekati sang ayah karena terlanjur kecewa. Dengan melihat Chika saja, sudah mampu membuat Attara meringis pelan, kepalanya selalu menjadi titik paling sakit saat menyerap informasi baru.

Melihat hal tersebut, Arjani hanya bisa membantu menenangkan dengan menarik pelan tangan Attara yang berusaha memukul kepalanya sendiri. Pria itu tentu tersiksa, karena kehilangan sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan.

"Bersandarlah," titah Arjani, membantu Attara untuk bersandar. Attara menurut saja, dia terlihat lelah dengan semua usaha beratnya hari ini untuk mengingat semua yang telah ia lupakan.

"Jangan memaksa dirimu untuk mengingat semuanya, ini memang buruk. Akan tetapi, ini tidak seburuk di mana kamu tidak memiliki harapan lagi. Harapan untuk mengingat semuanya masih luas, pelan-pelan saja," nasihat Arjani seraya memamerkan senyumannya.

"Apa kamu mengenalku sebelumnya? Kamu menatapku berbeda dari wanita itu." telunjuk Attara mengarah pada Reyma ia membandingkan cara Arjani dan Reyma meresponnya yang berbeda.

Mendadak ada segumpal duri yang terasa tertelan begitu saja di kerongkongan Arjani, pertanyaan Attara berhasil menohoknya. Bagaimana ia akan menjelaskan semuanya? Selain percuma, rasa-rasanya sangat tidak etis untuk membahas semuanya di sini.

"Kamu sudah tidak mau memakan ini lagi?" tanya Arjani, mengalihkan topik. Attara menjawab hanya dengan gelengan kepala, dan Arjani gegas berdiri dari sana sebelum Attra kembali menanyakan hal tadi.

"Tunggu." Suara Attara menahan Arjani, sepertinya Arjani memang tidak akan pernah bisa lari dari rasa penasaran seorang Attara yang amnesia. "Kamu melupakan sesuatu," lanjutnya.

Dengan berat hati, Arjani berbalik seraya hati kecilnya berharap Attara tidak menanyakan hal yang sama lagi. Namun, harapan Arjani harus kandas begitu saja saat Attara berkata, "Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apakah kamu mengenalku sebelumnya?"

Arjani mematung, otaknya seperti berhenti bekerja seketika. Tatapannya berkeliaran menghindari tatapan Attara, yang seperti hendak membunuhnya saat ini juga.

"Kamu mengetahui namaku, tetapi kamu seperti berat sekali menjawab ini." Lagi, ucapan Attara selalu mampu menampar Arjani untuk kembali dari dunia lamunannya. Ah, ayolah, tidakkah pria itu mengerti jika pertanyaan yang menurut dia simpel, sangatlah sulit untuk Arjani.

Setelah mengembuskan napas berat, Arjani memberanikan diri balas menatap Attara. Kepalanya menggeleng, lalu bibirnya berkata, "Tidak--"

Suara Arjani tercekat, kebohongan yang ia ungkapkan sama beratnya dengan keputusan untuk membohongi Attara. "Kita tidak saling mengenal," lanjutnya, diiringi senyuman kaku.

Namun, sepertinya gelagat Arjani yang tidak terlalu mahir dalam berbohong, dapat ditangkap oleh Attara. Mata pria itu memicing, sangsi dengan pengakuan yang dilontarkan Arjani.

"Kamu tidak membohongiku?" Attara bertanya sangsi, dan untuk kedua kalinya ia harus mendapatkan anggukan kepala dari Arjani.

"Tidak," tegas gadis berusia 28 tahun tersebut.

Setelah merasa obrolan mereka selesai, Arjani gegas meninggalkan Attara. Ia menyusul Reyma yang keluar dari tenda raksasa ini, dengan membawa Chika dalam gendongan. Arjani menyusul ke tenda khusus relawan, di sana Reyma sudah menunggunya.

Tatapan Arjani jatuh pada gadis kecil yang tidur di atas pembaringan, matanya masih basah dan sembab karena terlalu banyak menangis. Wajar saja, di usianya yang masih dini, dan kondisi sekitar yang memprihatinkan, Chika pastinya dilanda ketakutan dan trauma yang luar biasa.

"Kamu gila?" pekik Reyma tertahan, setelah ia membiarkan Arjani duduk dahulu di dekatnya.

"Untuk apa kamu membohonginya, Arja? Kalian saling mengenal, kenapa kamu tidak jujur saja begitu--"

"Rey, dia sudah menikah. Lambat laun ingatannya akan kembali, istrinya akan kembali juga dan aku pun akan pulang ke Jakarta karena ini bukan tempat kita. Ini hanya sementara, dan aku tidak mau dia mendapatkan ingatannya selama aku di sini. Dalam ingatan aslinya, dia mengenal Arjani sebagai gadis yang pernah menyukainya dan dia membencinya, Rey!"

Arjani menutup mata, berusaha mengatur degup jantung dan oktaf suaranya yang sempat meninggi. Ia menghela napas, kembali menatap Reyma. "Ini hanya sementara, jika nanti dia sudah mendapatkan ingatannya, aku tidak akan pernah bisa berada di sampingnya, Rey. Mengertilah," tandasnya berusaha memberikan pemahaman atas keputusannya membohongi Attara tadi.

Reyma terlihat berpikir, ia juga terlihat berat memutuskan apakah dirinya harus pro atau kontra dengan keputusan Arjani. Di saat Reyma sendiri ingin Arjani dan Attara berbaikan dengan cara yang benar, bukan berjalan di atas hal semu karena kebohongan seperti ini.

Tatapan Reyma jatuh pada tangannya yang mulai digenggam oleh Arjani, ia menatap sahabatnya yang menyorot sendu. Pada akhirnya, Reyma hanya bisa mengangguk mendukung Arjani.

"Baiklah, ini hanya sementara." Mendengar ucapan Reyma, Arjani menerbitkan senyuman lebarnya. "Semoga," harap Reyma lagi, seperti tidak yakin jika semua kebetulan ini hanya sementara.

"Kamu ingin tetap di sini? Jika dia bangun, dia akan menanyakanmu habis-habisan di mana bundanya." Reyma menatap Chika yang tertidur pulas, bergantian dengan wajah Arjani yang melukis senyum hanya karena melihat Chika.

"Bundanya belum ditemukan?" Bukannya menjawab, Arjani justru bertanya balik.

Arjani beralih dari wajah Chika ke arah sahabatnya, karena pertanyaan tadi yang tidak kunjung mendapat jawaban. Reyma menggeleng pelan.

"Sepertinya bundanya berada dekat dengan pusat tsunami sampai susah sekali dicari, sedang Attara saat kejadian berada di kota dan berniat menjemput istrinya ketika gempa terjadi. Aku tahu dari orang-orang yang mengenal Attara di tenda tadi," jelas Reyma.

"Ini akan sangat menyusahkan, karena Attara masih belum mampu mendapatkan ingatannya." Arjani menyahuti, yang langsung ditanggapi anggukan oleh Reyma.

"Itu masalahnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status