Share

4. Bertemu Attara

    Seperti datang dibawa takdir, begitu juga proses Arjani dan Reyma bisa berada di sini. Setelah meyakinkan Reyma dengan sedikit memaksa, akhirnya Arjani bisa ikut serta menjadi relawan. Hari ini, mereka turun di depan kantor PMI Lambaro, tempat yang menampung mayat dan korban terluka.

    Pertama kali turun dari mobil khusus relawan yang membawanya, Arjani meringis pelan. Baru pertama kali ia melihat mayat berserakan di mana-mana hingga berjumlah ribuan, dengan orang yang terluka juga tidak kalah banyak.

    Reyma menepuk pundaknya, gadis itu menunjuk tenda dengan dagunya, dan Arjani hanya mengekori langkah Reyma yang terlihat sudah tegar dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak seperti Arjani, yang tidak ada henti-hentinya meneteskan air mata.

    "Masuklah duluan ke tenda, aku akan menemui kepala organisasi. Jangan nangis terus, sedih boleh, cuma di sini mereka butuh orang yang akan menguatkan. Mengerti?" tanya Reyma, seperti seorang ibu yang akan melepas anaknya masuk sekolah untuk pertama kalinya.

    Arjani mengangguk, seraya menyusut air matanya. Padahal dari Jakarta ia sudah menyiapkan diri untuk tidak kembali menangis di sini, ia sudah memuaskan diri menangis selama menonton berita. Namun, melihat keadaan langsung, hatinya lebih teriris lagi rasanya.

    Baru saja Arjani hendak masuk, ekor matanya menangkap sosok anak kecil tengah menangis di tenda paling ujung sana. Arjani menahan lengan Reyma yang hendak pergi.

    "Jangan bilang kamu takut, ya, Arja," ledek Reyma berusaha membawa suasana sedikit santai untuk sahabatnya yang baru pertama kali ikut turun langsung ke tempat bencana seperti ini.

    Menggeleng, Arjani justru melempar tanya. "Apa aku boleh langsung membantu para korban yang terluka? Seperti anak-anak saja, sebagai permulaan, bagaimana?"

    Reyma mengangguk mengizinkan, lagi pula tujuan Arjani ikut ke sini untuk membantu. Setelah mendapat izin, dan memastikan Reyma pergi menemui ketuanya, Arjani gegas melepas tas lalu menyusul anak kecil yang duduk terisak di sana.

    Arjani bersimpuh di dekatnya, lalu memasang senyuman paling manis. "Hai," sapanya girang, menunggu anak itu mau mengangkat kepala dari lututnya.

    "Adek enggak mau kenalan dengan Kakak? Siapa tahu Kakak bisa bantu," tawar Arjani lagi, setelah sapaan singkatnya tidak mendapat tanggapan apa pun dari gadis kecil itu, selain isakannya yang kian keras.

    Usaha kedua Arjani berhasil, perlahan kepala si gadis kecil mulai terangkat. Wajahnya terlihat berantakan,  tetapi Arjani tidak akan pernah salah mengenal. Untuk beberapa saat, manik cokelat gelap gadis itu mampu membius Arjani, sampai senyumannya hampir surut.

    "Mari kita berkenalan, sebelum kita saling membantu," ajak Arjani.

    Patuh, si gadis kecil mengulurkan tangannya yang kotor. Tangan kecilnya sempurna tenggelam dalam genggaman Arjani, barulah bibirnya bergerak menyebut namanya. "Namaku Chika Ruqayah Behzad."

    Sekuat tenaga Arjani mempertahankan senyumannya, setelah ia merasa mendengar tawa yang berasal dari hati kecilnya, karena tebakannya benar. Sejak pertama kali melirik, Arjani sudah menebak itu Chika. Memandangi gadis kecil itu hampir setiap hari lewat foto, Arjani hafal dengan ciri fisik Chika.

    "Kalau Kakak namanya siapa?" tanya Chika balik, membuyarkan lamunan Arjani.

"Arjani." DIa menyebut namanya singkat, masih terkejut tentunya. "Arjani Mason, Chika bisa memanggil Kakak dengan panggilan Kak Arja, karena teman-teman Kakak memanggil seperti itu," jelasnya, berhasil menerbitkan senyuman di bibir Chika. Entah apa yang menyenangkan baginya dari perkenalan singkat itu.

    "Kalau begitu, sesuai janji Kakak tadi, sekarang bisakah Kak Arja memeriksa keadaan ayahku?" tanya Chika, seraya menggeser tubuhnya, membiarkan wajah pria yang terbaring di belakangnya tampak oleh Arjani.

    Seperti sengaja dipertemukan takdir, Arjani melotot kaget melihat siapa yang dilihatnya. Tanpa pikir panjang, Arjani mendekat, ia mengecek nadi Attara sebagai tindakan pertamanya. Seraya menggigit bibir bawahnya cemas, Arjani tetap berusaha mencari denyut nadi Attara yang semakin melemah.

    Setelah memastikan pria itu masih hidup, barulah Arjani bisa bernapas lega, bahunya merosot lega, memancing Chika untuk mendekat, penasaran. "Ayahku masih hidup, 'kan, Kak Arja?" tanyanya tidak sabaran.

    Arjani mengangguk, berhasil membuat senyuman bahagia di wajah Chika untuk terbit. Tatapan Arjani berkeliaran, mencari sosok yang ia cari, dan biji matanya menemukan objek tersebut sudah kembali ke tenda. Ia kembali menatap Chika, mengusap puncak kepalanya pelan.

    "Kak Arja panggil teman Kak Arja dulu buat bantuin ayahmu, ya?" pamitnya pada Chika, lalu bergegas kembali ke tenda.

    Arjani berdiri di depan tenda, membuat Reyma yang hendak keluar terkejut. "Bisa tidak, sehari saja jangan membuatku terkejut? Lebih lama hidup denganmu bisa memmbuatku menderita sakit jantung, Arja!" pekik Reyma.

    Sementara Arjani hanya nyengir lebar, seraya merentangkan kedua tangannya menghadang. "Tolong bantu aku, aku menemukan Attara tidak sadarkan diri di tenda paling ujung, nadinya semakin melemah."

***

    Helaan napas berat terus menguar dari rongga pernapasan Reyma, entah beban apa yang menghimpit pikirannya. Sesekali, dia akan menoleh ke ujung koridor, di mana Arjani tengah menggendong Chika, menenangkan gadis kecil itu, setelah merengek tanpa henti minta dicarikan bundanya.

    Di dalam, Attara masih belum sadarkan diri setelah dokter mengatakan ada cedera di otaknya akibat benturan. Meski keadaannya tidak terlalu parah, tetap saja kondisi Attara tadi membutuhkan pertolongan cepat, untunglah rumah sakit Medan ini masih menerima pasien, karena korban terluka akibat tsunami banyak yang dibawa kemari.

    "Rey, tolong bantu aku," rengek Arjani, setelah menyerah menenangkan Chika.

    Bola mata Reyma naik, menatap wajah malang Chika. Meski ia tidak menyukai Attara, tetap saja kondisi putrinya, membuat Reyma terenyuh. Reyma mengembuskan napas berat, lantas memasang senyuman paling lebar.

    "Kabar baiknya korban yang bernama Ayesha, sudah ditemukan dan kini dirawat di tenda PMI. Tenang saja," ungkap Reyma, yang pastinya berdusta.

    Namun, paling tidak kebohongan dari Reyma lebih dipercaya oleh Chika, karena anak itu tahu Reyma yang sempat mencari korban tsunami, sedang Arjani lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemaninya.

    Chika tersenyum, gadis cilik itu telah memakan mentah kebohongan Reyma yang mampu menghadirkan ketenangan sesaat. Barulah Arjani kembali menjauh, menidurkan Chika dalam pelukannya.

    Dari tempat duduknya, Reyma hanya bisa memperhatikan setiap kasih sayang yang ditunjukkan oleh Arjani untuk Chika, betapa tulus sahabatnya mencintai Attara, bahkan ke anaknya sekalipun.

    Reyma terkesiap saat mendengar erangan dari dalam, ia gegas memberikan kode pada Arjani untuk mendekat. Saat mereka masuk, Attara sudah mendudukkan dirinya, pria itu terlihat kesusahan menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke retina. Keningnya berlipat hebat, pertanda kepalanya pun tidak baik-baik saja.

    "Ayah!" seru Chika, girang. Matanya yang sempat sayu dilanda kantuk, hilang seketika. Ia bahkan bersiap turun dari gendongan Arjani.

    "Ayah? Aku seorang ayah? Kalian siapa?" tanya Attara kebingungan.

Gerakan Chika yang hendak turun terhenti, diliriknya Arjani dan Reyma yang bersitatap tidak percaya. Lalu, bibir kecilnya bertanya, "Ayahku kenapa, Kak?"

    "Dia kehilangan ingatannya, Arja," bisik Reyma lirih, masih ragu dengan diagnosisnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status