“Hentikan! Kau tidak boleh menikah dengan gadis itu, Tuan Louis Harper. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah merestui kalian!”
Semua orang terkesiap mendengar suara imut yang melengking itu. Tak terkecuali Louis yang sedang berlutut memegang kotak cincin. Begitu menoleh, mulutnya langsung terbuka lebar. Matanya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Seorang gadis cilik sedang berkacak pinggang di pintu masuk restoran! Jumpsuit bergambar beruang membuatnya terlihat sangat lucu, apalagi dengan pipi gembul yang digembungkan dan mata bulat yang dipaksakan seram.
“Astaga! Siapa gadis kecil itu? Berani-beraninya dia mengacaukan lamaranku?” pikir Louis, geram.
Seminggu yang lalu ....
“Aku sebetulnya ragu untuk mengatakan ini, tapi kurasa kau berhak tahu. Louis berencana melamar kekasihnya Sabtu depan. Barangkali, ada yang mau kau ungkapkan kepadanya. Lakukanlah sebelum terlambat. Jangan sampai kau menyesal.”
Sudah berapa kali Sky berusaha melupakan informasi itu. Akan tetapi, suara Emily, sahabatnya, terus bergema. Bayang-bayang cinta pertamanya juga enggan pergi dari benaknya. Semakin lama matanya terpejam, wajah Louis justru semakin jelas. Kebersamaan mereka dulu pun kembali terulas, kebersamaan yang tak pernah lagi terulang sejak mereka putus kontak beberapa tahun silam.
“Ck, kenapa aku terus memikirkan laki-laki itu? Ayolah, Sky. Dia bahkan tidak pernah menghubungimu lagi. Untuk apa mengenangnya?” batin Sky, mengingatkan diri sendiri. Sesekali, ia mengusap sudut matanya yang terasa berair. “Lagi pula, kau sudah bahagia bersama Summer sekarang.”
Seakan tahu bahwa namanya ada di pikiran sang ibu, Summer, gadis cilik yang berbaring di sisi Sky bangkit duduk.
“Mama, kenapa belum tidur?” tanya balita yang berusia empat tahun lebih tersebut.
Sky tersentak mendengar suara manis itu. Cepat-cepat ia keringkan air mata dan memutar badan. Melihat wajah layu sang putri, ia langsung mengelusnya.
“Sayang, kenapa kamu juga belum tidur? Apakah Mama mengganggumu?”
Summer mengangguk. “Mama seperti sedang gelisah. Mama bergerak-gerak terus sejak tadi. Apakah Mama sedih karena Paman Louis akan menikah dengan orang lain?”
Mata Sky sontak melebar. “Kenapa kamu bicara begitu?”
“Mama tampak murung sejak berbicara dengan Bibi Emily di telepon.”
“Kamu mendengarkan percakapan kami?”
Summer mengangguk. “Apakah Mama akan mengikuti saran Bibi Emily?”
“S-saran yang mana?”
“Tentang mengungkapkan perasaan Mama kepada Paman Louis.”
Sementara Sky tercengang, Summer berkedip lugu. Ia lanjutkan kata-katanya.
“Sebetulnya … aku sudah tahu sejak dulu kalau Mama menyukai Paman Louis. Mata Mama selalu berbinar-binar setiap Mama bercerita tentangnya.” Selang satu tarikan napas, Summer bertanya, “Apakah Mama akan menggagalkan lamaran Paman Louis?”
Kebingungan Sky semakin pekat. Umur sang putri belum genap lima tahun, tetapi mengapa ia bisa bicara begitu?
“Tidak, Sayang. Mama bukan siapa-siapa bagi Louis.” Sky berusaha memberikan pengertian. “Mama tidak berhak menggagalkan lamarannya. Biarkan saja dia bahagia bersama kekasihnya.”
“Tapi Mama menyukainya. Apa salahnya kalau Mama mengungkapkan perasaan Mama? Siapa tahu, Paman Louis berubah pikiran. Bukankah Bibi Emily bilang kalian berdua dulu saling mencintai? Aku akan sangat senang kalau Mama menikah dengannya. Aku jadi punya papa.”
Sky mendesah tak percaya. Sebelum kecanggungannya meradang, ia meloloskan tawa walau hambar. Ia harus segera menghentikan diskusi dadakan mereka.
“Sayang, kamu ini ada-ada saja. Kamu masih terlalu kecil untuk bicara soal cinta. Sekarang, bagaimana kalau kita tidur, hmm? Ini sudah terlalu malam. Kamu tidak mau punya mata panda, kan?”
Sky merangkul Summer, mengajaknya berbaring. Summer menurut, tetapi alisnya berkerut.
“Aku serius, Mama. Mungkin sudah saatnya aku punya papa.” Summer mengulang ucapannya.
Sambil menepuk-nepuk lengan sang putri, Sky menggeleng. “Bukankah selama ini kita berdua baik-baik saja dan bahagia?”
“Y-ya.”
“Itu artinya tidak ada yang perlu diubah. Hidup kita sudah sempurna, Sayang.” Sky berkata dengan nada final. “Sekarang tidurlah. Jangan berpikiran macam-macam.”
Sky mengecup kening sang putri lalu memejamkan mata. Sekilas, wanita itu terlihat seperti hendak tidur. Namun sebenarnya, ia hanya ingin menahan air mata.
“Tidak ada yang perlu diubah,” ucap Sky dalam hati. “Semua baik-baik saja asal aku bersama Summer.”
Sementara itu, Summer mulai merenung. Gadis cilik itu seperti tahu bahwa sang ibu hanya berusaha untuk terlihat baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak.
Diraihnya tiga boneka berang-berang yang biasa ia peluk. Ia jajarkan keluarga boneka itu di atas perut.
“Kasihan Mama. Dia hanya bisa menangis dalam hati,” batin Summer sembari mengelus kepala induk berang-berang. “Dia pasti malu mengakui kalau dia sedih.”
Selang beberapa saat, fokusnya beralih ke arah boneka lain yang sedikit lebih besar.
‘Kurasa, Mama sudah terlalu lama sendiri. Dia juga butuh suami, sama seperti Mama Otter. Pasti akan lebih mudah merawatku kalau dia berdua bersama Paman Louis, seperti Mama Otter dan Papa Otter.’
Summer menautkan tangan dua boneka besar agar terlihat bergandengan. Kemudian, ia selipkan boneka terkecil di antara mereka. Melihat kebersamaan boneka itu, senyum sendu terukir di wajahnya.
‘Otter pasti sangat bahagia. Dia punya papa dan mama. Bisakah aku menjadi seperti Otter yang punya keluarga lengkap?’
Sambil melirik Sky, Summer berkedip-kedip. Meski mata sang ibu tertutup rapat, ia tetap mampu melihat kesedihannya.
‘Haruskah aku membantu Mama untuk menghubungi Paman Louis? Mama pasti bahagia kalau Paman Louis tidak jadi melamar Grace. Dia tidak akan diam-diam menangis lagi.”
Sambil menyatukan pasangan boneka berang-berang agar terlihat berpelukan, Summer berpikir lebih keras. Sesekali, tarikan napasnya menjadi lebih panjang.
‘Keluarga Otter saja selalu bersama. Kenapa kami tidak? Mama pasti akan sangat senang kalau Paman Louis bersama kami. Mama tidak akan kesepian lagi, dan aku juga akan lebih bahagia. Aku akhirnya bisa memanggil seseorang dengan sebutan ‘Papa’.’
Setelah beberapa pertimbangan, Summer menutup perenungan dengan anggukan tegas. ‘Ya, aku tidak boleh diam saja. Aku harus segera menyusun rencana, bagaimana caranya memesan tiket dan terbang ke negaranya. Paman Louis tidak boleh melamar Grace. Dia harus menjadi Papa-ku dan hanya boleh menikahi Mama. Aku akan menggagalkan lamarannya!’
***
Saat ini, di restoran tempat Louis melamar sang kekasih ....
Ruangan itu telah penuh dengan bisikan. Para pelayan, pengawal, bahkan paparazi yang mengintai—semua sibuk dengan asumsi masing-masing. Tatapannya terus tertuju pada Summer.
“Astaga! Lihatlah gadis kecil itu! Bukankah dia sangat mirip dengan Tuan Harper?”
“Bukan Tuan Harper, tapi kembarannya. Dia persis seperti Emily muda. Hanya rambut mereka saja yang berbeda. Gadis itu berambut keriting! Dan lihat! Matanya bahkan sama. Abu-abu juga!”
“Tapi Emily dan Louis kembar. Jika gadis itu mirip dengan Emily kecil, berarti dia juga mirip dengan Louis. Mungkinkah dia anak hasil skandal lima tahun lalu? Tapi kenapa dia baru muncul sekarang? Ke mana saja dia selama ini? Dan di mana ibunya? Kenapa dia datang kemari seorang diri?”
Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, napas Grace Evans mulai menderu. Meskipun ia sudah berusaha menahannya, pundaknya tetap bergerak naik turun.
“Louis, jelaskan padaku. Apa yang sedang terjadi? Siapa gadis kecil itu?” tanyanya dengan suara tipis yang penuh penekanan. Kebahagiaan yang baru saja Louis tanamkan dalam hatinya telah sirna.
Louis akhirnya mengerjap. Ia kembali menatap sang kekasih. Kebingungannya masih tebal. “Aku juga tidak tahu, Ace. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin saja dia dikirim oleh seseorang untuk merusak momen kita. Jadi tolong jangan terpengaruh. Kita lanjutkan lamaran ini, hmm?”
“Kalau begitu, cepat usir dia dari sini! Aku tidak mau momen kita jadi rusak,” balas Grace dengan nada jengkel.
“Tidak! Kalian tidak boleh melanjutkan!” Gadis kecil itu mengentakkan kaki. Alisnya tertaut, bibirnya mengerucut. Caranya menyudutkan mata ke atas sangat mirip dengan Louis kecil dulu.
Louis sempat ternganga menyadari hal itu. Namun, setelah mengerjap, ia bangkit berdiri.
“Siapa kau, Manusia Mungil? Berani-beraninya kau mengacaukan lamaranku?”
Suara Louis begitu dingin dan tegas. Bukannya menciut, Summer malah melangkah maju. Para pengawal yang sedang berjaga kebingungan harus melakukan apa. Ia terlihat tidak berbahaya. Namun, setelah diskusi cepat, dua dari mereka menghentikannya satu meter di hadapan Louis. “Kau tidak tahu siapa aku?” Meskipun lantang, suaranya tetap terdengar lucu. Louis mendengus. “Kita tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin aku mengenalmu?” “Aku adalah anak dari perempuan yang sangat mencintaimu dan kau cintai. Karena itu, aku mau kau menikahi Mama, bukan nona ini. Kamu harus menjadi ayahku!” Louis tersentak mendengar kelugasan balita itu. Setelah keterkejutannya luntur, tawanya mengudara. “Kau pandai berakting, rupanya? Kau tahu? Berbohong itu bukanlah sesuatu yang baik. Kau bisa menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan masalah besar. Jadi, sebelum aku menghukummu, kembalilah kepada ibumu. Katakan kepadanya untuk tidak menghasut orang lain. Aku tidak pernah mencintai gadis selain Grace.” “Kaulah y
Setibanya di sebuah penthouse, Summer tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya. “Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!” Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya. “Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat. Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak. “Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran. Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.” “Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit. “Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peraturannya. Bahkan sebelum
Saat polisi sedang sibuk melacak Summer, tiba-tiba, ponsel Sky berdering. Melihat nomor asing menghubunginya lewat panggilan video, napas Sky tertahan. Mungkinkah itu penculik yang meminta tebusan? Atau justru orang baik yang tidak sengaja menemukan putrinya? Sky pun menjawab panggilan dengan hati yang berdebar. Namun, begitu melihat wajah yang muncul, keresahannya musnah. Matanya terbelalak memancarkan keheranan dan keterkejutan. “L-Louis?” Louis semula mengernyitkan dahi. Ia sudah siap untuk menumpahkan amarah kepada Sky, menuntut pertanggungjawaban atas kekacauan yang ditimbulkan oleh putrinya. Namun, begitu wajah cantik yang diliputi air mata menerima panggilan videonya, kegeraman Louis memudar. Rasa iba dan kerinduan mendadak terbit dari sudut hatinya. “Sky,” lidahnya kelu menyebut nama itu. Sky mengerjap. Sembari tertunduk, ia menyeka mata. Ia tidak mau Louis mengetahui kegelisahannya. Ia belum siap jika statusnya sebagai ibu tunggal terbongkar. “Hai, Louis. Lama tidak b
Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” cele
Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencu
Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Papara
"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. "Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita meng
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.
Setibanya di rumah sakit, wajah Emily sudah sangat pucat. Air matanya terus mengalir. Tanpa berlama-lama lagi, para petugas medis membawanya ke ruang bersalin. Namun, hanya satu orang yang diperbolehkan menemani Emily, yaitu Louis. Yang lain hanya bisa menunggu di luar dengan wajah gelisah. "Apakah Bibi Emily akan baik-baik saja, Mama?" tanya Summer dengan suara kecilnya. Sky tersenyum lembut. "Ya, dia pasti akan baik-baik saja." "Tapi dia tampak kesakitan," timpal Summer lirih. "Dan dia mengeluarkan banyak cairan," lanjut River, tak kalah serius. "Bibi pasti sangat lemas dan haus. Dia butuh banyak minum." "Dan pelukan!" sambung Summer, sigap. "Bibi terlihat sangat ketakutan. Kuharap Papa memeluknya dengan benar di dalam sana." Alis River berkerut. "Memangnya ada pelukan yang salah?" "Pelukan itu berbeda-beda, River. Ketika seseorang sedang takut, kita harus memeluknya seperti ini," Summer merangkulnya. "Lalu kita harus memberikan tepukan hangat di punggung sepert
Emily hanya bisa mengangguk. Sambil menggenggam tangan Sky, ia menggigit bibir. Summer dan River pun berhenti bercanda. Mereka menghampiri Emily. "Ada apa, Bibi?" tanya mereka kompak. "Dia mengalami kontraksi lagi," sahut Sky pelan. Wajah Summer berubah sendu. Ia berjongkok di dekat kaki Emily. "Apakah ini bisa membuat Bibi lebih baik?" tanyanya seraya memijat. Di sisi Emily yang lain, River melakukan hal yang sama. "Mungkin para bayi merasa gerah akibat senam tadi. Jadi, mereka meronta. Perut Bibi jadi berkontraksi?" "Kalau begitu, Bibi jangan melanjutkan senam lagi," simpul Summer tegas. "Istirahat saja di sini. Anggap kita sedang piknik. Mama, kita membawa bekal, kan? Bagaimana kalau kita membentang karpet dan mulai menata? Begitu Bibi selesai kontraksi, dia bisa menikmati makanan dan minuman yang kita siapkan." Sky mengangguk kecil. "Terima kasih, Sayang. Idemu brilian sekali." "Kalau begitu, River, ayo kita ke mobil!" ajak Summer, penuh semangat. Akan tetapi
"Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.
"Ya, kau sebaiknya fokus saja dengan kegiatan di penjara ini, Kendrick. Siapa tahu, kau bisa mendapat keringanan karena perilaku baik," Summer mengedikkan bahu santai. Akan tetapi, Kendrick malah semakin menggila. Ia mulai mengguncang pintu, memohon kepada para petugas untuk membukanya. Saat Orion mendekat, ia berteriak ketakutan. "Tidak! Menjauhlah dariku! Aku masih mau hidup! Jangan kau apa-apakan kepalaku!" Tiba-tiba, bunyi aneh terdengar dari pantat Kendrick. Bau busuk pun menyebar. Summer dan River cepat-cepat memencet hidung mereka. "Uuuh, Kendrik, kau jorok sekali!" tutur Summer, meledek. "Cepat sana ke kamar mandi! Dan jangan lupa dengan chipmu!" River terkekeh usil. "Dia tidak perlu membawanya, River. Chip ini yang akan datang sendiri kepadanya. Maksudku, petugas kepolisian yang akan memasukkan chip ke dalam otaknya!" Membayangkan kepalanya dibelah, Kendrick terkesiap. Mulutnya mulai bergetar. Saat pintu besi dibuka, lututnya ikut gemetar. Ia mencoba untuk melari
Khawatir sandiwaranya terbongkar, Summer cepat-cepat mengobrol dengan River. Ia bertanya tentang penilaiannya terhadap roti lapis itu dan apa yang perlu mereka perbaiki ke depannya. Setelah Kendrick menghabiskan makanan dan minumannya, barulah ia meraih kotak besar di atas meja. "Apakah kau sudah kenyang?" tanya Summer yang kini berlutut di atas kursi. Kalau tidak, kotak besar itu pasti sudah menutupi wajahnya dari Kendrick. Narapidana itu mendengus. "Apa pedulimu?" "Apakah kau lupa? Aku sudah menjawab pertanyaan itu. Berapa kali pun kau bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku mengkhawatirkan kondisimu karena keluargakulah yang memasukkanmu ke dalam penjara itu," Summer menunjuk pintu besi yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Kendrick memutar bola mata. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau dan orang tua berengsekmu itu berpesta setelah kalian melemparku ke tempat terkutuk ini." Summer terkesiap. Mata bulatnya berkilat oleh keterkejutan. "Tolong perhat
"Tolong jangan disebut. Itu berbahaya!" ujar Summer lantang. River menyingkirkan tangan Summer dari mulutnya. "Kenapa?" "Pokoknya, itu berbahaya. Mari kita masukkan itu sebagai kata terlarang. Jangan membahasnya lagi sampai kita dewasa," tutur Summer dengan penuh keseriusan. River pun menghela napas kesal. Namun, melihat ketegasan di wajah Summer, ia akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan melupakannya. Anggap itu tidak pernah kudengar," ia memutar telinga seolah sedang memutar pita kaset ke belakang. Louis akhirnya bisa kembali bernapas lega. Sky terkekeh melihatnya mengelus dada. Setelah itu, perbincangan berlangsung normal. Tidak ada hal aneh lagi yang mereka bahas. Mereka hanya bertukar kabar. Saat perbincangan mereka berakhir, Summer memekik gembira, "Oh, aku sungguh tidak sabar ingin menyambut Papa dan Mama pulang! Mereka pasti akan membawa banyak cerita!" "Ya, aku juga. Aku tidak sabar ingin melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa dari Antartika!" sahut River, tak
Sang kapten tersenyum simpul. "Dia mengaku bernama Summer." Louis dan Sky terbelalak. "Summer?" Lengkung bibir sang kapten melebar. "Ya. Summer Harper. Awalnya, saya berpikir bahwa itu hanyalah panggilan iseng. Tapi setelah mendengar caranya berbicara dan mengetahui namanya, saya percaya bahwa situasinya serius. Saya sarankan Anda untuk segera menghubunginya. Dia sangat resah." Sky mengangguk cepat. Di sisinya, Louis berkata, "Terima kasih, Kapten Alvarez. Kami akan segera menghubungi putri kami." Seperginya sang kapten, Sky melakukan panggilan video. Begitu Summer menerimanya, suara manisnya langsung bergema, "Mama, kenapa baru meneleponku sekarang? Ke mana saja dari tadi? Apakah Angelica mengganggu kalian lagi?" Melihat wajah cemberut sang putri, Sky dan Louis tertawa lirih. Mata mereka berkaca-kaca, terlapisi oleh keharuan sekaligus rasa bangga. "Maaf, Sayang. Mama dan Papa ada urusan mendesak. Kami terpaksa menghidupkan mode pesawat sebentar," timpal Sky, agak serak. "A
Pablo kembali tertawa. Sambil menggaruk alis, ia bergumam lirih, "Mengapa orang kaya suka sekali semena-mena?" Detik berikutnya, ia menatap Louis dengan kesan meremehkan. "Anda pikir dengan kekayaan yang Anda miliki, Anda bisa bertindak sesuka hati di sini? Maaf, Tuan Harper. Ini bukan L City. Di sini, Kapten Alvarez-lah yang memegang kendali. Dan lewat saya, beliau sudah menyampaikan perintah. Tahan Louis Harper dan sang istri. Karena itu ...." Pablo melihat rekan-rekannya dan menggerakkan kepala sekali. Para petugas mendekati Louis dan Sky lagi. Secepat kilat, Louis menarik Sky ke balik punggungnya. "Siapa yang berani menyentuh istriku, akan kupastikan dia tidak bisa berjalan lagi!" hardiknya, mengancam. Para petugas seketika menahan langkah. Louis pun menambahkan, "Daripada kalian bersikeras ingin menangkap kami, kalian lebih baik menghubungi kapten kalian." "Untuk apa?" sela Pablo dengan nada menjengkelkan. "Untuk mengulur waktu? Maaf, Tuan Harper. Kami sudah menghabi